Pagi itu, Wisang terbangun dengan perasaan hampa. Tangannya meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari kehangatan yang seharusnya ada di sana, tapi yang dia temukan hanyalah dinginnya seprai yang kosong. Matanya membuka perlahan, masih diselimuti kantuk, dan perasaan cemas mulai merayap di hatinya."Taka?" panggil Wisang dengan suara serak. Tak ada jawaban.Dia bangkit dari tempat tidur, merasa ada yang aneh. Semua benda di kamar terlihat sama seperti malam sebelumnya. Namun, keberadaan Taka yang tak lagi di sisinya membuat suasana kamar itu seketika berubah menjadi asing.Wisang berjalan keluar kamar, menelusuri setiap sudut rumah dengan harapan menemukan Taka duduk di dapur atau sedang menyiapkan kopi seperti biasanya. Tapi rumah itu sunyi. Bahkan, tak ada tanda-tanda keberadaan Taka sama sekali. Ketika Wisang kembali ke kamar, pandangannya tertuju pada ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ada satu pesan baru yang belum terbaca, dari Taka. Dengan jantung yang ber
Wisang berdiri di depan gedung perusahaan Taka, menatap langit yang semakin gelap. Hujan mulai turun, rintik-rintiknya membasahi rambut dan jaketnya, tetapi dia tidak peduli. Pikirannya terus dipenuhi oleh satu nama—Taka. Ke mana dia harus mencari? Wisang berpikir sejenak, mencoba mengingat tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi bersama. Taman kecil di dekat rumah mereka, kafe favorit mereka di sudut jalan, atau mungkin pantai tempat mereka sering duduk berdua menikmati senja. Namun, setiap tempat itu seolah-olah kehilangan kehangatannya tanpa Taka di sisinya.Tanpa berpikir panjang, Wisang memutuskan untuk pergi ke tempat pertama yang terlintas di benaknya—taman kecil di dekat rumah mereka. Taka sering berkata bahwa taman itu adalah tempatnya menenangkan diri, terutama saat dia merasa terbebani oleh pekerjaan atau masalah pribadi. Mungkin, hanya mungkin, Taka ada di sana, merenungkan sesuatu yang tidak bisa dia bagi dengan Wisang.Perjalanan menuju taman terasa berat. Jalanan yang
Keesokan harinya, Wisang berangkat ke kantornya dengan perasaan yang bercampur aduk. Setelah kejadian semalam di kafe, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Pria misterius itu menyebut Dimas, memberikan petunjuk samar, tapi tak banyak yang bisa Wisang lakukan dengan informasi terbatas. Pencariannya tentang Taka terus menyisakan banyak misteri yang belum terpecahkan.Saat Wisang memasuki lobi kantor, dia langsung melihat Taka berdiri di dekat lift, sedang berbicara dengan rekan kerja. Tubuh Wisang tegang seketika. Taka terlihat seperti biasa—rapi, tenang, namun ada sesuatu yang berbeda. Dia menyadari Taka tidak lagi menunjukkan kehangatan yang biasanya terpancar dalam tatapan matanya. Malah, saat Taka sekilas melihatnya, pria itu segera mengalihkan pandangan seolah Wisang tak ada di sana.Wisang mencoba mendekat, berharap bisa berbicara dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Taka!" panggilnya dengan suara pelan namun penuh harap.Namun, Taka hanya menoleh singkat tanpa eksp
"Aku selalu tahu, ada yang aneh dengan hubunganmu dan Dimas," kata Nadia dengan nada sinis. "Dan sekarang, setelah semua drama perceraian itu, kau berharap bisa menjadi istri Taka, ya?"Kata-kata itu menghantam Wisang seperti batu keras. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga karena rasa malu yang tiba-tiba menyeruak. "Apa maksudmu?" Wisang berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun dadanya bergemuruh.Nadia tertawa kecil, matanya memicing licik. "Oh, ayolah, Wisang. Semua orang bisa melihatnya. Kau memilih bercerai dari Dimas, lalu mendekati Taka. Kau pikir tak ada yang menyadari itu? Kau benar-benar berpikir Taka akan menggantikan posisimu yang sekarang hancur?"Wisang mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah yang semakin mendidih. "Apa yang kau tahu tentang hidupku, Nadia?" tanyanya, berusaha menjaga nadanya tetap stabil. "Aku tidak perlu penilaianmu."Nadia melipat tangan di dadanya, senyumnya semakin melebar. "Oh, aku t
Wisang menatap Taka, mencoba meredam luapan emosinya yang seakan hendak meledak. "Apa maumu sebenarnya, Taka? Aku berhak tahu," desaknya, suaranya serak karena keputusasaan yang mendesak keluar.Taka kembali menunduk, kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya. Sejenak, hanya angin sore yang menjadi saksi dari ketegangan di antara mereka. "Aku hanya ingin kau bahagia, Wisang," ucap Taka pelan. "Dan aku tahu, dengan aku di hidupmu, kebahagiaan itu takkan pernah ada."Wisang tersentak mendengar itu. Hatinya terasa mencelos. "Apa maksudmu? Kau pikir dengan meninggalkanku, aku akan bahagia?""Ya," jawab Taka, matanya akhirnya menatap langsung ke dalam mata Wisang. "Aku tidak bisa terus ada di sini, mendampingimu, sementara aku tahu setiap langkah kita bersama hanya akan membawa lebih banyak luka. Ini yang terbaik untuk kita berdua."Tapi Wisang tak bisa menerima itu begitu saja. Semua yang telah mereka lalui, semua perasaan yang terbangun di antara mereka, begitu saja dibuang? "Aku tahu
Wisang menatap Taka dengan tatapan tajam, seolah berharap jawaban yang selama ini ia nanti akan terungkap. "Apa sebenarnya maumu, Taka? Kau tak bisa terus bersikap seperti ini tanpa penjelasan," desaknya. Suaranya serak, terbata oleh emosi yang nyaris meledak.Taka menundukkan kepala, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. “Aku hanya ingin kau bahagia, Wisang,” jawabnya lirih, nyaris berbisik. "Dan aku tahu... jika aku tetap di hidupmu, kebahagiaan itu tak akan pernah ada."Wisang tercengang mendengar kata-kata itu. Hatinya mencelos, teriris oleh keputusasaan. “Kau pikir dengan meninggalkanku, aku akan bahagia?” suaranya bergetar, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Taka menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Wisang. "Ya," jawabnya, tegas namun lirih. "Kita tidak bisa terus begini, Wisang. Setiap langkah yang kita ambil bersama hanya akan membawa lebih banyak luk
Pria yang baru saja memasuki toko bunga itu menatap Wisang dengan pandangan yang tajam dan intens. Wajahnya tidak asing, namun ada sesuatu yang membuat Wisang merasa tak nyaman. "Aku mendengar kau memulai usaha baru," ucap pria itu dengan nada dingin. "Kukira kau sudah melupakan masa lalu kita."Wisang berusaha menjaga ketenangannya, meski hatinya mulai berdebar tak karuan. “Dimas,” gumamnya pelan, tak ingin menunjukkan kepanikan yang merayapi dirinya. “Apa yang kau lakukan di sini?”Dimas tersenyum sinis, melangkah lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. “Oh, aku hanya ingin memastikan bahwa kau benar-benar mengerti situasi ini, Wisang. Taka bukan untukmu. Kau harus berhenti bermimpi. Jika kau tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk...”Wisang mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. "Kau pikir ancaman seperti itu akan membuatku mundur? Sudah cukup. Kau tidak berhak menentukan hidupku, atau hidup Taka!"Dimas tertawa kecil, suaranya sarat d
Saat Wisang melihat lampu mobil Taka mendekat, hatinya berdebar. Ia menutup toko bunga dengan cepat, menyapu pandangan ke sekitar memastikan tak ada siapa pun yang memperhatikan. Ketika mobil Taka berhenti tepat di depannya, ia berjalan menghampiri sambil mencoba meredakan kekhawatiran yang memenuhi pikirannya.Taka keluar dari mobil dengan langkah cepat dan wajah yang tegang. Tatapan mata mereka bertemu, dan dalam sekejap Wisang tahu bahwa Taka sedang menghadapi situasi yang berat.“Taka…” Wisang berbisik, namun suaranya cukup jelas dalam keheningan malam itu. “Apa yang terjadi? Kenapa kau ke sini?”Taka terdiam sejenak, menatap Wisang dengan sorot mata yang tak tertebak. "Aku tak bisa menahannya lagi, Wisang," suaranya bergetar, menandakan kepedihan yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. "Aku harus bicara denganmu."Mereka berdua masuk ke dalam toko bunga yang sudah gelap. Wisang menyalakan lampu kecil di sudut, cukup untuk menerangi wajah mereka tanpa menarik perhatian dari lua
Beberapa minggu setelah perceraian resmi Wisang dan Dimas, hidup mulai memasuki fase yang lebih stabil. Wisang sibuk dengan rencana barunya, sementara Taka semakin fokus pada yayasan pendidikan yang sedang ia bangun. Keduanya sering berkomunikasi, berbagi ide, dan perlahan membangun kembali kepercayaan yang sempat terguncang karena konflik masa lalu.Pada suatu pagi di akhir pekan, Wisang datang ke kantor kecil yang baru saja disewa Taka untuk yayasannya. Di dalam, ada beberapa kotak berisi buku, perlengkapan belajar, dan proposal proyek. Taka, yang mengenakan kemeja putih sederhana, tengah sibuk memeriksa daftar donatur yang sudah mulai masuk."Hebat sekali, Taka," puji Wisang saat masuk. "Kantor ini sederhana, tapi aku bisa merasakan energinya. Aku yakin tempat ini akan jadi awal dari banyak perubahan besar."Taka tersenyum sambil menyerahkan secangkir kopi yang ia siapkan. "Aku hanya berusaha mewujudkan mimpi kecil, Wisang. Tanpa dukunganmu, mungkin ini akan terasa jauh lebih sulit
Setelah melalui proses panjang di pengadilan, perceraian antara Dimas dan Wisang akhirnya disetujui. Pengadilan memutuskan pembagian harta gono-gini, memberikan Wisang separuh dari total aset yang selama ini mereka bangun bersama. Keputusan ini bukan hanya kemenangan di mata hukum tetapi juga awal dari kebebasan Wisang yang telah lama terkungkung dalam bayang-bayang Dimas. Wisang merasa lega, meskipun perceraian ini adalah akhir dari hubungan yang sempat ia perjuangkan.Di luar ruang sidang, Wisang berdiri dengan perasaan campur aduk, mencoba mencerna keputusan pengadilan yang baru saja diketuk. Ia melihat pengacaranya, Pak Adnan, menghampiri dengan senyum penuh kemenangan.“Selamat, Wisang,” kata Pak Adnan sambil mengulurkan tangan. “Akhirnya kita berhasil mendapatkan yang menjadi hakmu.”Wisang menjabat tangan Pak Adnan dengan erat. "Terima kasih banyak, Pak. Semua ini mungkin nggak akan tercapai tanpa bantuan Anda."Pak Adnan mengangguk penuh keyakinan. “Saya hanya menjalankan tuga
Wisang segera menyadari bahwa mereka tak punya banyak waktu. Mendengar suara langkah-langkah yang mendekat, ia menoleh cepat pada Taka, lalu berbisik, “Ayo, kita harus pergi sekarang!”Taka, yang masih memeluk Ghenta erat, menatap Wisang dengan tatapan tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah saat yang paling krusial. Dengan gerakan cepat, Wisang menggandeng tangan Taka dan memberi isyarat agar mereka bergerak dengan tenang menuju pintu belakang.“Kita ke mobilku,” Wisang berbisik sambil menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang memperhatikan. “Mobilku terparkir di belakang rumah ini.”Mereka berjalan hati-hati, berusaha menahan suara langkah mereka agar tidak terdengar dari depan. Ghenta yang merasa kehadiran ibunya sangat menenangkannya, memeluk Taka tanpa banyak bicara, seolah memahami bahwa situasi ini tidak biasa.Saat mereka berhasil mencapai pintu belakang dan melangkah keluar menuju mobil Wisang yang tersembunyi di antara pepohonan, Wisang segera membuka pintu belakang dan me
Saat Wisang melihat lampu mobil Taka mendekat, hatinya berdebar. Ia menutup toko bunga dengan cepat, menyapu pandangan ke sekitar memastikan tak ada siapa pun yang memperhatikan. Ketika mobil Taka berhenti tepat di depannya, ia berjalan menghampiri sambil mencoba meredakan kekhawatiran yang memenuhi pikirannya.Taka keluar dari mobil dengan langkah cepat dan wajah yang tegang. Tatapan mata mereka bertemu, dan dalam sekejap Wisang tahu bahwa Taka sedang menghadapi situasi yang berat.“Taka…” Wisang berbisik, namun suaranya cukup jelas dalam keheningan malam itu. “Apa yang terjadi? Kenapa kau ke sini?”Taka terdiam sejenak, menatap Wisang dengan sorot mata yang tak tertebak. "Aku tak bisa menahannya lagi, Wisang," suaranya bergetar, menandakan kepedihan yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. "Aku harus bicara denganmu."Mereka berdua masuk ke dalam toko bunga yang sudah gelap. Wisang menyalakan lampu kecil di sudut, cukup untuk menerangi wajah mereka tanpa menarik perhatian dari lua
Pria yang baru saja memasuki toko bunga itu menatap Wisang dengan pandangan yang tajam dan intens. Wajahnya tidak asing, namun ada sesuatu yang membuat Wisang merasa tak nyaman. "Aku mendengar kau memulai usaha baru," ucap pria itu dengan nada dingin. "Kukira kau sudah melupakan masa lalu kita."Wisang berusaha menjaga ketenangannya, meski hatinya mulai berdebar tak karuan. “Dimas,” gumamnya pelan, tak ingin menunjukkan kepanikan yang merayapi dirinya. “Apa yang kau lakukan di sini?”Dimas tersenyum sinis, melangkah lebih dekat, membuat jarak di antara mereka semakin sempit. “Oh, aku hanya ingin memastikan bahwa kau benar-benar mengerti situasi ini, Wisang. Taka bukan untukmu. Kau harus berhenti bermimpi. Jika kau tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk...”Wisang mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi yang mulai memuncak. "Kau pikir ancaman seperti itu akan membuatku mundur? Sudah cukup. Kau tidak berhak menentukan hidupku, atau hidup Taka!"Dimas tertawa kecil, suaranya sarat d
Wisang menatap Taka dengan tatapan tajam, seolah berharap jawaban yang selama ini ia nanti akan terungkap. "Apa sebenarnya maumu, Taka? Kau tak bisa terus bersikap seperti ini tanpa penjelasan," desaknya. Suaranya serak, terbata oleh emosi yang nyaris meledak.Taka menundukkan kepala, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, mencoba menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di hatinya. “Aku hanya ingin kau bahagia, Wisang,” jawabnya lirih, nyaris berbisik. "Dan aku tahu... jika aku tetap di hidupmu, kebahagiaan itu tak akan pernah ada."Wisang tercengang mendengar kata-kata itu. Hatinya mencelos, teriris oleh keputusasaan. “Kau pikir dengan meninggalkanku, aku akan bahagia?” suaranya bergetar, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Taka menghela napas panjang, lalu mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata Wisang. "Ya," jawabnya, tegas namun lirih. "Kita tidak bisa terus begini, Wisang. Setiap langkah yang kita ambil bersama hanya akan membawa lebih banyak luk
Wisang menatap Taka, mencoba meredam luapan emosinya yang seakan hendak meledak. "Apa maumu sebenarnya, Taka? Aku berhak tahu," desaknya, suaranya serak karena keputusasaan yang mendesak keluar.Taka kembali menunduk, kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya. Sejenak, hanya angin sore yang menjadi saksi dari ketegangan di antara mereka. "Aku hanya ingin kau bahagia, Wisang," ucap Taka pelan. "Dan aku tahu, dengan aku di hidupmu, kebahagiaan itu takkan pernah ada."Wisang tersentak mendengar itu. Hatinya terasa mencelos. "Apa maksudmu? Kau pikir dengan meninggalkanku, aku akan bahagia?""Ya," jawab Taka, matanya akhirnya menatap langsung ke dalam mata Wisang. "Aku tidak bisa terus ada di sini, mendampingimu, sementara aku tahu setiap langkah kita bersama hanya akan membawa lebih banyak luka. Ini yang terbaik untuk kita berdua."Tapi Wisang tak bisa menerima itu begitu saja. Semua yang telah mereka lalui, semua perasaan yang terbangun di antara mereka, begitu saja dibuang? "Aku tahu
"Aku selalu tahu, ada yang aneh dengan hubunganmu dan Dimas," kata Nadia dengan nada sinis. "Dan sekarang, setelah semua drama perceraian itu, kau berharap bisa menjadi istri Taka, ya?"Kata-kata itu menghantam Wisang seperti batu keras. Wajahnya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga karena rasa malu yang tiba-tiba menyeruak. "Apa maksudmu?" Wisang berusaha menjaga suaranya tetap tenang, meskipun dadanya bergemuruh.Nadia tertawa kecil, matanya memicing licik. "Oh, ayolah, Wisang. Semua orang bisa melihatnya. Kau memilih bercerai dari Dimas, lalu mendekati Taka. Kau pikir tak ada yang menyadari itu? Kau benar-benar berpikir Taka akan menggantikan posisimu yang sekarang hancur?"Wisang mengepalkan tangan, mencoba menahan amarah yang semakin mendidih. "Apa yang kau tahu tentang hidupku, Nadia?" tanyanya, berusaha menjaga nadanya tetap stabil. "Aku tidak perlu penilaianmu."Nadia melipat tangan di dadanya, senyumnya semakin melebar. "Oh, aku t
Keesokan harinya, Wisang berangkat ke kantornya dengan perasaan yang bercampur aduk. Setelah kejadian semalam di kafe, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Pria misterius itu menyebut Dimas, memberikan petunjuk samar, tapi tak banyak yang bisa Wisang lakukan dengan informasi terbatas. Pencariannya tentang Taka terus menyisakan banyak misteri yang belum terpecahkan.Saat Wisang memasuki lobi kantor, dia langsung melihat Taka berdiri di dekat lift, sedang berbicara dengan rekan kerja. Tubuh Wisang tegang seketika. Taka terlihat seperti biasa—rapi, tenang, namun ada sesuatu yang berbeda. Dia menyadari Taka tidak lagi menunjukkan kehangatan yang biasanya terpancar dalam tatapan matanya. Malah, saat Taka sekilas melihatnya, pria itu segera mengalihkan pandangan seolah Wisang tak ada di sana.Wisang mencoba mendekat, berharap bisa berbicara dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Taka!" panggilnya dengan suara pelan namun penuh harap.Namun, Taka hanya menoleh singkat tanpa eksp