Maap kemarin tidak update. aku gak nyangka acaraku selesai lebih lama
“Vanessa tidak ada di sini?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat naik. “Dia tadi dibawa datang, tapi dibawa pergi lagi sama Ben,” jawab lelaki yang Jovi kenali sebagai saudara Vanessa. Entah yang saudara kandung atau saudara tiri. “Begitu ya.” Pada akhirnya Jovi hanya bisa meringis. “Kalian mau cerai ya?” Saudara Vanessa kembali bersuara. “Kalau bisa jangan deh, soalnya nanti kami kekurangan pemasukan.” “Maksudnya bagaimana ya?” Tentu saja Jovi akan balas bertanya dengan kening berkerut bingung. “Pokoknya jangan sampai bercerai.” Sayang sekali, sang ipar malas menjelaskan lebih lanjut. “Mau sejelek apa pun sifat dan tampang Vanessa, kalian tidak boleh bercerai. Awasi juga si Ben itu.” “Ben? Kak Ben?” “Memangnya siapa lagi?” Sang ipar berdecak pelan. “Dia kan sudah membawa kabur istrimu, jadi tentu saja harus diawasi. Siapa yang tahu dia akan menjual Vanessa atau menidurinya untuk kesenangan pribadi. Mereka saudara tiri.” Kening Jovi makin berlipat mendengar penjelasan yang
“Apa yang kau lakukan dengan ponselku?” “Astaga, Kak Ben!” Vanessa terlonjak, bahkan nyaris saja menjatuhkan ponsel yang dia pegang. “Jangan bikin kaget dong.” “Maaf, tapi kau sedang apa?” tanya Ben dengan senyum lembut. “Aku meminta Jovi membawakan ponselku,” jawab Vanessa bisa dibilang jujur. “Aku tidak bisa hidup tanpa benda itu.” “Apa kau memberi tahu lokasi juga?” Kali ini, kening Ben berkerut tanda tidak suka. “Tentu saja.” Vanessa mengangguk dengan yakin. “Bagaimana dia bisa tahu tempat ini, kalau aku tidak memberitahunya. Tapi apa ini tidak masalah?” Vanessa menatap sekitarnya. Sekarang mereka berada di sebuah apartemen yang cukup jauh dari lokasi apartemen Jovi, atau pun rumah mertuanya. Tempatnya tidak begitu besar, tapi jelas dipenuhi dengan barang-barang yang bagus. Pernak-pernik dan perabot apartemen untuk satu orang itu minimalis. Kebanyakan barang juga berwarna putih, ditambah dengan sedikit sentuhan hitam dan abu-abu. Terlihat seperti rumah lelaki, dibanding p
“Aku tidak bisa memberitahu.” Ben menggeleng, walau dia tahu tidak ada yang bisa melihatnya. “Kenapa tidak?” tanya Jovi dengan tatapan yang melotot, walau tak ada pula yang melihatnya. “Vanessa saja bersedia menemuiku, jadi kenapa kau melarang?” “Aku tidak melarang, tapi tidak bisa memberi tahu dengan spesifik. Biar bagaimana, itu adalah rumah pacarku.” Sayangnya, Ben tetap pada pendiriannya. “Apa hubungannya dengan pacarmu?” “Siapa yang tahu kau akan menyelinap masuk atau tidak. Kau bahkan bisa menghamili perempuan lain, padahal masih berstatus sebagai suami Vanessa. Siapa yang tahu kalau kau akan mengincar pacarku juga bukan?” “Apa kau gila?” tanya Jovi nyaris saja berteriak. “Aku bahkan belum pernah tidur dengan siapa pun, sebelum menikah dengan Vanessa. Sekarang kau menuduhku menghamili anak orang?” “Oh, apa itu artinya kau menghamili anak orang setelah menikah dengan Vanessa?” tanya Ben pura-pura terdengar terkejut. “Itu bahkan jauh lebih menjijikkan. Dasar dokte
“Kau pasti sudah gila,” gumam Jovi terlihat kesal setengah mati. “Aku rasa iya.” Vanessa pun sama sekali tidak menampik. “Tai boleh kembalikan ponselku dulu? Aku sedang butuh benda itu.” Dengan decakan kesal, Jovi mengeluarkan ponsel dari saku celananya, untuk diberikan pada sang istri. Sejujurnya, dia sangat tidak rela melakukan hal itu. Vanessa mungkin akan pergi meninggalkannya setelah mendapatkan ponsel, dan Jovi tidak senang dengan hal itu. “Kau tidak akan pergi kan?” tanya Jovi sebelum menyerahkan ponselnya. “Untuk saat ini tidak. Biar bagaimana pun, kita semua perlu berbicara,” jawab Vanessa merampas ponselnya. “Itu benar.” Jovi mengangguk pelan. “Kita semua harus berbicara untuk meluruskan masalah tidak masuk akal yang ditimbulkan oleh Manda.” “Sebenarnya tidak perlu benar-benar bicara juga,” balas Vanessa sembari mengetik pada ponselnya. “Aku hanya perlu tahu hasil USG atau tes darah dari dokter dan kita bisa menyelesaikan masalah dengan cepat setelah ini.”
“Katakan saja pada mereka kalau aku sedang hamil.” Manda langsung mengatakan hal itu, setelah pintu tertutup. “Maaf?” Perawat yang menemani di dalam ruangan, langsung bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Bisakah kau keluar dulu?” tanya Manda dengan senyum lebar. “Saya butuh konsultasi berdua saja dengan dokternya, karena jujur saja ini bersifat pribadi.” Si perawat menatap sang dokter, kemudian keluar ketika dokter itu mengangguk. Biar bagaimana, ini adalah permintaan pasien dan sudah disetujui oleh dokter. “Mbak Manda benar?” Si dokter melihat data pasiennya. “Bisa dibantu?” “Aku memiliki sedikit masalah dengan keluarga pacarku.” Manda tidak segan untuk menceritakan kisahnya, walau sebagian itu adalah kebohongan. “Intinya, aku mungkin akan dicelakai jika aku tidak hamil.” “Mana ada yang seperti itu?” Si dokter menaikkan alisnya dengan tatapan bingung. “Mereka ingin keturunan, tapi aku belum hamil. Karena itu aku diminta jadi orang ketiga di pernikahan peca
“Dokter sialan itu menipuku!” Manda nyaris saja berteriak, ketika pada akhirnya dia sampai di tempat parkir rumah sakit. “Hei, aku tidak berusaha menipumu.” Siapa sangka sang dokter mengikutinya. “Aku hanya tidak bisa berbohong di depan bosku. Aku takut ketahuan dan dipecat. Apalagi ini menyangkut legalitas sebagai dokter.” “Tapi kau mengambil keuntungan dariku.” Manda tidak segan untuk menarik kerah jas sang dokter. “Lagi pula, bagaimana kau bisa mengingat aku adalah pasienmu?” “Kau menawari hal yang tidak mungkin ditolak pria normal. Kalau kau seberani itu, bukankah kau sama saja dengan perempuan malam yang sedang menjajakan diri?” tanya sang dokter dengan sebelah alis terangkat. “Kau ....” Manda sudah siap menyemburkan amarahnya, tapi gerakan sang dokter membuatnya berhenti. “Ambil saja semua ini.” Sang dokter menyelipkan lembaran uang ke dalam kemben Manda, mumpung tempat itu sedang sepi. “Anggap saja bayaran tadi, walau itu sebenarnya terlalu banyak untukmu.” Si
“Vanessa.” Jovi yang memarkir mobilnya dengan sembarangan, bergegas mengejar sang istri yang sudah turun duluan. "Aku sedang lelah, Vi. Tolong biarkan aku beristirahat." Sayangnya, Vanessa enggan mendengar apa pun yang ingin dikatakan suaminya. "Aku mohon, Nes." Jovi pun tampak tidak ingin menyerah, bahkan kini dia menarik tangan sang istri. "Aku butuh bicara denganmu." "Mau bicara apa lagi?" tanya Vanessa tampak malas. "Kita sudah menyelesaikan semua pembicaraan sejak tadi." "Kau sungguh ingin bercerai?" tanya Jovi dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah sejak awal, memang seperti itu perjanjiannya?" Vanessa balas bertanya. "Sejak awal, pernikahan kita bukan sesuatu yang permanen. Itu semua hanya kontrak saja." Jovi terdiam mendengar apa yang dikatakan istrinya. Itu bukan hal yang salah, tapi entah kenapa sang dokter merasa ada yang salah. Dia bahkan masih mengejar Vanessa yang sudah berhasil melepaskan diri dan berjalan ke arah lift. "Kau mau apa lagi?" Vanessa mendesis
"Lepaskan aku." Vanessa tentu saja akan berteriak, ketika rambutnya ditarik."Seenaknya saja kau." Perempuan yang menarik rambut Vanessa tentu tidak mau mendengar. "Sudah selingkuh, merebut pacar orang, tapi masih minta dilepaskan? Yang benar saja.""Siapa yang kau sebut selingkuh?" Tentu saja Jovi akan ikut campur. "Dia istriku dan tidak ada yang selingkuh."Jovi berhasil membuat perempuan yang entah siapa itu, melepas jambakannya pada rambut sang istri. Itu pun masih membuat rambut Vanessa yang rapuh berguguran."Oh, rambutku." Vanessa bahkan mengeluhkannya."Nanti kau pergi perawatan saja di salon." Jovi malah memberikan usulan. "Dengan begitu, rambutmu akan jadi bagus lagi. Tapi sekarang, mungkin kau harus menelepon kakakmu dulu.""Siapa yang akan kalian telepon?" hardik perempuan yang tadi mengaku sebagai pacar lelaki bernama Ben. "Mau menelepon Ben? Agar dia tahu kalau kau adalah perempuan bersuami, bahkan membawa suami pengangguranmu ini ke rumahku?""Maaf, tapi aku tid
"Huh? Siapa yang datang?" Seorang lelaki berseragam polisi berpangkat cukup tinggi, menaikkan sebelah alisnya. "Itu, Pak. Pelapor tabrak lari tempo hari. Yang Bapak tangani kasusnya itu." "Mau apa lagi sih mereka." Pak polisi itu mengeluh. "Suruh saja masuk dulu." Danapati masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak senang. Hal yang tentunya tidak membuat si polisi takut, dia bahkan tersenyum lebar. "Aku lihat, tidak ada perkembangan dari kasus tabrak lari menantuku." Danapati langsung bertanya tanpa basa-basi. "Apa Pak Polisi benar-benar menangani hal ini dengan baik?" "Tentu saja kami menanganinya dengan baik." Pak Polisi tadi tersenyum lebar. "Kami sementara melihat rekaman CCTV, tapi itu kan butuh waktu. Apalagi pekerjaan kami kan banyak." "Pekerjaan kalian yang banyak, atau kalian merasa kekurangan uang sogokan?" tanya Danapati dengan senyum miringnya yang mencemooh. "Wah, Pak itu namanya fitnah." Si
"Loh, ada Jovi di sini." Anna tersenyum ketika melihat lelaki yang dia lihat itu. Berbeda dengan Anna, Jovi malah berdecih pelan. Lelaki itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran teman kelasnya itu. Apalagi Anna berada di rumah sakit milik keluarganya. "Kenapa kau ada di sini?" Anna mengekori Jovi yang sedang berjalan cepat menuju ke lift. "Apa kau juga berniat untuk nanti bergabung dengan peneliti yang ada di Hospitalia ini?" Tentu saja Jovi memilih untuk tidak menjawab. Dia tidak ingin mengurusi perempuan yang terus mengikutinya itu, karena perlu pergi ke kamar sang istri. Dia sudah sengaja pergi makan siang dan mandi, karena sahabat sang istri datang menjenguk. "Hei, apa kau tidak punya telinga?" tanya Anna terlihat cemberut, ketika masuk ke dalam lift. "Dokter Jovi, sepertinya Mbak yang di sana berbicara dengan dokter." Seorang perawat memberitahu. "Dia tidak bicara denganku," jawab Jovi dengan senyum tipis.
"Vanessa? Apa yang kau lamunkan?" Yang empunya nama tersentak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Makin terkejut ketika menyadari ada Cinta-sang sahabat, hanya berjarak lima senti dari wajah Vanessa. "Argh." Vanessa refleks mendorong sang sahabat. "Aduh!" Tentu saja Cinta akan mengeluh. "Kau itu kenapa sih?" "Ka ...." Vanessa ingin berbicara lebih banyak, tapi tidak bisa. Bisa mengeluarkan suara seperti barusan saja sudah merupakan kemajuan besar. "Pelan-pelan, Ta. Jangan terlalu membuat dia terkejut, nanti kepala Vanessa bisa berdarah lagi." Kali ini, giliran Lydia yang berbicara. "Cinta yang membuatku terkejut." Vanessa memperlihatkan ponselnya untuk berbicara. "Lagi pula, kenapa kalian harus membuatku terkejut." "Coba lihat dia." Erika berdecak pelan. "Padahal kita sudah susah-susah meluangkan waktu untuk datang menjenguk, tapi dia malah menyalahkan kita. Mana dari sejak kita datang dia cuma melamun saja. Dasar tidak tahu diuntung." Vanessa memutar b
"Gangguan bicara kadang terjadi pada pasien dengan pendarahan otak." Dokter bedah saraf memberi tahu. "Efeknya bisa jadi permanen, tapi bisa juga hanya sementara saja." "Saran saya, Mbak Vanessa boleh dicoba untuk terapi bicara saja dulu. Mungkin Dokter Danapati dan Dokter Jovi bisa sekalian ikut membantu. Saya yakin kalian bisa membantu untuk terapi juga." Walau terbalut dengan perban, semua orang tahu kalau Vanessa tengah mengerutkan keningnya. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari dokter yang menanganinya. Padahal, dia bisa bersuara walau tidak bisa merangkai kata. "Tidak apa-apa, Nes." Jovi berusaha untuk tersenyum dan menenangkan istrinya, ketika dokter yang menangani pergi. "Masih diterapi karena ini hanya gangguan sementara saja. Mungkin kau sudah bisa kembali berbicara dengan baik setelah beberapa minggu." Sayang sekali, Vanessa menggeleng. Dia tentu saja menjadi orang yang paling terpukul atas gangguan bicara yang dia alami sekarang in
"Jovi tunggu dulu." Anna berlarian mengejar lelaki yang dia panggil itu. "Hei, apa kau tidak mendengar?" Tentu Jovi tidak peduli dengan panggilan itu, karena dia sedang terburu-buru. Vanessa masih di ruang operasi, jadi dia harus bergegas pergi ke rumah sakit. Jovi ingin berada di dekat sang istri. "Hei, apa kau tidak mendengar aku." Anna merentangkan tangan di depan motor yang baru saja dinaiki oleh Jovi. "Minggir," gumam Jovi yang sudah siap untuk berangkat. "Aku tidak mau." Sayang sekali, Anna bergeming. "Setidaknya berikan nomor ponselmu sebelum kau pergi." "Minggir sekarang atau aku akan menabrakmu." Jovi kembali meminta disertai dengan ancaman. "Berikan nomor ponselmu, agar kita bisa mengobrol dengan lebih tenang dan... Kyaa." Anna segera menghindar ketika Jovi benar-benar melajukan motornya. Padahal lelaki itu hanya melajukan motor dengan sangat lambat untuk menakut-nakuti. Tentu saja itu membuat Anna langsung menghindar karena takut ditabrak. "Tunggu dulu." Rupa
"Mahasiswa baru ya?" Jovi mendongak ketika dia mendengar ada suara di sebelahnya. Ada seorang perempuan yang tampaknya lebih muda dari dirinya, tersenyum dengan sangat lebar. Hal yang membuat Jovi mendengus pelan. "Ada masalah dengan status kuliahku?" tanya Jovi kini kembali menatap ke depan. Sekarang ini, Jovi memang sudah mulai menjalankan kuliah kembali dan ini adalah hari pertamanya. Padahal, hari ini bersamaan dengan jadwal operasi Vanessa. Tapi karena dia juga tidak bisa bolos pada semester baru dan hari pertama, jika ingin cepat lulus. Alhasil Jovi memilih untuk pergi ke kampus dengan perasaan was-was. "Tidak ada sih." Bukannya menyerah, perempuan tadi malah duduk di sebelah Jovi yang memang kosong. "Tapi aku boleh berkenalan denganmu kan? Namaku Anna." "Maaf, tapi tidak bisa." Jovi segera menolak dan memilih untuk pindah ke deretan kursi paling belakang, walau dia suka duduk di tengah. "Kenapa tidak bisa?" tan
"Keguguran?" tanya Cindy dengan kedua alis terangkat. "Ya." Danapati mengangguk pelan. "Dan sepertinya baik Jovi maupun Vanessa tidak tahu tentang kehamilan itu. Bahkan Jovi mengaku sempat memberikan Vanessa obat untuk menghalangi kehamilan, tapi mungkin lupa diminum karena bertengkar." Cindy terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan suaminya. Dia yang sejak tadi menunggu di sana karena Vanessa harus dibiarkan sendiri untuk istirahat, benar-benar merasa sangat terkejut. Padahal cucu adalah hal yang sangat Cindy inginkan, tapi dia malah kehilangan. "Ini mungkin hukuman untukku," bisik Cindy pelan. "Ini pasti karena aku menindas Vanessa dan memaksanya untuk memiliki anak yang tidak mereka inginkan." "Jangan menyalahkan dirimu." Danapati mencoba untuk menenangkan sang istri. "Itu semua terjadi bukan karena dirimu." "Ya." Cindy tidak segan untuk mengangguk, ketika mengingat apa yang terjadi. "Ini semua karena mobil sialan yang tid
"Dasar orang gila." Cindy nyaris saja berteriak, ketika masuk ke dalam kamar rawat inap menantunya. "Masa anaknya koma begini malah minta uang tiga ratus juta." "Pantas saja Vanessa selalu terlihat stres ketika membicarakan keluarganya." Danapati mengembuskan napas lelah. "Ternyata mereka memang sakit jiwa." "Tidak apa-apa." Hanya Jovi yang terdengar tenang, walau raut wajahnya jelas tidak terlihat baik-baik saja. "Setidaknya mereka tidak akan berani untuk mendekati Vanessa lagi setelah ini." "Ya, kau benar." Cindy mengangguk paham. "Memang lebih baik meminta mereka untuk membuat surat pernyataan seperti tadi." Saat kedua orang tua Vanessa meminta uang, Jovi memang langsung menyanggupi dengan satu syarat. Keluarga mereka tidak boleh lagi muncul di hadapan Vanessa, apa pun yang terjadi. Memang syarat itu terkesan durhaka, tapi itu rasanya akan lebih baik untuk Vanessa. Orang tua perempuan itu bahkan tidak mau repot-repot menjenguk putrinya yang sedang sekarat setelah menerima
"Kau baru saja melakukan apa?" Gery bertanya dengan bola mata yang membesar. "Aku menabrak perempuan gendut itu," jawab Manda dengan santainya, bahkan sambil mengikir kuku. "Tadi aku kebetulan melihat mereka bergandengan tangan saat menyeberang jalan. Karena kesal, aku langsung asal tabrak saja. Untung hanya perempuan gendut itu yang benar-benar tertabrak," lanjut Manda seolah yang dia katakan bukanlah apa-apa. "Kau gila." Gery menggeleng pelan. "Kalau dia mati bagaimana?" "Mana mungkin dia mati." Manda malah menghardik. "Kejadian itu terjadi tepat di depan rumah sakit, jadi pasti dia akan segera diselamatkan. Apalagi perempuan itu kan menantu pemilik rumah sakit yang katanya akan segera bergelar direktur. Dia pasti diutamakan." "Tapi andaikata dia tidak selamat? Apa yang akan terjadi denganmu?" tanya Gery dengan kedua alis terangkat. Manda tidak langsung menjawab dan terlihat berpikir terlebih dahulu. Dia bahkan menghentikan kegiatannya mengikir kuku, karena pertanyaan san