Lavina tersenyum samar. Ia hanya bercanda saja, lagi pula mana mungkin Auriga menyukai perempuan seperti dirinya.“Ah! Ngomong-ngomong, kenapa Om Auriga nyoret-nyoret foto Jung Kook punya aku?!” gerutu Lavina yang mendadak berwajah muram.“Mencoret-coret?” ulang Auriga dengan kening berkerut.“Mana pura-pura lupa, lagi.”Auriga tampak berpikir sejenak, lalu detik berikutnya satu sudut bibirnya terangkat. “Masih mending fotonya nggak saya buang.”Seketika itu juga mata Lavina terbelalak tajam. Ia memukul lengan Auriga dengan kesal. “Jadi benar Om yang melakukannya? Pokoknya aku nggak mau tahu, semua foto itu harus utuh seperti sebelumnya!”“Sakit,” desis Auriga, lalu menggenggam satu pergelangan tangan Lavina dengan tangan yang terbebas. Ia menatap Lavina di balik kacamata hitamnya. “Mulai hari ini, berhenti menyukai lelaki lain dan jangan pernah marah sama saya gara-gara lelaki lain.”“Tapi aku nggak bakal marah kalau Om nggak mulai duluan!”Auriga menginjak rem begitu lampu lalu lint
Ada yang aneh dengan sikap Auriga hari ini. Ya, Lavina merasakannya. Dimulai dari Auriga yang memberinya bunga. Lalu saat di lift dan berdesakkan dengan segerombolan karyawan dari salah satu perusahaan, Auriga melindungi Lavina yang berdiri di pojok dengan mengungkung tubuhnya yang kecil. Sampai-sampai Lavina merasakan jantungnya berdebar kencang karena jarak yang begitu dekat antara dirinya dan Auriga yang berhadapan.Kemudian setibanya di luar lobi, Auriga memakaikan jas hitamnya di tubuh Lavina karena hujan yang mengguyur kota malam itu.“Tunggu di sini, saya ngambil mobil dulu,” kata Auriga sebelum pergi menuju parkiran mobil, membiarkan tubuhnya yang hanya memakai kemeja menjadi basah terkena air hujan.Lavina yang tak pernah mendapatkan perlakuan istimewa seperti itu dari Auriga sebelumnya, benar-benar merasa aneh sekaligus ngeri dengan perubahan itu.Namun, jantungnya seakan tidak bisa berdetak dengan normal selama ia bersama dengan Auriga. Dan ada rasa yang begitu menyenangkan
Kedua alis Auriga terangkat, lalu menggeleng. “Saya nggak pernah berpikir seperti itu.”“Dasar cowok.” Lavina mendengus. “Bersikap baik kalau ada maunya aja,” gerutunya, lalu pergi meninggalkan Auriga dengan langkah dihentakkan.Auriga segera menyusul, ia menahan pergelangan tangan Lavina dan menariknya hingga tubuh gadis itu berbalik dan nyaris menabraknya.Dengan tatapan tegas dan tanpa ragu, Auriga berkata, “Kamu tahu? Kalau saya cuma mau bercinta sama kamu, saya nggak perlu repot-repot membawa kamu makan malam untuk merayu kamu. Saya bisa melakukannya, memaksa kamu kapanpun saya mau.”“A-apa?” Wajah Lavina mendadak berubah menegang.“Tapi apa yang saya lakukan kemarin malam, maksud saya makan malam dan bunga itu….” Auriga berdehem pelan. “Nggak ada hubungannya sama sekali dengan saya yang mengajak kamu bercinta.”Lavina mengerjap, ia masih menatap Auriga dengan tatapan seolah-olah belum mempercayai ucapan Auriga barusan.“Saya serius,” tambah Auriga tanpa ragu-ragu.Ketegangan di
Dua bulan kemudian….Auriga menginjakkan kakinya di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Udara lembut dan bau laut yang segar segera memeluknya begitu ia keluar dari pesawat. Kali ini ia berstatus sebagai penumpang dalam pesawat yang menerbangkannya dari Jakarta itu.Bali, sebuah pulau surga yang begitu memikat. Namun, ia datang ke pulau ini bukan untuk berwisata, melainkan karena seseorang.Setelah mendapatkan bagasi dan keluar dari bandara, Auriga menghirup udara tropis yang lembut, sambil menunggu kedatangan mobil yang menjemputnya.Suasana di sekitarnya terasa hidup, pekerja bandara yang sibuk, wisatawan dengan senyuman ceria, dan aroma makanan lezat dari stan kuliner yang berjejer.Namun, baginya, semua ini hanyalah latar belakang, karena fokusnya hanya pada satu tujuan—menemui wanita yang tak pernah bertemu dengannya lagi sejak ia terakhir kali melihatnya, dua bulan yang lalu.Ya, Auriga dan Lavina tidak pernah bertemu lagi sejak sehari setelah mereka bermain ice skating bers
Lavina mengucapkan terima kasih pada penjaga vila yang sudah mengantarnya sampai di Pelabuhan Lembar. Auriga masih belum bisa dihubungi, tapi Lavina mendapat keyakinan bahwa saat ini pria itu masih ada di kamar kostnya. Entah apapun tujuan Auriga datang ke Bali, tapi Lavina merasa ia harus menemui Auriga sekarang.Lavina berlari untuk membeli tiket kapal. Namun, belum sampai ia di pintu masuk, tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat seorang pria, yang sangat ia kenali, sedang berjalan menghampirinya. Siluet pria itu menunjukkan betapa gagahnya orang itu saat sedang melangkah. Langkahnya tegap dan penuh keyakinan.Seketika, mata Lavina terbelalak. “Om Auriga?!” pekiknya, seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat.Auriga pun tampak terkejut. Ia berhenti sejenak, kemudian berlari menghampiri Lavina dan berhenti di hadapannya. “Kenapa kamu ada di sini malam-malam?”“Hah?” Lavina mengerjap, ia merasa seperti sedang bermimpi.“Kenapa ada di sini sendirian malam-malam?” tanya Auriga sek
“Nggak akan ada yang berubah," jawab Auriga. “Apa?” “Kita akan tetap seperti ini.” Kening Lavina mengernyit bingung dan menatap Auriga dengan tatapan butuh penjelasan. “Apa maksud Om?” Auriga menghela napas panjang. Ia menunduk dan mengecup pundak Lavina yang masih tertutupi kaos, sejenak. Kemudian menatap wajah gadis itu lagi. “Dari awal saya nggak punya niat untuk menceraikan kamu. Kamu ingat janji saya waktu itu?” Lavina mengangguk pelan. “Iya, kita akan tetap seperti ini,” lanjut Auriga, “menjadi sepasang suami istri.” Lavina mengerjap, debaran jantungnya kian tak beraturan hingga ia khawatir Auriga akan mendengarnya. “Kalau aku hamil, gimana? Aku masih kuliah, aku mau menggapai cita-cita aku dulu.” Seulas senyum kecil tersungging di bibir Auriga. Ia menarik pinggang Lavina supaya mendekat ke arahnya. “Serahkan sama saya.” “Hm?” gumam Lavina tak mengerti. Alih-alih menanggapi gumaman Lavina, Auriga justru malah mendaratkan kembali bibirnya di atas bibir gadis itu, memag
Lavina berjongkok, bersembunyi di balik sebuah pohon sembari menyeruput susu kotak. Perlahan-lahan ia menelan minumannya, sudut matanya lalu bergeser pada sepasang kaki yang memakai sandal di sampingnya.Lavina sama sekali tidak berani mendongak, atau ia akan bersitatap dengan mata Auriga yang tiba-tiba terasa mengerikan pagi ini. Selain takut, ia juga merasa kehilangan muka di depan pria itu karena selalu teringat dengan aktifitas panas mereka tadi malam.“Oh, jadi seperti itu kelakuanmu kalau saya nggak ada?” tanya Auriga, ia berdiri bersedekap dada, memperhatikan Lavina sejak tadi.“Seperti itu gimana maksud Om?” tanya Lavina, sebelum kemudian ia menyeruput minumannya lagi, hingga menimbulkan suara slurrrp! karena isi susu kotak itu nyaris habis.Auriga membuang napas perlahan-lahan. “Kamu membiarkan lelaki lain menyentuhmu seperti barusan.”“Om juga menyentuhku tadi malam.”“Beda, Lavina. Beda,” geram Auriga dengan rahang berkedut. “Saya suami kamu, berhak menyentuh kamu. Sedangka
Matahari pagi menyambut Auriga yang baru saja terbangun dari tidurnya gara-gara mendengar burung bernyanyi di sebuah pohon dekat jendela.Auriga mengerang pelan, merasakan pegal pada lengan kanannya yang semalaman menjadi bantal kepala Lavina.Begitu mata terbuka sepenuhnya, pemandangan pertama yang Auriga dapati adalah puncak kepala Lavina yang harum aroma mawar. Perempuan itu tidur meringkuk dalam pelukan Auriga. Keduanya ditutupi selimut biru tua. Tempat tidur yang sempit membuat mereka tidak bisa banyak bergerak.Auriga tak langsung turun meski ia ingin segera membersihkan tubuhnya. Ia memilih untuk diam, memandangi wajah Lavina cukup lama.Perempuan itu tiba-tiba menggeliat, yang membuat Auriga menyadari bahwa ia dan Lavina masih sama-sama tampil polos setelah semalam memadu kasih di atas tempat tidur yang sempit ini.Ya, Auriga pikir, rasa penasarannya pada Lavina akan hilang setelah ia mengambil kesuciannya. Namun, Auriga kecele, yang terjadi justru malah sebaliknya. Ia menging
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab