Anggara sampai tidak bisa lagi berkata-kata, usai sudah! Semuanya sudah usai dan selesai. Perjuangan Diana sudah usai. Ia sudah menang, perjuangannya sudah tuntas dan terbayar tunai. Tubuhnya yang tadi demam tinggi, mulai mendingin. Air matanya yang sejak beberapa saat yang lalu menitik, sudah surut dan tidak akan menitik lagi. Sakit yang tadi menyerang dan membelenggunya, kini sudah pergi dan tidak akan datang lagi. Ia sudah pergi dengan tenang.
Anggara belum mau melepaskan genggaman tangan itu, belum mau pergi dari sisi Diana, belum mau menutupi tubuh sang isteri dengan kain yang sudah sebagian menutupi tubuh wanita itu.
Tidak ... Anggara belum mampu, tidak!
Tangis Anggara pecah, dia menangis tanpa Isak. Dadanya begitu sesak. Rasanya ia hancur, ia hancur melihat sang isteri harus berakhir seperti ini.
Dia dokter, calon dokter spesialis. Namun kenapa ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika kemudian nyawa sang isteri dalam bidikan malaikat maut? Kenapa ia ti
"Terkadang ... tidak tahu apa-apa itu lebih baik, daripada kemudian tahu sesuatu dan harus terluka karena kenyataan itu!" *** Selly tidak langsung kembali ke poli kandungan, ia malah melipir ke tangga darurat, tempat rahasianya ketika ia bersembunyi dari siapapun. Menangis di sini sendirian karena memang tempatnya sepi. Selly menjatuhkan dirinya di tangga paling atas, membiarkan air matanya menitik dan membasahi pipinya. Hatinya teramat sakit. Kalau memang sampai kapanpun sosok mama dari Felicia itu tidak akan pernah tergantikan di hati Anggara, lantas kehadiran Selly apa artinya? Apa arti selama ini mereka hidup satu rumah? Berikrar di depan altar dengan mengatasnamakan Tuhan, bergumul begitu panas di atas ranjang mereka, apa arti semua itu? Selly merasakan dadanya sesak, ia tahu sekarang bagaimana posisinya di hati sang suami. Dan agaknya ia harus berterima kasih pada dokter anestesi baru itu karena de
Setelah mencuci tangan bersih-bersih, Anggara segera menghambur keluar. Ia melangkah dengan begitu tergesa menyusuri lorong rumah sakit, kemana lagi kalau tidak ke poli kandungan? Ia harus segera menemukan sang isteri dan mengajaknya bicara baik-baik.Baru saja ia hendak belok ke poli kandungan, suara itu terdengar dan membuat Anggara sontak misuh-misuh. Bukan apa-apa, yang memanggilnya adalah salah satu perawat IGD dan itu artinya Anggara harus segera melangkah ke IGD dan kembali mengurungkan niatnya mencari sang isteri."Dok, pasien IGD perlu konsultasi dengan bagian bedah," ujar perawat itu sopan, yang makin membuat Anggara tidak bisa berkutik.Ia hanya mengangguk pelan, membalikkan badannya dan melangkah menuju IGD. Hatinya tidak tenang, ia begitu kalut. Dalam pikirannya hanya ada Selly. Hanya ada wanita itu dan bukan siapapun.Sementara Anggara melangkah, sepasang mata itu menatanya dengan sorot terluka, dengan berlinang air mata dan kemudian pergi b
“Mana yang lebih hebat? Dirinya yang membuat kamu tidak bisa melupakan dia? Atau diriku yang masih bisa menerimamu meski tahu kamu sama sekali tidak bisa melupakan dia?”***“Sayang, please kita perlu bicara!” Anggara mengetuk pintu kamar tamu, kamar yang dulu pernah ia tempati ketika awal membawa pulang Selly kerumah ini. Dan sekarang, Selly yang malah akan tidur di sana?“Nggak perlu lagi, aku malas bahas hal itu!” balas suara itu dari dalam.Anggara tidak habis akal, ia melangkah kembali ke kamar. Kunci cadangan ia simpan di nakas, hampir semua pintu di rumah ini ia buatkan duplikatnya dan tentu saja kamar yang ada di sebelah itu. Setelah menemukan kuncinya, ia segera memutar kunci itu dan masuk ke dalam. Nampak Selly yang tengah menyusui Gilbert itu terkejut, menatap Anggara yang bergegas menutup pintu, mengunci pintu itu dan mencabut kuncinya dari sana.“Apa lagi? Kan ak
"Karena sejatinya, cinta itu tidak pernah mengharapkan balasan atau imbalan apa-apa."***Selly melenguh panjang, Anggara tersenyum melihat reaksi sang isteri atas tiap sentuhannya. Membuat Anggara makin terbakar gairah, hendak menyuguhkan 'cinta'-nya untuk sang isteri yang hari ini masih meragukan setiap perasaan cinta Anggara yang begitu dalam untuk sosok itu.Anggara makin beringas menyentuh inci tiap inci tubuh sang isteri, melepaskan satu persatu kain yang melekat di tubuh itu dengan begitu lembut, hingga pemasangan indah itu tersaji di hadapannya, membuat Anggara makin tidak tahan lagi.Selly memekik pelan, memejamkan mata erat-erat ketika sang suami mulai memasuki dirinya. Merasakan Anggara dengan begitu lembut menyatukan tubuh mereka petang ini.Nafas Anggara memburu, dengan perlahan-lahan ia mulai memacu tubuh dalam kungkungan tubuhnya, membuat tangan halus dan lembut milik Selly mencengkram kuat lengannya.Selly membuka matanya, wa
“Benarkah apapun itu yang Tuhan berikan adalah anugerah?”***CUP“Semangat buat hari ini!” bisik Selly mesra selepas mencuri cium pipi sang suami.Anggara hanya tersenyum gemas ke arah sang isteri yang sudah lebih dulu keluar itu. Gadis cantik dan manis itu tampak melangkah dengan begitu ringan masuk ke gedung rumah sakit. Sementara dia masih duduk di joknya menatap kepergian sang isteri dari tempatnya duduk.Mana mungkin Anggara biarkan malaikat tidak bersayapnya itu pergi begitu saja? Minta cerai? Lebih baik dia dibunuh dari pada disuruh menceraikan Selly. Anggara tersenyum kecut, berharap kehadiran sosok itu tidak lagi membawa masalah dalam kehidupan rumah tangganya.Anggara menghela nafas panjang, melepas seat belt-nya kemudian melangkah turun dari mobil. Ia melangkah dengan begitu santai, harapannya hanya satu, dia tidak harus bertemu dengan sosok itu. Meskipun di dalam OK nanti presentasi dia bertemu dengan Nad
Selly baru saja selesai memompa ASI-nya di ruang laktasi yang ada di poli Pediatric, rasanya sudah cukup enteng ketika cairan berwarna putih itu berhasil ia pindahkan ke kantong-kantong ASI yang dia bawa, tinggal disetor pada Anggara dan siap diantar ke rumah sekalian dia menjemput Felicia pulang sekolah.Selly melangkah ke toilet, mencuci tanganya bersih-bersih ketika sosok itu keluar dari salah satu bilik toilet. Selly mengangkat wajahnya, sontak mata mereka bertemu dari cermin besar yang ada di wastafel, dapat Selly lihat ia menyungingkan sebuah senyum, yang mau tidak mau Selly juga harus membala senyum itu.“Hai Nyonya Anggara Tanjaya, it`s our first meet, right?” sapanya sambil mencuci tangan di wastafel.“Yeah, you right. Nice to meet you doctor Nadya Anggranesia,” sapa Selly yang langsung dibalas reaksi terkejut dari wanita berambut cokelat itu.Selly tersenyum, mengeringkan tangannya dengan tisu dan menatap sosok yang masih
“Aku tadi ketemu dia,” desis Selly perlahan ketika ia dan Anggara dalam perjalanan pulang. Anggara sontak menoleh, dia? Dia siapa yang Selly maksud? Adit? Isterinya ketemu Adit? Apa yang memangnya mereka lakukan? “Kamu ketemu Adit?” tanya Anggara spontan, akan dia hajar residen itu kalau sampai macam-macam dengan isterinya, tidak peduli setelah itu dia akan kena skors dari manajemen rumah sakit dan kemungkinan berurusan dengan hukum, Anggara tidak peduli, yang jelas dia tidak akan tinggal diam kalau sampai isterinya disentuh makhluk satu itu. Selly yang tengah menikmati juss siap minum itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk, membuat Anggara sontak menempikan mobilnya dan membantu Selly memuntahkan cairan yang kebablasan masuk ke tenggorokannya itu. “Kamu ini, ada urusan apa sampai tadi ketemu Adit?” kejar Anggara yang benar-benar penasaran, wajahnya sudah memerah, bukan karena dia sedang malu tapi dia sedang cemburu! “Kenapa jadi Adit sih? Sia
“Ngapain?” tanya Selly ketika Anggara sudah memasang senyum lebar ketika ia selesai menidurkan Gilbert di box-nya.“Katanya mau nyobain?”Selly sontak membulatkan matanya, menatap Anggara dengan tatapan cenggoh. Apa tadi suaminya itu bilang? Nyobain? Balon warna-warni dengan aroma buah tadi yang mau dicobain? Astaga!“Nyobain?” tanya Selly yang masih menatap sang suami dengan seksama, “Rasa es teller ada? Mau es teller.”Anggara sontak mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kemudian mendekati sang isteri dan menatapnya dengan jarak yang sangat dekat.“Tunggu suamimu punya cukup uang, nanti pabrik k*ndomnya aku beli, aku buatin apa yang kamu mau,” bisik Anggara lalu meraih tubuh Selly, membawanya dalam gedongan dan membaringkannya di atas tempat tidur.Selly tertawa terbahak-bahak dan langsung bungkam ketika tubuh Anggara menindihnya. Menguci kedua tangannya dan netranya menatap leka