Selly baru saja selesai memompa ASI-nya di ruang laktasi yang ada di poli Pediatric, rasanya sudah cukup enteng ketika cairan berwarna putih itu berhasil ia pindahkan ke kantong-kantong ASI yang dia bawa, tinggal disetor pada Anggara dan siap diantar ke rumah sekalian dia menjemput Felicia pulang sekolah.
Selly melangkah ke toilet, mencuci tanganya bersih-bersih ketika sosok itu keluar dari salah satu bilik toilet. Selly mengangkat wajahnya, sontak mata mereka bertemu dari cermin besar yang ada di wastafel, dapat Selly lihat ia menyungingkan sebuah senyum, yang mau tidak mau Selly juga harus membala senyum itu.
“Hai Nyonya Anggara Tanjaya, it`s our first meet, right?” sapanya sambil mencuci tangan di wastafel.
“Yeah, you right. Nice to meet you doctor Nadya Anggranesia,” sapa Selly yang langsung dibalas reaksi terkejut dari wanita berambut cokelat itu.
Selly tersenyum, mengeringkan tangannya dengan tisu dan menatap sosok yang masih
“Aku tadi ketemu dia,” desis Selly perlahan ketika ia dan Anggara dalam perjalanan pulang. Anggara sontak menoleh, dia? Dia siapa yang Selly maksud? Adit? Isterinya ketemu Adit? Apa yang memangnya mereka lakukan? “Kamu ketemu Adit?” tanya Anggara spontan, akan dia hajar residen itu kalau sampai macam-macam dengan isterinya, tidak peduli setelah itu dia akan kena skors dari manajemen rumah sakit dan kemungkinan berurusan dengan hukum, Anggara tidak peduli, yang jelas dia tidak akan tinggal diam kalau sampai isterinya disentuh makhluk satu itu. Selly yang tengah menikmati juss siap minum itu sontak tersedak dan terbatuk-batuk, membuat Anggara sontak menempikan mobilnya dan membantu Selly memuntahkan cairan yang kebablasan masuk ke tenggorokannya itu. “Kamu ini, ada urusan apa sampai tadi ketemu Adit?” kejar Anggara yang benar-benar penasaran, wajahnya sudah memerah, bukan karena dia sedang malu tapi dia sedang cemburu! “Kenapa jadi Adit sih? Sia
“Ngapain?” tanya Selly ketika Anggara sudah memasang senyum lebar ketika ia selesai menidurkan Gilbert di box-nya.“Katanya mau nyobain?”Selly sontak membulatkan matanya, menatap Anggara dengan tatapan cenggoh. Apa tadi suaminya itu bilang? Nyobain? Balon warna-warni dengan aroma buah tadi yang mau dicobain? Astaga!“Nyobain?” tanya Selly yang masih menatap sang suami dengan seksama, “Rasa es teller ada? Mau es teller.”Anggara sontak mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kemudian mendekati sang isteri dan menatapnya dengan jarak yang sangat dekat.“Tunggu suamimu punya cukup uang, nanti pabrik k*ndomnya aku beli, aku buatin apa yang kamu mau,” bisik Anggara lalu meraih tubuh Selly, membawanya dalam gedongan dan membaringkannya di atas tempat tidur.Selly tertawa terbahak-bahak dan langsung bungkam ketika tubuh Anggara menindihnya. Menguci kedua tangannya dan netranya menatap leka
“Terkadang, orang baru menyadari hal terpenting dalam hidupnya, yang sudah banyak dia sia-siakan, ketika kematiannya sudah dekat di depan mata.” *** “Bawa dulu ke ruang ganti, perawat anestesi ready kan? Ada residen anestesi? Panggil!” Anggara panik, masalahnya operasi belum selesai dan penata anestesinya terkapar entah apa yang terjadi. Beberapa paramedis masuk, membawa tubuh itu keluar dari OK, di susul seseorang yang sudah siap dengan masker dan segala peralatan lain masuk menggantikan posisi Nadya. “Residen anestesi?” tanya Anggara yang belum bisa tenang sebelum posisi Nadya tergantikan. “Iya, Dokter.” Jawab laki-laki itu yang Anggara sendiri tidak tahu dia siapa. “Tahun ke ...,” “Tahun akhir, Dok!” Anggara hanya mengangguk pelan, dia sudah chief residen, itu artinya dia sudah kenyang pengalaman keluar masuk OK, menanggani kondisi demikian. Mata dan pikiran Anggara fokus pada obyek bedah da
“Komitmen itu tentang kata hati, bukan apa yang memaksamu untuk pergi.”***“Sayang! Tunggu!”Anggara dengan panik berlari mengejar langkah itu. Kenapa isterinya bisa ada di sini? Dia begitu rapi dengan snelli-nya, apakah dia ada on call juga? Siapa yang malam-malam begini menyuruhnya datang kemari? Perlu Anggara bilang bahwa dia melarang Selly on call tengah malam begini? Tapi mana bisa? Tidak profesional namanya!Anggara terus berlari, tidak peduli selepas dia memaksa Nadya lepas dari pelukannya tadi, wanita itu sontak menitikkan air mata dan terisak. Anggara benar-benar tidak peduli, yang dia pedulikan sekarang hanyalah isterinya, bukan siapa-siapa.“Sayang, tunggu!”Anggara berhasil meraih tangan itu, menariknya hingga ia berhenti berlari. Tampak Selly mencoba melepaskan genggaman tangan itu, namun sia-sia, ia kalah tenaga.“Lepas!” Selly memberontak, namun
Anggara sudah sampai depan pintu kamar mereka, ia menghela nafas panjang, menekan knop pintu dan menemukan Selly yang masih dengan bajunya tadi duduk bersandar sambil meluruskan kaki di atas ranjang.Mata mereka bertemu ketika Anggara masuk kedalam, sebuah tatapan mata yang tidak ramah, Anggara tahu itu.Anggara mendekat, duduk di tepi ranjangnya dan meraih tangan Selly, kembali berusaha meluluhkan hati sang isteri."Aku minta maaf, Sayang," desisnya lirih.Selly tidak menggubris, matanya kembali berkaca-kaca, kembali menitikkan air mata. Anggara makin erat menggenggam tangan sang isteri, satu tangannya menyeka air mata Selly yang menitik."Tau nggak sih kalau aku sayang sama kamu, Ko? Udah terlanjur cinta sama kamu? Kalau begini jadinya tau begitu aku nggak us-."Anggara menempelkan telunjuknya di bibir sang isteri, melepas genggaman tangannya dan meraup wajah Selly yang masih berurai air mata itu. Mata Anggara ikut memerah, ia tidak suka m
“Hal yang paling menakutkan itu ternyata adalah ketika kamu menantikan vonis untuk dirimu sendiri, menantikan jawaban tentang apa yang selama ini kau pertanyakan tanpa ada jawaban.”***“Bisa bangun, kan?” tanya Anggara yang tengah menggedong Gilbert itu sambil tersenyum jahil.Selly yang masih begitu berat membuka mata itu hanya mencebik, kembali menaikkan selimut dan memejamkan matanya. Badan Selly rasanya lemas tidak bertenaga, persendiannya terasa seperti lepas dari tubuh, sungguh ia tidak punya daya pagi ini.Anggara menatap sang isteri dengan senyum yang belum mau pergi dari wajahnya itu. Kenapa rasanya sebagai laki-laki ia begitu senang dan bahagia melihat Selly terkulai lemas seperti ini? Ahh ... Anggara rasa bukan hanya dirinya yang bahagia dengan pemandangan ini, laki-laki manapun pasti juga akan merasakan hal yang sama, bukan?“Sayang, masih harus koas, kan? Yuk bangun!” tidak
“Ada hal yang sama sekali tidak bisa manusia rubah, sebanyak apapun uangnya, setinggi apapun jabatan mereka. Dan hal itu adalah kematian yang sudah Tuhan tuliskan dalam daur hidup mereka.”***Anggara buru-buru belok ke poli gigi dan mulut begitu melihat sosok itu melangkah keluar dari poli saraf. Ia tidak mau berurusan lagi dengan Nadya, sudah cukup dia dua kali ribut dengan sang isteri gara-gara perempuan satu itu. Anggara tidak mau!Nadya masih tampak begitu pucat dan ia melangkah dengan begitu tenang menyusuri koridor rumah sakit. Bajunya belum ganti, dan Anggara pastikan dia tidak pulang semalam.“Dok ... ngapain?”Anggara terkejut sampai hampir berteriak ketika tangan itu menyentuh pundaknya, untung dia tidak sampai berteriak. Kalau sampai Anggara berteriak, sudah dia pastikan Nadya akan mengetahui keberadaannya.Anggara menoleh dan mendapati Denta, dokter gigi spesialis orthodonti itu
“Jangan terlalu memikirkan orang lain, terkadang diri sendiri perlu kau pikirkan, kau utamakan.”***Nadya masih berada di ruang residen ketika ponselnya berdering dan mendapati dokter Ridwan meneleponnya. Jantung Nadya seperti berhenti berdetak, dengan tangan sedikit bergetar, ia mengangkat panggilan itu.“Hallo, hasil pemeriksaan saya sudah keluar, Dok?” Nadya menahan nafasnya, ia benar-benar penasaran dang sangat ingin tahu hasil dari pemeriksaan menyeluruhnya tadi.“Sudah, bisa ke ruangan saya, Dok?”Nadya memejamkan matanya, kenapa rasanya seperti menantikan eksekusi mati? Kenapa rasanya ia begitu takut melangkahkan kaki kesana? Nadya menghela nafas panjang, mengangguk pelan dan kembali bersuara.“Baik, saya kesana, Dokter.”“Ok saya tunggu, Dok.”TUTNadya meremas ponsel dalam genggamannya, jantungnya makin tidak karu-karuan. Bagaimana hasil pemeriksaannya
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba