Lepas kejadian itu, Forin tidak berani melakukan apapun terhadap Reon. Dia hanya memandang dari dekat. Menunggunya bangun untuk kembali dibius. Lalu, di tengah gebyarnya Sakura, Zara masih sendiri menunggu. Seseorang yang mampu membuat tangannya terkepal. "Aku akan pergi," berujar pada pohon Sakura di depannya. Berbalik badan dan memandang restoran yang lumayan jauh nan lumayan ramai. "Tetaplah indah seperti ini sampai aku datang bersama Tuanku, Pohon Sakura," lanjutnya sebelum melangkah. Sesaat lagi tiba di penghujung hari. Zara berhasil duduk di antara pelanggan yang sepi. Tanpa suara, tanpa pesanan, dan tanpa perubahan. Melamun menyangga kepala menatap jalanan dari jendela restoran. Bibir itu bungkam bahkan tidak menyentuh air gratis yang tersedia di meja. Orang-orang di restoran tersenyum dengan arti yang berbeda-beda kala menatapnya. "Siapa yang sedang ditunggu, ya?" "Manisnya! Aku juga ingin cosplay di tempat terbuka!" "Apa sedang akting menjadi dewasa? Ah, teduhnya!"
"Cepat bergerak! Hari ini Zara menangkap Mario. Kita tidak punya banyak waktu!" Alexa sibuk menata barang dan mengotak-atik tablet hitam demi dapat terbang ke Tokyo sekarang juga. Jari-jemarinya sangat cekatan. "Hah, syukurlah semuanya selesai. Kita berhasil mengembalikan kepercayaan semua klien dan berkat kepopuleran Zara di kantor cabang membuahkan hasil besar. Aku sampai menerima suntikan amunisi ribuan kali! Mario keparat itu!" Zack membakar diri dengan semangat. Dia juga sedang mengemas barang ke koper. "Hei, tidak sebanyak itu, Tuan." Azuma menepuk udara dengan sebelah tangan. Keningnya bertaut heran. Teringin membantu, tetapi Zack dan Alexa melarangnya, sehingga hanya berdiri menjadi penonton di ruang tamu. "Sangat hebat Zara! Dia memang bisa diandalkan! Meskipun cukup lama juga. Eee, sudah berapa hari, ya? Dua hari? Tiga hari?" Bastian bahkan ada di sana. Dia sudah bersiap dengan kamera dan koper yang tertutup. Rumah itu menjadi sangat ramai. Setelah kobaran api memb
Malam telah menghiasi Tokyo. Tidak ada perbedaan antara langit dan permukaan tanah. Semua gelap di mata Zara. Dia berada di depan sebuah kamar yang nampak suram. Mario membawanya ke sana. Sontak Zara menendang pintu itu karena berpikir pintunya terkunci. Ternyata bisa terbuka dengan baik dan engselnya rusak. "Tuaaannn!!!" Terkejut dahsyat melihat Reon yang diborgol dan terikat rantai. Matanya tertutup, terpancar cahaya biru dari bulan di pantulan jendela. Segera lari mendekat, terpaksa Mario mengikuti langkahnya. Dia terduduk lemas. Teriakan itu tidak ada artinya.Seketika pandangan mengedar memeriksa kondisi. Deru napas yang stabil dan wajah segar tanpa ada tanda pucat sudah membuatnya bernapas lega. "Huft! Tidak ada luka lebam atau darah yang menetes. Tidak ada goresan sedikit pun. Tidak ada perubahan warna seperti makanan basi yang dikerumuni lalat karena ada dua lalat payah di sini. Syukurlah! Kau aman, Tuan! Aku di sini, aku datang untuk menyelamatkanmu. Ayo, pulanglah den
"Jadi, kita apakan mereka?" tanya Mario seraya memijat pergelangan tangannya. Forin menghela napas panjang memandang Zara. "Dibagi dua? Kau Reon dan aku Zara. Aku sangat ingin melempar Zara ke jurang agar wajah cantiknya rusak." "Oh? Sungguh kejam," kata Mario datar. "Benarkah?" Mulut Forin yang terbuka hendak bicara mendadak terhenti. Suara bariton itu melebarkan matanya. "Sayang sekali!" lanjutnya dingin. Mendadak malam semakin dingin. Forin dan Mario menoleh cepat ke arah Reon. Syok laki-laki itu telah terbangun. "Reon?" Forin mundur selangkah. "Sejak kapan kau bangun?" Mario mengepalkan tangan dan berdecih. "Sejak pelayanku bersimpuh luruh di sampingku." Reon berkedip dan menatap mereka tajam. "Huaaa!" Forin masih trauma, ketakutan bersembunyi di belakang Mario. "O-obat tidurnya pasti sudah habis. Dia bisa melepas borgol rantai itu sekarang juga," cicitnya. "Tidak selama Zara ada di sini."Forin melihat Mario bingung.Dia mengeluarkan senjata api dari dalam kemeja
Melotot setelah pandangannya benar-benar jelas. Tanpa sadar mencengkeram lengan Reon kuat. Dua orang itu berdiri berdampingan seraya membawa senapan. Gelap nan hitam. Tanpa ekspresi terlihat begitu mematikan. Zara tak bisa berkata-kata lagi. Mulutnya tetap terbuka. "Karena kami telah meringkus anak buah yang kau bicarakan, jadi perlawanan ini sia-sia. Hentikan, Mario." sambung Zack. 'Me-mereka datang?' batin Zara. Keterkejutan Zara tidak lebih parah dari Mario. Dia berbalik seutuhnya membelakangi Reon dan Zara hanya untuk tidak percaya. "Ke-kenapa kalian bisa kemari?! Bukankah ada banyak pekerjaan yang menyibukkan kalian sampai lupa diri?!" berteriak sesuka hati.Mungkin hatinya remuk karena seluruh usahanya sia-sia."Bodoh!" jawab Alexa telak membuat Mario tersentak. Dia menyembunyikan senjata api dalam balik jas-nya, begitu juga Zack. Reon tiba-tiba menendang ranjang ke belakang hingga kembali ke posisi semula. Lalu, mendudukinya.Melihat sosok majikannya yang duduk bagai r
Zara masih belum tenang. Kegelisahan yang melanda berasal dari pertanyaan. Dendam apa yang dimiliki Mario? "Waahh, Zara! Syukurlah aku bertemu denganmu lagi! Aku merindukanmu! Sangat-sangat merindukanmu!" Bastian mengambil alih atas Zara. Zara pasrah begitu saja ditarik dan diamati dari atas hingga bawah. Menatap tanah sambil mengetuk dagu, cenderung terlihat melamun. Bastian yang berbinar dicampakkan. 'Sshhh, kupikir aku akan tertembak tadi. Mario sudah gila. Eee, apa tidak masalah membiarkan mereka pergi dengan orang-orang suruhan Reon? Ini malam hari, semuanya bisa terjadi. Lagipula mereka licik,' pikir Zara panjang. Tanpa disadari, dahi berkerut aneh. "Lihat, Zara, lihat! Lihat kemari! Foto pertama di Tokyo adalah dirimu. Ah, berpose lah seperti saat kau membintangi parfum Pak Reon, ayo!"Bastian masih gencar menunjukkan kasih sayang dan rindu, tetapi Zara membatu di dunianya sendiri. Sementara, Reon dan kedua orang kepercayaannya ada di sana. Di trotoar yang begitu ramai t
Zara menggaruk pelipis dengan jari. Senyumnya kaku sampai terlihat gigi taring. 'Yang begini bagaimana cara memulainya, ya?' tawa kering dalam hati. Pasalnya dia tinggal berdua dengan Reon di trotoar lebar nan dingin ini. Rasanya ingin sendiri sepi. Apa mungkin dia tidak sanggup berhadapan dengan Reon setelah berpisah cukup lama? Perlahan Zara menoleh menatap Reon yang terus terpusat padanya. Napasnya tercekat. 'Kenapa dia melihatku terus? Apa ada sesuatu di wajahku?' pikirnya.Lalu, angin dingin yang lebih besar melintas menerpa wajah menggoyangkan rambut mereka. Zara terbuai. Alis terangkat dengan mulut membulat. 'A-apa ini? Aku ... kembali terpesona padanya?' hati sudah bicara. Wajah lelah itu, tatapan tajam nan redup yang menyiratkan sesuatu, apakah Zara terbuai karenanya? Atau kah angin yang menerpa wajah tampan itu membekukan dirinya? Mata Zara tersihir dan dia tidak bisa membantah. Sekarang tidak tahu harus bagaimana. Bertanya kabar atau mencampur segala emosi yang in
Tidak bisa membiarkan wajah laki-laki itu terus murung, Zara mengambil sebuah korek api di sakunya. "Ah, aku masih membawa ini, ya? Kupikir akan membakar Mario dan Forin juga tadi. Habisnya mereka seperti sampah, haha. Emm, sayang sekali kalau kubawa tapi tidak ada gunanya. Apa sebaiknya kubakar pohon-pohon ini saja, ya?" Reon sedikit tertarik. "Bodoh sekali," ujarnya tanpa memaki. Zara yang meliriknya pun tersenyum, lalu menyalakan korek api itu. "Wah, apinya berwarna jingga!" Gemerlap mata Zara yang melebar membuat mulut Reon terbuka. "Sayangnya begitu kecil. Apa menurutmu api ini bisa menyinari satu pohon besar ini, Tuan? Agar lebih terang dan setiap kelopak yang berjatuhan bisa terlihat lebih jelas," lanjut Zara. Tangan itu hangat melindungi api agar tidak padam. "Tidak bisa," jawab Reon singkat. Namun, pandangannya turun sepenuhnya.Zara menoleh. Senyum itu berubah mengartikan sesuatu. "Jika aku bisa membuktikannya, apa kau mau memenuhi satu permintaanku, Tuan?" Alis
Diam-diam mengintip di celah pintu. Kamar Reon membuat bulu kuduk Zara merinding. Kakinya gemetaran, meringis dalam diam. "Aduh! Kenapa aku malah ke sini? Tadinya hanya penasaran apa yang Reon lakukan, kenapa aku benar-benar datang mengintipnya?" mencicit bodoh. Tiba-tiba pintu terbuka membuat Zara berteriak hampir jatuh tersungkur. "Aaa, sakit sekali!" Bangkit mengusap lutut yang terbentur keras dengan lantai. Ada kaki besar di sampingnya. Seketika Zara mati gaya. Dia berdiri cepat dan memberi senyuman manis. "Ah, Tuan. Tidak bisa tidur, ya?" Senyum itu menjadi kikuk. Reon menatapnya begitu dalam sampai Zara terpaksa memutar-mutarkan pandangannya. "Zara," panggil Reon membuat Zara terjingkat. "Hiii! Iya, Tuan!" Seketika Zara bersikap tegap. "Apa kau tidak keberatan menyukai mantan Pembunuh Rahasia sepertiku?" Tatapan redup Reon mengatakan segalanya. Zara mendelik heboh bahkan sulit bernapas. 'Kenapa tiba-tiba begini?! Apa yang merasukinya?!' memekik dalam hati
"Zara Azuri Frazanista, kuucapkan terima kasih sudah mendampingi Tuan tanpa memerasnya seperti rencanamu pada awalnya," ujar Aoi tanpa melepas rokok di sudut mulutnya. Zara mendelik meringis. 'Sial! Kenapa gadis ini bisa setenang Alexa? Tidak, Alexa lebih gelap dari ini,' batin Zara. "Aku tidak bermaksud memerasnya, tapi memanfaatkannya." bela Zara malas menepis udara. "Omong-omong, kau sangat cantik!" Aoi mengeluarkan asap rokok dari mulutnya seperti mainan. Zara terperangah langsung memegang kedua pipi. "Iya, haha, jangan begitu. Aku tidak secantik itu."Dia tersipu. "Bicaranya jadi malu-malu." Bastian mendelik.Ekspresi Zara berubah seketika ketika menoleh ke Bastian. "Jadi, apa yang kalian lakukan?" Pertanyaan yang cukup serius. Bastian melengos. "Hanya bermain," jawabnya santai. Zara memicing tidak percaya. Dia pun berdiri membuat mereka mendongak. "Bastian, kutunggu penjelasanmu. Yah, terserah kalian mau bermain atau tidak, aku tidak berhak mengaturnya, tetapi aku
"Semuanya telah berakhir?" Di gerbang kantor polisi, Ryo bertanya kepada Zara. Zara mengangguk mantap. "Sudah berakhir!" Mereka berjabat tangan dan menukar senyum.Tidak akan ada pembalasan dendam lagi yang menyulitkan semua orang. Zara sudah bisa lega sepenuhnya. Kegelisahan di hati pun hilang. "Aku akan pergi ke jalanku. Temui aku jika membutuhkan sesuatu. Setelah ini apa rencanamu?" Ryo melepaskan jabatan tangan mereka. Zara berkedip polos. "Hmm? Aku akan kembali bekerja di rumah Tuan Reon, apa lagi?" Ryo pun menepuk dahi. "Gadis payah!" "Ha? Apa? Kenapa kau bilang begitu?" Zara seperti orang bodoh yang dikerjai. Namun, jalan memisahkan mereka sehingga Zara tidak mendapat jawabannya. Ryo kembali mengatur perusahaannya dan Zara kembali ke rumah Reon bersama orang-orang penting yang berbunga-bunga akannya. Setibanya di rumah, dia baru sadar bahwa Bastian dan Aoi menghilang, padahal Reon beserta kedua ajudannya ada di sana. "Bibi, ke mana Bastian dan Aoi? Tadi mereka p
Keesokan harinya, Zara sudah tidak menjadi tahanan asmara. Ryo berniat untuk menyelesaikan segalanya dan memulai sesuatu yang baru. Dengan didampingi Zara, Ryo berniat menuju kantor polisi, akan tetapi tanpa diduga Forin menghadang di depan rumahnya. "Astaga! Forin?!" Zara yang terkejut sampai mundur hampir kembali ke teras. Ryo juga terkejut, tetapi dia mematung. 'A-apa yang dilakukannya di sini?! Pagi-pagi sekali sudah ada masalah?! Oh, tidak, kapan ini akan selesai?!' batin Zara menjerit. Memandang mereka berdua bergantian sampai matanya melebar. Ekspresi Forin nampak segan bercampur malu, tetapi terdapat niat yang kuat. Mereka diam sampai Forin membuka percakapan. Dia sangat gelisah sebelum memantapkan langkah dan memandang Ryo dalam. "Ryo, aku ingin mengakhiri hubungan denganmu," ujar Forin tegas. Sontak pagi yang cerah itu menjadi mendung bagi Ryo. Zara membekap mulutnya. Syok tak berkesudahan dengan keberanian Forin dalam bermain-main, akan tetapi kali ini mantan mode
Demam melanda, panas-dingin di sekujur badan. Hujan petir di luar menambah gelapnya kamar. Zara menyelimuti Ryo dengan satu-satunya selimut dan menyuruhnya duduk menekuk lutut setelah sadar. Laki-laki itu begitu lembab. Tubuhnya membiru nan pucat. Zara panik tak karuan. "Ada apa denganmu? Kenapa bisa begini? Kau bermain hujan? Seperti anak kecil saja!" Marah Zara akan kekhawatirannya. Ryo yang terpuruk menatap Zara dengan makna berbeda. Sisi perhatian nan baik itu membuatnya berdecak dalam hati. Memalingkan pandangan kembali pada kesedihan yang mendalam. Kemudian, dia menceritakan segalanya. Tentang Forin yang berkhianat.Zara terperangah, "Apa ... kau bilang?" Tangan lemah tak lagi memegang selimut yang menutupi Ryo dari kepala hingga kaki. Laki-laki itu pun mengangguk lemah. Zara tidak bisa berucap sepatah kata pun. Meskipun telah mengetahui perasaan Forin pada Reon, tetapi keberanian Forin menyelamatkan Reon dan mengakui cintanya pada Ryo itu terlalu memukul. Bahkan Zara
"Karena aku mencintaimu!" Jantung Reon bergemuruh. Langit menghadirkan guntur dan awan mendung dari segala sisi. Bulan separuh yang bersinar mulai tertutup mendung. Musim kemarau lenyap untuk malam ini. Rintikan air mulai turun mengguyur seluruh sudut Jakarta. Pernyataan Forin hanyut bersamaan turunnya hujan. "Kau gila!" Reon menggeleng. Forin justru berbinar. "Ini pertama kalinya kau menggunakan ekspresimu untukku selain senyuman sinis dan marah. Aku senang sekali!" Reon memejamkan mata meredam emosi. "Terima kasih, tapi aku tidak punya banyak waktu. Membebaskanku hanya akan menambah masalah bagimu." Reon hendak pergi, tetapi Forin menariknya berjongkok di dekat pintu belakang. "Ssttt! Aku punya rencana untuk membawa Zara ke sisimu."Forin mengangguk pasti. Reon terpancing."Zara?" Tatapannya sedikit berubah. "Ryo menjaganya sangat ketat. Jika aku yang membawanya keluar pasti tidak akan masalah. Percayalah padaku!" Reon hendak membalas, akan tetapi sebuah tepuk tangan te
Bastian masih menganga tak percaya. Bagaimana bisa seorang gadis berubah menjadi kepala sipir yang mengerikan?Bagaimana pula tubuh kecil itu berkembang menjadi besar? Di depan cermin, Bastian tak kunjung reda menunjukkan wajah bodohnya. "Aku siap! Kau jangan mengacaukan rencanaku. Jika tidak, kau juga akan kugantung!" Aoi berbalik sembari memakai sarung tangan putih. Bastian tersentak mundur. "Haaa! Suara ... suaramu juga berubah seperti laki-laki!" Syok yang tak berkesudahan itu membuat Aoi mendesah panjang."Ayo pergi!" Terpaksa menyeret Bastian dengan menarik kamera yang terkalung di leher. Sungguh malam yang indah penuh gairah. Perempuan bisa menjadi sangat kuat dari dua sisi. Zara hanya bisa merenung membayangkan langit gelap penuh bintang. Andai saja pertarungan juga terjadi padanya sekarang. "Menendang pintu juga tidak berhasil. Sialan! Ryo, kau melanggar janjimu!" Ribuan kali Zara memaki tak mempan menghilangkan dendamnya. Semua untaian perasaan Ryo sebelumnya len
Ryo memberitahu siksaan yang Reon terima di penjara kepada Zara. Terus mengancam dan mendorong mental Zara agar bersedia membebaskan Forin dan Mario. Gadis itu begitu tangguh, meskipun mendengar Reon disiksa. Ini sudah lewat satu hari. Semuanya masih berjalan monoton. Hingga pada akhirnya, di pagi ini Ryo kembali datang membawa sebuah video rekaman. "Pergilah!" usir Zara. Ryo tersenyum miring setelah mengunci pintu."Kenapa? Ayo kita bermain-main, Sayang! Akan kuperlihatkan kehidupan penjara padamu." Langkah tertata memaksa keberanian Zara mundur hingga terealisasikan. Zara menabrak kepala ranjang dan Ryo semakin mendekatinya. Kemudian, rekaman video itu pun diputar. Bagai tersapu badai seorang diri, kesadaran Zara menghilang. Mata seakan buta dan telinga tidak mendengar.Ryo tersenyum jahat melihat Zara yang membatu tak berdaya. Ketangguhan Reon yang tak menjerit sama sekali dalam menerima semua siksaan itu tiba-tiba meluruhkan air mata Zara. Tanpa suara, gadis itu menangis
Sementara Reon yang terus disiksa, perusahaannya masih berjalan dengan normal. Alasannya karena Zack dan Alexa dipaksa bekerja dari penjara. "Haha, ini menarik! Akan kukenang seumur hidup. Ternyata penjara tidak sepahit itu. Yah, jika aku mau kubisa merusak besi-besi ini kapan saja, tapi demi Pak Reon dan Zara aku harus menahannya. Ah, aku pegal. Azuma, bisakah kau buatkan aku kopi?" Zack dengan lihai mengolah dokumen di laptop dalam jeruji besi. Dia bertolakbelakang dengan Alexa yang juga sedang bekerja. Azuma hanya memandang mereka di pojokan. "Hanya debu yang bisa kuberikan padamu, Tuan Zack. Huft, kenapa Tuan Reon harus menerima pukulan yang menyakitkan itu demi kita? Kenapa tidak membiarkan kita menanggungnya juga? Aku sangat sedih!" lirih Azuma. "Menjijikkan!" maki Alexa datar. Seketika bibir Azuma semakin melengkung ke bawah. "Itulah kualitas terbaik Tuan kita, bukan?" Zack meredupkan matanya.Di sisi lain, Ryo membawakan makanan untuk Zara. Zara berdiri tegap mengepal