Apa semua ini benar? tanya batin Clara seakan tak percaya. Bibirnya merapat dan melirik ke arah orang yang dari dulu selalu menjadi obat nyamuk setiap kali berkencan dengan Sakti. Rasa percaya semakin kuat dengan penuturan Mike padanya.Mike tersenyum dan segera memasukkan ponsel miliknya kembali."Saya harap anda bisa menjalani kehidupan anda lebih baik lagi. Saya permisi!" ucap Mike menunduk dengan hormat seperti apa yang ia lakukannya waktu dulu.Nafas Clara tercekat. Hatinya seakan hancur berkeping-keping dengan kenyataan yang ada. Ya Tuhan, apa aku ini sedang bermimpi buruk? tanya batin Clara menegak salivanya. Terasa sangat pahit dan getir. Kedua bola matanya berkaca-kaca sembari memandang mobil putih milik Sakti yang mulai pergi meninggalkan restoran tersebut.Padahal, aku ingin memperbaiki hubungan dengannya!" kata batin Clara mengusap air mata yang membasahi kedua pipinya.Di mobil, Mike menoleh menatap sahabatnya yang terdiam seribu bahasa. "Apa kamu masih memikirkan wanit
"Tapi, apa aku juga melakukan hal yang sama saat aku mabuk berat waktu itu?" Bibirnya merapat. Ia mulai mengingat kembali momen saat ia mabuk waktu itu. Namun, lagi dan lagi ia tak mampu mengingatnya kembali."Ah, sudahlah!" gegas Rania mengambil selimut bantal miliknya. Ia melangkah ke arah sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Dasar suami aneh! Gara-gara keegoisannya, aku terpaksa memakai pakaian seperti ini dan sekarang aku juga tidur di sofa!" gerutu Rania meletakkan bantal di atas sofa yang memanjang. "Gerahnya!" umpat Rania mengusap keringat yang membasahi keningnya."Aku lepas aja, deh! Kayaknya dia sudah tak berdaya," ucapnya melepas beberapa baju yang melekat di tubuhnya.Rania menghela nafas panjang. Ia mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa. Sejenak, jemari tangannya memegang bibir bawahnya yang merah tanpa lipstik.Sungguh! Masih sangat membekas di bibirnya. Ciuman hangat dan mesra telah di ciptakan Sakti untuknya.Jadi, begini rasanya ciuman? tanya batin Rania seraya m
a kamu membuat kesalahan lagi, aku tak akan segan-segan memecatmu!"Perkataan Sakti kembali melintas di benaknya."Aduh! Bagaimana ini, jika aku memberitahu pernikahan mereka pada Sarah, apa ini akan menjadi masalah antara aku dan Sakti? Sedangkan, Rania tak memberitahu Sarah tentang pernikahannya itu! Mereka berdua kan sahabat, seperti aku dan Sakti," ucap batin Mike berpikir."Kok diam? Apa yang ingin kamu katakan tentang mereka?" tanya Sarah menunggu jawaban dari Mike."Sebelum bercerita tentang mereka. Apa kamu mau menemaniku makan siang? Hampir satu minggu kita tidak berkencan, Lovely!" pinta Mike memegang tangan kiri Sarah yang menopang di paha."Baiklah! Aku akan menemanimu," ucap Sarah melepas tangan Mike yang berukuran lebih besar darinya.Mike mencoba tersenyum meski hatinya sedikit kecewa dengan perlakuan Sarah yang membatasi gaya pacarannya. Tapi, demi cintanya yang begitu besar, Mike rela berpuasa untuk menahan dirinya dari hawa nafsu yang selalu melanda.***Di rumah, lan
Lelaki? tanya batin Rania. Apa lelaki yang di maksud adalah kevin? "Dan, maafkan paman, ya! Paman tak bisa menemani kamu saat ini. Karena paman harus kembali lagi ke Semarang."Sesaat kemudian, Rania melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang menghubungkan arah ruang rawat ayahnya. Bibirnya merapat mengimbangi bola mata indahnya yang terus mencari ruang rawat ayahnya.Terimakasih Ya Tuhan, Engkau telah mengirimkan orang baik di saat aku membutuhkan uang. Kaluapun orang itu bukan Kevin, aku berjanji akan memperlakukan orang itu dengan sebaik-baiknya. Yang jelas, siapapun orangnya aku sangat berhutang budi padanya! Ayah, semoga ayah baik-baik saja! ucap batin Rania tersenyum lega.Sejenak, langkah kakinya terhenti. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat melihat ruang rawat yang tergolong dengan ruang VVIP.Oh my God! Ini kan ruang VVIP? Ya ampun, Kevin. Aku tak menyangka kamu begitu baik padaku! batin Rania mulai melangkah kembali menuju ruang rawat ayahnya.CeklekRania menut
"Hutangku lunas?"Rania kembali membaca pesan tersebut berulang-ulang. Sejenak, dahinya mengerut memikirkan permintaan suaminya tersebut."Jika aku tak memanggilnya bapak, apa iya aku memanggilnya dengan sebutan 'mas' seperti yang ia mau? Hah, rasanya sangat sulit jika aku harus memanggilnya seperti itu. Terdengar sangat lebay. Bicara aku kamu saja, rasanya aneh apalagi memanggilnya seperti itu."Rania mendesah sebal. Kepalanya bersandar sembari memandang atap ruangan yang bercat serba putih."Sebenarnya, itu kesempatan emas untuk aku melunasi semua hutang tanpa mengeluarkan uang dari gajianku. Tapi, masa' iya aku harus memanggilnya seperti itu?" gumam Rania memanyunkan bibir mungilnya.Setengah jam kemudian, sesudah menghirup udara segar. Sakti melangkah masuk ke ruang rawat mertuanya. CeklekDengan hati-hati, ia menutup pintu itu secara perlahan. Berjalan menghampiri sang istri yang sudah tertidur pulas di sofa yang tersedia di ruangan VVIP tersebut.Rania ... Rania ... Langkah Sa
Sebenarnya, aku juga tak mau dia melakukannya. Tapi, bagaimana mungkin aku mengatakan semua itu? Yang ada, dia mengira kalo aku ... Argh, sudahlah! Ngapain juga aku berpikiran seperti itu! gumam Sakti dalam hati. Dengan langkah buru-buru, ia menuju ke arah mobil yang siap untuk mengantarnya ke kantor.Di satu sisi, Rania dengan telaten mengurus ayahnya. Senyumnya selalu tertoreh melihat sang ayah yang sudah mulai membaik."Rania, makasih, ya!" ucap Ayah."Ayah, justru Rania yang berterimakasih karena ayah sudah bertahan demi Rania," jelas Rania menyodorkan minuman.Ayah tersenyum. Jemari tangannya membelai rambut panjang yang di miliki putrinya itu."Ayah sangat bersyukur ibu kamu telah melahirkan putri secantik dan sebaik kamu!"Rania tersenyum. Jemari tangannya memegang tangan tua yang berselangkan dengan infus."Mungkin, karena kebaikan kamu ini, Tuhan memberikanmu seorang suami yang begitu baik dan sempurna."Senyum Rania memudar. Lagi dan lagi, saktilah yang selalu di banggaka
Kenapa dia?" Sakti mengernyit. Ia mulai melajukan kembali mobilnya memasuki ruang parkir yang tersedia di rumah sakit.Tepat di restoran, Clara memberi amplop coklat berisikan uang untuk orang yang telah melakukan tugasnya dengan baik."Kerja yang bagus! Terimakasih sudah melakukan yang terbaik!" ujar Clara menorehkan senyum kemenangan yang tersirat di wajahnya."Sama-sama, Bu. Jika, ibu butuh bantuan saya lagi, dengan senang hati saya menerimanya!" jawab pria tersebut."Ok! Sekarang kamu boleh pergi!" Clara mengibaskan tangannya, memberi kode pada orang suruhan supaya pergi dari hadapannya. Rania! Jadi, dia orangnya! kata batin Clara menegak minuman dingin yang tersaji untuknya. Bibirnya mengecap mengimbangi senyum manis yang tertoreh."Sama sekali tak cocok! Apa mungkin, sekertaris bodoh itu mencoba untuk memanas-manasiku?" tebak Clara berpikir. Sejenak, Clara menegak salivanya sendiri saat mengingat jari manis Rania mengenakan cincin saat menolong dirinya."Tapi, dia memakai cinc
Kenapa dia berkata seperti itu? Apa dia lupa kalo dalam perjanjian kami hanya menikah enam bulan saja? batin Rania bertanya.Di rumah, Larisa mendesah sebal. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah sapu yang ia genggam sedari tadi. Sebuah benda yang tak pernah ia pegang selama menikah dengan suaminya."Benar-benar menyebalkan. Untuk kali pertamanya, Larisa Argantara menjadi seorang pembantu seperti ini! Kenapa, sih? Cari pembantu di sini susah banget," keluh Larisa menyandarkan kepalanya tepat di bahu sofa yang ada di ruang tamu. Bibirnya memanyun seraya meletakkan sapu begitu saja. Larisa meraih ponselnya dan mengusap layar pipih yang menyala. Terlihat jelas foto keluarganya tampil di layar wallpaper."Gara-gara ipar kamu, istri kamu ini terpaksa harus menjadi pembantu di rumah ini. Kuku-kuku mami jadi rusak, Pi!" keluh Larisa menatap kuku-kukunya."Papi ... Mami ingin pulang!" rengek Larisa yang rindu dengan suaminya.Helaan nafas mulai keluar dari hidung mancungnya. Sudut