Lavina tercengang melihat bando bermotif Mickey Mouse di tangan Auriga. Itu memang lucu. Dan Lavina langsung jatuh cinta. Ia tersenyum cerah dan mengambil bando itu, tapi Auriga menahannya sembari berdecak lidah.Bibir Lavina merengut. “Aku kira buat aku,” gumamnya sambil menahan malu.“Ini memang buat kamu. Kamu pikir pasangan saya siapa kalau bukan kamu?” Auriga berdecak lidah, lantas dipasangkannya bando itu di kepala Lavina, yang membuat wajah kecil Lavina terlihat semakin menggemaskan.Lavina tertegun, jantungnya kembali berdetak cepat.Rasanya, Lavina masih belum terbiasa dengan sikap Auriga yang benar-benar aneh ini.Selesai memasangkan bando tersebut, Auriga memandangi Lavina dan tersenyum kecil. Ia sempat bergumam tidak jelas, sebelum kemudian menyeruput kopinya lagi.“Saya akan pulang dua minggu lagi dan menemui kamu di sini,” ucap Auriga tiba-tiba, yang membuat Lavina senang mendengarnya.“Kenapa beberapa bulan terakhir ini Om sering banget pulang?”“Kenapa memangnya?” Auri
Setelah tiga bulan melaksanakan magang menjadi pemandu wisata di Bali, Lavina akhirnya kembali ke Jakarta hari ini.Ia memilih untuk pulang sendirian, setelah sebelumnya Auriga meminta Cassie untuk menjemput dan menemani Lavina dalam penerbangan dari Bali ke Jakarta. Akan tetapi, Lavina menolaknya secara halus, ia tidak mau merepotkan adik suaminya itu.“Mommy Lavina!”Teriakan Aurora yang tengah berlari ke arahnya, membuat Lavina seketika tersenyum lebar. Lavina melepaskan handlekoper dari genggamannya, lalu merentangkan kedua tangan untuk menyambut Aurora ke dalam pelukannya.Lavina tidak bisa membohongi diri sendiri, bahwa ia juga merindukan anak dalam pelukannya itu. Lavina berjongkok, lalu mencubit kedua pipi Aurora dengan gemas.“Mommy Lavina kangen kamu, tauk!” ungkap Lavina dengan bibir merengut.Aurora tertawa, kedua tangan mungilnya menangkup pipi Lavina. “Aku juga kangen Mommy. Mommy tahu? Aku selalu mimpiin Mommy Lavina. Kata Grandma, itu tandanya aku lagi kangen banget sa
“Om Auriga?!”“Ya, ini saya.”Lavina mengeluarkan lolipop dari mulutnya, lalu tersenyum lebar. “Welcome home!” serunya, tiba-tiba berubah ceria.Auriga mengerjap. Ia berdehem pelan dan mengusap tengkuk untuk meredakan gemuruh di dalam dada. “Kenapa kamu ke sini?”“Mau jemput Om,” jawab Lavina seraya memasukkan kembali permen lolipop ke mulutnya.“Kan sudah saya bilang, tunggu di rumah.”“Kalau aku maunya di sini? Gimana? Om nggak bisa maksa-maksa aku. Terserah aku dong mau nunggu Om di mana. Kan ini kaki aku, kemanapun aku melangkah ya terserah aku. Om nggak bisa melarang-larang seenak perut,” oceh Lavina tanpa titik koma, yang membuat tawa Auriga seketika meledak.Ya, benar. Akhir-akhir ini Auriga merasakan harinya sepi. Dan celotehan Lavina yang bahkan lebih bawel dari Aurora, selalu terngiang-ngiang di telinga, dan kini… Auriga merindukannya.Auriga menghela napas panjang. Lalu ia menarik tubuh mungil Lavina hingga tenggelam dalam pelukannya. Auriga menunduk, mengecup puncak kepala
Sesuai dugaan Lavina, begitu melihat Auriga menjemput, Aurora seketika memekik senang hingga melompat-lompat untuk mengekspresikan kebahagiaannya karena ayahnya pulang tanpa diduga-duga. Lavina memang tidak memberitahu kepulangan Auriga sejak semalam. Biar itu menjadi kejutan bagi Aurora.Ketiganya kemudian meninggalkan area sekolah, berjalan bergandengan tangan dan Aurora berada di tengah-tengah mereka.“Daddy, kita makan siang sekarang?” tanya Aurora setengah berseru.“Yup. Mau makan siang di mana kita hari ini?”“Di rumah aja, Dad!”Kening Auriga mengernyit, ia sempat melirik Lavina sejenak. “Di rumah? Tumben.”“Iya. Soalnya Daddy baru pulang, entar Daddy capek kalau kita makannya di luar,” celoteh Aurora, “kalau di rumah ‘kan Daddy bisa langsung rebahan.”Lavina terenyuh mendengarnya. Ia mengacak rambut Aurora dengan gemas. “Anak pintar,” pujinya.“Baiklah. Siang ini kita makan di rumah saja,” timpal Auriga.Tiba-tiba, tanpa disengaja, botol minum Aurora dari saku di samping tasny
Lavina sedang memperhatikan story yang baru saja ia unggah di media sosialnya. Itu foto kakinya dan kaki Aurora yang sedang diceburkan ke dalam air ketika mereka duduk di pinggiran kolam.Lagi-lagi, Lavina merasa heran karena akun fake dengan user id @senja2806 adalah orang pertama yang melihat story-nya setelah beberapa detik ia unggah. Seolah-olah pemilik akun itu orang yang kerjaannya hanya membuka media sosial saja.“Mommy, ayo berenang lagi!”Seruan Aurora dan cipratan air yang mengenai wajahnya, membuat Lavina mengalihkan tatapan dari layar ponsel, ke arah anak yang menggemaskan di tengah-tengah kolam.“Oh, jadi kamu mau mulai perang lagi sama aku?!” Lavina menaruh ponsel di kursi rotan, lalu turun ke kolam dan menciprat-cipratkan air ke arah Aurora, yang membuat Aurora tertawa dengan riang.Keduanya terlihat bahagia. Selain menjadi sosok ibu, Lavina mampu menjadi teman Aurora yang bersikap seperti anak-anak. Hingga kolam renang yang ada di dalam rumah itu dipenuhi gelak tawa ba
Lavina berjalan dengan tatapan menerawang di lorong rumah sakit, sembari menenteng kantong berisi mie instan cup khas Korea, yang baru saja ia beli di mini market.Setibanya di depan ruang perawatan Auriga, ia mendorong pintu itu perlahan. Namun, seketika itu juga Lavina tertegun kala melihat ada seorang wanita yang berdiri di samping Auriga, wanita itu membelakangi pintu.Dengan kening berkerut Lavina pun masuk.“Permisi. Maaf, Anda siapa ya? Sedang apa di sini?”Wanita berambut wavy sepunggung itu lantas menoleh dan menatap Lavina.Sementara itu, Lavina tercengang, wajah wanita di hadapannya itu terasa tidak asing. “Kak Flora?” gumamnya, tanpa sadar.Keterkejutan nampak jelas di wajah wanita itu. “Kamu tahu saya?” Dia kemudian tersenyum. Wanita berkulit putih dan tinggi semampai itu mendekati Lavina seraya mengulurkan tangan kanannya. “Salam kenal. Kamu benar, aku Flora.”Lavina tertegun dan terdiam sejenak, ia menatap tangan Flora, lantas dengan ragu ia menerima uluran tangan itu.
Mimpi indah Lavina terganggu ketika ia merasakan cubitan di hidungnya, yang membuatnya kesulitan bernapas. Lavina terpaksa membuka mata, mengerjapkannya untuk menyesuaikan retina dengan pencahayaan matahari yang menerobos masuk melalui jendela. Seketika itu juga Lavina sadar bahwa ia tertidur di kursi samping ranjang pasien, sambil menelungkupkan wajah di pinggiran kasur. Dan saat matanya terbuka sepenuhnya, Lavina mendapati Auriga tengah menatapnya. “Om udah ganggu tidur aku, tahu?” gerutu Lavina sembari mengucek mata. “Saya nggak ganggu tidur kamu, cuma mencapit hidung kamu saja karena barusan kamu ngorok.” Auriga mengedikkan bahunya cuek, seakan-akan tidak merasa bersalah sama sekali. Wajah Lavina merengut kesal. Semalam ia kesulitan memejamkan mata dan baru tidur—itupun ketiduran, tadi pagi, di kursi ini. Dan lihat, sekarang Auriga malah mengganggunya. “Cuci muka dulu sana. Gosok gigi, atau mandi sekalian.” Auriga mengusap wajah Lavina menggunakan telapak tangannya, yang bah
Lavina berjongkok sembari menutupi muka dengan kedua telapak tangan, di dekat tempat tidur Auriga. Sementara itu, ruangan tersebut dipenuhi gelak tawa Auriga yang terdengar renyah dan menggema. Tawa yang bahagia, tapi terdengar seperti ejekan di telinga Lavina yang tengah merasa luar biasa malu usai memperlihatkan tarian girl band Korea di hadapan Auriga. “Lavina, sedang apa di situ? Kemarilah,” ucap Auriga sembari berusaha menghentikan tawanya. “Nggak mau!” Lavina cemberut. “Kenapa, hm?” “Aku malu, tahu! Om pasti ngetawain aku. Aku aneh, ‘kan?” “Hey! Saya tertawa bukan ngetawain kamu karena aneh.” Auriga menghela napas panjang dan tawanya benar-benar berhenti. “Tapi… saya benar-benar bahagia sekarang. Kamu sudah berhasil menghibur saya.” Lavina mengerjap. Ia menurunkan kedua tangannya dari wajah dan terdiam. Namun, rasanya ia belum berani bersitatap dengan pria itu karena rasa malu yang masih menghantuinya. “Kenapa masih diam? Ayo ke sini,” pinta Auriga lagi. “Nggak mau!” Sa
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab