BAB 23Helaan napas mengikuti langkah Gita yang baru keluar dari bilik toilet. Dipandangi dirinya di cermin dan menghela napas sekali lagi."Gak apa-apa Gita. Kau pasti bisa."Setelah meyakinkan dirinya, perempuan itu bergegas keluar dari area toilet. Langkah Gita terhenti ketika melihat sang suami berdiri berhadapan dengan Isabella. Dari posisinya sekarang, dia bisa melihat ekspresi kesal sang suami. Dari situ saja sudah bisa disimpulkan Isabella yang duluan menghampiri mungkin mulai merengek lagi.Walau bibir mungil nan seksi Gita berkata seperti itu, dia tetap merasa perlu membantu Alan. Terlebih dengan kemunculan Erik Susanto. Hal yang membuatnya menarik napas berat dan mulai melangkah pelan ke arah sang suami."Alan?" Lengan mungil Gita menyusup di lengan lelaki yang dia panggil, memeluknya dengan erat. "Kamu bicara sama siapa?"Tentu saja Alan akan terkejut dengan kehadiran istinya yang tiba-tiba. Apalagi dengan gerakan Gita barusan, tapi dia memilih untuk membiarkan saja.Isabe
Gita merasakan deruan napas di tengkuknya. Sedikit mengganggu, tapi terasa nyaman. Tidur perempuan itu juga terasa lebih nyaman dari biasanya, membuatnya menggeliat pelan memeluk gulingnya.Tunggu? Itu gulingnya kan? Yang dipeluk itu guling kan? Kenapa tekstrunya beda ya?Dengan gerakan pelan, Gita mengerjapkan matanya dengan malas. Pandangannya masih buram, tapi dia bisa melihat sesuatu menghalangi pandangannya. Perempuan itu kemudian mengucek matanya untuk mendapatkan penglihatan lebih baik dan ketika ia mendapatkannya, dia langsung mengumpat keras dan duduk dengan refleks."Apa yang kau lakukan di sini, Brengsek." Teriakan Gita disertai dengan tendangan, membuat Alan yang tertidur di sampingnyaa terguling jatuh dari ranjang"Aduh!." Tentu saja Alan mengeluh kesakitan. Lantai di kamar itu dilengkapi karpet tebal, membuatnya mendarat dengan baik, tapi sayang kepalanya sedikit terantuk ke nakas."Ada apa sih?" Alan bertanya, masih belum sadar sepenuhnya."Kau masih tanya kenapa?"Alan
"Excuse me? Takut?" tanya Gita dengan mata melotot.Saking seramnya pelototan itu, pelayan yang baru tiba dengan pesanan wine sampai bergidik. Pelayan itu tentu mengenal Gita dan merasa heran bagaimana Alan bisa setenang itu menghadapinya. Wanita ini kan bar-bar sekali. "Kalau gitu biar saya rubah pertanyaannya. Sejak kapan anda tidak suka keramaian?" Alan kembali dengan cara bicara formalnya, karena tinggal mereka berdua saja di sana.Gita menatap lelaki di sebelahnya dengan tajam, tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Jujur saja, dia enggan berbicara soal hal ini pada siapa pun. Orang tuanya saja tidak tahu dan dia tidak berniat memberi tahu Alan.Gita menenggak wine miliknya dalam sekali teguk. Alan yang baru menyesap sedikit saja terkaget melihat cara sang istri meminum wine. Terlalu tergesa-gesa.“Aku gak merasa perlu memberi tahumu,” gumam Gita pelan.Dengan kedikan dagu Gita meminta sang suami mengisi kembali gelasnya. Alan melakukan tugasnya dengan helaan napas panjang, wa
BAB 26"Sangat memalukan." Alan bergumam sambil menutupi wajahnya.Lelaki itu akhirnya sudah berhasil mengingat apa yang dilakukannya semalam. Toleransi alkoholnya tidak terlalu tinggi dan biasanya Alan bisa mengontrol diri dengan baik. Entah kenapa kemarin dia tidak bisa melakukannya.Tiga botol wine dihabiskan berdua dengan Gita. Kadar alkoholnya memang cuma sekitar 15 persen, tapi kalau diminum sebotol lebih juga pasti akan mabuk.Mabuk dan tidak bisa mengontrol diri namun berakhir memalukan. Bisa-bisanya dia tertidur disaat seperti itu. Gita akan makin sering mengejeknya. Belum lagi dengan keadaan barusan. Alan makin merasa menyedihkannAlan bersusah payah menenangkan diri di bawah guyuran air dingin. Setelah dirasa cukup, barulah dia menutupi diri sebatas pinggul dengan handuk. kebetulan Alan tadi lupa mengambil bathrobe di lemari, membuat dirinya mengumpat pelan.Lalu ketika akhirnya bunyi pintu kamar mandi terdengar membuka, Gita memalingkan wajahnya melihat ke arah kamar mandi
"Kamu ngapain sih?"Jason menghampiri Alan yang sedang mengantri membeli kopi. Atau lebih tepatnya, menunggu pesanannya jadi. Di kantor mereka yang besar ini, kebetulan ada coffee shop. Tentu saja tempat itu dikelola sendiri oleh Bramantara Grup."Maksudnya?" Alan bertanya pada sahabatnya dengan raut wajah bingung."Pak Alex memintaku menyelidikimu loh. Sampai ke rekening bankmu." Jason berbisik pelan, agar tidak ada yang mendengar.Jason sebenarnya tidak boleh memberitahu hal ini. Tapi sebagai sahabat, dia tahu Alan itu lelaki yang baik. Jason tidak keberatan dimarahi atasannya karena membocorkan hal ini.Kini, raut wajah Alan jelas saja bertambah kaget. Seingatnya dia tidak melakukan hal yang aneh sama sekali. Alan bergidik memikirkan kalau dia dan Gita sudah ketahuan. Apa karena ini Gita tadi dipanggil?"Seingatku aku belum melakukan hal-hal aneh," jawab Alan pelan."Belum? Artinya kamu akan melakukan sesuatu yang jahat?" Jason terlihat sedikit kaget."Tidak maksudku. Aku tidak mel
"Loh, Gita? Tumben turun gunung ke dapur." Alex yang baru tiba di ruang makan untuk sarapan, langsung menegur sang putri yang jarang memakai apron seperti sekarang."Biasa Dad mau servis suami. Abis dapat uang jajan soalnya." Tentu saja Gita tidak segan memberi tahu.Alan langsung terbatuk mendengar dirinya dipuji. Alex juga berdehem keras salah tingkah mendnegar itu. Sementara Gwen yang masih liburan, hanya menatap iparnya dengan kagum. Untungnya Gill belum turun, kalau tidak pasti dia akan protes lagi."Ya, suami yang bertanggung jawab kan harus begitu." Julie memuji menantunya."Ehm... Dad mau minta tolong sama Alan bisa?" Alex berusaha tidak terlihat salah tingkah ketika mengatakan ini."Kalau saya sanggup, akan saya bantu kok. Dad mau minta tolong apa?""Ada kenalan Dad yang akan mulai masuk kerja hari ini. Kalau boleh, kamu ajarin dia ya." Walau terlihat sangat ragu-ragu, Alex pada akhirnya bicara juga."Gak boleh." Bukan Alan yang menjawab, tapi Gita. Semua orang di meja sampai
BAB 29Alan terlihat sangat gusar saat kembali dari ruangan ayah mertuanya. Makin gusar dan kesal, ketika Isabella menyambutnya dengan senyuman ceria. Saking kesalnya lelaki itu langsung masuk ke ruangan Gita tanpa mengetuk, bahkan membanting pintu. Dua orang yang ada di luar ruangan sampai tersentak.Lalu, entah Isabella gila atau memang nekat, dia menyusul Alan ke dalam ruangan Gita. Untungnya saja ruangan yang dimaksud sempat dikunci."Apa-apaan sih? Kok dikunci?" Isabella menggerakkan pegangan pintu berulang kali dengan wajah kesal."Kamu yang apa-apaan? Kamu itu karyawan jangan sok mau masuk ruangan bos kalau gak dipanggil." Tentu saja Jelita akan menegur."Kamu juga cuma karyawan, jangan sok negur." Bukannya mengiyakan, Isabella malah balas menegur.“Masuk lewat koneksi aja belagu,” balas Jelita tak gentar sama sekali.Belum sempat Isabella membalas, telepon di meja berdering. Karena mood bosnya sedang jelek, Jelita segera mengangkatnya pada dering pertama. Dia enggan kena marah
"Apa Gita ada?" Suara Alex menyentak Jelita yang sibuk mengumpat dalam hati. Semua dilakukannya karena teman barunya yang gila.Isabella mondar-mandir di depan pintu ruangan atasanya, sesekali bahkan mengetuk pintu atau malah berusaha menekan gagang pintu yang kembali terkunci. Sudah ditegur, tapi perempuan itu tidak mau mendengar.Padahal tadi Gita dan Alan sempat bilang tidak ingin diganggu, tapi lihatlah cacing kepanasan aka Isabella. Dia tidak berhenti mengganggu."Oh, ada kok Pak. Tapi tadi Bu Gita bilang sedang tidak ingin diganggu."Alex mengangguk pelan dan berbalik melihat ke arah pintu. Keningnya mengkerut melihat Isabella terlihat sedang menguping di sana. Jelas saja itu membuat sang sekretaris langsung kalang kabut. Segera ditariknya Isabella untuk berdiri manis disebelahnya."Maaf, Pak. Ini anak baru masuk hari ini. Masih belum tahu tata krama." Mau tidak mau, Jelita mengucapkan kalimat itu.Isabella yang gila, tapi Jelita yang keringat dingin. Mana perempuan gila itu dia
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel