"Tapi, apa aku juga melakukan hal yang sama saat aku mabuk berat waktu itu?" Bibirnya merapat. Ia mulai mengingat kembali momen saat ia mabuk waktu itu. Namun, lagi dan lagi ia tak mampu mengingatnya kembali."Ah, sudahlah!" gegas Rania mengambil selimut bantal miliknya. Ia melangkah ke arah sofa yang tak jauh dari tempat tidur."Dasar suami aneh! Gara-gara keegoisannya, aku terpaksa memakai pakaian seperti ini dan sekarang aku juga tidur di sofa!" gerutu Rania meletakkan bantal di atas sofa yang memanjang. "Gerahnya!" umpat Rania mengusap keringat yang membasahi keningnya."Aku lepas aja, deh! Kayaknya dia sudah tak berdaya," ucapnya melepas beberapa baju yang melekat di tubuhnya.Rania menghela nafas panjang. Ia mulai merebahkan tubuhnya di atas sofa. Sejenak, jemari tangannya memegang bibir bawahnya yang merah tanpa lipstik.Sungguh! Masih sangat membekas di bibirnya. Ciuman hangat dan mesra telah di ciptakan Sakti untuknya.Jadi, begini rasanya ciuman? tanya batin Rania seraya m
a kamu membuat kesalahan lagi, aku tak akan segan-segan memecatmu!"Perkataan Sakti kembali melintas di benaknya."Aduh! Bagaimana ini, jika aku memberitahu pernikahan mereka pada Sarah, apa ini akan menjadi masalah antara aku dan Sakti? Sedangkan, Rania tak memberitahu Sarah tentang pernikahannya itu! Mereka berdua kan sahabat, seperti aku dan Sakti," ucap batin Mike berpikir."Kok diam? Apa yang ingin kamu katakan tentang mereka?" tanya Sarah menunggu jawaban dari Mike."Sebelum bercerita tentang mereka. Apa kamu mau menemaniku makan siang? Hampir satu minggu kita tidak berkencan, Lovely!" pinta Mike memegang tangan kiri Sarah yang menopang di paha."Baiklah! Aku akan menemanimu," ucap Sarah melepas tangan Mike yang berukuran lebih besar darinya.Mike mencoba tersenyum meski hatinya sedikit kecewa dengan perlakuan Sarah yang membatasi gaya pacarannya. Tapi, demi cintanya yang begitu besar, Mike rela berpuasa untuk menahan dirinya dari hawa nafsu yang selalu melanda.***Di rumah, lan
Lelaki? tanya batin Rania. Apa lelaki yang di maksud adalah kevin? "Dan, maafkan paman, ya! Paman tak bisa menemani kamu saat ini. Karena paman harus kembali lagi ke Semarang."Sesaat kemudian, Rania melangkah menyusuri lorong rumah sakit yang menghubungkan arah ruang rawat ayahnya. Bibirnya merapat mengimbangi bola mata indahnya yang terus mencari ruang rawat ayahnya.Terimakasih Ya Tuhan, Engkau telah mengirimkan orang baik di saat aku membutuhkan uang. Kaluapun orang itu bukan Kevin, aku berjanji akan memperlakukan orang itu dengan sebaik-baiknya. Yang jelas, siapapun orangnya aku sangat berhutang budi padanya! Ayah, semoga ayah baik-baik saja! ucap batin Rania tersenyum lega.Sejenak, langkah kakinya terhenti. Tegakkan salivanya mengalir dengan paksa saat melihat ruang rawat yang tergolong dengan ruang VVIP.Oh my God! Ini kan ruang VVIP? Ya ampun, Kevin. Aku tak menyangka kamu begitu baik padaku! batin Rania mulai melangkah kembali menuju ruang rawat ayahnya.CeklekRania menut
"Hutangku lunas?"Rania kembali membaca pesan tersebut berulang-ulang. Sejenak, dahinya mengerut memikirkan permintaan suaminya tersebut."Jika aku tak memanggilnya bapak, apa iya aku memanggilnya dengan sebutan 'mas' seperti yang ia mau? Hah, rasanya sangat sulit jika aku harus memanggilnya seperti itu. Terdengar sangat lebay. Bicara aku kamu saja, rasanya aneh apalagi memanggilnya seperti itu."Rania mendesah sebal. Kepalanya bersandar sembari memandang atap ruangan yang bercat serba putih."Sebenarnya, itu kesempatan emas untuk aku melunasi semua hutang tanpa mengeluarkan uang dari gajianku. Tapi, masa' iya aku harus memanggilnya seperti itu?" gumam Rania memanyunkan bibir mungilnya.Setengah jam kemudian, sesudah menghirup udara segar. Sakti melangkah masuk ke ruang rawat mertuanya. CeklekDengan hati-hati, ia menutup pintu itu secara perlahan. Berjalan menghampiri sang istri yang sudah tertidur pulas di sofa yang tersedia di ruangan VVIP tersebut.Rania ... Rania ... Langkah Sa
Sebenarnya, aku juga tak mau dia melakukannya. Tapi, bagaimana mungkin aku mengatakan semua itu? Yang ada, dia mengira kalo aku ... Argh, sudahlah! Ngapain juga aku berpikiran seperti itu! gumam Sakti dalam hati. Dengan langkah buru-buru, ia menuju ke arah mobil yang siap untuk mengantarnya ke kantor.Di satu sisi, Rania dengan telaten mengurus ayahnya. Senyumnya selalu tertoreh melihat sang ayah yang sudah mulai membaik."Rania, makasih, ya!" ucap Ayah."Ayah, justru Rania yang berterimakasih karena ayah sudah bertahan demi Rania," jelas Rania menyodorkan minuman.Ayah tersenyum. Jemari tangannya membelai rambut panjang yang di miliki putrinya itu."Ayah sangat bersyukur ibu kamu telah melahirkan putri secantik dan sebaik kamu!"Rania tersenyum. Jemari tangannya memegang tangan tua yang berselangkan dengan infus."Mungkin, karena kebaikan kamu ini, Tuhan memberikanmu seorang suami yang begitu baik dan sempurna."Senyum Rania memudar. Lagi dan lagi, saktilah yang selalu di banggaka
Kenapa dia?" Sakti mengernyit. Ia mulai melajukan kembali mobilnya memasuki ruang parkir yang tersedia di rumah sakit.Tepat di restoran, Clara memberi amplop coklat berisikan uang untuk orang yang telah melakukan tugasnya dengan baik."Kerja yang bagus! Terimakasih sudah melakukan yang terbaik!" ujar Clara menorehkan senyum kemenangan yang tersirat di wajahnya."Sama-sama, Bu. Jika, ibu butuh bantuan saya lagi, dengan senang hati saya menerimanya!" jawab pria tersebut."Ok! Sekarang kamu boleh pergi!" Clara mengibaskan tangannya, memberi kode pada orang suruhan supaya pergi dari hadapannya. Rania! Jadi, dia orangnya! kata batin Clara menegak minuman dingin yang tersaji untuknya. Bibirnya mengecap mengimbangi senyum manis yang tertoreh."Sama sekali tak cocok! Apa mungkin, sekertaris bodoh itu mencoba untuk memanas-manasiku?" tebak Clara berpikir. Sejenak, Clara menegak salivanya sendiri saat mengingat jari manis Rania mengenakan cincin saat menolong dirinya."Tapi, dia memakai cinc
Kenapa dia berkata seperti itu? Apa dia lupa kalo dalam perjanjian kami hanya menikah enam bulan saja? batin Rania bertanya.Di rumah, Larisa mendesah sebal. Kedua bola matanya tak berhenti menatap ke arah sapu yang ia genggam sedari tadi. Sebuah benda yang tak pernah ia pegang selama menikah dengan suaminya."Benar-benar menyebalkan. Untuk kali pertamanya, Larisa Argantara menjadi seorang pembantu seperti ini! Kenapa, sih? Cari pembantu di sini susah banget," keluh Larisa menyandarkan kepalanya tepat di bahu sofa yang ada di ruang tamu. Bibirnya memanyun seraya meletakkan sapu begitu saja. Larisa meraih ponselnya dan mengusap layar pipih yang menyala. Terlihat jelas foto keluarganya tampil di layar wallpaper."Gara-gara ipar kamu, istri kamu ini terpaksa harus menjadi pembantu di rumah ini. Kuku-kuku mami jadi rusak, Pi!" keluh Larisa menatap kuku-kukunya."Papi ... Mami ingin pulang!" rengek Larisa yang rindu dengan suaminya.Helaan nafas mulai keluar dari hidung mancungnya. Sudut
"Jujur aku bahagia banget mendapatkan kartu ini. Tapi, masa' iya aku menggunakannya? Apa dia lupa dengan surat perjanjian yang aku berikan waktu itu?Dengan cepat, Rania mengambil ponsel miliknya. Jari jemari tangannya mulai mengetikkan sebuah pesan pada Sakti."Apa maksud dari dua kartu ini? Kenapa kamu memberiku dua kartu milik kamu? Bukankah dalam perjanjian aku sudah bilang, kalo aku tak menerima uang sepersenpun dari kamu? Kecuali, denda yang harus kamu bayar saat melanggar perjanjian."Rania merapatkan bibirnya. Sudut matanya mengerut membaca pesan yang akan ia kirim pada sang suami. "Apa kata-kataku terlihat kasar?" tanya Rania menghapus pesan itu secara perlahan."Argh! Biarkan sajalah. Bukankah itu keinginannya, menyuruhku untuk berbicara menggunakan aku kamu!" Tanpa banyak buang waktu, Rania segera mengirim pesan tersebut.Tak sampai lima menit, dengan cepat Rania membaca balasan pesan dari Sakti Argantara. Membaca sebuah pesan yang terlihat menumpuk di layar ponselnya.Ia
Clara terkejut. Lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat suara Kevin terdengar olehnya. Ia menoleh. Dan TUARRTamparan keras melesat tepat di pipi kanannya."Dasar wanita sialan!" ketus ibu Mega yang terlihat marah dengan Clara.Kevin dan Mike tercengang di buatnya."Kakak!" ucap Clara seraya memegang pipi kanannya. Sungguh, terasa sangat sakit dan membekas tamparaan keras tersebut."Kakak?" tanya Mike mengerutkan keningnya. Ia seakan tak percaya jika ibu Mega adalah kakak kandungnya Clara."Bagaimana bisa kamu melakukan semua ini? Kamu tau? Rumah ini adalah kenangan kita bersama ayah dan ibu. Dan bisa-bisanya kamu menjual tanpa ijin terlebih dulu padaku. Apa kamu sudah tak menganggap kakak lagi!" ketus ibu mega meluapkan rasa amarah yang tertahan. Clara terdiam. Bibirnya bergetar mengimbangi rasa sakit hati yang masih membekas di hati."Maafkan aku, Kak. Aku terpaksa menjualnya. Aku tak mau aku berhutang budi dengan lelaki yang sudah menjadi milik orang lain. Sudah cu
"Sebentar lagi, sebentar lagi kehidupanmu akan berubah, Rania Agatha! Dan aku pastikan mereka tak akan mau dengan wanita sepertimu!" ucap Clara begitu senang bukan main.Rania terdiam. Sungguh, ia sangat bingung akan perkataan yang terlontar dari mulut Clara. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa. Terasa sangat kering dan sakit. "Bersiaplah!" gegas Clara mulai pergi meninggalkan rania seorang diri di kamar.Rania menghela nafas berat. Dua bola manik matanya tak berhenti menatap ke arah Clara yang mulai pergi meninggalkannya. Akan tetapi, Rania mengerling saat Clara berjabat tangan dengan lelaki paruh baya yang terlihat begitu menyeramkan."Aku tak bisa bayangkan, bagaimana ekspresi sakti setelah orang yang ia cintai telah di peristri oleh orang lain. Hah, sudah pasti dia akan menjadi gila!" Perkataan Clara seketika mengingatkan rania.'Kurang ajar! Bisa-bisanya dia ingin menjualku." Rania menggigit bibir bawahnya menahan rasa amarah yang tertahan saat melihat Clara tersenyum senang
"Kamu nggak usah ke sana! Biar aku yang mengurusnya!" ucap Mike."Jangan melarangku! Katakan! Di mana dan siapa yang membawa istriku pergi?" tegas Sakti meluapkan rasa amarahnya."Clara! Tadi clara menghubungiku dan dia tau di mana Rania berada," tutur Mike menjelaskan."Lalu, kamu percaya dengan kata-katanya?" tanya Sakti yang tak mendengar bantahan dari sahabatnya itu. "Yang aku butuhkan saat ini adalah informasi yang akurat dari plat nomor mobil yang aku kirimkan padamu itu. Cari sekarang!"Sakti segera mematikan ponselnya. Ia mendesah sebal saat Mike tak melakukan apa yang ia minta."Bagaimana bisa dia mengabaikan perintahku yang sangat penting ini?" keluh Sakti menegak salivanya dengan paksa. Untuk kali pertama, Mike tak secepat kilat seperti biasanya. Biasanya, di saat sakti selalu memberikan perintah, tak butuh waktu lama mike menyelesaikannya. Sangat berbeda dengan perintah kali ini. Padahal, perintah kali ini sangat berharga bagi Sakti. Bahkan melebihi nyawanya.Di kantor, M
Rania terjatuh tak sadarkan diri."Bawa dia masuk!" perintah seseorang yang membuat Rania pingsan karenanya.Sedangkan, Sakti bingung mencari keberadaan Rania yang tak ada di restoran.'Apa dia sudah pulang ke rumah?' batin Sakti bertanya. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya dan segera menghubungi sopir yang sudah ia tugaskan untuk mengantar sang istri pergi."Halo, Pak! Di mana sekarang?" tanya Sakti memastikan.Sesaat, kedua bola matanya mengerling mengimbangi tegakan salivanya yang mengalir begitu saja. Bibirnya merapat seraya berpikir kemana sang istri pergi."Hubungi yang lain. Dan segera hubungi saya jika sudah menemukan ibu Rania!" Perintah Sakti menutup teleponnya.Alisnya bertaut. Kedua tangannya menopang di pinggang sembari mengamati tempat duduk yang memperlihatkan sesuatu yang tidak asing baginya.Dengan cepat, ia mulai melangkah. Dua bola matanya tak berhenti menatap ke arah pesanan yang sama persis dengan permintaannya pada Rania. "Minumannya masih utuh. Apa mungkin di
"Siapa wanita itu? Bisa-bisanya memanggil suamiku dengan sebutan 'Say'? Dan dia juga, kenapa dia berbicara terang-terangan menjawab pertanyaan wanita itu di depanku?"Bibir ranum rania memanyun. Rasa bahagia dan semangat yang membara perlahan mulai memudar saat rasa cemburu mulai menguasai dirinya."Setelah aku memberikan semua kepadanya, bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku? Hah," keluh Rania melempar dua baju yang ada di tangannya.Di kantor, Sakti berjalan menghampiri Bu Mega, manager keuangan yang usianya lebih tua darinya. Sakti sudah menganggap Bu Mega seperti ibunya sendiri. Tak heran jika mereka begitu akrab. Layaknya ibu dan anak."Semuanya sudah beres, ibu tinggal membenahi selisih keuangannya saja!" tunjuk Sakti ke arah laporan yang di pegang oleh bu Mega."Jadi, hari ini ibu harus lembur, dong?" tanya Ibu Mega memastikan."Heem. Bukankah ibu tak pernah salah dalam berhitung? Tapi, kenapa laporan ini banyak kesalahan?" cecar Sakti yang menatap wanita paruh baya yang du
Tak seharusnya kamu menyuruhku ke sini melihat keromantisan kalian!" Lirih mike dengan tatapan sinis.Sakti menyeringai. Ia tak habis pikir, Mike sudah datang membawa makanan yang ia pesan."Letakkan saja di meja dan kamu ...," kata Sakti terhenti."Masih belum kelar?" tanya Mike berjalan ke arah meja kerja Sakti yang masih sama seperti waktu ia pulang kerja. Laporan menumpuk dan tak ada kegiatan laptop untuk melakukan pekerjaan.'Hah! Pasti dia menyuruhku ke sini untuk lembur. Dan sudah pasti, dia akan beralasan mengantar pulang rania,' gumam batin Mike melirik sahabatnya yang masih sibuk dengan benda layar pipih yang menempel di telinga."Baik, Pak. Sebelum jam dua belas, saya akan mengirimkan file-nya!" Perkataan Sakti yang membuat Mike mendesah sebal dan sudah sangat bisa di tebak, dia akan lembur seorang diri.'Dasar sahabat laknat! Dia tak tau apa, seharian aku tak istirahat karenanya!' gerutu batin Mike membanting tubuhnya tepat di kursi putar milik sahabatnya itu."Pulanglah!
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Rania mulai panik.'Kenapa dia diam saja? Apa jangan-jangan dia ....' kata batin Rania terhenti saat pikiran negatif mulai menghantuinya."Tidak! Dia tak mungkin mati! Tidak!' Batin Rania seakan berkecamuk. Dua bola matanya berkaca-kaca. Rasa nikmat dan bahagia yang ia rasakan seketika berubah menjadi rasa takut dan sedih yang teramat dalam."Bangunlah! Tolong, jangan tinggalkan aku!" kata Rania mengoyak tubuh Sakti yang masih berada dalam pelukannya. Air matanya pun menetes saat tak ada jawaban yang keluar dari mulut suaminya itu. Dua bola mata Rania berputar. Semua terlihat begitu gelap dan hanya terdengar detakan jam dinding yang ada di ruangan tersebut.Perlahan, Rania mencoba mendorong tubuh Sakti dan berusaha untuk duduk. Bibirnya bergetar, jemari tangannya mulai mencari dan meraba remote yang akan menerangi ruangan tersebut.TekRania mengernyip. Sinar beberapa lampu yang menyala membuat kedua matanya silau.GlekTegakkan salivanya mengalir de
' Kenapa tatapan matanya seperti itu? Apa rasa cintanya kepadaku berubah hanya gegara sapu itu?' tanya Rania dalam hati seraya melihat sapu yang berada dalam genggaman sakti."Rania, apa kamu tau ...," ucap Sakti terhenti."Bukankah kamu bilang sangat mencintaiku? Lalu, kenapa kamu marah padaku hanya gegara sapu jelek itu? Kamu tau! Sejak semalam, perasaanku bercampur aduk karenamu," gumam Rania memanyunkan bibirnya. Sakti menyeringai. Perlahan, ia mulai meletakkan sapu itu di samping meja dan berjalan menghampiri Rania. Ia tak menyangka, istrinya salah paham dengan tingkah lakunya itu."Di saat aku mulai mencintaimu, kamu malah ...."GlekDua bola manik mata Rania mengerling. Tegakan salivanya mengalir dengan paksa saat lumatan hangat mengarah pada bibir ranum miliknya. Begitu hangat dan kenyal. Sejenak, lentik indah bulu matanya tak berhenti mengerjap saat Sakti melepas ciumannya. Apalagi jemari tangan Sakti mendongakkan dagunya secara perlahan. Sungguh, membuat detakan ritme jant
DegRania mengerling saat melihat tulisan yang membuat dirinya seakan tak mampu menegak salivanya sendiri.'Jadi dia ....' Dua bola mata indahnya berkaca-kaca. Tangannya bergetar saat melihat penyakit yang tertulis dalam rongsen tersebut. Sebuah penyakit yang selama ini berada dalam pikirannya.'Ya Tuhan, apa ini benar?' tanya batin Rania seraya menggelengkan kepala.Alis Sarah bertaut. Ia melirik sahabatnya yang terlihat sedih setelah membuka barang yang ia berikan."Ada apa?" tanya Sarah penasaran. Jemari tangannya dengan cepat menggenggam tangan sahabatnya itu.Rania buru-buru memasukkan kembali hasil rongsen tersebut. Bibirnya mengembang, mencoba menutupi rasa sedih yang menguasai dirinya."Tidak! Tidak ada apa-apa! By the way, terimakasih ya! Kamu sudah mau mengantar ini padaku!" ucap Rania mencoba untuk tersenyum."Serius. Kamu tak apa? Tapi, kenapa mata kamu ...," tunjuk Sarah memastikan."Oh ini," tunjuk Rania ke arah sudut matanya."Tadi, tadi aku menguap tiada henti. Jad