Doakan entar malam bisa up satu lagi 😁
“Kau pasti sudah gila,” gumam Jovi terlihat kesal setengah mati. “Aku rasa iya.” Vanessa pun sama sekali tidak menampik. “Tai boleh kembalikan ponselku dulu? Aku sedang butuh benda itu.” Dengan decakan kesal, Jovi mengeluarkan ponsel dari saku celananya, untuk diberikan pada sang istri. Sejujurnya, dia sangat tidak rela melakukan hal itu. Vanessa mungkin akan pergi meninggalkannya setelah mendapatkan ponsel, dan Jovi tidak senang dengan hal itu. “Kau tidak akan pergi kan?” tanya Jovi sebelum menyerahkan ponselnya. “Untuk saat ini tidak. Biar bagaimana pun, kita semua perlu berbicara,” jawab Vanessa merampas ponselnya. “Itu benar.” Jovi mengangguk pelan. “Kita semua harus berbicara untuk meluruskan masalah tidak masuk akal yang ditimbulkan oleh Manda.” “Sebenarnya tidak perlu benar-benar bicara juga,” balas Vanessa sembari mengetik pada ponselnya. “Aku hanya perlu tahu hasil USG atau tes darah dari dokter dan kita bisa menyelesaikan masalah dengan cepat setelah ini.”
“Katakan saja pada mereka kalau aku sedang hamil.” Manda langsung mengatakan hal itu, setelah pintu tertutup. “Maaf?” Perawat yang menemani di dalam ruangan, langsung bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Bisakah kau keluar dulu?” tanya Manda dengan senyum lebar. “Saya butuh konsultasi berdua saja dengan dokternya, karena jujur saja ini bersifat pribadi.” Si perawat menatap sang dokter, kemudian keluar ketika dokter itu mengangguk. Biar bagaimana, ini adalah permintaan pasien dan sudah disetujui oleh dokter. “Mbak Manda benar?” Si dokter melihat data pasiennya. “Bisa dibantu?” “Aku memiliki sedikit masalah dengan keluarga pacarku.” Manda tidak segan untuk menceritakan kisahnya, walau sebagian itu adalah kebohongan. “Intinya, aku mungkin akan dicelakai jika aku tidak hamil.” “Mana ada yang seperti itu?” Si dokter menaikkan alisnya dengan tatapan bingung. “Mereka ingin keturunan, tapi aku belum hamil. Karena itu aku diminta jadi orang ketiga di pernikahan peca
“Dokter sialan itu menipuku!” Manda nyaris saja berteriak, ketika pada akhirnya dia sampai di tempat parkir rumah sakit. “Hei, aku tidak berusaha menipumu.” Siapa sangka sang dokter mengikutinya. “Aku hanya tidak bisa berbohong di depan bosku. Aku takut ketahuan dan dipecat. Apalagi ini menyangkut legalitas sebagai dokter.” “Tapi kau mengambil keuntungan dariku.” Manda tidak segan untuk menarik kerah jas sang dokter. “Lagi pula, bagaimana kau bisa mengingat aku adalah pasienmu?” “Kau menawari hal yang tidak mungkin ditolak pria normal. Kalau kau seberani itu, bukankah kau sama saja dengan perempuan malam yang sedang menjajakan diri?” tanya sang dokter dengan sebelah alis terangkat. “Kau ....” Manda sudah siap menyemburkan amarahnya, tapi gerakan sang dokter membuatnya berhenti. “Ambil saja semua ini.” Sang dokter menyelipkan lembaran uang ke dalam kemben Manda, mumpung tempat itu sedang sepi. “Anggap saja bayaran tadi, walau itu sebenarnya terlalu banyak untukmu.” Si
“Vanessa.” Jovi yang memarkir mobilnya dengan sembarangan, bergegas mengejar sang istri yang sudah turun duluan. "Aku sedang lelah, Vi. Tolong biarkan aku beristirahat." Sayangnya, Vanessa enggan mendengar apa pun yang ingin dikatakan suaminya. "Aku mohon, Nes." Jovi pun tampak tidak ingin menyerah, bahkan kini dia menarik tangan sang istri. "Aku butuh bicara denganmu." "Mau bicara apa lagi?" tanya Vanessa tampak malas. "Kita sudah menyelesaikan semua pembicaraan sejak tadi." "Kau sungguh ingin bercerai?" tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah sejak awal, memang seperti itu perjanjiannya?" Vanessa balas bertanya. "Sejak awal, pernikahan kita bukan sesuatu yang permanen. Itu semua hanya kontrak saja." Jovi terdiam mendengar apa yang dikatakan istrinya. Itu bukan hal yang salah, tapi entah kenapa sang dokter merasa ada yang salah. Dia bahkan masih mengejar Vanessa yang sudah berhasil melepaskan diri dan berjalan ke arah lift. "Kau mau apa lagi?" Vanessa mendesis
"Lepaskan aku." Vanessa tentu saja akan berteriak, ketika rambutnya ditarik."Seenaknya saja kau." Perempuan yang menarik rambut Vanessa tentu tidak mau mendengar. "Sudah selingkuh, merebut pacar orang, tapi masih minta dilepaskan? Yang benar saja.""Siapa yang kau sebut selingkuh?" Tentu saja Jovi akan ikut campur. "Dia istriku dan tidak ada yang selingkuh."Jovi berhasil membuat perempuan yang entah siapa itu, melepas jambakannya pada rambut sang istri. Itu pun masih membuat rambut Vanessa yang rapuh berguguran."Oh, rambutku." Vanessa bahkan mengeluhkannya."Nanti kau pergi perawatan saja di salon." Jovi malah memberikan usulan. "Dengan begitu, rambutmu akan jadi bagus lagi. Tapi sekarang, mungkin kau harus menelepon kakakmu dulu.""Siapa yang akan kalian telepon?" hardik perempuan yang tadi mengaku sebagai pacar lelaki bernama Ben. "Mau menelepon Ben? Agar dia tahu kalau kau adalah perempuan bersuami, bahkan membawa suami pengangguranmu ini ke rumahku?""Maaf, tapi aku tid
"Maaf karena dia sudah menghina. Aku akan pastikan dia mendapatkan pelajaran yang setimpal." Ben perlu sedikit membungkuk meminta maaf pada dua orang di depannya."Tentu saja harus mendapatkan pelajaran setimpal." Jovi mengangguk dengan sangat yakin. "Biar bagaimana, pacarmu sangat keterlaluan. Sekarang, biarkan aku dan Vanessa mendiskusikan beberapa hal."Ben yang memang berdiri di dekat pintu, dengan mudah diusir keluar oleh Jovi. Itu semua terjadi dengan cepat, bahkan membuat Ben kebingungan ketika sudah berada di luar unit apartemen itu."Kau tidak perlu mengusir Kak Ben seperti itu." Tentu saja Vanessa akan protes. "Biar bagaimana, ini adalah tempatnya.""Tempat pacarnya." Jovi meralat dengan cepat. "Setidaknya itu yang tadi kutangkap dari hinaan dan percakapan dua sejoli tadi. Itu berarti, kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini.""Kenapa harus seperti itu?" tanya Vanessa dengan kening berkerut."Yang benar saja, Nes." Sang dokter memutar bola matanya dengan ekspre
"Harder," desis Vanessa dengan pelan. "As you wish, Darling." Tanpa perlu diminta dua kali, Jovi mempercepat gerakannya. Dia tahu Vanessa sudah dekat, tapi dirinya masih agak lama. Karena itu pula sang dokter ingin mempercepat gerakan, karena ingin merasakan kenikmatan bersama dengan sang istri. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Vanessa sudah gemetar karena kenikmatan, tapi dirinya masih menginkan lebih. Alhasil, Jovi hanya memberikan waktu istrirahat sebentar saja untuk Vanessa. Mereka terus dan terus mengulang, sampai sang keduanya merasa sangat puas. "Apa kau ingin membunuhku?" tanya Vanessa dengan ekspresi sendu akibat kelelahan. "Sama sekali tidak." Jovi yang masih terlihat cukup segar, dengan cepat beralih memeluk sang istri dengan erat. "Aku hanya ingin memberimu kenikmatan saja." "Tapi dari siang sampai malam?" Tentu saja Vanessa akan mendelik. "Aku bahkan baru saja makan beberapa jam yang lalu. Makan pertamaku hari ini, jadi kalau maagku kambuh, itu semua salahmu.
"Dasar perempuan mandul." Cindy yang masih sangat muda itu, nyaris terjungkal karena tamparan yang dia terima sangatlah keras. Tapi dibandingkan rasa sakit, dia lebih merasa malu karena itu dilakukan di depan orang lain. Lebih tepatnya, di depan selingkuhan sang suami. "Tapi dokter bilang aku tidak mandul, Ma." Cindy berusaha menahan isak tangis. Tidak ingin terlihat lemah di depan gundik sang suami. Atau mungkin sudah bisa disebut sebagai calon mantan suami? Lagi pula, berkas perceraian baru saja Cindy tanda tangani dalam keadaan dipaksa. Itu artinya mereka akan segera bercerai bukan? "Jadi sekarang kau menuduh anakku yang mandul?" hardik perempuan paruh baya yang tadi menampar. "Buktinya pacar anakku bisa hamil, sementara kau tidak." "Setidaknya biarkan suamiku pergi memeriksakan diri ke dokter lebih dahulu. Dengan begitu, kita akan tahu apakah itu sungguh anak ...." "Perempuan kurang ajar." Cindy kembali mendapat tamparan, kali ini dari pacar sang suami. "Sudah mandul,
"Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora
"Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia
"Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d
"Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it
"Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir
"Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Ardy?" Aurora menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan praktiknya dan langsung memutar mata karena gemas dan kesal. Hanya ada satu orang yang bisa membuat dia kesal, terutama saat jam kerja seperti sekarang. "Tidak bisakah kau berhenti menyelinap ke ruanganku, saat aku sedang bekerja?" Aurora tidak segan untuk menegur, sekalipun dia adalah menantu direktur. Yap. Penyusup itu adalah Vanessa. "Aku tidak menyelinap." Vanessa membantah dan segera duduk di kursi yang tersedia di depan meja dokter. "Aku mendaftar untuk bertemu denganmu tahu." "Sepertinya staff keuangan sangat kekurangan pekerjaan ya?" tanya Aurora dengan nada mengejek. "Bagaimana mungkin kau bisa berkeliaran saat jam kerja seperti sekarang? Kalau ingin bermain, bukankah lebih baik kau mencari Jovi?" "Pekerjaanku sudah selesai." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Entah kenapa, pekerjaan di rumah sakit sebesar ini tidak begitu banyak. Lalu soal Jov
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Aurora dengan kedua terlipat di depan dada. "Aku ini pasien loh. Masa kau memperlakukan pasien sejutek itu?" tanya Ardy yang sudah duduk di atas ranjang pasien dengan santainya. "Pasien apanya?" hardik Aurora terdengar kesal. "Kau jelas-jelas terlihat sangat sehat, berbeda dengan saat kau pertama kali datang ke sini." "Tapi aku benar-benar sakit." Ardy bersikeras. "Kalau begitu, bagian mana yang sakit?" Mau tidak mau, Aurora akhirnya bangkit dengan sneli yang dia pegang dengan erat. "Kalau aku tidak menemukan ada penyakit, maka aku akan memukulmu." "Kalau penyakit sih tidak ada, tapi aku terluka." Ardy tiba-tiba saja mengangkat kakinya. Dia tidak perlu menggulung celana untuk menunjukkan luka, karena hari ini menggunakan celana pendek. "Luka apa ini?" tanya Aurora dengan kening berkerut. Kini dia mulai terlihat serius. "Bukankah ini luka bekas gigitan hewan?" "Benar." Ardy mengangguk tanpa ragu. "Tadi pagi, aku digigit anjing tetangga." "
"Aurora dan Ardy?" tanya Jovi dengan sebelah alis terangkat. "Apa aku tidak salah dengar?" "Sama sekali tidak." Vanessa menggeleng pelan. "Soalnya, aku kemarin melihat interaksi lucu mereka dan itu menggemaskan. Sepertinya mereka akan cocok." Kening Jovi berkerut menatap istri yang dia peluk. Mereka sedang bersantai di atas ranjang, setelah menghabiskan malam panas bersama. Jovi sih masih ingin sekali lagi, tapi memilih menahan diri karena istrinya lelah. Alhasil mereka hanya berpelukan saja. "Tapi bagiku itu tetap aneh." Sayangnya, pikiran Jovi berbeda dengan sang istri. "Aku rasa sifat mereka bertolak belakang dan bisa memicu konflik." "Memangnya sifat kita tidak bertolak belakang?" Vanessa malah memukul dada bidang sang suami. "Sama sekali tidak." Jovi menyangkal dengan entengnya. "Kita sama-sama orang yang senang cari ribut." "Heh, aku tidak seperti itu ya." Kali ini Vanessa bukan memukul lagi, tapi mencubit. Tentu saja rasanya sakit, tapi Jovi hanya bisa meringis