âSudah berapa lama kamu diperlakukan seperti ini?ââHuh? Maksud Om?âAuriga menempelkan handuk hangat itu ke sudut bibir Lavina yang berdarah, yang membuat Lavina seketika membeku.âMaksud saya, sejak kapan mereka memperlakukanmu dengan nggak baik seperti tadi?â ulang Auriga, memperjelas maksud dari pertanyaannya barusan.Lavina diam cukup lama. Perasaannya saat ini terasa campur aduk. Sikap Auriga yang tiba-tiba perhatian seperti ini membuat Lavina mendadak linglung.âKalau nggak mau cerita, ya sudah. Saya nggak memaksa.â Nada suara Auriga terdengar sedikit jengkel.âSejak Ayah meninggal,â timpal Lavina dengan cepat. âEnam tahun yang lalu.âPupil Auriga melebar. âDan selama itu kamu diam saja?ââNggak. Aku selalu melawan. Makanya aku sama Kak Resa sering bertengkar dan adu fisik kayak tadi.â Lavina membuang napas, ia meringis saat Auriga menempelkan handuk hangat lagi di sudut bibirnya yang mulai terasa agak nyeri. âMama cuma bersikap baik kalau di depan Ayah saja. Saat Ayah pergi ke
Lavina sedang membahas tugas yang diberikan dosen. Karena Juna mahasiswa berpengalaman di semester sebelumnya, ia meminta tolong pada lelaki itu untuk berdiskusi dengannya.Saat sedang asyik mencatat jawaban, seseorang tiba-tiba menarik kursi di hadapan mereka dan Lavina merasakan dirinya langsung ditatap oleh orang yang baru saja duduk itu.Lavina mendongak, matanya seketika membelalak. âNgapain Om di sini?â tanya Lavina tanpa suara, hanya bibirnya saja yang komat-kamit.Juna pun terkejut melihat keberadaan Auriga di hadapan mereka. Ia berdehem pelan dan sedikit menggeser tubuhnya agak menjauhi Lavina.âSaya mau jemput kamu, Aurora rewel.âMata Lavina mengerjap. âKalau memang Aurora rewel, kenapa Om repot-repot datang ke sini? Kan bisa di chat aja.âAuriga membuang napas pelan. âKamu nggak percaya sama saya?ââPercaya kalau ada bukti.â Lavina ingat ketika mereka sedang di Korea, Auriga pun menggunakan alasan yang sama ketika ia sedang asyik menghabiskan waktu di sauna bersama Young S
âTapi dalam perjanjian kita nggak ada poin yang melarang kita untuk saling menyentuh,â timpal Auriga, âitu hanya ucapan saya saja, nggak disepakati secara resmi.ââAPA?!â Mata Lavina tiba-tiba membelalak. âItu nggak adil dong, Om!â serunya, kesal.Auriga menanggapinya dengan senyuman samar. âMakanya, dulu saya sudah kasih kesempatan untuk menambahkan poin apa saja yang sekiranya kamu mau cantumkan di surat perjanjian. Tapi kamu cuma iya-iya aja.âLavina ingin protes lagi, tapi ucapan Auriga benar adanya. Itu kesalahan Lavina sendiri karena tidak mencamtumkan poin tersebut dalam perjanjian.Saking kesal, Lavina meneguk minumannya dengan cepat. Hingga tanpa Lavina sadari, ada sisa minuman yang menempel di bibir atasnya.âJadi, jangan marah lagi. Saya sama sekali nggak menganggap kamu sebagai Flora,â lanjut Auriga sembari menoleh pada Lavina, lalu, detik itu juga ia menelan saliva, matanya sedikit melebar menatap bibir Lavina yang terlihatâĶ menggoda.Mobil berhenti di lampu merah, tanpa
Lavina merasakan tubuhnya seperti terpenjara saat ia terbangun pagi ini. Begitu matanya terbuka, Lavina terkesiap karena pemandangan yang pertama ia lihat adalah wajah Auriga, yang jaraknya begitu dekat dengannya. Bahkan, Lavina bisa merasakan napas hangat Auriga yang menerpa wajah.Kenapa dia bisa ada di sini? Ke mana Aurora? Terus kenapa orang ini bisa memelukku seperti ini?! batin Lavina dengan perasaan waspada sekaligus kebingungan.Lavina kesulitan melepaskan diri dari pelukan Auriga, karena pria itu menguncinya sangat erat.Alhasil, Lavina memilih untuk diam saja sembari memandangi paras Auriga yang ternyataâĶ memesona.Lavina tidak mau mengakui itu, akan tetapiâĶ ia juga tidak bisa membohongi diri bahwa Auriga memang tampan. Kali ini Auriga mencukur habis cambangnya, yang membuat wajahnya tampak jauh lebih muda dan ada warna hijau kebiruan samar-samar pada bekas tumbuhnya rambut itu.Saat Lavina tengah memandangi wajah Auriga, tiba-tiba, kelopak mata pria itu perlahan terbuka.La
Suasana di dalam mobil mendadak terasa canggung. Beruntung ada anak kecil yang tidak tahu menahu yang duduk di tengah-tengah mereka, yang membuat ramai seisi mobil dengan celotehannya.Sesekali, Auriga melirik Lavina. Namun, saat pandangan mereka bertemu, Lavina langsung membuang muka dengan ekspresi muram.Saat mobil berhenti di lampu merah, Lavina terkesiap dan buru-buru menutupi mata Aurora menggunakan tangannya. Anak ini tidak boleh melihat adegan seorang pria dan dua wanita di trotoar yang sedang bertengkar.Si wanita berpakaian rapi dan sopan menampar wanita yang berpakaian seksi. Sementara si pria, tampak kebingungan sambil berusaha menenangkan wanita yang berpakaian rapi itu.âSepertinya laki-laki itu ketahuan selingkuh sama istrinya,â celetuk Auriga.âIya, aku rasa begitu.â Lavina mendengus, lalu bergumam pelan, âJaman sekarang, makin banyak aja laki-laki yang nggak merasa puas dengan satu wanita. Apa mereka pikir perbuatannya itu nggak bakal berimbas pada anak-anak mereka? G
Kenyataannya tidak bisa.Auriga tidak bisa untuk berhenti penasaran. Semakin keras ia berusaha melupakan, semakin besar pula keinginannya untuk kembali mereguk rasa manis dari bibir gadis itu. Beberapa hari ini ia selalu uring-uringan tak jelas.Auriga mencoba melupakan apa yang ia lakukan pada Lavina di lorong rumahnya pada hari keberangkatannya ke bandara, sepuluh hari yang lalu, dengan melampiaskannya kepada wanita lain. Namun, tak pernah ada yang berhasil membuat Auriga lupa akan sosok Lavina.Dia bergairah ketika membayangkan gadis itu, tapi setiap kali ia membuka mata dan menyadari wanita yang tengah ia sentuh bukanlah Lavina, gairah Auriga mendadak lenyap. Bagai api yang membara diguyur air dari langit.Sial!Ada apa dengan dirinya?Auriga mendengus. Ia berhenti mondar-mandir di kamar apartemennya, pandangannya bergeser ke arah jam digital di nakas. Baru pukul enam sore, itu artinya di Indonesia masih pukul dua.Auriga menyeret langkah menuju ruang tengah untuk mengambil ponsel
Lavina sedang menyembunyikan perasaan waswasnya ketika ia mendengarkan penjelasan Juna. Otaknya tidak benar-benar bekerja. Sebab ia kepikiran dengan ancaman Auriga sewaktu di bandara kala itu. Auriga akan memindahkan kuliahnya ke universitas swasta lainnya, jika Lavina kedapatan dekat-dekat dengan Juna.Sebenarnya, Lavina tidak mengerti, apa alasan yang membuat Auriga mengancamnya dengan ancaman mengerikan itu?Memangnya kenapa kalau aku dekat sama Juna? batin Lavina sembari memperhatikan layar laptop milik Juna dengan tatapan tidak fokus.âSelamat siang.âSapaan itu membuyarkan lamunan Lavina, ia mendongak, seketika itu juga matanya terbelalak melihat kembaran suaminya sedang berdiri di dekat meja sambil tersenyum.âK-Kak Archer,â gumam Lavina dengan tatapan tak percaya. Ia berdiri dan balas menyapa sembari tersenyum lebar, âOh, selamat siang, Kak. Ngomong-ngomong Kakak sedang apa di sini? Lagi meeting sama klien Kakak, ya? Kok bisa kebetulan ketemu? Ternyata dunia ini benar-benar ke
Lavina duduk dengan gelisah di kursi tunggu yang terletak di luar pintu masuk Unit Gawat Darurat. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, dan matanya tidak pernah berhenti memandang pintu masuk UGD dengan harap-harap cemas.Keringat dingin mengalir di jidatnya, dan tangannya gemetar ketika mencoba menenangkan diri sendiri. Meskipun pintu UGD hanya beberapa langkah dari tempat duduknya, rasa tidak bisa bergerak membuatnya merasa seperti berada di dunia yang berbeda.Lavina memaksa tangannya yang gemetar untuk menelepon Auriga, akan tetapi nomor pria itu masih belum aktif. Akhirnya ia mengetik pesan pada Auriga untuk mengabarkan kondisi Aurora, berkali-kali Lavina harus mengulang tulisannya yang typo akibat jarinya yang bergetar.Saat pintu UGD akhirnya terbuka, ia melihat seorang dokter keluar dan menghampirinya dengan senyum di wajahnya. Senyum itu membawa sedikit ketenangan ke dalam hati Lavina.âDokter, bagaimana kondisi anak saya?â tanya Lavina saat dokter sudah berdiri di hadapannya.âKam
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.âSayang, gimana latihannya?ââEmâĶ kayak biasa aja, Dad.â Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. âNggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.ââKenapa dia ikut kamu ke sini?ââFarel?ââIya.ââFarel cuma mau lihat aku latihan, Dad.ââMemangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?ââDaddyâĶ.â Aurora merotasi matanya dengan malas. âDaddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.âAuriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.âLoveâĶ.ââHm?â Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.âKenapa, Mas?â tanya Lavina kemudian.âKamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Floraâsetelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.âMamaâĶ MamaâĶ.âCelotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
âCapt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.âAuriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredyâcopilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.âAku tahu.â Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.âPantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.â Fredy tersenyum kecil. âMelihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.âAuriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. âBegitulah,â jawabnya sambil terkekeh. âDia sangat istimewa.âPada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.âLove, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?â Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.âSejak hari ini,â jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.âKamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.ââMasa?âIya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.âKamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.âMata Lavina merotasi matanya denga
Sore harinya, Auriga kembali ke kamar setelah pulang dari mini market untuk membeli makanan ringan pesanan Lavina dan Aurora.Begitu memasuki kamar, ia melihat Lavina sedang mondar mandir di tengah ruangan sambil menggigit kuku ibu jarinya.âLove, aku pulang. Camilannya mau dimakan sekarang?âLavina tidak menjawab, dan ia masih asyik dengan pikirannya sendiri sambil terus mondar-mandir.Auriga merasa kebingungan, apa yang sedang Lavina pikirkan sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangannya? Setelah menaruh kantong belanjaan di meja, Auriga lantas mendekati Lavina dan memeluk pinggangnya, yang membuat Lavina terkesiap dan membulatkan mata saat menatap Auriga.âMas, bikin kaget aja, deh,â gerutu Lavina dengan bibir merengut.âMemangnya kamu nggak dengar suaraku barusan dan nggak sadar aku datang?âLavina menggeleng. Ia sempat menahan napas saat Auriga mendaratkan ciuman lembut di bibirnya.âMikirin apa memangnya, hm?â tanya Auirga setelah menjauhkan wajahnya dan menatap manik mata La
Ah, itu. Auriga mengusap wajahnya sambil terkekeh pelan. Ia sama sekali tidak ingat dengan kejadian itu. Sungguh.Selain karena sudah berlalu begitu lama dan terlalu banyak wanita yang pernah menghabiskan malam dengannya, Auriga juga tidak pernah mengingat-ingat apa yang telah ia lakukan bersama mereka. Urusan mereka telah selesai ketika pagi menjelang.âBagi saya masa lalu sudah selesai,â ucap Auriga sambil tetap memegangi Samudra yang berkecipak di dalam air. âEmpat tahun yang lalu, satu tahun yang lalu, bahkan kemarinâĶ semuanya sudah selesai. Kita nggak perlu membuka lagi apa yang sudah kita tutup. Kamu pasti mengerti maksud saya."Hanya itu yang Auriga ucapkan, yang membuat wanita cantik itu melongo dan kemudian ekspresi wajahnya berubah jengkel dan memerah.âSialan,â desis wanita itu, sebelum akhirnya meninggalkan Auriga dan keluar dari kolam renang.Wanita yang tadi sempat memuji Samudra terheran-heran melihat wanita itu tiba-tiba berwajah muran. Lalu ia menyusul temannya itu ya
Cantik.Hanya satu kata itu yang terlintas di pikiran Auriga, ketika ia membuka mata dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah wajah Lavina, yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari wajahnya.Auriga mengulum senyum. Jemarinya terulur, menyingkirkan helaian rambut dari dahi wanita yang berpenampilan polos itu.Setiap pagi, ketika membuka mata, Auriga selalu disambut dengan kehadiran Lavina di sisinya. Sehingga tidak ada alasan bagi Auriga untuk tidak semangat menjalani hari.âAku sayang kamu, Lav,â bisik Auriga sebelum mendaratkan kecupan di pipi Lavina dengan mesra.Perlahan ia bangkit dari tidur dan membetulkan letak selimut Lavina. Udara dingin dari AC pasti membuat Lavina kedinginan, tubuhnya masih polos setelah mereka menghabiskan malam yang sangat panjang dengan panas dan mesra.Bel yang berbunyi berkali-kali membuat Auriga buru-buru melompat dari tempat tidur. Ia memunguti pakaiannya yang tergeletak di lantai dan sofa setelah semalam ia melemparkannya dengan tak sab