"Nggak sama Rizal?" tanya Sisca setelah mencatat pesanan tambahan pesanan yang Brian inginkan. Ditatapnya laki-laki itu dengan seksama.
Brian tersenyum getir, ia malah duduk di kursi yang ada di depan bar. Mengabaikan sejenak teman laki-laki yang dia bawa ke mari.
"Cari selingan, Sis. Kalau dia bisa main dobel, kenapa aku nggak bisa?" jawab Brian sambil terkekeh.
Sisca menyerahkan lembar berisi pesanan itu pada pegawainya, memberi kode agar pesanan itu segera di proses. Dia menyimak sosok yang wajahnya berubah masam itu. Dia tadi bilang apa? Cari selingan? Selingkuh maksudnya?
"Kalian masih jalan, kan?" Sisca benar-benar penasaran, meskipun jujur dia masih syok dan sedikit ngeri mengingat bagaimana mereka berdua bercumbu di ruang praktek Rizal dulu.
Brian tersenyum dan mengangguk pelan, menghela nafas panjang dan nampak memalingkan wajah. "Kita masih jalan, Sis. Tapi tahu sendiri, kan, dia dituntut normal oleh orang tu
Sisca melambaikan tangan pada sosok yang hendak melangkah keluar dari caffee-nya. Setelah sekian lama mereka duduk dan berbincang, kini mereka memutuskan untuk pergi dari caffee milik Sisca ini.Sisca menghela nafas panjang, sejak tadi ia mengawasi pasangan itu. Setelah dari mengobrol banyak dari hati ke hati dengan Brian, ia memutuskan kembali ke meja dengan membawa beberapa pesanan tambahan yang Brian pesan untuk dirinya sendiri dan Wilson, selingkuhan sesama jenisnya yang di mata Sisca begitu luar biasa ganteng mempesona. Kalau saja dia tidak mempunyai kelainan orientasi, mungkin Sisca akan jatuh hati padanya dan perlahan-lahan melepaskan diri dari Arnold."Ah ... apaan sih? Gila aja suka sama begituan!" Sisca menepis hal itu sambil tersenyum geli. Dasar wanita, sama seperti pria, terkadang mereka tidak bisa melihat cowok ganteng nganggur barang sedetikpun."Temennya Bu Sisca ganteng-ganteng, ya?"Sisca menoleh, Arum sudah berdiri di sebelahnya sambil
"Gimana sih? Kemarin di usir suruh kelarin TA, sekarang nggak boleh pergi, terus gue harus gimana?" Dirly tidak mengerti ada apa dengan orang satu ini?Arnold mendesah perlahan, kalau Dirly sudah tidak di sini, dia harus selalu stay kantor dong. Mana bisa dia ngelayap pergi ke sana kemari? Tapi apa boleh buat? Gelar dan ijazah itu penting untuk Dirly, bukan?"Iya deh, balik aja sono. Kelarin kuliah. Ntar balik tapi kalau gue kawin."Tawa Dirly pecah, membuat Arnold melemparkan pulpen yang dia pegang sedari tadi. Sebuah lemparan yang meleset dan makin membuat tawa Dirly makin keras."Nah kan, makin kurang ajar kan elu sama gue? Mau surat magang elu gue sabotase nih?" ancam Arnold kesal, ia tahu Dirly menertawakan sekaligus mengejek dirinya."Slow Man! Slow!" Dirly mulai mengendalikan diri, menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menatap serius sosok itu."Lu saban hari udah kawin, Man! Dan elu terindikasi tiap hari kawin mulu. Jad
Sisca mematikan mesin mobil, melangkah turun dan merogoh kunci rumahnya. Ia cukup lelah hari ini, rasanya ia ingin segera tidur begitu sampai di rumah. Namun agaknya itu hanyalah sebuah ekspektasi semata karena si bos besar sudah memberi kode tugas wajib yang harus dia lakukan nanti malam."Astaga, badan rasanya nggak karuan!" SIsca menjatuhkan tubuhnya di sofa, meluruskan kaki sambil mengibas-ngibaskan tangan.Baru beberapa detik Sisca bersantai, ia sudah dikejutkan dengan dering telepon yang sontak membuat Sisca mendengus kesal. Ia lantas merogoh tasnya, meraih ponsel yeng meraung-raung sejak beberapa detik yang lalu.Sisca membelalakkan mata dan mendengus kesal, ternyata Arnold! Sisca meletakkan ponsel itu dipangkuan. Mau apa lagi orang satu ini? Sisca mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lantas kembali meraih ponselnya, mengangkat panggilan itu dan menyimak apa yang hendak Arnold katakan."Halo," jawab Sisca dengan malas, ia menyandarkan kepala di b
"Astaga!"Sungguh rasanya Sisca ingin melemparkan sesuatu ke arah sosok itu. Tampak dia duduk santai di kursi sofa tanpa memakai baju apapun! Sungguh orang ini benar-benar sudah tidak waras! Dan sialnya, Sisca jatuh cinta setengah mati pada pria tidak waras yang ada di hadapannya."Kamu ngapain?" Sisca melangkah masuk, menutup dan mengunci pintu sebelum ada yang tahu bahwa Arnold dengan begitu santai duduk di ruang tamu rumahnya tanpa sehelai benang pun."Nungguin makan malam." jawabnya sambil nyengir lebar.Sisca tertegun, selain gila, Arnold benar-benar menggoda luar biasa. Lihatlah perpaduan tubuh berotot dan kulit bersih itu, sebuah hal yang selalu sukses membuat darah Sisca berdesir hebat dan kehilangan kewarasannya seketika.Arnold menghela nafas panjang, ia bergegas bangkit, mendorong tubuh itu dan menghimpitnya ke tembok. Wajah mereka begitu dekat, ujung hidung mereka bersentuhan, bahkan Sisca bisa merasakan hembusan nafas itu menyapa wajah
"Kenapa di dalam, Ar?" Sisca memekik keras, ia merasakan betul cairan hangat itu memenuhi rahimnya.Arnold tidak menjawab, ia malah menjatuhkan diri di atas tubuh Sisca dan memeluk erat-erat tubuh itu tanpa mengeluarkan miliknya dari dalam tubuh Sisca."Ar, minggir dulu!" tentu tempat yang muncul dalam pikiran Sisca saat ini adalah kamar mandi. Namun Arnold begitu posesif, mendekapnya begitu erat tanpa mengizinkan Sisca bergerak barang sedikitpun."Jangan banyak bawel, Sis. Aku masih ingin seperti ini dulu!"Kontan Sisca menggebuk lengan itu sekeras-kerasnya, "Kau lupa apa yang baru saja sudah kamu lakukan, heh?"Arnold tidak menjawab, bergeming di tempatnya yang makin membuat Sisca kesal setengah mati. Ia berusaha memberontak, namun tenaganya kalah kuat. Ia berkali-kali diterbangkan begitu tinggi dan di buat meledak dengan begitu luar baisa tadi, hingga kini rasanya Sisca tidak lagi berdaya apa-apa."Ar!" Ia terus berusaha melepaskan diri,
"Mami?" Tentu Arnold terkejut luar biasa mendapati Linda sudah duduk manis sambil melipat tangan. Ia yang keluar hendak mengambil air dingin dari kulkas sontak melupakan semua niatnya itu, terperanjat melihat kejutan luar biasa yang dia dapatkan malam ini. "Pakai dulu bajumu! Tidak sopan bertemu orang tua dengan bertelanjang macam itu!" seru Linda ketika melihat Arnold begitu syok dengan kehadiran dirinya. Arnold yang menyadari hal itu sontak kembali masuk ke dalam kamar dengan tergesa-gesa, menutup pintu kamar itu dan langsung menghambur ke atas ranjang. Dia duduk di tepi ranjang, berusaha menjelaskan kejutan apa yang mereka dapatkan malam ini. "Sis ... serius bangun dulu, Sis!" Arnold panik, dia menepuk pipi Sisca dengan bertubi-tubi, membuat Sisca lantas mengerjap perlahan-lahan. "Ar, nggak kuat lagi! Aku udah lemes banget, Ar!" rintih Sisca tanpa membuka mata. "Bukan begitu, Sayang! Mami di depan!" jel
Sisca meremas-remas ujung kaosnya, ia masih duduk di ruang tamu itu bersama Linda. Ya ... hanya berdua karena Arnold meminta izin untuk mandi terlebih dahulu setelah obrolan panjang-lebar mereka barusan.Sisca tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa, jujur ia begitu takut. Yang duduk di hadapannya bukan hanya ibu dari Arnold, sang kekasih, tetapi juga isteri dari konglomerat yang mana Sisca pernah bekerja di perusahaannya, terlepas dari fakta bahwa wanita ini adalah mantan kekasih sang papa."Aku tidak bisa membayangkan, pasti papamu sangat murka dan kecewa kemarin, Sis." ujar Linda yang akhirnya buka suara.Sisca tersenyum getir, "Papa memang sangat kecewa, Tante. Tapi papa lebih kecewa setelah tahu siapa Arnold sebenarnya."Linda menatap nanar Sisca yang nampak terlihat sangat gugup itu. Kecewa setelah tahu siapa Arnold sebenarnya? Apakah itu karena siapa ibu dari kekasih anaknya ini?"Tidak salah kalau dia membenciku, Sis." desis Linda dengan
Selepas makan malam mereka kembali menuju rumah, sepanjang jalan obrolan hangat dan penuh kelakar, membuat tawa tidak henti-hentinya pecah di antara mereka. Semuanya baik, agaknya Linda masih sama seperti yang dulu, sosok yang kemarin Burhan ceritakan panjang lebar kepadanya. Sedetik kemudian tawa Sisca lenyap, masih ada satu sosok lain yang dia sendiri belum kenal dan belum tahu pasti bagaimana kepribadiannya. Dan apakah dia juga akan menerima Sisca seperti Linda yang begitu terbuka dan welcome ini? "Kapan-kapan kalau nggak sibuk ikut Mami shopping ke Paris, Sis." ujar Linda memecah lamunan Sisca. Mami. Sama seperti Burhan yang sudah membahasakan Arnold memanggilnya papa, Linda pun demikian. Sisca kembali tersenyum, menoleh dan menatap Linda dengan seksama. "Sisca belum punya pasport, Mi. Sisca urus dulu ya?" jawab Sisca sambil tersenyum. "Iya urus dulu, nanti kabari Mami kalau udah ready."
"Dahlah, fix namanya Albert!" Putus Arnold yang sontak membuat Linda mencak-mencak. "Eh ... Kenapa bisa jadi Albert? Jauh banget dari deretan nama yang kita bahas, Ar!" Protes Linda sambil membelalakkan mata. "Kan papanya Arnold, anaknya Albert. Dah gitu aja!" Gumam Arnold kekeuh lelah membahas nama untuk anaknya. Sejak tadi muter-muter malah jadi membahas silsilah keluarga kerjaan Inggris. Mana Arnold kenal sama mereka semua? Gunawan tersenyum, ia terlempar kembali pada masa sekarang. Ia hanya diam menyimak keributan yang sejak tadi terjadi. Sambil menikmati kenangan yang bisa dibilang sedikit kelam. Papanya setuju jika memang Linda adalah gadis yang Gunawan bidik hendak dinikahi. Tetapi keluarga Hartono bukan tipe orang yang suka jodoh menjodohkan. Dandi Hartono juga terkenal orang yang rendah hati. Apakah mereka akan setuju jika tiba-tiba Jamhari Argadana datang hendak meminta anak gadisnya untuk dijodohkan dengan Gunawan? Terlebih dengan kondisi Lin
"Bagusan juga William, Ar!" Linda tidak cocok dengan nama David yang hendak Arnold gunakan. Entah kenapa Linda lebih suka dengan William. Bayangan putera mahkota calon penerus kerajaan Inggris, Pangeran William Philip Artur Louis itu tergambar dalam ingatannya. Arnold sontak garuk-garuk kepala. Sisca belum kembali dari ruang pulih sadar, kini mereka berlima berkumpul di ruangan membahas nama yang akan diberikan kepada jagoan kecil penerus trah Argadana itu. Mereka begitu sibuk berdiskusi hingga tidak sadar satu dari mereka malah terlempar jauh dalam kenangan masa lalu. Gunawan terpekur di tempatnya duduk. Matanya menatap lelaki yang beberapa rambutnya sudah memutih itu. Lelaki yang dulu bahkan mungkin hingga sekarang masih ada di hati sang istri. Lelaki itu begitu baik. Gunawan akui itu. Burhan lelaki yang tangguh, gentle dan berhati besar yang pernah Gunawan temui. Dari sorot mata yang begitu teduh itu, Gunawan bisa lihat bahwa dia masuk dala
Gunawan dan Linda masih berharap-harap cemas di ruang tunggu yang ada di depan ruang operasi ketika dua orang itu melangkah mendekati mereka dengan begitu tergesa. Mereka kompak menoleh, besan mereka rupanya yang datang, membuat keduanya lantas tersenyum dan bangkit guna menyambut mereka. "Gimana Pak? Operasinya belum selesai?" Tanya Burhan seraya menjabat tangan Gunawan dan Linda bergantian. Wajah itu nampak begitu panik. "Belum, Pak. Mungkin sebentar lagi." Jawab Gunawan sambil mempersilahkan Burhan duduk. Burhan lantas duduk tepat di sisi Gunawan, sementara Retno duduk di sebelah Linda. Wajah mereka berempat begitu panik dan risau. Menantikan kabar mengenai bagaimana kelanjutan dari prosedur operasi yang harus Sisca jalani.Mereka berempat nampak saling berbincang dan berbagi kabar hingga suara derit pintu itu lantas membungkam mereka bersamaan. Pandangan mereka tertuju pada pintu. Nampak Arnold melangkah keluar dengan wajah memerah, diikuti
Ruangan itu begitu dingin, sangat dingin sekali dan jangan lupa bahwa Sisca tidak mengenakan pakaian apapun kecuali baju operasi berwarna biru yang melekat di tubuhnya saat ini. Rambutnya tertutup nurse cap, kateter sudah terpasang dan jangan lupa selang infus. Ia terbaring di ruang tunggu, menanti di dorong masuk dan kemudian semua tindakan itu akan dia jalani. Sedikit banyak Sisca sudah membaca perihal apa itu sectio caesarea. Dia sudah banyak mencari tahu di blog-blog konsultasi kesehatan dengan tenaga medis. Membaca prosedur hingga efek apa saja yang akan dia alami pasca operasi itu akan dilakukan. Ah! Tidak perlu mengingat-ingat apa-apa saja perihal sectio caesarea! Bukankah setelah ini Sisca akan mengalaminya secara langsung? Dia akan menjalani operasi guna membantunya melahirkan janin yang sudah dia kandung sembilan bulan lamanya. Sosok yang sudah begitu ingin Sisca temui dan bawa dalam gendongan. Pintu terbuka, membuat Sisca mendongak dan meliha
Burhan tengah mengajar ketika ponselnya berdering cukup nyaring. Ia menatap mahasiswanya satu persatu lalu melangkah menuju meja guna meraih benda itu. Matanya membelalak ketika Arnold yang ternyata meneleponnya sepagi ini. Pikiran Burhan sontak buyar, bayangan Sisca dengan perut membesarnya langsung otomatis tergambar dengan begitu jelas di dalam otak Burhan."Saya izin angkat telepon dulu, ya? Kalian bisa lanjut untuk baca materinya dulu.""Baik, Pak!" jawab mereka kompak.Burhan dengan tergesa melangkah keluar ruangan dan langsung menjawab panggilan itu dengan jantung yang berdegub dua kali lebih cepat."Ha--.""Pa ... maaf menganggu, Arnold cuma mau kasih kabar kalau Sisca sudah di rumah sakit. Udah bukaan tiga, Pa!"Jantung Burhan rasanya seperti hendak mau lepas. Jadi benar dugaannya? Bahwa Arnold menelepon hendak mengabarkan perihal kondisi Sisca dan calon cucunya?"Di-di rumah sakit mana, Ar?" wajah Burhan sontak
Malam ini entah mengapa rasanya Sisca begitu gerah. Sudah pukul satu pagi dan dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Berkali-kali dia pindah posisi, tapi sama saja, tidak memberi efek apa-apa. AC yang menyala pun seolah tidak lagi terasa apa-apa. Sisca menyibak selimutnya, duduk sambil menatap sang suami yang tertidur begitu pulas. Senyum Sisca tersungging, jujur ia rindu bisa tidur senyaman itu. Ia rindu bisa tidur dalam dan dengan posisi apapun seperti saat belum hamil dulu. Sisca refleks mengelus perutnya yang sudah begitu besar. Sudah mendekati HPL, selain rasa tidak sabar, rasa cemas dan sedikit takut itu menghantui Sisca dengan begitu luar biasa. Apakah dia mampu nantinya? Mampu melahirkan anaknya dengan lancar dan mampu mengurusinya dengan baik?Tapi siapa yang bilang kalau Sisca akan mengurus mereka sendiri? Arnold bahkan sudah mempersiapkan dua baby sitter untuk anak mereka kelak.Sisca kembali tersenyum. Satu hal yang membuat dia benar-b
Sisca dan Arnold melangkah memasuki gedung rumah sakit. Hari ini jadwal Sisca periksa kandungan, dan khusus untuk mereka obsgyn rumah sakit swasta mahal di kota mereka sudah ready menanti tanpa harus repot-repot mengantri giliran."Selamat pagi Bapak-Ibu, mari sudah ditunggu dokter!"Bahkan mereka tidak perlu menjelaskan tujuan mereka dan bertanya apapun, para perawat dan petugas medis sudah kenal dan tahu betul tujuan Arnold dan Sisca kemari."Dokter Adjie nggak ada jadwal operasi, kan, Sus?" tanya Arnold mengikuti langkah perawat itu. Tangannya menggenggam tangan Sisca dan membantu Sisca agar tetap aman di sisinya."Siang nanti, Bapak. Beliau masih harus standby di poli sampai jam sebelas." jelas perawat itu sambil tersenyum.Arnold lantas mengangguk, yang penting tidak ada operasi gawat yang mendadak saja sampai Sisca dan calon anaknya selesai diperiksa. Mereka terus melangkah hingga kemudian sampai pada ruangan yang Arnold sudah hafal betul ruangan milik
"Sayang! Ayolah!" Sisca terus merengek dan bergelayut manja di bahu Arnold yang baru saja pulang kerja. Ada sesuatu yang begitu dia ingin sampai merengek-rengek macam anak kecil pada Arnold yang baru saja tiba di rumah."Astaga! Harus banget sekarang? Besok aja, ya?" Arnold mengendurkan dasinya, berusaha membujuk Sisca yang perutnya sudah lebih besar."Capek ya? Nanti aku pijitin deh." rayu Sisca sambil mengedipkan sebelah mata dengan manja.Arnold tersenyum, mengelus lembut pipi sang istri sambil menatap matanya dengan begitu serius."Bukan soal capek, Sayang. Masalahnya jam segini cari rujak buah di mana?" itu yang jadi masalah, bukan karena dia lelah sehabis kerja atau apa. Kalau pun lelah, demi Sisca dan calon anak mereka, apapun akan Arnold lakukan."Coba deh ke Hypermart, kali aja ada!" Sisca tidak menyerah, membuat Arnold lantas menghela napas panjang dan mengangguk pelan."Oke! Pergi sekarang kalau gitu!"
Sisca berdercak kagum melihat betapa indah rumah yang papi-mami mertua hadiahkan untuk mereka. Rumah dua lantai itu begitu mewah. Bangunan hampir mirip dengan bangunan rumah keluarga Argadana di Jakarta. Kental dengan arsitektur Eropa. Arnold tersenyum penuh arti, merangkul pundak sang istri yang begitu cantik dengan dress motif bunga berwarna cerah.Semenjak mereka menikah dan Sisca hamil, dia tidak diperbolehkan Arnold memakai celana jeans dan mengganti celana-celana itu dengan dress casual yang tidak hanya aman dan nyaman untuk ibu hamil macam Sisca, tetapi juga membuat penampilan Sisca jadi lebih manis dan cantik."Suka?" tanya Arnold yang tahu betul, istrinya nampak begitu terkejut dengan hadiah apa yang orang tuanya berikan ini."Banget!" jawab Sisca apa adanya. "Tapi ini serius nggak kebesaran?" Sisca menoleh, menatap ragu ke arah sang suami.Arnold sontak membelalakkan mata, tawanya pecah melihat betapa Sisca begitu polos dan masih sangat