Aku menatap langit-langit kamarku dalam keheningan malam, aku seperti biasa tidak dapat tidur. Walaupun semuanya dalam kondisi yang sama, di kamar yang sama, di tempat tidur yang sama, aku tetap tidak bisa tidur, tapi mengapa selama beberapa hari ini aku bisa tertidur pulas? Mataku menerawang ke sekeliling kamarku yang temaram, lalu menangkap sebuah tas yang sudah putus talinya di atas meja. Ya, itu yang membuat semuanya berbeda, Anna, tidak ada Anna hari ini di sampingku. Hatiku mencelos, menyadari hal itu. Bagaimana wanita tidak tahu diri itu bisa membuatku menjadi tergantung dengannya.
Setelah beberapa lama aku mencoba menutup mata akhirnya aku menyerah dan duduk di atas tempat tidurku. Mataku kembali kepada tas itu, aku berdiri dan kembali meraih tas itu, lalu duduk di atas kasur sambil kembali mengeluarkan isi tas itu. Handphonenya jatuh ke pangkuanku. Aku segera melihat handphone itu dengan penuh rasa ingin tahu. Aku membuka foto-fotonya. Ada berbagai dirinya dalam berba
Aku bermaksud untuk berangkat kerja lebih dahulu, dengan mengendap-endap melewati kamar mama, aku berjalan menuju pintu, tapi saat aku mengenakan sepatu, mama sudah ada di belakangku dengan tangan di pinggangnya."Kenapa kamu mengendap-endap, dah seperti maling saja!" ucapnya gusar. Aku memutar tubuhku dan melihat mamaku yang cantik tapi pucat terlihat kecewa padaku."Aku baru mau ijin sama mama mau pergi kerja." ucapku tersenyum semanis mungkin agar dia tidak marah."Pakai sepatu?" Dia menunjuk kakiku yang sebelah sudah memakai sepatu."Iya, baru ingat belum absen sama Mama, makanya baru sebelah pakainya." Aku beralasan, mama mendengus tidak percaya."Tunggu dimana dia?" tanya mama tanpa basa basi, menebak dengan tepat mengapa aku mengendap-endap."Raka tidak tahu, maksudnya tadi aku mau ke rumahnya." jawabku jujur. Mama langsung mendekatiku lalu menjewer telingaku."Bandel, gimana kalau orang komplek liat, semua dah pada tahu kalau kamu mo
"Kita harus bicara." Aku bingung dimulai dari mana, tapi sebaiknya jangan disini untuk membicarakannya. Akhirnya dia menyelesaikan makannya, dan dia ke belakang sambil membawa piringku juga. Lantai belakangnya naik sekitar 15 cm sehingga aku harus menekuk kepalaku, desain rumah ini aneh sekali, mengapa lantai dapur bisa naik begini."Ngapain kamu disini," Anna bertanya dengan ketus. Aku juga tidak mengerti mengapa aku mengikutinya, bahkan kepalaku mulai terasa pegal."Aku mau tahu kenapa di dapur ini ga ada ventilasi udara, bisa kebakaran kalau begini!" Aku mencari lobang udara, pasti pengap sekali kalau mereka memasak."Kalau kalian masak, asap pasti ga bisa keluar, dan kalian bisa sesak napas!" ujarku lagi memandangnya, dia tiba-tiba mau menyentuh wajahku, aku terkejut lalu menepis tangannya dengan kasar, aku mundur dengan terkejut."Apaan sih!" jantungku berdebar kencang, aku tidak suka wajahku disentuh. Tidak ada, bahkan Leona pun tidak pernah menyentuh w
"Ya udah bicara, dari tadi bilang mau bicara tapi nggak bicara-bicara." Aku kesal karena dia dari tadi mengulur-ulur waktu. Tadi aku merasa bersalah sekali dengan Raka, seharusnya aku tadi langsung naik, dan tidak membiarkan pria ini menarikku. Dia menggertakkan giginya dengan kesal."Ga bisa di mobil begini, kamu harus tanda tangan sesuatu," jawabnya dengan ketus dengan pandangan masih lurus ke depan."Tanda-tangan apa lagi?" Buat apa dia tanda-tanganku, aku melipat tanganku dengan kesal."Warisan!" Dia membentakku. Aku menatapnya kesal, kenapa dia jadi membentakku, dia yang datang tiba-tiba ke rumah, memaksaku masuk ke mobilnya, dan sekarang saat aku bertanya dia malah marah-marah, dasar menyebalkan.Tapi, tadi dia bilang apa?"Apa kamu bilang?" tanyaku menatapnya. Dia memandangku kembali dengan heran."Warisan, tanda-tangan warisan!" jawabnya ketus. Aku menatapnya bingung, kenapa aku harus tanda-tangan? apakah ini maksudnya aku mendapat
"Prove it!" seru Leona menantangku dengan mata melotot. Aku sudah tak bisa lagi menahan amarahku yang sudah di ubun-ubun, Aku menghentakkan kemejaku yang dia tarik sehingga terlepas."Aku bisa buktikan," teriakku marah. Leona memicingkan matanya seakan meragukanku, dia menantangku dengan melipat tangannya, menunggu pembuktianku. Aku mengalihkan pandanganku ke segala arah, berpikir cepat apa yang aku bisa lakukan, lalu aku melihat Anna.Aku segera menariknya, meletakkan telapak tanganku di tengkuknya dan menundukan wajahku, memaksakan ciumanku, dia mendorongku segera, memberontak ingin melepaskan dirinya dari dekapanku, tapi aku menariknya lebih dekat, memposisikan dia agar aku bisa merasakan bibirnya lebih lekat lagi, dan aku merasakan sesuatu yang berbeda, di luar bayanganku, bibirnya begitu memabukan. Aku seperti terkena racun karena kini bibirnya menghipnotisku, aku mau lebih, bukan karena pemaksaan, tapi aku ingin benar-benar merasakan dia seutuhnya. Mata Anna lama-l
Astaga, apa yang aku lakukan disini? Mengapa aku jadi merasa aneh seperti ini? Ayolah Anna, jangan sampai kamu merasakan yang macam-macam, dia itu Ethan,... Ethan, pria kasar yang tidak tahu diri! Tapi, kenapa debaran jantungku tidak berhenti-henti dari tadi? Bibirku seperti masih merasakan kecupannya, mengapa aku tadi bisa-bisanya menerima ciumannya? dan yang lebih aneh lagi mengapa aku malah masih mau merasakan bibirnya di bibirku? Aku benar-benar menikmatinya, aku masih mau lagi.Dan di lift tadi, seakan-akan ciuman tadi masih kurang, aku masih harus berdekatan dengannya, dihadapannya menatap matanya yang dalam itu, meletakkan kepalaku di dadanya yang bidang itu, aku menghela napas panjang.Kini hanya berdua bersamanya membuatku merasa kikuk. Setelah masih ke dalam kantornya kami malah saling tatap, riuh perkantoran langsung menghilang ketika pintu tertutup. Wajahnya tidak dapat kubaca, apa yang ada di dalam pikirannya ya?"Kantor...mu ramai juga,
"Tidak bisa, jika kamu menolak maka kamu menghancurkanku. Aku juga tidak bisa menerima semua harta itu." jawabku sejujurnya, apalah hidupku jika aku tidak bisa bekerja, hidupku hanya diisi oleh pekerjaan. Aku menatapnya yang masih memegang map kuning itu."Tapi itu tidak mungkin!" jawabnya menghindari pandanganku. Aku melangkah mendekatinya, hatiku sakit mendengar jawabannya, sehina itukah menikah denganku?"Kenapa?" Aku tidak bisa menerima penolakannya, maksudku ... aku tahu aku tidak buruk rupa, dan pastinya aku kaya, mengapa dia tidak mau menikah denganku? kenapa?"Kamu pasti gila!" Dia masih membantahku"Kenapa?" Emosiku mulai naik, seperti biasa jika bersama wanita ini, emosiku sangat tidak stabil."Yah... aku nggak mungkin menikah denganmu!" jawabnya seenaknya, menyakiti hatiku."Kenapa?" Aku kini sudah di hadapannya menatapnya, dia mundur sampai menemp
Lagi-lagi aku gagal mengontrol diriku, mengapa aku begitu lemah di hadapannya? mengapa begitu dia menyentuhku, aku langsung berserah dan pasrah kepadanya? Aku yang kini sedang digandengnya, melalui lobby kantor yang ramai, banyak kasak-kusuk orang berbisik membicarakanku, tapi Ethan tidak sadar atau mungkin tak perduli. Dia tetap menggandengku membawaku ke mobilnya yang sudah siap di pintu lobby. Petugas yang membawa mobilnya menunduk hormat kepadaku lalu membukakan pintu untukku, sementara Ethan masuk ke dalam mobil.Aku tak berani memandangnya, aku malu. Memikirkan ketika tadi bisa-bisanya aku mengerang saat dia mencium leherku, aku begitu malu. Aku kini merasa bersalah karena menikmati semua kecupannya tadi, oh apa yang aku telah lakukan. Aku seharusnya tidak seperti itu tadi! Tiba-tiba, perutku berbunyi, oh tidak perut kamu jangan bikin malu, kira-kira dia dengar tidak ya tadi, kumohon jangan sampai dia mendengar. Aku melirik kearahnya melihatnya dari kaca spion ten
Wanita di sebelahku terus memperhatikan Trudy dengan mata melotot, dia berusaha agar tidak terlalu terlihat perasaannya, tapi hal itu justru membuatnya aneh. Aku memperhatikan tubuh Trudy yang seksi. Trudy tahu bagaimana cara menunduk sehingga dia bisa mempertunjukkan kemolekan tubuhnya dengan sempurna. Aku senyum-senyum karena hal itu semakin membuat Anna bereaksi lucu. Apakah dia cemburu? seperti inikah rasanya dicemburui oleh seseorang? Aku berusaha keras untuk tidak tertawa. Trudy semakin semangat berlegok- legok karena melihat senyumanku, sebenarnya aku muak melihatnya, tapi demi melihat kerlingan mata Anna yang mencemooh aku membiarkannya."Ada lagi yang saya bisa bantu Mr. Ethan?" desah Trudy berbisik di telingaku, aku segera mundur, itu agak keterlaluan, tapi hal itu langsung terbayar dengan pandangan Anna kepada Trudy yang mencela."Sepertinya tidak ada terima kasih," jawabnya kepada Trudy. Matanya yang sinis membuatku melambung kar
"Oh Anna," desah Ethan terengah-engah merasakan sentuhan Anna yang semakin mendesak. Dia semakin bersemangat untuk meninggalkan jejak di cerukan leher Anna, tapi wanita itu segera menghindar."Jangan, ah kita kan mau ke dokter, nanti malu ah," seru Anna sambil terkikik geli merasakan bibir suaminya di lehernya yang jenjang."Ish, biar saja, biar mereka semua tahu kamu ada yang punya," ujar Ethan masih mau menikmati kulit putih sempurna milih istrinya itu, tapi Anna menggeliat dengan sedemikian rupa sehingga Ethan tetap tak bisa menyesap leher sempurna itu.Dia lalu memegang kedua tangan istrinya sambil tersenyum miring. Wanita itu menatapnya dengan mata coklat mudanya yang cantik. Matanya membulat karena terkejut."Kareba bergerak terus aku akan ikat kamu!" Ethan bergaya tegas, tapi tatapan mata Anna yang memelas membuatnya tidak tega, dia mendengus lalu menyerah."Aku menc
Saat Daniel menanyakan hal itu, Anna keluar dari kamar dan mengambil alih Jacob. Anna hanya mendengar sekilas ucapan Daniel, tapi dia mengerti apa yang sedang dibicarakan."Aku ikut, saat kamu ke dokter aku ikut!" ujarnya cepat lalu meletakkan Jacob kembali ke kursinya. Batita itu kembali merenggut dan merengek, dia maunya di gendong, dia tak suka berada di kursi. Dia mulai meraung, tapi ketiga orang dewasa di sekitarnya tak ada yang peduli padanya."Oh... haruskah hari ini?" tanya Ethan sambil meletakkan daging asap mengepul di tengah meja."Ethan, kita tak tahu sampai kapan kamu akan sadar, nanti kalau kamu tiba-tiba menghilang bagaimana?" tanya Daniel dengan penuh kekhawatiran. Anna, membuat makanan untuk Jacob, lagi-lagi instan karena dia belum belanja. Ethan mencari pengalihan perhatian."Makan apa dia? Mengapa instan begitu? Seharusnya kamu masak makanan sehat untuknya jangan yang instan, Dani,
“Aku akan selalu bersamamu sayang.” Mereka menyatu dengan sempurna, Anna mengangguk setitik air mata terjatuh di pipinya.“Kamu sangat sempurna untukku, Anna. Aku mencintaimu.” Mereka saling terengah-engah memuaskan diri dan emosi mereka yang kini saling berpadu. Napas mereka memburu dengan detak jantung yang saling bertalu-talu. “Oh, betapa aku mencintainya, jangan lupakan aku, Ethan!” pinta Anna dalam hati. Dia memekik bersamaan dengan Ethan yang melenguh panjang. Pria itu menatapnya lalu mengecup air matanya.“Terima kasih sayang, karena kembali kepadaku.” Anna bergelung di dada suaminya. “Terima kasih karena telah mengingatku.” desah Anna dalam hati.Ethan berdiri untuk mengambil kaosnya dan mengenakannya kembali merebahkan dirinya di samping Anna. Pria itu menarik pinggang Ana yang ramping. Istrinya masuk kedalam pelukannya, namun walaupun Anna
Dia berdiri diatas bangku berusaha mengikat tali di bagian atas langit-langit ruangan. Namun palang yang dulunya ada untuk mamanya mengikat kini bisa tidak ada. Tadi ada, namun kini hilang, lalu saat dia sadari, tali yang dia pegang pun tak ada? Kemana itu semua? Dia berteriak dengan frustasi sampai pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Wanita tadi masuk dengan air mata bercucuran di pipinya."Sayang, jangang sayang maafkan aku, oh Tuhan, maafkan aku, sayang turunlah!" pekik Anna dengan sangat takut. Wajah Ethan begitu gelap. Dia berdiri diatas bangku dengan canggung, wajahnya bingung seperti mencari sesuatu yang tiba-tiba menghilang."Ethan Samuel, turun kamu dari situ!" teriak Anna berusaha dengan tegas seakan dia sedang memarahi Jacob yang membuang-buang makanannya. Pria itu menoleh dengan bingung."Aku bilang turun, kamu harus turun!" Walau air mata Anna mengalir deras, dia merasa, Ethan harus dikagetkan, dengan ca
"Sayang…," desah Ethan sambil menciumi kelopak telinga Anna sehingga Anna tekikik geli. Tubuhnya mulai bergoyang tak terkendali, merespon tiap sentuhan Ethan. Jemari Anna mulai meraih kancing kemeja kerja Ethan. Dan dengan terampil kancing demi kancing dilepaskannya. Ethan tersenyum miring saat merasakan kemejanya sudah terlepas semua, dan jemari Anna mulai merasakan dadanya."Hmm, geli Anna," Ethan mendesah saat Anna terus menyusuri kulit perutnya yang berkotak-kotak.Anna tersenyum nakal, sambil terus merasakan hangatnya tubuh Ethan. pria itu dengan cepat melepas kemejanya sehingga kedua tangan Anna bebas menyentuhnya. Mata wanita itu berbinar-binar melihat tubuh Ethan yang kurus namun berotot itu."Kamu harus makan lebih banyak ya? Tubuhmu kurus sekali," Anna menyu
"Sayang, maafkan aku, kamu sudah pulang dan aku malah membuatmu takut, kembalilah padaku, aku sangat merindukanmu," desah Ethan di telinga Anna, pelukannya terasa nyata. Anna tak lagi berusaha melepaskan diri. Dia menoleh untuk menatap Ethan, dan menilai.Mata pria itu kembali hangat sebagaimana Anna mengingatnya. Dia tersenyum sedih, memandang Anna penuh harap. Anna menatap Jacob yang sudah kembali merasa aman di pelukan mamanya, batita itu sudah sibuk bermain dengan kancing baju mamanya. Tapi tiba-tiba dia menyentuh hidung papanya"Pa….pa," cengirnya memperlihatkan gusi yang kemerahan."Iya sayang, aku papamu." Ethan menangis menatap bayinya, bukan dia sudah besar sudah bukan bayi lagi. Betapa dia sudah kehilangan waktu, apa yang terjadi? Anna terk
"Aku Anna, Anna Federica, istrimu, ibu dari Jacob anakmu. Aku berhak ke lantai tiga, atau kemanapun aku mau karena aku… ini… istri...mu!" pekiknya marah sambil memukul Ethan yang terlihat linglung. Anna marah dan kecewa, baru saja dia berpikir, Ethan sembuh dan mereka bisa kembali seperti sedia kala. Namun dalam sekejap semua harapannya pecah berkeping-keping.Dia terus memukuli Ethan sampai kedua tangannya dipegang Ethan dengan kuat sehingga dia tidak bisa memukulnya."Apa, kamu kamu apa?" teriak anna marah berusaha melepaskan diri yang percuma."Aku mau ini." Pria itu lalu menunduk mengecupnya lagi. Dia terus mendorongnya ke dinding, sambil terus menciumnya dengan panas. Anna menerima ciuman itu dengan bingung, namun gairahnya muncul dan kem
Ethan tak dapat berpikir, untuk sementara dia hanya mengagumi kecantikan alami wanita di hadapannya. Dia bergerak otomatis mendekati wanita itu saat dia sedang sibuk mengeringkan rambutnya. matanya membesar saat menyadari Ethan sudah ada dihadapannya."Mau apa kamu?" tanya Anna mundur. Tapi Ethan semakin mendekat, dan dia sudah menempel di dinding kaca boks mandi."Mengapa kamu sangat mengganggu?" Dia mengangkat tangannya dan mengelus pipi Anna dengan lembut, wanita itu terperangah, merasakan sentuhan Ethan setelah beberapa lama, rasanya luar biasa. Mereka saling pandang yang terasa sangat intens dan ketika insting membawa Ethan untuk menunduk dan merasakan bibir wanita itu dia mundur. Kaget dengan apa yang ada di kepalanya."Astaga, apa yang baru saja dia pikirkan?" batin Ethan, bagaimana dia bisa mau mencium wanita lain selain Anna. Wanita itu menatapnya lalu segera meninggalkannya yang bingung di dalam kam
Daniel menatap Ethan yang kini makan dengan lahapnya di meja makan. Walaupun pikirannya belum sembuh setidaknya hari ini sudah ada makanan yang masuk."Dani, chef-nya pintar yang kali ini, boleh dipertahankan. Nanti siang aku mau masakan dia lagi," ucap Ethan mengambil lagi nasi goreng dari bakul. Daniel mengangguk dengan senyuman di bibir karena mengetahui kalau itu adalah masakan Anna. Semoga dengan keberadaan Anna, Ethan bisa pulih."Dani, kamu bisa jadwalkan dokter buat Anna? Dia sepertinya kesakitan sekali kemarin, punggungnya pegal, dia kan sudah masuk bulan ke-7?" Dan harapan Daniel kembali pupus. Entah kenapa, ingatan Ethan selalu berhenti di Anna hamil 7 bulan. Setiap hari perintahnya selalu sama. Namun Daniel hanya mengangguk dan meninggalkannya masih asyik makan.