Eza menatap ponselnya sangat lama, memikirkan sesuatu yang sedari tadi ingin dilakukannya. Jemarinya melayang di atas nama Alan, hendak menelepon lelaki itu untuk membelikannya sarapan.Hari sudah beranjak pagi, atau lebih tepatnya hari masih subuh. Hari ini entah kenapa, Eza terbangun lebih cepat dari biasanya.Eza menatap Julie yang tertidur di sofabed di dekat jendela. Tidak lama setelah Gita dan Alan pergi, Julie memang datang menginap.Sudah sejak dulu seperti itu. Kalau Eza masuk rumah sakit dan tidak bisa ditinggal sendiri, Julie atau Gita akan menginap menemaninya. Membuat Eza merasa tidak pernah kehilangan sosok seorang ibu."Berhenti memikirkan hal gila, Za. Demi Gita, demi Aunty Julie dan demi anakmu sendiri," batin Eza.Eza kembali menatap ponselnya. Seumur hidupnya Eza tidak pernah mengganggu hubungan orang lain, kecuali dengan alasan pihak sana duluan yang cari gara-gara. Itupun tidak dilakukan Eza dengan serius.Memang selama ini Eza bekerja untuk Gita dibalik layar. Ta
Alan masih tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Dia bisa merasakan atmosfir yang tidak baik diantara Gita dan Eza, tapi tidak mengerti apa yang terjadi. Alan ingin menegur, tapi takut nanti malah Gita jadi makin marah. "Loh, Alan?" Suara Julie menyapa telinga Alan. "Kok berdiri di dekat pintu sih?" Julie yang baru masuk dari pintu yang sejak tadi terbuka, menatap menantunya dengan tatapan penuh tanya. "Kami soalnya sudah mau pulang, Mom," Gita yang menjawab ibunya. Saat menjawab Gita sudah terlihat tersenyum. Alan jadi sedikit lega melihatnya. Walau sepertinya masih ada yang mengganjal, tapi kalau Gita sudah tersenyum harusnya sudah tidak ada masalah. "Bee?" Alan mencoba membuka pembicaraan di dalam mobil yang masih sepi itu. Sudah hampir sampai di kompleks perumahan mereka, tapi Gita masih diam seribu bahasa. Alan jadi makin bingung dengan istrinya itu. Perasaan dia tidak melakukan kesalahan apapun, tapi kenapa Gita masih ngambek? "Kamu kenapa sih? Kok dari tadi diam?
Ini sebenarnya bukan pertengkaran pertama mereka, tapi biasanya Gita yang lebih banyak ngambek. Baru kali ini mereka bertengkar yang benar-benar bertengkar adu mulut dan urat.Biasanya, Alan yang selalu mengalah duluan karena dia tidak tahan didiami istrinya terlalu lama. Terutama karena Gita suka pergi menghindarinya, seperti sekarang ini."Bee, jangan melamun dong. Nanti kesambet loh." Alan sengaja menegur istrinya. Berharap Gita mau melihatnya atau bahkan tertawa karena candaan garingnya. Apalagi kini dia berasa jadi sopir taksi online karena sang istri duduk di belakang. Sayangnya, itu tidak mempan.Walau tidak digubris, setidaknya Alan masih bersyukur. Gita masih mau diantar sampai ke rumah Bunda, walau itu artinya Alan harus kerja keras. Pasalnya, rumah Bunda Amel lumayan jauh. Perjalanan normal makan waktu empat puluh lima menit. "Loh, Mas Alan? Tumben malam-malam ke sini?" Susan yang membukakan pintu, saat dua orang itu sudah tiba dan mengetuk pintu."Bunda Amel ada?" tanya
"Als?" Gita yang baru pulang, langsung mencari suaminya itu sampai ke dalam kamar. Betapa terkejutnya Gita, ketika melihat Alan sedang mencumbu Tania. "Alan, apa-apaan ini?" teriak Gita emosi. Bukannya saling menjauh, Alan malah memeluk Tania dengan posesif sambil memelototi Gita. Tania pun membalas pelukan Alan dengan sama posesifnya. "Alan," teriak Gita makin marah. "Lepasin dia sekarang juga," bentak Gita makin kesal. "Gak mau sekalian join saja?" tanya Tania dengan manjanya. "Aku gak masalah kok bagi Mas Alan sama kamu." "Kau gila. Lepasin suamiku sekarang," teriak Gita makin lama makin keras. Baru saja Gita melangkah, seseorang menyentuh bahu Gita dengan lembut. Dia berbalik dan melihat Eza tersenyum padanya. "Eza, bantuin aku untuk menjauhkan perempuan murahan itu dari Alan." Gita menarik tangan Eza untuk meminta bantuan, tapi sahabatnya bergeming. "Kenapa harus seperti itu?" tanya Eza santai. "Padahal aku baru mau gabung sama mereka," Eza terlihat sangat santai. "Eza?
Eza menatap ponselnya dengan gamang. Dirinya benar-benar sudah menjadi gila. Baru kemarin malam dia berjanji pada dirinya sendiri dan Gita untuk tidak berbuat gila, tapi belum cukup dua pulu empat jam. Pikiran gila itu datang lagi. "Percuma saja, Za. Mereka pasti sudah di atas pesawat," Eza bergumam pelan. Eza menghela napas dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Sejak kapan dia jadi seperti ini? Kenapa juga tiba-tiba dia bisa menjadi gila seperti sekarang ini. Padahal terakhir bertemu masih tidak apa-apa. Gak mungkin tiba-tiba saja jatuh cinta kayak di novel-novel kan? "Eza sudah siap?" Yang empunya nama mendonggak ketika mendengar suara yang dia kenal. "Sudah Aunty. Sudah bisa pulang sekarang?" tanya Eza pelan, pada ibu dari sahabatnya. Julie mengangguk sambil tersenyum. Wanita berumur akhir empat puluhan itu berjalan mendekati Eza dan duduk di atas ranjang, bersebelahan dengan sahabat putrinya. "Tenang saja, mereka kuat kok di dalam sana." Julie jadi ikut mengelus pe
"Siapa yang mau ketemu?" tanya Gita dengan bingungnya. "Tania Wibisono, Bu," Jelita menjawab dengan tegas. "Dia sudah membuat janji dari senin minggu lalu. Saya sudah menjadwalkan pertemuan sebelum jam rapat siang ini dan beliau masih menunggu di bawah." "Alan mana?" "Pak Alan sedang ke ruangan Pak Kevin, Bu." Jelita langsung menjawab tanpa perlu berpikir. "Ya, sudah suruh saja naik ke sini." Gita mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Alan. "Sekalian telepon ke tempat Uncle Kevin ya, Je. Kalau bisa Alan disuruh balik ke sini." Gita menatap ponselnya, menunggu balasan pesan dari Alan. Sejujurnya Gita tidak melakukan apa-apa terhadap tetangganya yang ular itu. Selama seminggu di Amerika, Gita bahkan tidak pernah mengingat perempuan itu. Gita menghabiskan waktu seminggu dengan baik di NYC. Selain memeriksakan diri ke dokter dan menjalani terapi. Dia dan Alan juga menyempatkan diri berlibur sejenak. Saking asiknya liburan, Gita sampai lupa mengunjungi adiknya di Boston.
"Lama amat sih kalian ini." Suara Eza mengagetkan Alan dan Gita yang baru masuk ke ruangan. Eza duduk di salah satu sofa ukuran dua orang dan tengah bermain ponsel saat Alan dan Gita masuk. Ini adalah hari terakhir Gita bekerja dan baru saja dia dan Alan menyelesaikan rapat terakhirnya. "Padahal aku sudah buat janji loh untuk ketemu kamu, Ta. Tapi tetap saja harus nunggu hampir sejam." Eza berdiri dari sofa untuk menyambut Gita. Dia terlihat lebih sehat dan juga biasa saja. Setelah pertengkarannya dengan Gita, Eza bersikap biasa saja. Dan setelah memperhatika Eza selama beberapa detik, Gita memutuskan untuk bersikap seperti biasa. "Perasaan Jelita tidak memberitahu kau sudah buat janji." Gita memilih duduk di seberang Eza. "Aku memintanya. Soalnya aku mau bikin surprise," Eza berucap sambil kembali duduk. Alan masih berdiri di dekat pintu dan memandang bingung dua orang di depannya. Perasaannya dua sahabat itu masih bertengakar, tapi kenapa bisa bersikap biasa saja? Yah, walau
"Als?" Gita berteriak keras, sambil berusaha menahan sakit. Hari masih sangat pagi dan Alan masih tertidur, namun mendengar suara teriakan Gita yang sangat keras membuatnya terbangun. "Bee?" Alan memanggil istrinya dengan mata menyipit. Gita tidak ada di sebelahnya. Alan segera menyambar kacamatanya dan turun dari ranjang. Alan mendengar suara rintihan pelan dari dalam kamar mandi dan bergegas ke sana. "Bee?" Alan terkejut mendapati istrinya terduduk lemas di lantai kamar mandi, sambil memegang perutnya. "Bee, kamu kenapa?" tanya Alan panik. "Perutku sakit banget," Gita menjawab dengan sangat pelan. "Aku gak tahan." Dengan gerakan cepat, Alan mengangkat tubuh Gita. Namun sebelum benar-benar melangkah, Alan tak sengaja melihat sesuatu di lantai kamar mandi. "Bee, kamu berdarah?" seru Alan makin panik. Ini belum jadwal haid istrinya dan lantai yang di duduki Gita tadi ada noda darahnya. Jelas ada yang salah dengan istrinya. Alan sudah berlari keluar kamar mandi dengan panik,
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel