Entar malam ada lagi ya. đ
"Ada apa denganmu?" Gita bertanya pada Eza, begitu wanita itu membuka pintu apartemennya.Hari ini, Gita dan Eza akan mengunjungi dokter kandungan. Karena Eza merasa kurang sehat, dia meminta sang sahabat menjemputnya. Lalu ketika Gita sudah tiba di apartemen ibu hamil itu, Eza terlihat sangat menyedihkan."Semingguan ini, aku mual dan muntah terus." Eza menjawab dengan suara lemah.Baru juga selesai mengatakan hal itu, Eza sudah membekap mulutnya sendiri dengan dua tangan. Perempuan itu segera berlari ke kamar mandi untuk kembali memuntahkan isi perutnya."Parah banget ya?" Gita yang menyusul ke kamar mandi, mencoba membantu Eza dengan memijat tengkuknya.Eza masih sibuk muntah-muntah dan belum bisa menjawab. Sahabatnya itu bahkan tidak kuat berjongkok atau berdiri dan terduduk lemas di lantai toilet."Sudah sarapan?" tanya Gita makin prihatin."Baru saja dimuntahkan," jawab Eza lemas."Kamu gak ngidam sesuatu? Mungkin kalau ikutin ngidammu gak bakal muntah," seru Gita asal saja."H
Eza terus-terusan melirik Gita yang duduk di sebelahnya. Sedari di ruangan dokter, sampai sekarang ketika mobil sudah hampir sampai ke lokasi apartemen Eza, Gita masih tidak berbicara.Satu-satunya yang dikatakan Gita adalah meminta Pak Joko mengantar Eza duluan. Setelah itu Gita diam seperti patung, bahkan posisi duduknya juga tidak berubah seinci pun."Pengen minum jus taro deh, Ta. Mau juga gak?" tanya Eza berusaha mencairkan gletser terbesar di dunia dengan lebel Gita Bramantara."Lagi pengen banget dipeluk sama babang bule deh," lanjut Eza hati-hati.Eza tahu kalau Gita suka jadi koala jika lagi bad mood, makanya menawarkan pelukan. Dia maunya ngomong si baby lagi pengen di peluk, tapi itu jelas tidak mungkin. Mau bilang lagi ngidam dipeluk, tapi itu juga bisa bikin Gita makin bad mood. Sayangnya, segala usaha Eza itu gagal total. Gita bergeming.Sampai di lobi apartemen Eza pun, Gita masih bergeming. Duduk sambil menatap keluar jendela mobil sambil bertopang dagu. Menatap kosong
Alan mengernyit melihat pesan singkat yang dikirimkan istrinya. Terlalu singkat, Alan jadi berpikir dia salah apa sampai Gita marah?[My Queen Bee: nginap, gak boleh jemput.]Kata-kata gak boleh jemput, makin membuat Alan berkerut. Rasanya tadi Gita izin untuk menemani Eza ke dokter kandungan, tapi kenapa sekarang kesannya Gita ngambek?"Apa aku berbuat kesalahan semalam?" bisik Alan sangat pelan."Ada apa Pak?" tanya Jelita dengan bingung."Hah?" Alan melihat ke sekelilingnya. Dia sedang menggantikan Gita untuk bertemu klien untuk BambyStudio.Alan tersenyum canggung. Merasa malu juga kedapatan main ponsel oleh klien. "Maaf," seru Alan sambil menyimpan ponselnya di saku jas.'Mungkin saja kan Gita mau pajama party atau sejenisnya dengan Eza.' Alan berusaha untuk berpikiran positif, walaupun masih sedikit gelisah.Kegelisahan itu makin menjadi ketika Alan tidak kunjung bisa menghubungi Gita. Chat cuma centang satu, ditelepon juga tidak aktif. Dirinya makin gelisah."Astaga, Eza juga ga
"Bagaimana kalau kita pisah saja?"Pertanyaan Gita bagaikan tornado yang memporak-porandakan isi kepala Alan. Bahkan mungkin seluruh hidupnya dan terus terngiang, walau sudah lewat sekian menit.Tiba-tiba saja hatinya menjadi hampa dan tatapannya menjadi kosong. Otak Alan bahkan terasa berhenti berfungsi dan napasnya terhenti sejenak.Alan tidak menginginkan hal ini. Ketika akhirnya orang-orang gila yang mengganggu rumah tangga mereka hilang dan hanya menyisakan Erik, Alan pikir dia akan menjalaninya dengan tenang dan penuh cinta. Tapi Gita meminta pisah? Alan tidak akan pernah mau."Katakan apa salahku? Apa yang kamu tidak sukai dariku? Hm? Aku akan memperbaikinya untukmu." Alan bertanya dengan nada memohon.Gita ingin berbohong dengan mengatakan tidak mencintai Alan lagi, tapi dirinya tidak bisa melakukan itu. Terlebih karena Gita menangkap perubahan ekspresi Alan tadi. Terlihat begitu sengsara dan nelangsa."Itu bukan salahmu," jawab Gita menunduk dalam. Tidak sanggup menatap suam
Gita menatap ponselnya yang baru aktif sore tadi. Hal pertama yang terlihat adalah panggilan tak terjawab dan pesan dari Alan. Begitu banyak, sampai Gita jadi terharu karenanya.Sebagian besar menanyakan tentang keberadaannya. Bahkan ada beberapa pernyataan cinta yang bagi Gita kelewat manis. Membuat Gita mau tidak mau tersenyum saat membacanya. Bahkan Gita sudah membacanya sudah dua kali."Gombal banget sih," bisik Gita pelan saat membaca salah satu pesan itu.[My Iron Man: Bee? I miss you so much.][My Iron Man: Baru beberapa jam gak ada kabar, tapi aku sudah rindu banget sama kamu.][My Iron Man: Bee? I really miss you.][My Iron Man: Bee? Aktifkan ponselnya dong. Aku pengen banget dengar suaramu. Sebentar saja deh. Semenit juga gak masalah kok.]Yeah. Kontak Alan diberi nama My Iron Man di ponsel Gita. Sudah sejak kejadian dengan Tony. Karena menurut Gita, Alan memang terlihay seperti Tony Stark dengan baju baja merahnya saat menolongnya. Tokoh favorit Gita sejak dulu."Gita?" Ame
Alan sudah mengulum senyum sejak tadi Amel muncul menegur mereka. Sudah beberapa menit berlalu, tapi senyuman itu belum mau hilang. Terlebih karena Gita duduk tak jauh darinya dengan wajah cemberut yang menggemaskan.Gita keluar sebentar dan kembali dengan bau harum makanan yang tercium samar. Alan bisa menebak kira-kira apa yang dilakukan istrinya saat keluar tadi.Gita membersihkan tenggorakan dengan cara berdehem. "Kata Bunda kamu belum makan malam ya?"Alan hanya mengangguk sebagai jawabannya. Tadi dia memang sempat meminum segelas kopi dan makan cookies, tapi sama sekali belum menyentuh makanan berat. "Kebetulan aku juga belum makan malam dan membeli ini. Kalau mau kita bisa berbagi." Gita kembali bersuara, masih dengan ekspresi cuek.Tapi, Gita langsung mengumpat dalam hati setelahnya. Dia kan masih ingin ngambek lebih lama, kenapa jadi harus berbagi makanan? Apalagi ini makanan kesukaan Alan."Boleh sekalian diambilkan piring?" tanya Alan dengan senyum iseng. "No problem." Gi
Tidur Gita terganggu dengan sesuatu yang basah dan terus-terusan menempel di nyaris seluruh sisi wajahnya secara bertubi-tubi. "Als?" bisik Gita dengan suara parau."Good morning, Queen," balas Alan dengan suara lembut dan kecupan basah yang makin banyak."Stop that, Als." Gita mendorong wajah suaminya agar menjauh. "Kamu pasti belum sikat gigi kan dari semalam?""Emang kamu udah?" tanya Alan santai saja."Udah. Aku sempat terbangun dan langsung pergi sikat gigi," Gita menjawab dengan ekspresi seriusnya."Aku juga sudah tadi subuh," jawab Alan santai saja. "Eh, mau ke mana?" Alan segera menahan Gita yang sudah hendak bangun."Mau bangunlah. Kita kan harus siap-siap ke kantor." Gita kembali mencoba untuk bangun, tapi Alan mengeratkan pelukannya di balik selimut."Mau bangun sekarang atau sebentar sama saja, Bee. Kita akan tetap terlambat," Alan menjawab dengan mata terpejam, sambil menghindu sisa-sia wangi shampoo istrinya."Memangnya sekarang jam berapa?""Sudah jam tujuh pagi.""What
"Ini apa?" Gita bertanya sambil mengangkat benda pipih yang baru saja suaminya berikan."Kartu debit lah, Bee. Masa gak tahu sih?" jawab Alan dengan nada tanya bercampur bingung."Iya. Aku juga tahu ini kartu debit. Tapi ini untuk apa? Punya siapa? Dan kenapa di kasih ke aku?" tanya Gita dengan lebih detail lagi."Itu tadinya punyaku, sekarang jadi punyamu." Alan menjawab dengan santai, sebelum menjatuhkan diri di sofa ruang tamu di rumah mungil mereka."Lah, kok?" Gita berseru bingung dan menyusul suaminya ke sofa. "Kok jadi punyaku?" tanya Gita penasaran."Dari awal emang aku mau kasih ke kamu sih. Cuma lupa terus sih. Aku juga selalu lupa ganti nomor telepon yang terdaftar jadi nomermu."Penjelasan Alan malah membuat Gita makin bingung. Kalau kartu debit saja yang diserahkan, mungkin Gita masih bisa maklum. Tapi dia sama sekali tidak mengerti kenapa sampai nomor telepon yang terdaftar di bank juga dialihkan jadi nomornya."Aku kan masih punya internet banking, Bee. Jadi kamu pegang
âSiapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?â Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. âMaaf.â Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. âAku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.â âHei, kau mengundang semua anakku,â hardik Eza terlihat agak kesal. âMemangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?â Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
âWah, kau benar-benar luar biasa.â Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. âBerhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,â desis Eza merasa sangat kesal. âTunggu saja giliranmu nanti, Ta.â âMaaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.â Gita mengangkat kedua tangannya. âLagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.â Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. âBagaimana keadaan Teddy?â Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. âDari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?â Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
âAkhirnya kau bangun juga?â Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? âDina? Apa yang kau lakukan di rumahku?â Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? âTenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.â Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. âKenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.â Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. âKata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.â âBenar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. âSudah siap, Za?â Fika muncul dari balik pintu. âAnak-anak sudah siap?â Eza balik bertanya. âUdah.â âKalo gitu ayo pergi,â seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang âlamaranâ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
âBisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,â Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. âAku gugup.â Danny mengaku pada sahabatnya itu. âLalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?â Ian bertanya dengan gemas. âTidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.â Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
âKau sudah datang?â Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. âKau sendirian? Anak-anak ke mana?â Eza bertanya dengan ekspresi bingung. âAh, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.â Danny menjawab dengan jujur. âApa kau marah?â Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. âTidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.â Eza menjawab dengan sedikit gugup. âAh, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.â Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. âTadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?â tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel