"Permisi!" seru seseorang yang sedari tadi menunggu Gibran keluar.
Alleta meliriknya sebentar, kemudian saling tatap dengan Gibran.
Gibran seperti bertanya dengan isyarat alisnya di angkat. Kemudian, Alleta mengendikkan bahunya tidak tahu.
"Maaf, Tuan, dan Nona! Saya mengganggu kebahagiaan kalian," ucapnya sembari menunduk hormat.
Gibran, dan Alleta hanya diam. Kemudian Alleta berpindah kesamping Gibran.
Orang itu tersenyum sekilas, kemudian menyodorkan tangannya kehadapan Gibran.
"Perkenalkan, saya Pasih!" katanya memperkenalkan dirinya sendiri.
Gibran menunduk sebentar. Kemudian ia membalas uluran tangannya, "Gibran!"
"Boleh minta waktunya sebentar?" pintanya dengan sangat sopan.
Gibran merenung sebentar, dan menoleh pada pacarnya. Alleta!
Gibran meminta jawaban padanya.
Alleta mengangguk.
"Boleh!" jawab Gibran.
"Kalo gitu, kita ngobrolnya di cafe depan saja, gimana? Supaya bisa leluasa bicaranya?" usul Pasih.
Gibran mengiyakan. Mereka langsung pergi meninggalkan tempat yang sangat menegangkan bagi peserta yang belum seleksi.
"Silahkan!" katanya mempersilahkan Gibran, dan Alleta untuk duduk.
Mereka mengangguk, lalu menaruk kursi mereka masing-masing untuk duduk.
"Mau pesan minuman dulu, atau makanan?" tawarnya manis.
Gibran menggeleng, "Gak usah, Pak!" tolaknya.
"Secangkir kopi! Gimana?" tanyanya memaksa Gibran untuk memesan minuman terlebih dahulu sebelum memulai percakapan.
"Saya tidak ngopi, Pak!" jelas Gibran.
"Oh. Maaf, ya!"
"Gak papa," jawab Gibran sembari tersenyum, "Kalo boleh tahu, Bapak ada perlu apa, ya sama kami?" tanya Gibran tidak mau banyak basa-basi.
"Langsung aja, ya!"
Gibran mengangguk.
"Aku utusan dari sebuah Cafe expresso, dan ingin mencari seorang penyanyi."
"Maksudnya?" tanya Gibran tidak paham.
Alleta menyenggol bahu Gibran sedikit lebih keras.
"Apa?" tanyanya sweet.
"Gini, ya Gibran!" serunya luwes, "Eh, gak papakan aku manggil nama saja?" tanyanya merasa tidak enak.
"Slow aja. Aku mah mau di panggil apapun terserah yang mau manggil," jelas Gibran dengan sangat santai.
"Bisa aja," ucapnya menjeda, "Gini! Kan Cafe kami lagi membutuhkan seorang penyanyi. Gimana kalo kamu yang ngisi?" tawarnya langsung.
"Nyanyi di Cafe?" tanyanya tidak percaya.
Pasih mengangguk secara berulang-ulang.
"Hunny! Gimana? Apa aku terima tawaran ini?" tanyanya pada Alleta sang pacar.
Alleta mengendikkan bahunya sedikit, "Aku tidak tahu, Bunny! Itu terserah kamu saja."
"Aku sudah dengar tadi thalenta kamu bernyanyi. Itu sangat luar biasa," katanya memuji suara Gibran.
"Terimakasih, Pak!" jawab Gibran seraua menundukkan kepalanya.
"Ya. Bayarannya lumayan, kok. Cukuplah untuk keperluanmu sehari-sehari," tambahnya mengiming-imingi gaji yang akan di dapat.
"Bukan soal itu," kilah Gibran.
Pasih menatapnya menyelidik ingin penjelasan.
"Gini. Yang pertama aku masih kuliah," jelasnya.
"Ya. Terus?"
"Yang kedua setelah pulang kuliah, aku harus membantu keluargaku bercocok tanam," jelasnya lagi.
"Hm, lagi!"
"Yang ketiga aku masih belum banyak tahu lagu-lagunya, he...."
"Astaga, ini mah bisa di atur. Seiring berjalannya waktu, kamu juga pasti akan tahu dengan terus menghapal satu persatu lagunya," katanya panjang.
"Bukan hanya itu, aku juga, kan punya kesibukkan tersendiri."
"Iya, aku paham itu!"
"Hm."
"Gini aja. Aku sudah terlanjur takjub sama suara merdumu, dan itu bisa kamu asah lagi dengan bernyanyi di Cafe kami," katanya menjeda, "Gimana kalo kamu mengisi kekosongan untuk bernyanyi di malam hari saja," usulnya.
Gibran berpikir terlebih dahulu, "Kira-kira sampai jam berapa. Soalnya aku gak bisa kalo harus sampai larut malam," jelasnya.
"Sampai jam 10!"
Gibran malah menoleh pada Alleta, "Hunny! Gimana? Apa aku ambil aja," tanyanya meminta persetujuan dari pacarnya.
"Aku mah terserah kamu aja, Bunny! Kan yang nyanyi kamu, bukan aku!" jelasnya, dan iya juga.
"Gimana? Mau menerima tawaran ini?"
Gibran berpikir sejenak, "Apa boleh aku meminta waktu untuk memikjrkan inj?"
Pasih mengodok kantung jas yang ia pakai. Kemudian ia mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari sakunya, lalu ia letakkan di atas meja.
"Kalo kamu terima, ini sebagai uang mukanya."
"Em, gimana, ya! Bukannya aku tidak mau. Tapi...."
"Tenang aja, Cafe kami akan mengijinkan kamu cuti jika memang waktunya lagi mepet-mepet banget,"
"Em..."
"Gimana? Soal bayaran perbulannya, kami tidak akan ingkar janji juga akan tepat waktu," jelasnya lagi.
"Hunny!" seru Gibran lagi.
"Kalo kamu mau, kamu ambil aja. Tapi kalo kamu ragu, gak papa. Kamu abaikan saja," usul Alleta.
"Aku mohon, terima penawaran ini," pintanya dengan wajah memohon.
Hhh......
Gibran menghela napasnya sebentar, "Baiklah aku terima. Tapi jika aku ingin libur, mau mepet atau enggak. Kalian harus menyetujui," pinta Gibran.
Pasih terlihat berpikir.
"Gimana?" tanya Gibran dengan raut wajah mencari tahu.
"Ya. Itu bisa di atur," jawabnya.
Mereka berdua saling menjabat tangan, sepakat.
"Besok kamu mulai masuk bekerja. Jangan hawatir soal pakaian. Kami udah siapkan untukmu setiap malamnya."
Gibran mengangguk paham.
Kemudian Pasih pamit, dan pergi meninggalkan mereka denga wajah yang berseri-seri.
"Hunny! Apa tidak apa-apa aku menerima pekerjaan ini?" tannyanya pada Alleta.
"Coba aja dulu. Kalo nyaman, kamu lanjutin!"
"Gimana dengan audisi selanjutnya?" tanya Gibran bingung.
"Emangnya kapan?"
"Em, seminggu lagi katanya."
"Lumayan ada waktu biat kamu belajar banyak lagu."
"Bukan soal lagu, Hunny!"
"Teruss?"
"Gimana kalo aku lagi kerja, dan aku di panggil?"
"Bukannya tadi kalian udah sepakat tentang hal ini," kata Alleta bingung.
"Iya, sih! Tapi aku takut dikatain gak propesional," kilahnya.
"Gak papa, ini semua kan demi mewujudkan cita-citamu, harus ada pengorbanannya."
"Hm.."
"Kecaman-kecaman orang itu jadikan sebagai potensi semangat kamu. Jangan di ambil hati."
"Makasih, Hunny! Kamu selalu ada buatku," kata Gibran seraya menyenderkan kepalanya pada bahu Alleta.
"Semoga sukses, dan bisa mencapai cita-citamu setinggi langit," dukung Alleta menyemangati.
"Amiiinnn. Aku juga do'akan kamu supaya bisa cepat-cepat menikah denganku," katanya malah merayu.
"Bunny!"
"Ya, Hunny! Kamu terharu, ya?" tanyanya dengan wajah pupy eyesnya.
"Iya, aku terharu. Terharu sampai aku ingin memakan meja ini," jawabnya sembari menggoyang-goyangkan meja yang di hadapannya.
"Masa, sih! Hunny?"
Ck.....
Alleta berdecak. Ia malas kalo sudah berdrama kaya gini. Mereka seperti pasangan idiot saja.
"Aku serius, Hunny! Semoga aku di gampangkan rejekinya, dan bisa cepat-cepat melamar kamu untuk jadi pendampingku untuk selamanya," kata Gibran mulai serius dengan topik pembicaraan mereka.
"Amiiinnnn, aku aminkan doamu, Bunny!"
"Harus. Kamu harus meng-aminkan do'a kita,"
"Kita?"
"Iya. Inikan untuk kita, he..."
"He..."
Mereka malah saling lempar senyum unjuk gigi mereka masing-masing.
"Pulang?" tanya Gibran sembari berdiri.
Alleta mengangguk. Sebelum bangun, Alleta menyampirkan terlebih dahulu tali tasnya ke bahu.
"Yok!" jawabnya sembari berdiri, dan merapihkan terlebih dahulu pakaiannya.
Gibran menolakkan sebelah tangannya di pinggang, dan Alleta sambut dengan mengaitkan tangannya pada lingkaran lubang tangan Gibran.
Sembari berjalan keluar, mereka terus bercakapa-cakap soal masa depan, harapan, juga keinginan Gibran bersama Alleta kelak.
"Hunny! Apa aku akan berhasil meraih cita-citaku?"
Alleta menghentikkan langkah kakinya, "Kamu harus yakin. Katanya mau melamar aku."
"He... iya deh, iya. Aku yakin! Jika suafu hari nanti, aku akan berhasil!" katanya seperti sedang membaca undang-undang dasar.
"Bunny!" seru Alleta merasa malu jadi tontonan banyak orang.
"Apa? Kurang, ya?" tanyanya.
"Cukup! Itu lebih dari cukup," jawab Alleta berusaha menghentikan aksi pacarnya.
"Ok. Makasih, Hunny! Karna selalu menyemangatiku,"ucapnya sembari mencubit mesra pipi Alleta.
"Aw.. sakit, Bunny!" ringisnya kesal.
"He, kekencengan, ya?" tanyanya merasa bersalah.
"Ke halusan," timpalnya seraya kembali melanjutkan langkah kakinya lebih dulu.
"Hunny! Tungguin, dong!" seru Gibran seraya berjalan cepat menyusul Alleta. Kemudian mensejajarkannya setelah berada dekat dengan Alleta.
"Masa depan cerah menyambut kedatangan kita, Hunny!" serunya sembari menggerakkan tangannya di depan seperti sedang meraba.
Mereka berjalan beriringan menuju kerumah mereka masing-masing dengan Gibran terus meracau membayangkan hidup bersama dengan kebahagiaan.
Ke-esokan harinya, Gibran bangun pagi sekali."Mah! Pah! Aku berangkat kuliah sekarang!" seru Gibran sembari memakai kaos kakinya."Tumben pagi sekali?" tanya Mamahnya."He, hari ini ada janji sama Alleta," jawabnya santai. Dia berdiri, dan bersalaman dengan Mamahnya."Oh. Hati-hati, ya Sayang!" ucap Mamah sembari mengelus pundak Gibran halus.Gibran mengangguk, "Papah masih di dalam?" tanya Gibran sembari celingak-celinguk ke arah kamar."Iya. Katanya gak enak badan," jawab Mamahnya sedih.Gibran dengan cepat berjalan kearah kamar mendengar hal itu. Dia sangat hawatir dengan kondisi Bapaknya."Pak! Bapak sakit apa?" tanya Gibran cemas."Em," gumamnya sembari membukakan mata perlahan, "Gibran! Bapak gak papa, cuma panas dingin biasa," jawabnya.Gibran menatap seluruh tubuh Bapaknya yang masih di tutupi oleh selimut yang bergulung."Kita ke dokter, ya!" ajak Gibran sangat hawatir."Gak usah, Bapak cum
"Jangan malam-malam, ya, Nak! Pulangnya," kata Mamah sembari mengelus kepala Gibran pelan.Gibran mengangguk. Ia sekarang mau berangkat ke Cafe yang sudah menawarinya untuk nyanyi."Salamlikum!" serunya sembari menutup pintu."Kumsalam," jawab Mamah dari dalam.Gibran berangkat menggunakan motor kesayangannya. Motor itu tidak mewah, tapi itu motor dari hasil kerja kerasnya selama ini.Sebelum berangkat, Gibran menelpon pacarnya terlebih dahulu."Halo, Hunny!" seru Gibran saat panggilannya telah di angkat.".....""Iya, Hunny! Ini baru naik ke motor," jawab Gibran sembari tersenyum-senyum.".....""Baik, Hunny!"".....""Amiiinn. Bye Hunny! Sampai bertemu besok, eeeemmmuuuuaaahhh," katanya, dan mencium Hp-nya sendiri.Tutt...Panggilan di matikan setelah obrolan selesai.Brrmmmm....Gibran melajukan motornya membelah jalan yang lumayan padat.Tak lama, Gibran s
Tepat pukul 10:00, Gibran pamit untuk pulang. Ia sudah berjanji untuk pulang tidak terlalu larut malam."Hati-hati, ya!" seru Pasih dari ambang pintu masuk.Gibran dan Alleta menoleh, lalu tersenyum menyapa.Brmmm....Gibran pulang berboncengan."Hunny! Kok kamu bisa dateng, sih! Bukannya Mamah, dan Papah mu tadi gak ngijinin?" tanya Gibran."Em," Alleta memeluk tubuh Gibran hangat, "Tadi siang, iya. Tapi, pas petang, setelah kepulanganmu, mereka kayaknya berpikir lagi, deh!" jawab Alleta."Kok kayaknya?" tanya Gibran."Kan aku gak tahu, Bunny!""Oh, iya, iya," jawabnya, "Terus, gimana?""Ya, Mamah samperin aku kekamar, bilang gini, 'Al! Kalo kamu mau nemenin Gibran, boleh! Asal jangan malem-malem pulangnya', nah, gitu," jawab Alleta membuat Gibran gemas."Kayaknya, ada yang ngambek, nih?" ucap Gibran meledek."Ih, siapa yang ngambek?""Kamu lah, makannya Mamah berpikir kembali, lalu iji
Keesokan paginya, Gibran terbangun dan sudah mendapati Hpnya berantakan di atas lantai. "Astaga! Aku lupa, kalo semalam aku lagi main Handphone." Gibran langsung mengambil Hp tersebut dan memasangkan semuanya kembali. Hhh... Gibran mengehela napas pelan. Kemudian ia berjalan menuju sebuah kabel yang tergantung. Ia mencolokkan satu kabel ke sisi Handphone yang berlubang. "Sampe nge-drop begini," gumamnya dan membiarkan Handphone terisi daya. "Mah!" seru Gibran keluar dari dalam kamar. "Apa, Nak!" jawabnya dari arah dapur. "Mamah lagi masak apa?" tanya Gibran setelah berada di dapur, dan duduk di kursi meja makan. "Masak orek tempe, kangkung, dan yah! Seperti biasa. Hasil berkebun kemarin!" jawabnya dengan terus membolak balik masakan. "Oh. Maaf, ya, Mah! Aku, akhir-akhir ini gak bantuin Mamah!" kata Gibran merasa bersalah. Mamah menoleh sebentar, "Gak papa. Mamah'kan ada yang bantuin juga," jawabn
Setibanya di kampus, Gibran langsung memarkirkan kendaraannya di halaman kampus.Mereka terburu-buru turun dan berlari menghindari gerimis yang makin lebat."Hunny!" seru Gibran dan mendekati Alleta.Mereka berteduh di depan teras kampus."Biar aku yang bukain," kata Gibran.Alleta hanya tersenyum manis.Gibran langsung membuka res-sleting yang terpasang dan membuka jas yang di pakai oleh Alleta."Ini biar aku saja," ucap Alleta sembari memegang jas celana yang ia pakai.Gibran mendongak, lalu menyunggingkan bibirnya sebelah, "Aku gak bakal apa-apain kamu, kok," ucapnya menggoda Alleta."Hish!"Alleta mendelikkan matanya sebal.Setelah itu, Gibran dan Alleta berjalan bersama menuju kelas."Hunny! Kok sepi, ya?" ucapnya.Alleta celingukan, "Iya, ya. Kok sepi, sih!" timpalnya."Jangan, jangan,""Ah. Kita terlambat, Bunny!"Terlihat jelas raut wajah Alleta menjadi lemas tak b
Hai para reader yang baik dan ramah. Salam kenal semua. Saya, Rhaniie. Sering dipanggil (Dede). Itu panggilan kesayangan dari keluargaku. Hi.... Aku hanya ingin menyampaikan, ini ceritaku yang kedua disini. Jangan lupa kasih dukungannya, ya. Dengan cara : Rate! Kalo boleh, bintang lima, ya. Hihi... Vote! Berapapun seikhlas kalian. Coment! Comen apapun terserah, ya. Yang penting itu benar kenyataannya. Apalagi kalo memberikan krisar. Makasih banget. Jangan lupa! Masukan juga ke pustaka kalian. OK! Semoga cerita ini bisa menghibur kalian semua. Mengambil hikmah didalamnya, dan.... Semoga kalian diberi kesehatan selalu, panjang umur, dan di gampangkan rezekinya. Sukses semua! Makasih! Sarangheo! Salam hangat dan cinta sebanyak-banyaknya. From : Istri halunya Mas Tae. &n
Gibran dan Alleta berjalan menuju ke salah satu bangku paling pojok.Serettt…Gibran menarik sebuah kursi untuk Alleta duduki."Silahkan!" seru Gibran manis kemudian ia ikut duduk sebentar."Mau pesan apa?" tanya Gibran."Em, sepertinya bakso enak, Bunny!" ucapnya bersemangat."Pasti! Apalagi dengan cuaca yang kayak gini," tambah Gibran."Ok. Kalo gitu, aku pesan bakso aja!""Siap. Tunggu sebentar, ya?"Alleta mengangguk pelan dan Gibran langsung berdiri, melangkah menuju tempat memesan makanan.
Tak lama, suara gemuruh Mahasiswa/i yang akan pada makan di kantin kampus mulai berdatangan."Eh, ada Gibran!" seru seorang wanita tepat di samping Alleta.Gibran tersenyum menanggapinya."Gak nge las?" tanyanya.Gibran menggelengkan kepalanya, "Kita kesiangan," jawabnya."Kenapa? Pasti gara-gara jemput dia dulu, ya, kan?" tuduhnya sambil melirik Alleta sekilas.Hhhh….Alleta mendengus sebal.Gibran melihatnya jadi merasa lucu, "Enggak, kok. Karena tadi hujan lumayan deras, jadi kita neduh sebentar," jawab Gibran dengan tatapan terus fokus pada Alleta yang juga menatapnya.
Gibran menghentikan motornya di sebuah tempat sepi. Dia kemudian turun dan diikuti oleh Aletta di belakangnya."Bunny!" Aletta sedikit mempercepat langkahnya, menyusul Gibran yang tidak sedikitpun menghiraukan dirinya."Bunny!" panggilnya lagi saat sudah berada di dekat dengannya.Gibran menoleh, namun dengan raut wajah yang datar. Membuat hati Aletta sakit melihatnya."Maafkan aku, Honey. Aku lupa kalau kita masih pacaran. Belum melangkah jauh ke jenjang yang lebih serius," ucapnya datar.Aletta hanya diam mendengarkan."Entah apa yang tengah aku pikirkan… sampai-sampai aku meminta hal itu!
Gibran melajukan motornya, membelalah jalan kota yang cukup lenggan, karena hari ini sudah begitu larut dan bukan weekend. Jadi, jalanan cukup sepi.Dipertengahan perjalanan pulang, dia menghentikan motornya tepat di tempat sepi.Membuat Aletta sedikit gelisah. Dia berdiam diri di atas motor tersebut dengan perasaan was-was.Walau ia tahu kalau Gibran tidak akan mungkin berbuat seperti itu, namun tetap ada rasa takut di dalam hatinya.Aletta menatap Gibran yang sudah membalikkan tubuhnya menghadap belakang.Bibir ranumnya berhasil menggoda Alwtta yang sama-sama merindukan ciuman tersebut.Gibran te
Gibran mendekatkan wajahnya pada Aletta, sampai dahi mereka menempel sempurna.Aletta tersenyum malu juga grogi. Dia menatap wajah Gibran yang sangat dekat dengannya.Gibran mengedipkan matanya memberi isyarat, dan Aletta memahaminya.Dia segera memejamkan mata, menyambut kedua bibir yang akan menempel pada bibirnya.Semua orang yang menonton adegan tersebut, menganga dengan perasaan yang tidak karuan.Mereka senyap, terdiam seakan seperti sebuah patung, danCup.Gibran mencium bibir Aletta sekilas.
Gibran berdiri di atas sebuah panggung persegi, lengkap dengan alat-alat musik yang nanti akan ia mainkan.Sebuah mic yang berdiri tegak di depannya, ia raih sembari menarik nafas dalam-dalam.…...By: Kangen BandJudul: Yakin Cintamu KudapatLirik:Langkah kakiku semakin sesatSaat dirimu hakimi hatikuNamun kucoba selalu mengalahKulakukan demi cintaAku menunggu dan terus berharap
Gibran memarkirkan motornya di depan sebuah halaman cafe. Kemudian mereka berdua turun dan melangkah masuk ke dalam cafe tersebut."Eh, Gibran!" Seorang Pria berperawakan tinggi berisi menyapanyaGibran tersenyum. Begitupun dengan Aletta."Kebetulan sekali kamu kesini, Gib. Ada acara disini." ucapnya seraya membawa mereka berdua untuk duduk di salah satu kursi yang ada disana."Terimakasih." Mereka duduk berhadapan dengan asistennya Pak Pendra."Bagaimana kabarmu, Gib? Mm … audisinya gimana? Lancar?" tanyanya dengan berpangku tangan diatas meja.Gibran tersenyum manis. "Alhamduli
Gibran termenung di atas motornya. Sudah hampir 20 menit dia disana menunggu kedua orang tuanya, tapi mereka belum juga kelihatan."Aku berangkat aja kali, ya?" gumamnya seraya melirik jam yang melingkar di tangannya."Ah, iya. Aku berangkat aja." Gibran menghela nafas. Kemudian mengirim sebuah pesan pada Aletta, bahwa dia akan berangkat kesana sekarang.Sebelum pergi, Gibran menitip salam terlebih dahulu pada tetangganya, buat ngabarin kedua orang tuanya kalau dia sudah berangkat.Setelah itu, dia baru berangkat menuju rumah Aletta.Sepanjang perjalanan dia terus beriring, menyanyikan sebuah lagu yang akan ia nyanyikan nanti di cafe.
Setelah selesai, mereka membawanya ke dalam, disimpan ditempat yang lembab, biar tidak layu besok pas dijual."Kamu makan duluan. Bapak mau bersihkan badan dulu," ucapnya seraya menyampirkan sebuah handuk di pundaknya.Gibran mengangguk. Dia berjalan menuju dapur, yang dimana ibunya tengah menata semua makanan disana."Bapak mana?" tanyanya sambil menuangkan satu gelas air putih, lalu diberikan pada Gibran."Bapak katanya mau mandi." Gibran menerima gelas tersebut, dan dia teguk sampai tandas isinya."Oo. Kamu makan dulu aja. Ibu mau beresin dulu perabotan," ucapnya seraya berlalu dari sana.Gibran
Gibran membawa Aletta masuk ke dalam resort tersebut. Disana ia memesan beberapa jenis makanan spesial untuk pacarnya.Hampir setengah jam lamanya mereka menunggu, akhirnya makanan tersebut pun tiba dan menaruhnya di atas meja mereka."Waw. Kamu pesan ini semua, Bunny?" Aletta sampe ngiler melihat semua makanan yang menggiurkan di depannya.Gibran mengangguk."Gak sia-sia kita menunggu, Bunny. Selain tatanannya cantik … ini juga sangat lezat," ucapnya setelah mencoba satu potong beef barbeque.Gibran membentangkan bibibrnya menjadi sebuah senyuman. Kemudian meraih satu garpu yang ada di atas meja.
Gibran tersenyum sangat bahagia bisa mendapatkan banyak dukungan dari semua orang-orang yang dekat dengannya. "Terima kasih, ya Allah," batinnya dengan kedua tangan membasuh muka. Aletta melipat kedua tangannya di dada, dan melangkah mendekati Gibran yang tengah berbahagia. "Selamat, ya, Honey. Banyak orang yang berharap padamu," ucapnya seraya mengelus bahu sang pacar ikut berbahagia. Gibran menoleh dan tersenyum padanya. "Semoga aku bisa membanggakan semua orang yang sudah mendukungku." "Amin." Gibran membentangkan senyumannya, lalu mendekap tubuh Aletta, memeluknya sangat erat.