“Terima kasih ya, Mas,” ucap Lavina dengan ramah setelah menerima sebuah paket dari seorang kurir.Ia menutup pintu, berjalan ke dalam rumah dengan senyuman lebar dan mata berbinar-binar. “Akhirnya datang juga,” gumamnya sembari menatap kotak persegi panjang di tangannya.“Paket punya siapa itu?”“Eh?” Lavina terkesiap hingga langkahnya seketika terhenti. Ia mengerjap melihat Auriga yang sedang menuruni tangga. “Buat aku, Om. Siapa lagi memangnya.”Lavina menyembunyikan paket tersebut di belakang punggung, yang membuat Auriga memicing curiga.“Bukan! Ini bukan apa-apa. Cuma baju biasa,” ujar Lavina tiba-tiba bahkan tanpa ditanya. Ia merasa agak cemas Auriga akan tahu kalau isi paket tersebut adalah pakaian untuk acara resmi, yang akan ia gunakan ke pesta orang tuanya Juna.“Oh. Saya kira kamu beli lagi celana dala—”“Om!” potong Lavina dengan cepat, matanya membelalak. “Jangan bahas itu! Nggak sopan bahas yang kayak gitu di depan cewek,” gerutunya dengan bibir merengut.Auriga mengemb
Mata Lavina mengerjap dan melihat tangan Juna dengan ragu. Setelah berpikir, akhirnya Lavina menerima uluran tangan Juna. Juna mengganggam tangannya itu, lalu membawanya ke dance floor, bergabung dengan pasangan lainnya.Mereka mulai bergerak di tengah lantai dansa yang indah itu. Juna dengan sabar mengajari Lavina langkah-langkah dasar tarian. Dia membimbingnya dengan pelan, menggenggam tangan Lavina, berusaha membuat gadis itu merasa aman dan percaya diri.Semakin lama mereka berdansa, semakin Lavina merasa nyaman dan mulai menikmati momen tersebut. Dia merasa seperti melayang di atas lantai dansa, tersenyum lebar, dan lupa akan semua keraguan yang pernah dia rasakan.“Gimana? Sudah nyaman sekarang?” tanya Juna, yang dibalas dengan anggukkan kepala oleh Lavina.“Aku udah bisa,” bisik Lavina dengan ceria.“Nah, kan. Apa aku bilang, dansa itu nggak sulit, kok,” ucap Juna seraya memandangi wajah Lavina dengan lekat. “Sekarang, coba berputar.”“Hm!” Lavina mengangguk.Juna mengangkat sa
Auriga tak kunjung bersuara. Pria itu mematung, hanya sorot matanya saja yang berbicara. Itupun sulit sekali dipahami.Lavina menggigit bibir bawahnya. Nyalinya seketika menciut dan tiba-tiba matanya berkaca-kaca karena kesal dan merasa bersalah, bercampur aduk di dalam hatinya.“Kalau Om marah, marah aja nggak apa-apa. Jangan bikin aku serba salah gini.” Lavina merajuk dengan wajah merengut. “Om yang diam aja kayak gini jadi terlihat semakin menakutkan. Seenggaknya bilang apaan, kek, biar aku tahu apa yang Om pikirin sekarang.”Tiba-tiba, Auriga merundukan kepalanya mendekati telinga Lavina dan berbisik dengan nada suara yang masih sedingin es. “Kamu sadar kalau kamu salah?”“I-iya.” Lavina tergagap. “Aku salah, Om. Maaf.”“Tapi kata maaf nggak bikin kemarahan saya hilang,” bisik Auriga lagi, yang membuat Lavina terdiam mendengarnya.Lavina menghela napas berat. “Terus? Aku harus gimana? Aku berbohong juga ‘kan karena aku takut sama ancaman Om yang—”“Tidur dengan saya malam ini.”“E
Apa-apaan ini? Setelah mengajakku bercinta, dia tiba-tiba pergi dan nggak ngehubungi aku selama seminggu?Takkk!!!Lavina menaruh ponselnya dengan posisi menelungkup, ke atas meja, dengan kasar seolah-olah ingin melampiaskan kekesalannya pada benda tak bersalah itu.“Lavina, ada masalah?”“Eh?”Lavina terkejut. Matanya mengerjap, menatap dosen killer di depan kelas yang tengah menatapnya dengan kedua alis terangkat. Saat itu Lavina baru sadar kalau barusan ia sudah menimbulkan kekacauan kecil di tengah-tengah suasana kelas yang hening . Lavina meringis begitu tahu hampir semua mata di kelas itu tertuju ke arahnya.“Ng-nggak, Pak. Maaf. Barusan ada nyamuk di… situ.” Lavina menunjuk ponselnya. “Tapi nyamuknya nggak tahu ke mana sekarang,” gumam Lavina sembari menunduk.Suara-suara orang menahan tawa mulai terdengar. Saat dosen yang kedua ujung kumisnya melengkung ke atas itu menatap galak, mereka berhenti tertawa. Ruang kelas kembali sunyi.“Ada-ada saja,” gerutu sang dosen, lalu kembal
“Capt, boleh aku ikut bergabung di sini?”Pertanyaan Margareth yang bernada mendayu-dayu itu mengeluarkan Auriga dari lamunannya. Pria itu mengalihkan tatapannya dari pantai yang membentang di bawah sana, ke arah wanita cantik yang berpakaian modis dan seksi, yang sedang tersenyum manis ke arahnya.Auriga mengangguk. “Boleh. Silahkan duduk,” katanya sembari menunjuk salah satu kursi.“Terima kasih.” Margareth mendaratkan bokongnya di salah satu dari ketiga kursi kosong yang mengelilingi meja tersebut. “Ah, ada yang duduk di sini?”“Iya. Max sedang ada urusan dulu. Dia akan kembali sebentar lagi.”Margareth mengangguk, kemudian ia memanggil pramusaji untuk memesan makan siangnya.Sementara itu, Auriga mengambil ponsel dari meja dan secara spontan ibu jarinya mencari nama Lavina. Namun, gerakannya tiba-tiba terhenti saat ia akan menyentuh tombol ikon telepon. Ia berdecak lidah. Lalu menaruh kembali benda tipis itu ke atas meja dengan kasar.Tidak. Auriga tidak boleh menghubungi gadis it
“Ya… ya, betul… aku sudah ada di Jakarta lagi sejak satu minggu yang lalu. Apa? Pulang? Ah… sepertinya aku nggak akan kembali ke sana dalam waktu dekat, karena… tempatku pulang adalah Jakarta.”Kening Lavina mengernyit kala mendengar suara seorang wanita yang barusan berbicara di sebelahnya. Wanita itu berbicara dengan seseorang melalui telepon. Dan rasanya Lavina tidak asing dengan suara yang terdengar lembut itu.Lavina menggeser ujung matanya ke arah sebelah, tapi wanita itu tengah membelakanginya. Alhasil Lavina memilih untuk tidak menghiraukan rasa penasarannya, lalu ia menaruh sabun mandi ke dalam troli yang baru terisi beberapa macam perlengkapannya yang akan ia beli.Lantas ia mendorong troli itu dan berjalan ke arah rak yang diisi dengan deretan berbagai macam susu anak-anak.“Tunggu!”Kening Lavina berkerut bingung ketika mendengar wanita itu berseru. Karena tak yakin wanita itu bicara kepadanya, Lavina tidak menghiraukannya dan tetap berjalan.“Hai… kamu Lavina, ‘kan?” tany
Mata Lavina mengerjap, ia menggeleng tak mengerti. “Aku nggak ngelakuin apa-apa. Aku juga nggak datang ke dukun buat nyantet Om, kok, walaupun aku pengen banget ngelakuinnya.”Auriga memejamkan matanya sejenak, lalu mengembuskan napas panjang dan menatap Lavina kembali. “Nggak bisa,” gumamnya.“Hah?”“Saya nggak bisa melakukannya.”“Maksud Om?” Lavina semakin tidak mengerti ke mana arah percakapan pria matang di hadapannya itu.“Saya sudah berusaha mengabaikanmu, tapi kenapa saya nggak bisa?”“Hah?”Lavina mengerjap. Sungguh, ia sama sekali tidak mengerti apa yang Auriga ucapkan. Di kala Lavina masih mencerna ucapan Auriga, pria itu tiba-tiba mendorong Lavina dan memenjarakannya di dinding sembari mengunci kedua pergelangan tangannya di sisi kepala.Lavina terkesiap, matanya terbelalak. Namun, ia tidak punya kesempatan untuk protes karena detik itu juga Auriga mendaratkan bibirnya di atas bibir Lavina. Lalu tanpa permisi, Auriga memagutnya dengan kasar dan menggebu, seperti orang yang
Dengan wajah merengut Lavina mengoleskan minyak kayu putih di kedua lengan Auriga secara bergantian. Auriga tak berhenti menatap wajah Lavina dalam diam.“Kalau melayani suami itu harus ikhlas, nggak boleh cemberut begitu,” celetuk Auriga, yang membuat Lavina memandanginya dengan malas.“Gimana aku mau ikhlas?” protes Lavina, “aku lagi belajar buat ujian besok. Tiba-tiba Om datang buat nyuruh aku melakukan sesuatu yang Om bisa lakukan sendiri.”“Memang. Saya bisa melakukannya sendir, tapi saya mau kamu yang melakukannya.”Mata Lavina mengerjap. Ia ingin protes lebih banyak lagi, tapi tatapan Auriga yang mengunci matanya membuat jantung Lavina berdebar-debar.“Sudah selesai.” Refleks Lavina mendorong Auriga hingga pria itu nyaris terjatuh dari sofa. “Sekarang Om keluar! Aku mau belajar lagi.”Auriga hanya menghela napas panjang. Lalu tersenyum samar dan bergumam, “Baru sekarang saya diusir perempuan.”“Apa?” Lavina mendongak, menatap Auriga dengan mata dipicingkan. Ia tidak mendengar d
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab