Hari ini dua loh. Met membaca đ
"Mau apa lagi kau?" Ben melotot ketika dia bertemu dengan Jovi di tempat parkir apartemen pacarnya. Atau mungkin sudah menjadi mantan pacar. "Tentu saja aku ingin menjemput istriku. Aku tidak ingin dia tinggal di tempat orang yang sudah menghinanya," jawab Jovi dengan santainya. "Kak Ben sendiri? Masih mau tinggal di rumah pacarnya?" "Aku datang ke sini untuk menjemput Vanessa," tegas Ben, sembari berdehem pelan untuk membersihkan tenggorokannya. "Aku akan mengatur dia untuk tinggal di tempat lain saja." "Tempat teraman untuk Vanessa, hanya ada di sisiku," balas Jovi setelah melangkah masuk ke dalam lift. "Setidaknya, tidak akan ada yang menganggapnya selingkuhanmu." "Tapi kau sendiri punya banyak selingkuhan bukan?" tanya Ben dengan senyum lebar, sembari menatap iparnya itu. "Aku dengar kau masih berinteraksi dengan mantanmu. Tidak takut cinta lama bersemi kembali?" "Aku tidak tahu dari mana Kak Ben mendengar itu, tapi ... itu tidak benar." Jovi membantah, setelah sebelumny
"Ada gosip apa lagi?" Vanessa bertanya, ketika melihat rekan kerjanya, menatap dirinya dengan tatapan penasaran. Putri yang juga menatap perempuan bertubuh gempal itu, langsung berlari mendekat. Dia membawa Vanessa ke sudut ruangan, agar tidak banyak orang yang mendengar pembicaraan mereka. "Aku tidak tahu apakah Kak Vanessa sudah tahu tentang hal ini, tapi Bu Meghan menyebarkan gosip baru." Putri berbisik, walau sejatinya itu tidak perlu. Semua orang di kantor sudah tahu. "Memangnya dia menyebarkan gosip apa?" tanya Vanessa dengan tenang. "Katanya, pacar.... Maksudnya suami Kak Vanessa itu punya anak di luar nikah dari perempuan lain." Putri masih berbisik. "Bahkan katanya, perempuan itu sudah datang dan memohon pada Kak Vanessa agar kalian tidak menikah." "Oh, yang itu toh." Vanessa mengangguk paham. "Rupanya itu kelakuan Bu Meghan." "Kak Vanessa sudah tahu? Apa itu artinya gosip yang beredar itu benar?" Tentu saja Putri akan bertanya dengan kening berkerut bingung. "
"Kenapa aku tidak pernah tahu tentang omong kosong ini?" tanya Vanessa, ketika dia melihat sang suami masuk ke dalam rumah."Maksudmu apa sih?" Jovi balas bertanya dengan kening berkerut. "Aku tidak mengerti kenapa sejak tadi siang kau terlihat seperti orang yang sedang marah."Pertemuan tadi siang antara pihak kantor Vanessa dan Danapati memang terlihat sukses. Namun, tidak banyak yang menyadari kalau perempuan bertubuh gempal itu terlihat tidak nyaman selama makan siang."Jujur saja, aku tidak marah. Aku hanya kesal karena tadi siang aku jadi terlihat seperti orang bodoh." Tiba-tiba saja Vanessa meledak. "Aku bahkan tidak tahu apa pekerjaan mertuaku sendiri.""Kau tahu kalau dia adalah dokter," jawab Jovi dengan kening berkerut, sembari menuang air dingin dari pitcher ke dalam gelas."Semua orang juga tahu kalau dia adalah dokter, tapi aku tidak tahu kalau dia direktur dan pemilik Hospitalia," cecar Vanessa terlihat makin emosi saja."Papa hanya dire
"Yakin ini belanjaannya?" Seorang pramuniaga, menatap perempuan yang baru saja menaruh barang belanjanya di atas meja kasir. "Miras dan rokok?""Yakin." "Ini miras dan rokok." Si pramuniaga mengulang. "Tidak mau sekalian kondom?" lanjutnya tentu saja dengan nada mengejek."Sayang sekali, saya belum punya pacar dan ini KTP saya. Saya cukup umur."Pramuniaga tadi menatap tanda pengenal dengan nama Aurora tertera di sana. Dia tidak melihat hal lain lagi, karena pemilik KTP jelas cukup umur. Yah, walau tidak semua orang dengan KTP bisa mengkonsumsi miras dan rokok."Padahal supermarketnya sendiri menjual miras, tapi sok suci banget tanyain kayak begitu." Aurora mengomel ketika dia keluar dari supermarket yang dia kunjungi.Kebetulan saja Aurora tadi sedang suntuk setelah pulang jaga malam dan dia memutuskan singgah ke supermarket yang kebetulan dilewati. Saat itulah dia memutuskan membeli dua barang tadi secara impulsif."Loh, bukankah kau teman kerjanya Jovi?"Aurora menoleh k
"Vanessa tidak menghubungi Kak Ben?" Jovi bertanya dengan kedua alis terangkat tinggi. "Sama sekali tidak," jawab sang kakak ipar dengan nada curiga. "Kenapa? Kalian bertengkar lagi?" "Kami memang bertengkar, tapi katanya Vanessa akan menghubungimu. Jadi aku tidak terlalu khawatir, karena kau yakin dia aman dengan Kak Ben," balas Jovi dengan sangat lancar. Jujur saja, apa yang dikatakan Jovi tadi setengahnya adalah kebohongan. Sejak Vanessa pergi, tangannya sudah gatal ingin menelepon Ben. Tapi dia berusaha menahan diri, karena biar bagaimana saat itu sudah cukup malam. Jovi takut akan mengganggu dan membuat istrinya makin marah. Alhasil, baru pagi ini Jovi menghubungi sang ipar dan malah mendapat berita tak menyenangkan. Vanessa sekarang benar-benar dinyatakan menghilang. "Kalau kau membuatnya menangis...." "Dia marah, tapi tidak sedih." Jovi memotong kalimat kakak iparnya. "Hanya ada sedikit salah paham dan itu bukan tentang orang ketiga atau sejenisnya. Jadi mungkin aku
"Aurora." Jovi terburu-buru mengejar rekan kerjanya itu. "Loh? Dokter Jovi? Bukannya hari ini jadwal praktiknya tidak ada ya?" Aurora cukup terkejut dengan kehadiran lelaki itu. "Ya." Jovi mengangguk pelan. "Aku memang sudah mengajukan untuk tidak praktik setiap hari selasa, tapi aku ada perlu denganmu. Terima kasih karena sudah mau membantu Vanessa." Senyum Aurora berangsur menghilang dari wajahnya. Padahal tadi dia berpikir Jovi mencarinya karena sesuatu yang lain, tapi rupanya dia malah membicarakan Vanessa. Jujur saja, itu membuat Aurora muak. "Aku hanya kebetulan bertemu Kak Vanessa." Aurora memaksakan senyum, karena tidak ingin membuat lelaki di depannya kecewa. "Lagi pula, aku sedang sendiri di rumah. Aku butuh teman." "Apa pun alasanmu, terima kasih." Jovi makin tersenyum lebar. "Dan aku mohon kau bisa menjaga Vanessa dengan baik, selama apa pun dia ingin tinggal di sana. Oh, tentu saja aku akan membalas kebaikanmu itu." "Tidak per...." Tadinya Aurora ingin menol
[+628xxxxxxxxx: Semuanya sudah selesai. Kau sudah boleh pulang.] Aurora menatap layar ponselnya dengan tatapan datar. Dia sungguh tidak tahu apakah sekarang ini harus senang atau tidak. Seharusnya Aurora sekarang ini merasa senang. Salah satu pesaingnya bisa dikatakan sudah disingkirkan, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak senang. Apalagi dia baru saja mengatakan kebohongan pada Vanessa. "Tidak apa-apa, Ra." Aurora mencoba menenangkan dirinya. "Dia tidak akan dicelakai. Perempuan gendut itu hanya akan disadarkan sedikit. Tidak akan ada kekerasan atau tindak kriminal." Dokter muda yang baru selesai KOAS itu, masih menenangkan diri selama beberapa saat, sebelum dia memilih untuk membereskan barang-barang. Tugasnya sudah cukup lama berakhir, tapi tadi dia memang memilih untuk tinggal saja dulu di rumah sakit. Setidaknya, sampai masalah di rumah selesai. "Halo, Kak Jovi." Aurora menyempatkan diri untuk mengangkat telepon, saat dia berjalan keluar dari rumah sakit. "Ra, janj
"Hei, kalau jalan lihat-lihat dong." Jovi turun dari mobilnya dengan wajah kesal, kemudian pergi melihat bagian mobil yang tadi kena tabrak. "Coba lihat mobilku jadi rusak, padahal aku sedang buru-buru." "Bukankah kau suaminya Vanessa?" Kening Jovi yang sejak tadi sudah berkerut, kini makin berkerut saja mendengar pertanyaan barusan. Dia bahkan langsung bangkit dari posisinya yang sedang melihat bagian mobilnya yang memang terlihat penyok, akibat ditabrak sepeda motor. "Kau." Jovi langsung menunjuk, ketika dia melihat wajah yang tidak begitu asing. "Ardy, temannya Vanessa yang pernah kau pukul." Lelaki yang ditunjuk menjelaskan dengan santainya. "Lalu maaf untuk mobilmu ini. Aku akan membayar nanti, jadi...." "Nanti saja membicarakan itu." Sayangnya, Jovi harus memotong apa pun kalimat yang akan dilontarkan lelaki di depannya. "Sekarang lebih perlu kau menyingkirkan motormu dari hadapan mobilku, agar aku bisa pergi menjemput Van
"Kenapa kau tampak pucat?" Jovi menanyakan itu dengan kening berkerut. "Apa kau sakit?" "Tidak kok." Vanessa dengan cepat menggeleng. "Aku hanya belum memakai lipstik." "Yakin?" tanya Jovi, sembari memperhatikan istrinya yang pergi ke meja rias dan memakai lipstik. "Apa kita tidak usah pergi saja?" "Jangan begitu dong. Yang menikah ini kan teman kita berdua dan salah satu dokter di rumah sakit juga. Masa kita berdua tidak hadir." "Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja." Jovi benar-benar khawatir ketika melihat istrinya. "Atau kita singgah ke rumah sakit saja dulu? Kebetulan stetoskopnya aku tinggal di sana." "Tidak perlu Joviandri." Kali ini, Vanessa berbicara dengan lebih jelas. "Sebaiknya, kita berangkat sekarang. Karena kalau tidak, nanti terlambat." Walau masih keberatan, Jovi pada akhirnya hanya bisa mengalah. Vanessa benar-benar merajuk ingin segera berangkat ke tempat acara, karena rumah mereka kebetulan agak jauh juga. Apalagi, kali ini mereka menginap di rumah ora
"Kau itu kenapa?" tanya Vanessa, pada lelaki di depannya. "Kenapa wajahmu berantakan begitu?" "Aku dipukuli Ayah," jawab Ardy dengan nada kesal. "Kau melakukan apa lagi?" Kali ini giliran Jovi yang bersuara, sembari mempersiapkan beberapa hal untuk mengobati pasiennya itu. "Pasti melakukan hal yang aneh kan?" "Aku memang melakukan sesuatu, tapi bukan sesuatu yang harus dipukuli seperti sekarang," gerutu Ardy mencebik kesal. "Pelan-pelan ya," lanjutnya ketika Jovi sudah akan mengobati wajahnya. "Tidak akan ada seorang ayah yang akan memukuli putranya seperti ini, jika tidak melakukan hal yang tidak sepatutnya." Vanessa mengatakan itu dengan kedua tangan terlipat di dada. "Jadi katakan saja. Kami akan mendengar dan tidak akan menghakimi." Ardy mengembuskan napas cukup keras. Dia tidak bisa langsung menjawab, karena selain sedang diobati di bagian sudut bibir, Ardy juga tidak bisa mengatakan alasannya dengan jujur. Bia
"Bisa jelaskan ini pada Kakak, Ra?" tanya seorang lelaki berkacamata pada Aurora. Sayangnya, perempuan yang berprofesi sebagai dokter itu pun tidak bisa menjawab. Lebih tepatnya, Aurora membatu dengan mulut terbuka saking terkejutnya melihat kehadiran orang-orang di rumahnya. "Kok malah bengong sih. Ra?" Kali ini seorang perempuan yang sedang menggendong anak bayi yang berbicara. "Ini pacarmu kan? Tapi kenapa malah datangnya rombongan?" "Maaf." Tiba-tiba saja Aurora memekik. "Tapi boleh saya bicara berdua dulu dengan Ardy?" Dua orang tua yang duduk di atas sofa saling melirik, sebelum menatap putra mereka. Tentu saja dua orang tua ini merasa tindakan Aurora barusan sedikit tidak sopan, apalagi mereka seperti tidak disambut dengan baik. "Biar aku bicara dengan Aurora dulu ya." Untung saja Ardy cukup cepat tanggap dan segera beranjak dari tempatnya duduk. "Maaf, ya Om dan Tante." Tahu dirinya terlihat sedikit kurang ajar, Aurora tak lupa mengucap maaf. "Saya pinjam anaknya d
"Aku tidak hamil, Ar. Jadi tolong jangan terus menggangguku," desis Aurora terlihat sangat kesal, dengan ponsel menempel di telinga. "Apa kau sudah periksa?" Sayangnya, Ardy tidak mau menyerah begitu saja. "Kalau sudah, perlihatkan hasilnya. Aku hanya akan menerima hasil dari rumah sakit dan tidak dengan test pack." "Yang benar saja. Kalau aku memeriksa ke rumah sakit tempatku bekerja, nanti aku akan digosipi orang-orang. Aku tidak mau itu terjadi." Sang dokter masih bersikeras. "Itu memalukan." "Kau merasa malu karena teman-temanmu tahu, atau tidak mau sampai Jovi tahu?" Ardy membalas dengan pertanyaan. "Kenapa tiba-tiba membicarakan Jovi?" "Tentu saja karena dia adalah calon penerus rumah sakit tempatmu bekerja. Sedikit banyak, dia pasti akan tahu kalau kau memeriksakan diri kan? Lagi pula, rumah sakit tidak hanya satu." Aurora memijat pangkal hidungnya, merasa terlalu banyak hal yang membuatnya sakit kepala belakangan ini. Tentu saja Ardy adalah salah satunya. Lelaki it
"Jadi bagaimana dengan perjalananmu dengan Ardy?" Aurora langsung melirik kesal ke arah suara yang dia dengar. Padahal dirinya baru masuk ke dalam ruang praktik, tapi malah sudah menemukan seseorang yang menyebalkan di sana. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa. "Bukankah kau harusnya bertanya pada dirimu saja dulu?" tanya Aurora yang kemudian menyimpan tasnya. "Bagaimana dengan program kehamilanmu?" "So far so good." Vanessa mengangguk tanpa ragu. "Cuma memang belum ada hasil saja. Mungkin setelah kuliah Jovi di semester ini berakhir, kami mau mencoba inseminasi saja." "Secepat itu?" Aurora menaikkan sebelah alisnya, menghentikan kegiatan menggunakan sneli. "Apa tidak mau menunggu lebih lama lagi? Bukankah katanya kau mau sekolah lagi?" "Iya sih, tapi entah kenapa pengennya begitu." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Akan lebih baik aku hamil saat sedang kuliah, dibanding melahir
"Apa yang terjadi di sini," gumam Aurora sembari menempelkan selimut dengan erat ke tubuhnya. "Aku juga tidak tahu," gumam Ardy dengan mata melotot. "Apanya yang tidak tahu brengsek." Dengan kekuatan penuh, Aurora melemparkan bantal ke arah lelaki yang dia temani. "Kau jelas-jelas melakukan sesuatu padaku." "Ya, tapi aku juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi." Ardy menjawab, sembari berusaha menghindar. Dia bahkan sampai keluar dari dalam selimut. "Jangan memperlihatkan tubuh telanjang sialanmu itu," pekik Aurora sembari memejamkan mata dengan sangat rapat. "Maaf." Ardy segera berjongkok dan bersembunyi di dekat ranjang. Entah bagaimana, dua orang itu pagi ini berakhir di atas ranjang yang sama dengan keadaan tanpa sehelai benang pun melekat pada tubuh. Padahal kemarin mereka hanya berniat untuk berlibur di daerah sekitar pegunungan yang bisa dijangkau tanpa mendaki, tapi malah berakhir di hotel. Padahal, kemarin rasanya semua baik-baik saja. Setidaknya, sampai huj
"Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Ardy?" Aurora menatap perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan praktiknya dan langsung memutar mata karena gemas dan kesal. Hanya ada satu orang yang bisa membuat dia kesal, terutama saat jam kerja seperti sekarang. "Tidak bisakah kau berhenti menyelinap ke ruanganku, saat aku sedang bekerja?" Aurora tidak segan untuk menegur, sekalipun dia adalah menantu direktur. Yap. Penyusup itu adalah Vanessa. "Aku tidak menyelinap." Vanessa membantah dan segera duduk di kursi yang tersedia di depan meja dokter. "Aku mendaftar untuk bertemu denganmu tahu." "Sepertinya staff keuangan sangat kekurangan pekerjaan ya?" tanya Aurora dengan nada mengejek. "Bagaimana mungkin kau bisa berkeliaran saat jam kerja seperti sekarang? Kalau ingin bermain, bukankah lebih baik kau mencari Jovi?" "Pekerjaanku sudah selesai." Vanessa mengedikkan bahu dengan santainya. "Entah kenapa, pekerjaan di rumah sakit sebesar ini tidak begitu banyak. Lalu soal Jov
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Aurora dengan kedua terlipat di depan dada. "Aku ini pasien loh. Masa kau memperlakukan pasien sejutek itu?" tanya Ardy yang sudah duduk di atas ranjang pasien dengan santainya. "Pasien apanya?" hardik Aurora terdengar kesal. "Kau jelas-jelas terlihat sangat sehat, berbeda dengan saat kau pertama kali datang ke sini." "Tapi aku benar-benar sakit." Ardy bersikeras. "Kalau begitu, bagian mana yang sakit?" Mau tidak mau, Aurora akhirnya bangkit dengan sneli yang dia pegang dengan erat. "Kalau aku tidak menemukan ada penyakit, maka aku akan memukulmu." "Kalau penyakit sih tidak ada, tapi aku terluka." Ardy tiba-tiba saja mengangkat kakinya. Dia tidak perlu menggulung celana untuk menunjukkan luka, karena hari ini menggunakan celana pendek. "Luka apa ini?" tanya Aurora dengan kening berkerut. Kini dia mulai terlihat serius. "Bukankah ini luka bekas gigitan hewan?" "Benar." Ardy mengangguk tanpa ragu. "Tadi pagi, aku digigit anjing tetangga." "
"Aurora dan Ardy?" tanya Jovi dengan sebelah alis terangkat. "Apa aku tidak salah dengar?" "Sama sekali tidak." Vanessa menggeleng pelan. "Soalnya, aku kemarin melihat interaksi lucu mereka dan itu menggemaskan. Sepertinya mereka akan cocok." Kening Jovi berkerut menatap istri yang dia peluk. Mereka sedang bersantai di atas ranjang, setelah menghabiskan malam panas bersama. Jovi sih masih ingin sekali lagi, tapi memilih menahan diri karena istrinya lelah. Alhasil mereka hanya berpelukan saja. "Tapi bagiku itu tetap aneh." Sayangnya, pikiran Jovi berbeda dengan sang istri. "Aku rasa sifat mereka bertolak belakang dan bisa memicu konflik." "Memangnya sifat kita tidak bertolak belakang?" Vanessa malah memukul dada bidang sang suami. "Sama sekali tidak." Jovi menyangkal dengan entengnya. "Kita sama-sama orang yang senang cari ribut." "Heh, aku tidak seperti itu ya." Kali ini Vanessa bukan memukul lagi, tapi mencubit. Tentu saja rasanya sakit, tapi Jovi hanya bisa meringis