"Ini apa?" Gita bertanya sambil mengangkat benda pipih yang baru saja suaminya berikan."Kartu debit lah, Bee. Masa gak tahu sih?" jawab Alan dengan nada tanya bercampur bingung."Iya. Aku juga tahu ini kartu debit. Tapi ini untuk apa? Punya siapa? Dan kenapa di kasih ke aku?" tanya Gita dengan lebih detail lagi."Itu tadinya punyaku, sekarang jadi punyamu." Alan menjawab dengan santai, sebelum menjatuhkan diri di sofa ruang tamu di rumah mungil mereka."Lah, kok?" Gita berseru bingung dan menyusul suaminya ke sofa. "Kok jadi punyaku?" tanya Gita penasaran."Dari awal emang aku mau kasih ke kamu sih. Cuma lupa terus sih. Aku juga selalu lupa ganti nomor telepon yang terdaftar jadi nomermu."Penjelasan Alan malah membuat Gita makin bingung. Kalau kartu debit saja yang diserahkan, mungkin Gita masih bisa maklum. Tapi dia sama sekali tidak mengerti kenapa sampai nomor telepon yang terdaftar di bank juga dialihkan jadi nomornya."Aku kan masih punya internet banking, Bee. Jadi kamu pegang
Suara tawa Gita memenuhi mobil yang masih terparkir di halaman rumah sakit. Sudah sedari sejaman yang lalu Gita berusaha menahan tawa dan akhirnya lepas juga begitu pintu mobil terkunci."Lucu banget ya?" tanya Alan dengan nada kesal."Sorry." Gita kesuliatan bicara akibat tawanya yang masih belum usai. "Soalnya ekspresimu itu loh. Aha...ha...ha..."Alan makin merasa kesal mendengar suara tawa Gita yang begitu bahagia. "Berhenti ya, Ta. Aku lagi gak pengen main-main."Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya Gita bisa berhenti tertawa. "Okay. Sorry, tadi …."Gita kembali tertawa keras. Kali ini dia susah menghentikannya, membuat Alan makin kesal saja. Karena Gita tak kunjung berhenti, Alan terpaksa membungkam Gita dengan bibirnya.Awalnya Gita merasa terkejut, terutama karena kali ini Alan tidak selembut biasanya. Dari sana saja dia tahu, suaminya sedang marah. Gita sampai sangat kewalahan mengimbangi Alan.Bahkan ketika mereka berdua berpisah untuk mengambil banyak udara, Gita mas
Gita menggeliat pelan karena merasa sesak. Tapi semakin menggeliat, semakin terasa sesak. Gita membuka matanya dan mendapati Alan memeluknya sangat erat, sampai rasanya sedikit sesak."Als?" Gita berbisik berusaha membangunkan suaminya. Tapi butuh beberapa kali percobaan sampai Alan berguman pelan menyapanya."Lima menit lagi Bee."Bukannya bangun, Alan malah membenamkan diri di hamparan rambut istrinya. Membuat Gita gemas setengah mati."Kita bisa telat ke kantor loh, Babe.""Ini hari sabtu Babe. Kita mau seharian gini juga gak apa-apa," seru Alan dengan suara sedikit parau."Gak mau Als. Nanti kamu malah kepancing lagi. Badanku sudah pegal semua nih," Gita langsung protes. Dirinya tidak ingin dikerjai Alan seperti semalam."Lagian lapar banget nih. Aku pengen makan nasi," lanjut Gita dengan ekspresi meringis. Perutnya memang terasa sedikit perih karena tidak makan sejak semalam."Maaf. Kamu pasti lelah banget ya? Sampai kelaparan gitu," jawab Alan melonggarkan pelukannya."Makanya k
"Udah datang pesanannya?" Alan bertanya pada Gita yang jelas-jelas sedang membuka bungkusan nasi kuning."Kamu emang gak liat aku ngapain Als?" tanya Gita sedikit kesal."Kan cuma tanya, Bee." Alan berjalan mendekati Gita yang duduk di bar stool. Dan Alan mengernyit ketika memperhatikan penampilan istrinya yang masih menggunakan bathrobe."Tadi kamu keluar ambil makanan modelan gini?" Alan menarik pelan lengan bathrobe itu.Gita hanya menjawan dengan gumaman tidak jelas dan anggukan kepala. Mulutnya kini penuh dengan nasi kuning."Serius?" tanya Alan sekali lagi dengan mata melebar."Emang kenapa?""Kamu memamerkan belahanmu pada abang ojol?" tanya Alan dengan nada kesal.Gita menunduk dan melihat ke bagian yang dimaksud Alan. Sejujurnya Gita tak menyadari itu. Dan demi menghentikan omelan suaminya, Gita menyuapi Alan sesendok penuh nasi."Tadi kamu juga kasih lihat badanmu ke cewek-cewek tetangga sebelah kan? Jadi anggap saja impas.""Ahu filang he mereha ku funya istli." Omongan Ala
"Apa?" tanya Alex pada Gita. "Aku mau resign Dad. Tapi gak sekarang sih, mungkin bulan depan. Yang jelas habis aku pulang dari Amerika." Gita menyendok makan siangnya dengan santai. Hari ini, hari minggu. Setelah kemarin puas berkencan, dua sejoli ini memutuskan berkunjung ke rumah orang tua Gita. Gita berniat membicarakan soal dirinya dan rencana yang dia inginkan di masa depan. Salah satunya, berhenti bekerja. Gita ingin fokus untuk program terapinya nanti. Selain itu dokter juga menganjurkan agar Gita banyak beristirahat. "Kok tiba-tiba?" kali ini Julie yang bertanya. Gita tidak langsung menjawab. Dia menatap Alan terlebih dahulu. Alan memberi Gita semangat lewat genggaman tangan di atas meja makan, membuat Gita tersenyum. Dengan perlahan Gita menjelaskan kondisinya dan keinginan mereka berobat ke luar negri. Acara makan siang itu seketika jadi hening. "Jadi, ya kira-kira seperti itu." Gita mengakhiri penjelasannya yang termasuk singkat. Tidak ada yang bersuara setel
"Halo, Mas. Selamat pagi," Tania menyapa Alan yang baru keluar rumah untuk memanaskan mobil.Alan hanya melirik sebentar, kemudian masuk ke dalam mobil. Dia tidak punya banyak waktu untuk mengurusi orang seperti itu dan juga tidak tertarik. Namun, Tania ini lebih gatel dari bayangan Alan. Perempuan itu tidak segan mendekati mobil, dengan hanya menggunakan tanktop dan hot pants."Halo, Mas Tetangga. Gak mau ngobrol bareng?" Suara Tania terdengar sedikit samar di dalam mobil.Untung saja Alan tidak menurunkan kaca mobil, jadinya si Tan-Tan ini hanya mengetuk dari luar. Tentu saja dia tidak mempedulikan wanita itu dan hanya memanaskan mobilnya. Tapi karena risih, Alan langsung menelepon Gita. Meminta pertolongan. Untung juga Alan selalu mengantongi ponselnya di saku celana."Bee? Masih lama gak sayang?" Alan sengaja mengeraskan suaranya."Nih, udah mau keluar. Kenapa teriak-teriak di telepon?" Gita jadi curiga terjadi sesuatu di luar dan mempercepat gerakannya."Ada pengganggu dari
Gita memelototi, Tania yang sedang berdiri di teras. Sudah dua hari berlalu dan perempuan itu terlihat lebih kalem dan lebih rapi. Sepertinya ular hitam itu akhirnya punya pekerjaan karena menggunakan setelan kerja, atau mungkin mau melamar kerja. Tania membalas memelototi Gita. Dia merasa belum melakukan apa-apa dan tidak terima dipelototi seperti itu. "Bee?" Alan memanggil, mendekati dan mengecup sudut bibir istrinya. "Yuk jalan," gumam Alan merangkul pinggang Gita. Gita tentu saja langsung menurut dan membiarkan Alan membukakan pintu untuknya. Walau Alan sama sekali tidak melirik ke arah sebelah, Gita tetap merasa sebal. Pasalnya, si Tania ini tetap ganjen dan melambai ke arah Alan. Membuatnya sungguh ingin menonjok wajah perempuan itu. "Apaan sih. Baru kumpul kebo gitu sudah belagu," desis Tania kesal setelah mobil Alan menghilang. "Tapi aku pernah lihat dia di mana ya?" "Kenapa sih kamu bicara sendiri?" Tian muncul dari belakang Tania dengan pakaian rapi. "Gak apa-apa. Yuk
Tania menganga mendengar pengakuan Gita. Kemudian dia tertawa dengan keras, membuat Gita dan Alan mengernyit bingung. "Astaga, Mbak Kalau kamu anaknya wakil presdir BG, maka aku anaknya wakil presiden," seru Tania dengan nada mengejek. "Kalau ngehalu jangan kejauhan dong," seru Tania lagi. Tania meraih tanda pengenal karyawan yang sedari tadi dipegang Gita. "Mari kita lihat seberapa canggihnya benda yang kamu buat ini." Tania membaca kartu kecil itu dengan santai dan langsung mengembalikannya lagi dengan cara tidak sopan. Tania melempar kartu itu sampai terjatuh di lantai. "Benda itu tidak membuktikan apa pun. Bisa saja itu palsu," balas Tania dengan santainya. Gita mendengkus kesal. Perempuan ini terlalu percaya diri. Jauh lebih tidak tahu diri dari pada Isabella dulu. Gita benar-benar ingin merobek mulut kurang ajar itu, tapi Gita tidak mau melakukannya. Ular ini perlu diberikan hukuman lebih dari sekedar luka fisik. "Percaya saja apa yang mau kau percaya. Tapi akan ku
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel