Mimpi indah Lavina terganggu ketika ia merasakan cubitan di hidungnya, yang membuatnya kesulitan bernapas. Lavina terpaksa membuka mata, mengerjapkannya untuk menyesuaikan retina dengan pencahayaan matahari yang menerobos masuk melalui jendela. Seketika itu juga Lavina sadar bahwa ia tertidur di kursi samping ranjang pasien, sambil menelungkupkan wajah di pinggiran kasur. Dan saat matanya terbuka sepenuhnya, Lavina mendapati Auriga tengah menatapnya. “Om udah ganggu tidur aku, tahu?” gerutu Lavina sembari mengucek mata. “Saya nggak ganggu tidur kamu, cuma mencapit hidung kamu saja karena barusan kamu ngorok.” Auriga mengedikkan bahunya cuek, seakan-akan tidak merasa bersalah sama sekali. Wajah Lavina merengut kesal. Semalam ia kesulitan memejamkan mata dan baru tidur—itupun ketiduran, tadi pagi, di kursi ini. Dan lihat, sekarang Auriga malah mengganggunya. “Cuci muka dulu sana. Gosok gigi, atau mandi sekalian.” Auriga mengusap wajah Lavina menggunakan telapak tangannya, yang bah
Lavina berjongkok sembari menutupi muka dengan kedua telapak tangan, di dekat tempat tidur Auriga. Sementara itu, ruangan tersebut dipenuhi gelak tawa Auriga yang terdengar renyah dan menggema. Tawa yang bahagia, tapi terdengar seperti ejekan di telinga Lavina yang tengah merasa luar biasa malu usai memperlihatkan tarian girl band Korea di hadapan Auriga. “Lavina, sedang apa di situ? Kemarilah,” ucap Auriga sembari berusaha menghentikan tawanya. “Nggak mau!” Lavina cemberut. “Kenapa, hm?” “Aku malu, tahu! Om pasti ngetawain aku. Aku aneh, ‘kan?” “Hey! Saya tertawa bukan ngetawain kamu karena aneh.” Auriga menghela napas panjang dan tawanya benar-benar berhenti. “Tapi… saya benar-benar bahagia sekarang. Kamu sudah berhasil menghibur saya.” Lavina mengerjap. Ia menurunkan kedua tangannya dari wajah dan terdiam. Namun, rasanya ia belum berani bersitatap dengan pria itu karena rasa malu yang masih menghantuinya. “Kenapa masih diam? Ayo ke sini,” pinta Auriga lagi. “Nggak mau!” Sa
“Om, aku mau ke kampus hari ini,” kata Lavina setelah menaruh piring kotor di wastafel. Auriga—yang sudah pulang ke rumah kemarin siang setelah dua hari dirawat di rumah sakit, memasukkan sepotong melon ke mulutnya di meja makan. “Jam berapa?” Lavina melirik jam dinding sejenak. “Sekitar jam sepuluh.” Auriga hanya mengangguk mengiakan. Kemudian ia menyuapi Aurora dengan potongan melon tersebut dan mengajak anak itu mengobrol. Aurora sudah berpakaian rapi dan siap pergi ke sekolah. Sambil mendengarkan obrolan ayah dan anak itu yang membahas tentang keseruan Aurora di sekolah, Lavina memasukkan bekal makanan dan minum ke dalam tas Aurora, dan memastikan tidak ada peralatan sekolah yang tertinggal. Setelah itu ia menyerahkan tas tersebut pada anak itu, lalu mengantarnya sampai ke depan rumah. Sebelum pergi, anak yang memakai rok biru dan kemeja kotak-kotak berdasi kupu-kupu itu mengecup kedua pipi Lavina. Rambut panjangnya dikepang dua di bagian atas kiri dan kanan, itu model rambu
Setelah mengantar Lavina, Auriga langsung menuju sekolah Aurora yang berlawanan arah dengan universitas itu. Ia tiba di sekolah pukul 11.20. Telat lima menit dari waktu kepulangan karena melewati beberapa titik kemacetan. Saat akan turun, Auriga tiba-tiba terdiam ketika sesuatu terjatuh dari saku celananya saat ia memasukkan ponsel. Itu kertas yang bertuliskan nomor telepon Flora. Sampai saat ini Auriga masih belum memutuskan untuk menelepon wanita itu atau tidak. Ia masih bimbang. Auriga menghela napas beras, kemudian turun dari mobil, melangkah lebar-lebar menuju kelas Aurora. Anak-anak yang belum dijemput terlihat sedang bermain di area permainan outdoor dan lapangan. Suara gelak tawa dan teriakan terdengar saling beradu. “Permisi, Bu, Aurora di mana, ya?” tanya Auriga pada guru kelas Aurora, ketika ia tidak melihat anak itu di dalam kelas. “Selamat siang, Pak. Oh? Aurora? Dia lagi main di sana.” Wanita itu menunjuk permainan spiral yang dicat warna warni. Auriga mengikuti ar
“Om Auriga?!” pekik Lavina dengan perasaan terkejut ketika ia melihat siapa yang barusan menariknya dan memeluk pinggangnya. “Kalau jalan sendirian itu jangan melamun.” Auriga berdecak lidah dan menyentil dahi Lavina. “Gimana kalau tiba-tiba ada orang jahat? Karena kamu melamun jadi nggak bisa melawan atau bahkan lari.” Mendengar omelan Auriga yang berekpresi datar itu, Lavina hanya meringis kecil. “Salah Om sendiri.” Alis Auriga terangkat. “Kenapa saya yang disalahin?” “Iya, kenapa Om tiba-tiba pergi dari restoran?” gerutu Lavina tak mau kalah. “Jadinya aku mikir sambil jalan, Om di mana dan langsung pergi ke mana seudah dari restoran itu.” Satu sudut bibir Auriga terangkat, wajahnya sedikit menunduk untuk menatap manik mata Lavina. “Jadi, kamu melamun karena mikirin saya?” Lavina berdehem dan membuang muka. “Mau menyangkal, tapi aku kepalang jujur,” gumamnya, yang membuat Auriga mengeluarkan suara setengah mendengus dan setengah tertawa. Pada saat yang sama terlihat seseorang
Semenjak pertemuannya dengan Flora di Soul Café tadi siang, hati Auriga benar-benar terasa kacau.Rasa sakit dan rindu seakan terus menghantam jiwanya. Bayangan masa lalu ketika ia dan Flora menjalani hari-hari penuh kebahagiaan saling berkelebat di dalam kepala.Lalu, rasa sakit itu semakin menjadi ketika ia teringat bagaimana Flora meninggalkannya dan Aurora demi lelaki lain tanpa alasan.Dan setelah bertahun-tahun pergi tanpa kabar, perempuan itu tiba-tiba datang dan memberi penjelasan tentang alasan ia meninggalkannya.Jadi… semua itu karena Billy mengancamnya?Auriga mengembuskan napas dengan berat. Ia hapal betul siapa Billy. Pria itu adalah pewaris tunggal perusahaan keluarganya. Sejak dulu, Billy memang menginginkan Flora dan Billy tidak pernah menyerah untuk terus mengejarnya meski sudah menikah dengan Auriga.Namun, Auriga tidak menyangka Billy akan menggunakan kekuasaannya untuk mengambil Flora darinya.Mengingat hal itu pikiran Auriga semakin terasa penuh, ia tidak fokus s
Napas Auriga tersengal-sengal, ia mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Lavina yang tampak berantakan dan dibanjiri peluh. Bibir Auriga menyunggingkan senyuman puas.“Terima kasih,” bisik Auriga, lalu menunduk dan menghadiahi kecupan hangat di kening Lavina, cukup lama.Setelah itu Auriga berbaring di samping Lavina seraya menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukannya. “Saya ngantuk. Bangunin saya satu jam lagi, setelah itu kita pulang.”Lavina menyembunyikan wajah di dada Auriga. Pipinya terasa panas. Ia masih berusaha mengatur napasnya dan debaran jantungnya yang tak beraturan.Kemudian matanya mengerjap-ngerjap, seakan-akan sedang berusaha menyadarkan diri sendiri untuk segera kembali pada kenyataan. Sebab, Lavina merasa, barusan ia sedang berada di alam mimpi saat Auriga membawanya terbang tinggi, hingga kaki Lavina rasanya tidak menapaki bumi.Lavina lantas menggigit bibirnya sendiri dan meringis malu, ketika teringat bahwa saat mereka bercinta mulutnya benar-benar tidak bisa
Mulut Lavina ternganga, matanya melongo, tapi cepat-cepat ia mengatupkan bibirnya dan menelan saliva dengan susah payah.Di hadapannya ada seorang wanita yang memakai kacamata dengan bingkai hitam, sedang menulis pada layar iPad. Rambutnya pendek sebahu, garis rahangnya tegas, penampilannya formal dengan blazer dan rok span. Kalau bicara nadanya tegas. Tatapan tajamnya membuat Lavina selalu merasa tegang. Usia wanita itu mungkin sekitar 40 tahunan.Dia benar-benar menyeramkan di mata Lavina.“Kenapa bengong? Cepat hapalkan!”Perintah tegas yang diiringi pukulan pelan di meja, membuat Lavina seketika terperanjat. Buru-buru Lavina mengangguk dan fokus pada layar iPad-nya yang menampilkan sederet tulisan hangul.“Saya nggak suka murid yang malas-malasan!”Lavina mendongak dan berkata, “Tapi saya nggak malas-malasan kok, Bu, dari tadi juga dihapal kok kosa ka—Oke! Oke! Saya diam.” Dengan sigap, Lavina kembali menunduk sambil komat-kamit menghapal kosa kata baru saat ia mendapat tatapan ki
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.“Love, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?”Lavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.“Mas, bikin kaget aja, deh,” gerutu Lavina dengan bibir merengut.“Memangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?”Lavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.“Mikirin apa memangnya, hm?” tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.“Bagi saya masa lalu sudah selesai,” ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. “Empat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarin… semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.“Sialan,” desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.“Aku sayang kamu, Lav,” bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab