"Kenapa aku tidak pernah tahu tentang omong kosong ini?" tanya Vanessa, ketika dia melihat sang suami masuk ke dalam rumah."Maksudmu apa sih?" Jovi balas bertanya dengan kening berkerut. "Aku tidak mengerti kenapa sejak tadi siang kau terlihat seperti orang yang sedang marah."Pertemuan tadi siang antara pihak kantor Vanessa dan Danapati memang terlihat sukses. Namun, tidak banyak yang menyadari kalau perempuan bertubuh gempal itu terlihat tidak nyaman selama makan siang."Jujur saja, aku tidak marah. Aku hanya kesal karena tadi siang aku jadi terlihat seperti orang bodoh." Tiba-tiba saja Vanessa meledak. "Aku bahkan tidak tahu apa pekerjaan mertuaku sendiri.""Kau tahu kalau dia adalah dokter," jawab Jovi dengan kening berkerut, sembari menuang air dingin dari pitcher ke dalam gelas."Semua orang juga tahu kalau dia adalah dokter, tapi aku tidak tahu kalau dia direktur dan pemilik Hospitalia," cecar Vanessa terlihat makin emosi saja."Papa hanya dire
"Yakin ini belanjaannya?" Seorang pramuniaga, menatap perempuan yang baru saja menaruh barang belanjanya di atas meja kasir. "Miras dan rokok?""Yakin." "Ini miras dan rokok." Si pramuniaga mengulang. "Tidak mau sekalian kondom?" lanjutnya tentu saja dengan nada mengejek."Sayang sekali, saya belum punya pacar dan ini KTP saya. Saya cukup umur."Pramuniaga tadi menatap tanda pengenal dengan nama Aurora tertera di sana. Dia tidak melihat hal lain lagi, karena pemilik KTP jelas cukup umur. Yah, walau tidak semua orang dengan KTP bisa mengkonsumsi miras dan rokok."Padahal supermarketnya sendiri menjual miras, tapi sok suci banget tanyain kayak begitu." Aurora mengomel ketika dia keluar dari supermarket yang dia kunjungi.Kebetulan saja Aurora tadi sedang suntuk setelah pulang jaga malam dan dia memutuskan singgah ke supermarket yang kebetulan dilewati. Saat itulah dia memutuskan membeli dua barang tadi secara impulsif."Loh, bukankah kau teman kerjanya Jovi?"Aurora menoleh k
"Vanessa tidak menghubungi Kak Ben?" Jovi bertanya dengan kedua alis terangkat tinggi. "Sama sekali tidak," jawab sang kakak ipar dengan nada curiga. "Kenapa? Kalian bertengkar lagi?" "Kami memang bertengkar, tapi katanya Vanessa akan menghubungimu. Jadi aku tidak terlalu khawatir, karena kau yakin dia aman dengan Kak Ben," balas Jovi dengan sangat lancar. Jujur saja, apa yang dikatakan Jovi tadi setengahnya adalah kebohongan. Sejak Vanessa pergi, tangannya sudah gatal ingin menelepon Ben. Tapi dia berusaha menahan diri, karena biar bagaimana saat itu sudah cukup malam. Jovi takut akan mengganggu dan membuat istrinya makin marah. Alhasil, baru pagi ini Jovi menghubungi sang ipar dan malah mendapat berita tak menyenangkan. Vanessa sekarang benar-benar dinyatakan menghilang. "Kalau kau membuatnya menangis...." "Dia marah, tapi tidak sedih." Jovi memotong kalimat kakak iparnya. "Hanya ada sedikit salah paham dan itu bukan tentang orang ketiga atau sejenisnya. Jadi mungkin aku
"Aurora." Jovi terburu-buru mengejar rekan kerjanya itu. "Loh? Dokter Jovi? Bukannya hari ini jadwal praktiknya tidak ada ya?" Aurora cukup terkejut dengan kehadiran lelaki itu. "Ya." Jovi mengangguk pelan. "Aku memang sudah mengajukan untuk tidak praktik setiap hari selasa, tapi aku ada perlu denganmu. Terima kasih karena sudah mau membantu Vanessa." Senyum Aurora berangsur menghilang dari wajahnya. Padahal tadi dia berpikir Jovi mencarinya karena sesuatu yang lain, tapi rupanya dia malah membicarakan Vanessa. Jujur saja, itu membuat Aurora muak. "Aku hanya kebetulan bertemu Kak Vanessa." Aurora memaksakan senyum, karena tidak ingin membuat lelaki di depannya kecewa. "Lagi pula, aku sedang sendiri di rumah. Aku butuh teman." "Apa pun alasanmu, terima kasih." Jovi makin tersenyum lebar. "Dan aku mohon kau bisa menjaga Vanessa dengan baik, selama apa pun dia ingin tinggal di sana. Oh, tentu saja aku akan membalas kebaikanmu itu." "Tidak per...." Tadinya Aurora ingin menol
[+628xxxxxxxxx: Semuanya sudah selesai. Kau sudah boleh pulang.] Aurora menatap layar ponselnya dengan tatapan datar. Dia sungguh tidak tahu apakah sekarang ini harus senang atau tidak. Seharusnya Aurora sekarang ini merasa senang. Salah satu pesaingnya bisa dikatakan sudah disingkirkan, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak senang. Apalagi dia baru saja mengatakan kebohongan pada Vanessa. "Tidak apa-apa, Ra." Aurora mencoba menenangkan dirinya. "Dia tidak akan dicelakai. Perempuan gendut itu hanya akan disadarkan sedikit. Tidak akan ada kekerasan atau tindak kriminal." Dokter muda yang baru selesai KOAS itu, masih menenangkan diri selama beberapa saat, sebelum dia memilih untuk membereskan barang-barang. Tugasnya sudah cukup lama berakhir, tapi tadi dia memang memilih untuk tinggal saja dulu di rumah sakit. Setidaknya, sampai masalah di rumah selesai. "Halo, Kak Jovi." Aurora menyempatkan diri untuk mengangkat telepon, saat dia berjalan keluar dari rumah sakit. "Ra, janj
"Hei, kalau jalan lihat-lihat dong." Jovi turun dari mobilnya dengan wajah kesal, kemudian pergi melihat bagian mobil yang tadi kena tabrak. "Coba lihat mobilku jadi rusak, padahal aku sedang buru-buru." "Bukankah kau suaminya Vanessa?" Kening Jovi yang sejak tadi sudah berkerut, kini makin berkerut saja mendengar pertanyaan barusan. Dia bahkan langsung bangkit dari posisinya yang sedang melihat bagian mobilnya yang memang terlihat penyok, akibat ditabrak sepeda motor. "Kau." Jovi langsung menunjuk, ketika dia melihat wajah yang tidak begitu asing. "Ardy, temannya Vanessa yang pernah kau pukul." Lelaki yang ditunjuk menjelaskan dengan santainya. "Lalu maaf untuk mobilmu ini. Aku akan membayar nanti, jadi...." "Nanti saja membicarakan itu." Sayangnya, Jovi harus memotong apa pun kalimat yang akan dilontarkan lelaki di depannya. "Sekarang lebih perlu kau menyingkirkan motormu dari hadapan mobilku, agar aku bisa pergi menjemput Van
"Berani-beraninya kau." Aurora mendesis marah, ketika bekapannya dilepas. "Kenapa aku tidak berani?" tanya Manda dengan kedua alis yang sedikit terangkat. "Toh, aku sudah melakukannya pada si gendut itu. Bertambah satu orang pun tidak masalah. "Bisa jelaskan apa yang terjadi di sini?" tanya Vanessa yang mulutnya juga sudah tidak tersumpal lagi. "Bagaimana kalian berdua bisa saling mengenal?" "Tentu saja kami saling mengenal." Manda yang menjawab dengan anggukan kepala pelan. "Biar bagaimana, dia salah satu sainganku." Manda berjalan mendekati Vanessa yang kini terikat di salah satu kursi yang biasa dipakai untuk makan. Dengan gerakan angkuh, Manda mengangkat dagu Vanessa agar bisa melihat wajah berantakan perempuan yang berstatus sebagai istri Jovi itu. "Dia sebenarnya bukan saingan yang aku perhitungkan, tapi karena dia sudah mulai macam-macam, aku juga akan menghukumnya bersamamu," gumam Manda dengan bibir hitamnya yang meleng
"Tidak bisakah kau berhenti membuat masalah?" Cindy memekik pada dua orang yang duduk di depannya. "Maaf." Jovi hanya bisa bergumam pelan, karena dia juga sibuk meringis. Wajahnya yang terluka, sedang diobati sang ayah. Diobati di rumah saja. "Kenapa malah kau yang meminta maaf?" Mama Cindy kembali menghardik. "Memangnya kau yang melakukan semua ini? Bukan kan?" "Maaf." Giliran Vanessa yang meminta maaf. "Kalau bukan karena aku menginap di rumah Aurora, mungkin Jovi tidak akan datang menjemputku." Kali ini, Cindy tidak lagi protes. Dia hanya bisa berdehem pelan, antara merasa bersalah dan merasa apa yang dikatakan sang menantu adalah benar. "Itu juga bukan salahmu." Melihat istrinya tidak ada keinginan untuk membalas sang menantu, Danapati pada akhirnya buka suara. "Tidak seorang pun di dunia ini yang mau jadi korban." "Tapi tetap saja aku merasa bersalah," gumam Vanessa dengan tatapan ya
"Siapa yang mau datang?" tanya Vanessa dengan mata melotot, dan tentu saja ponsel di tangan. "Pak Menteri Kesehatan," jawab Cindy dengan santainya. "Kata Papa kalian, dia kebetulan melakukan kunjungan rumah sakit, jadi sekalian saja datang menjenguk." "Maaf, Tante." Cindy yang juga ada di ruang rawat inap itu tentu akan terkejut dan bertanya. "Tapi kok bisa Pak menteri datang ya?" "Loh? Kalian tidak tahu ya?" Cindy malah jadi bingung. "Pak Menteri itu kan saudaranya Papa Danapati." "Hah?" Vanessa adalah orang pertama yang berteriak. Bukan suatu kemajuan, karena dia sama sekali tidak membentuk sebuah kata atau kalimat. "Saudara dengan Pak Menteri?" Anna bertanya dengan mata membulat dan mulut terbuka. "Saya tidak salah dengar kan?" "Kau tidak salah dengar dan bisakah kau fokus saja mengerjakan apa yang perlu kau kerjakan?" Jovi balas bertanya, tapi dengan ekspresi yang tidak senang. "Kalau kau selalu berhenti untuk bergosip, kapan bisa selesai." "Oh, maaf." Anna dengan ce
"Kenapa ada orang menyebalkan di sini?" Jovi langsung bertanya ketika dia masuk ke dalam kamar rawat inap sang istri, sembari menenteng kantongan berisi makanan. "Jangan tidak sopan begitu, Vi. Anna dan Dokter Johan hanya datang untuk berkunjung." Cindy tentu akan menegur putranya. "Selamat pagi menjelang siang, Kak Jovi." Anna tiba-tiba saja menjadi sangat sopan. "Habis beli makanan ya?" Jovi menaikkan sebelah alis melihat tingkah kalem Anna. Tapi tentu saja, dia tidak terlalu peduli dengan perempuan itu karena ada hal yang lebih penting. "Sayang, ini pesanan makananmu." Jovi mendekat ke arah ranjang pasien. "Sesuai pesanan, nasi kuning langgananmu. Tidak ada di tersedia secara online, jadi aku sendiri yang pergi beli." Sebelum benar-benar menyerahkan kantongan berisi makanan itu pada istrinya, Jovi terlebih dahulu mengecup sudut bibir Vanessa. Hal yang tentu saja membuat perempuan yang adalah pasien itu membeku di tempat. "Astaga, Vi. Kalau mau mesra-mesraan sama istrimu
"Huh? Siapa yang datang?" Seorang lelaki berseragam polisi berpangkat cukup tinggi, menaikkan sebelah alisnya. "Itu, Pak. Pelapor tabrak lari tempo hari. Yang Bapak tangani kasusnya itu." "Mau apa lagi sih mereka." Pak polisi itu mengeluh. "Suruh saja masuk dulu." Danapati masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak senang. Hal yang tentunya tidak membuat si polisi takut, dia bahkan tersenyum lebar. "Aku lihat, tidak ada perkembangan dari kasus tabrak lari menantuku." Danapati langsung bertanya tanpa basa-basi. "Apa Pak Polisi benar-benar menangani hal ini dengan baik?" "Tentu saja kami menanganinya dengan baik." Pak Polisi tadi tersenyum lebar. "Kami sementara melihat rekaman CCTV, tapi itu kan butuh waktu. Apalagi pekerjaan kami kan banyak." "Pekerjaan kalian yang banyak, atau kalian merasa kekurangan uang sogokan?" tanya Danapati dengan senyum miringnya yang mencemooh. "Wah, Pak itu namanya fitnah." Si
"Loh, ada Jovi di sini." Anna tersenyum ketika melihat lelaki yang dia lihat itu. Berbeda dengan Anna, Jovi malah berdecih pelan. Lelaki itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran teman kelasnya itu. Apalagi Anna berada di rumah sakit milik keluarganya. "Kenapa kau ada di sini?" Anna mengekori Jovi yang sedang berjalan cepat menuju ke lift. "Apa kau juga berniat untuk nanti bergabung dengan peneliti yang ada di Hospitalia ini?" Tentu saja Jovi memilih untuk tidak menjawab. Dia tidak ingin mengurusi perempuan yang terus mengikutinya itu, karena perlu pergi ke kamar sang istri. Dia sudah sengaja pergi makan siang dan mandi, karena sahabat sang istri datang menjenguk. "Hei, apa kau tidak punya telinga?" tanya Anna terlihat cemberut, ketika masuk ke dalam lift. "Dokter Jovi, sepertinya Mbak yang di sana berbicara dengan dokter." Seorang perawat memberitahu. "Dia tidak bicara denganku," jawab Jovi dengan senyum tipis.
"Vanessa? Apa yang kau lamunkan?" Yang empunya nama tersentak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Makin terkejut ketika menyadari ada Cinta-sang sahabat, hanya berjarak lima senti dari wajah Vanessa. "Argh." Vanessa refleks mendorong sang sahabat. "Aduh!" Tentu saja Cinta akan mengeluh. "Kau itu kenapa sih?" "Ka ...." Vanessa ingin berbicara lebih banyak, tapi tidak bisa. Bisa mengeluarkan suara seperti barusan saja sudah merupakan kemajuan besar. "Pelan-pelan, Ta. Jangan terlalu membuat dia terkejut, nanti kepala Vanessa bisa berdarah lagi." Kali ini, giliran Lydia yang berbicara. "Cinta yang membuatku terkejut." Vanessa memperlihatkan ponselnya untuk berbicara. "Lagi pula, kenapa kalian harus membuatku terkejut." "Coba lihat dia." Erika berdecak pelan. "Padahal kita sudah susah-susah meluangkan waktu untuk datang menjenguk, tapi dia malah menyalahkan kita. Mana dari sejak kita datang dia cuma melamun saja. Dasar tidak tahu diuntung." Vanessa memutar b
"Gangguan bicara kadang terjadi pada pasien dengan pendarahan otak." Dokter bedah saraf memberi tahu. "Efeknya bisa jadi permanen, tapi bisa juga hanya sementara saja." "Saran saya, Mbak Vanessa boleh dicoba untuk terapi bicara saja dulu. Mungkin Dokter Danapati dan Dokter Jovi bisa sekalian ikut membantu. Saya yakin kalian bisa membantu untuk terapi juga." Walau terbalut dengan perban, semua orang tahu kalau Vanessa tengah mengerutkan keningnya. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari dokter yang menanganinya. Padahal, dia bisa bersuara walau tidak bisa merangkai kata. "Tidak apa-apa, Nes." Jovi berusaha untuk tersenyum dan menenangkan istrinya, ketika dokter yang menangani pergi. "Masih diterapi karena ini hanya gangguan sementara saja. Mungkin kau sudah bisa kembali berbicara dengan baik setelah beberapa minggu." Sayang sekali, Vanessa menggeleng. Dia tentu saja menjadi orang yang paling terpukul atas gangguan bicara yang dia alami sekarang in
"Jovi tunggu dulu." Anna berlarian mengejar lelaki yang dia panggil itu. "Hei, apa kau tidak mendengar?" Tentu Jovi tidak peduli dengan panggilan itu, karena dia sedang terburu-buru. Vanessa masih di ruang operasi, jadi dia harus bergegas pergi ke rumah sakit. Jovi ingin berada di dekat sang istri. "Hei, apa kau tidak mendengar aku." Anna merentangkan tangan di depan motor yang baru saja dinaiki oleh Jovi. "Minggir," gumam Jovi yang sudah siap untuk berangkat. "Aku tidak mau." Sayang sekali, Anna bergeming. "Setidaknya berikan nomor ponselmu sebelum kau pergi." "Minggir sekarang atau aku akan menabrakmu." Jovi kembali meminta disertai dengan ancaman. "Berikan nomor ponselmu, agar kita bisa mengobrol dengan lebih tenang dan... Kyaa." Anna segera menghindar ketika Jovi benar-benar melajukan motornya. Padahal lelaki itu hanya melajukan motor dengan sangat lambat untuk menakut-nakuti. Tentu saja itu membuat Anna langsung menghindar karena takut ditabrak. "Tunggu dulu." Rupa
"Mahasiswa baru ya?" Jovi mendongak ketika dia mendengar ada suara di sebelahnya. Ada seorang perempuan yang tampaknya lebih muda dari dirinya, tersenyum dengan sangat lebar. Hal yang membuat Jovi mendengus pelan. "Ada masalah dengan status kuliahku?" tanya Jovi kini kembali menatap ke depan. Sekarang ini, Jovi memang sudah mulai menjalankan kuliah kembali dan ini adalah hari pertamanya. Padahal, hari ini bersamaan dengan jadwal operasi Vanessa. Tapi karena dia juga tidak bisa bolos pada semester baru dan hari pertama, jika ingin cepat lulus. Alhasil Jovi memilih untuk pergi ke kampus dengan perasaan was-was. "Tidak ada sih." Bukannya menyerah, perempuan tadi malah duduk di sebelah Jovi yang memang kosong. "Tapi aku boleh berkenalan denganmu kan? Namaku Anna." "Maaf, tapi tidak bisa." Jovi segera menolak dan memilih untuk pindah ke deretan kursi paling belakang, walau dia suka duduk di tengah. "Kenapa tidak bisa?" tan
"Keguguran?" tanya Cindy dengan kedua alis terangkat. "Ya." Danapati mengangguk pelan. "Dan sepertinya baik Jovi maupun Vanessa tidak tahu tentang kehamilan itu. Bahkan Jovi mengaku sempat memberikan Vanessa obat untuk menghalangi kehamilan, tapi mungkin lupa diminum karena bertengkar." Cindy terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan suaminya. Dia yang sejak tadi menunggu di sana karena Vanessa harus dibiarkan sendiri untuk istirahat, benar-benar merasa sangat terkejut. Padahal cucu adalah hal yang sangat Cindy inginkan, tapi dia malah kehilangan. "Ini mungkin hukuman untukku," bisik Cindy pelan. "Ini pasti karena aku menindas Vanessa dan memaksanya untuk memiliki anak yang tidak mereka inginkan." "Jangan menyalahkan dirimu." Danapati mencoba untuk menenangkan sang istri. "Itu semua terjadi bukan karena dirimu." "Ya." Cindy tidak segan untuk mengangguk, ketika mengingat apa yang terjadi. "Ini semua karena mobil sialan yang tid