Maaf lama guys, tadi ada acara kantor soalnya. Besok pun bakal agak malam, karena ada acara keluarga.
“Jovi.” Yang empunya nama tersentak, ketika mendengar namanya dipanggil dengan cukup keras. Padahal, dia masih di rumah sakit dan tentu saja memanggil dengan keras seperti itu tidak dibolehkan karena akan mengganggu pasien. “Vanessa?” Kening sang dokter berkerut ketika menemukan istrinya. “Apa yang kau lakukan di sini? Lagi pula, kenapa berteriak?” “Aku tidak berteriak.” Vanessa menutup pintu ruangan suaminya. “Oh, dan aku masuk setelah mengetahui kau sudah tidak punya jadwal lagi dan sudah bersiap untuk pulang.” “Padahal aku baru ingin menelepon, karena ingin menjemputmu.” Jovi kembali mulai membereskan ruangannya. “Kau duduk saja, biar aku yang bereskan.” Vanessa dengan cepat mengambil alih apa yang dilakukan sang suami, padahal lumayan banyak yang perlu dibereskan. Entah apa yang terjadi dengan pasien Jovi yang terakhir, tapi ada beberapa perban yang masih berantakan. Tidak benar-benar berantakan, tapi masih perlu dirapikan. Belum meja kerja Jovi yang masih ada beberapa be
“Bagaimana kau bisa tahu tentang perempuan yang bernama Meghan ini?” “Aku kebetulan saja sedang ingin menunggu Jovi di rumah sakit, dengan harapan bisa untuk menggodanya lagi.” Manda mengedikkan bahu. “Siapa sangka aku malah bisa menemukan saingan perempuan gendut itu.” “Kau sangat pintar.” Lelaki yang berbaring telanjang di samping Manda, menepuk pelan kepala perempuan itu. "Tapi apakah setelah ini kau masih ada janji lain?"“Ada.” Manda tanpa ragu mengangguk. “Masih satu jam lagi, tapi aku tidak sedang ingin bercinta lagi, Gery.” “Loh, kenapa?” tanya lelaki yang dipanggil Gery itu, bahkan sampai beranjak dari posisi tidurnya. “Teman kencanku yang berikutnya, pasti akan mengajak bercinta juga.” Manda menjelaskan tanpa rasa bersalah. “Aku harus menyimpan tenaga untuk itu bukan? Lagi pula aku sudah lelah dan kau juga harus pergi menemui para tante itu kan?” “Oh, kau benar.” Gery mengembuskan napas lelah. “Walau memberi banyak uang, tapi keinginan mereka banyak sekali.” “Tidak a
“Kak Ben?” Vanessa melotot saat membuka pintu rumah dan menemukan kakaknya berdiri dengan setelan jas lengkap, sudah siap pergi kerja. “Ada apa datang pagi-pagi begini? Terus kenapa pakai jas? Bukannya ini Sabtu ya?” “Ini memang Sabtu, tapi aku perlu bertemu klien. Apa suamimu sudah bangun?” tanya Ben dengan senyum lebar. “Dia sedang pergi membeli madu. Kak Ben masuk saja dulu.” Tentu saja Vanessa akan segera mempersilakan kakaknya masuk, walau dia datang di jam yang tidak masuk akal. “Mungkin sebaiknya tidak.” Benigno mengangkat tangan untuk menolak. “Walau kita bersaudara, tapi tetap bukan hal baik jika aku masuk ke rumahmu, sementara Jovi tidak ada di tempat.” “Baiklah.” Pada akhirnya, Vanessa yang keluar dan menutup pintu. “Kita bisa bicara di sini, jadi ada apa?” Ben tidak langsung membahas apa yang ingin dia inginkan, tapi terlebih dahulu melihat sekitarnya. Hal yang tentu saja membingungkan, karena lelaki itu terlihat ingin mengatakan sesuatu yang rahasia. “Sebenar
“Kak Ben.” Vanessa nyaris memekik, ketika dia tidak bisa menghentikan langkah sang kakak. Badan Vanessa memang besar, tapi tidak berarti tenaganya lebih kuat dari Benigno. Lelaki itu tetap lebih kuat dan membuat Vanessa kewalahan mengikuti langkah sang kakak yang lebih besar. “Kak Ben tanganku sakit.” Mau tidak mau, Vanessa pada akhirnya mengeluh dan ternyata itu cukup ampuh. Ben berhenti melangkah dan bahkan berbalik. “Maaf.” Lelaki itu segera memeriksa pergelangan tangan sang adik. “Aku tidak tahu kalau ini akan menyakitimu.” “Dari pada menarikku seperti tadi, mungkin yang bisa kita lakukan adalah duduk dan bicara bersama dengan baik-baik,” gumam Vanessa pelan. “Tidak semuanya harus dilakukan dengan kekerasan bukan?” “Tapi aku tidak senang karena lelaki brengsek itu telah menyakitimu, jadi ayo kita pulang ke rumah saja dulu,” pinta Ben dengan sungguh-sungguh, bahkan cenderung memohon. “Mari kita bicarakan saja di rumah.” Jujur saja, Vanessa merasa sangat ragu. Dia tahu diriny
“Jovi, Hai.” Langkah yang empunya nama terhenti ketika mendengar sapaan itu. Padahal dia baru saja mencapai lantai basement untuk mengejar Vanessa, tapi malah bertemu dengan orang lain. “Maaf, Manda.” Jovi segera menghindar. “Aku sedang ada urusan penting.” “Urusan penting apa?” Sayangnya, Manda enggan melepas sang mantan begitu saja. “Kalau bukan pasien gawat, tidak perlu ke rumah sakit. Kan masih ada banyak dokter yang lain.” “Kau bilang apa?” tanya Jovi dengan kening berkerut. “Aku bilang, tidak perlu ke rumah sakit.” Manda tidak segan untuk mengulang, bahkan memperjelas. “Masih banyak dokter di sana, jadi sekali pun ada yang gawat ....” “Tidakkah kau sangat keterlaluan?” Jovi menyentak tangan yang menggenggam lengannya. “Kau baru saja membicarakan tentang nyawa seseorang dengan begitu entengnya, seolah itu tidak berharga.” “Nyawa seseorang tentu saja berharga, tapi kan masih banyak dokter lain.” Manda sama sekali tidak merasa bersalah dan malah terlihat kesal. “Kau pu
“Vanessa tidak ada di sini?” tanya Jovi dengan kedua alis terangkat naik. “Dia tadi dibawa datang, tapi dibawa pergi lagi sama Ben,” jawab lelaki yang Jovi kenali sebagai saudara Vanessa. Entah yang saudara kandung atau saudara tiri. “Begitu ya.” Pada akhirnya Jovi hanya bisa meringis. “Kalian mau cerai ya?” Saudara Vanessa kembali bersuara. “Kalau bisa jangan deh, soalnya nanti kami kekurangan pemasukan.” “Maksudnya bagaimana ya?” Tentu saja Jovi akan balas bertanya dengan kening berkerut bingung. “Pokoknya jangan sampai bercerai.” Sayang sekali, sang ipar malas menjelaskan lebih lanjut. “Mau sejelek apa pun sifat dan tampang Vanessa, kalian tidak boleh bercerai. Awasi juga si Ben itu.” “Ben? Kak Ben?” “Memangnya siapa lagi?” Sang ipar berdecak pelan. “Dia kan sudah membawa kabur istrimu, jadi tentu saja harus diawasi. Siapa yang tahu dia akan menjual Vanessa atau menidurinya untuk kesenangan pribadi. Mereka saudara tiri.” Kening Jovi makin berlipat mendengar penjelasan yang
“Apa yang kau lakukan dengan ponselku?” “Astaga, Kak Ben!” Vanessa terlonjak, bahkan nyaris saja menjatuhkan ponsel yang dia pegang. “Jangan bikin kaget dong.” “Maaf, tapi kau sedang apa?” tanya Ben dengan senyum lembut. “Aku meminta Jovi membawakan ponselku,” jawab Vanessa bisa dibilang jujur. “Aku tidak bisa hidup tanpa benda itu.” “Apa kau memberi tahu lokasi juga?” Kali ini, kening Ben berkerut tanda tidak suka. “Tentu saja.” Vanessa mengangguk dengan yakin. “Bagaimana dia bisa tahu tempat ini, kalau aku tidak memberitahunya. Tapi apa ini tidak masalah?” Vanessa menatap sekitarnya. Sekarang mereka berada di sebuah apartemen yang cukup jauh dari lokasi apartemen Jovi, atau pun rumah mertuanya. Tempatnya tidak begitu besar, tapi jelas dipenuhi dengan barang-barang yang bagus. Pernak-pernik dan perabot apartemen untuk satu orang itu minimalis. Kebanyakan barang juga berwarna putih, ditambah dengan sedikit sentuhan hitam dan abu-abu. Terlihat seperti rumah lelaki, dibanding p
“Aku tidak bisa memberitahu.” Ben menggeleng, walau dia tahu tidak ada yang bisa melihatnya. “Kenapa tidak?” tanya Jovi dengan tatapan yang melotot, walau tak ada pula yang melihatnya. “Vanessa saja bersedia menemuiku, jadi kenapa kau melarang?” “Aku tidak melarang, tapi tidak bisa memberi tahu dengan spesifik. Biar bagaimana, itu adalah rumah pacarku.” Sayangnya, Ben tetap pada pendiriannya. “Apa hubungannya dengan pacarmu?” “Siapa yang tahu kau akan menyelinap masuk atau tidak. Kau bahkan bisa menghamili perempuan lain, padahal masih berstatus sebagai suami Vanessa. Siapa yang tahu kalau kau akan mengincar pacarku juga bukan?” “Apa kau gila?” tanya Jovi nyaris saja berteriak. “Aku bahkan belum pernah tidur dengan siapa pun, sebelum menikah dengan Vanessa. Sekarang kau menuduhku menghamili anak orang?” “Oh, apa itu artinya kau menghamili anak orang setelah menikah dengan Vanessa?” tanya Ben pura-pura terdengar terkejut. “Itu bahkan jauh lebih menjijikkan. Dasar dokte
"Huh? Siapa yang datang?" Seorang lelaki berseragam polisi berpangkat cukup tinggi, menaikkan sebelah alisnya. "Itu, Pak. Pelapor tabrak lari tempo hari. Yang Bapak tangani kasusnya itu." "Mau apa lagi sih mereka." Pak polisi itu mengeluh. "Suruh saja masuk dulu." Danapati masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak senang. Hal yang tentunya tidak membuat si polisi takut, dia bahkan tersenyum lebar. "Aku lihat, tidak ada perkembangan dari kasus tabrak lari menantuku." Danapati langsung bertanya tanpa basa-basi. "Apa Pak Polisi benar-benar menangani hal ini dengan baik?" "Tentu saja kami menanganinya dengan baik." Pak Polisi tadi tersenyum lebar. "Kami sementara melihat rekaman CCTV, tapi itu kan butuh waktu. Apalagi pekerjaan kami kan banyak." "Pekerjaan kalian yang banyak, atau kalian merasa kekurangan uang sogokan?" tanya Danapati dengan senyum miringnya yang mencemooh. "Wah, Pak itu namanya fitnah." Si
"Loh, ada Jovi di sini." Anna tersenyum ketika melihat lelaki yang dia lihat itu. Berbeda dengan Anna, Jovi malah berdecih pelan. Lelaki itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran teman kelasnya itu. Apalagi Anna berada di rumah sakit milik keluarganya. "Kenapa kau ada di sini?" Anna mengekori Jovi yang sedang berjalan cepat menuju ke lift. "Apa kau juga berniat untuk nanti bergabung dengan peneliti yang ada di Hospitalia ini?" Tentu saja Jovi memilih untuk tidak menjawab. Dia tidak ingin mengurusi perempuan yang terus mengikutinya itu, karena perlu pergi ke kamar sang istri. Dia sudah sengaja pergi makan siang dan mandi, karena sahabat sang istri datang menjenguk. "Hei, apa kau tidak punya telinga?" tanya Anna terlihat cemberut, ketika masuk ke dalam lift. "Dokter Jovi, sepertinya Mbak yang di sana berbicara dengan dokter." Seorang perawat memberitahu. "Dia tidak bicara denganku," jawab Jovi dengan senyum tipis.
"Vanessa? Apa yang kau lamunkan?" Yang empunya nama tersentak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Makin terkejut ketika menyadari ada Cinta-sang sahabat, hanya berjarak lima senti dari wajah Vanessa. "Argh." Vanessa refleks mendorong sang sahabat. "Aduh!" Tentu saja Cinta akan mengeluh. "Kau itu kenapa sih?" "Ka ...." Vanessa ingin berbicara lebih banyak, tapi tidak bisa. Bisa mengeluarkan suara seperti barusan saja sudah merupakan kemajuan besar. "Pelan-pelan, Ta. Jangan terlalu membuat dia terkejut, nanti kepala Vanessa bisa berdarah lagi." Kali ini, giliran Lydia yang berbicara. "Cinta yang membuatku terkejut." Vanessa memperlihatkan ponselnya untuk berbicara. "Lagi pula, kenapa kalian harus membuatku terkejut." "Coba lihat dia." Erika berdecak pelan. "Padahal kita sudah susah-susah meluangkan waktu untuk datang menjenguk, tapi dia malah menyalahkan kita. Mana dari sejak kita datang dia cuma melamun saja. Dasar tidak tahu diuntung." Vanessa memutar b
"Gangguan bicara kadang terjadi pada pasien dengan pendarahan otak." Dokter bedah saraf memberi tahu. "Efeknya bisa jadi permanen, tapi bisa juga hanya sementara saja." "Saran saya, Mbak Vanessa boleh dicoba untuk terapi bicara saja dulu. Mungkin Dokter Danapati dan Dokter Jovi bisa sekalian ikut membantu. Saya yakin kalian bisa membantu untuk terapi juga." Walau terbalut dengan perban, semua orang tahu kalau Vanessa tengah mengerutkan keningnya. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari dokter yang menanganinya. Padahal, dia bisa bersuara walau tidak bisa merangkai kata. "Tidak apa-apa, Nes." Jovi berusaha untuk tersenyum dan menenangkan istrinya, ketika dokter yang menangani pergi. "Masih diterapi karena ini hanya gangguan sementara saja. Mungkin kau sudah bisa kembali berbicara dengan baik setelah beberapa minggu." Sayang sekali, Vanessa menggeleng. Dia tentu saja menjadi orang yang paling terpukul atas gangguan bicara yang dia alami sekarang in
"Jovi tunggu dulu." Anna berlarian mengejar lelaki yang dia panggil itu. "Hei, apa kau tidak mendengar?" Tentu Jovi tidak peduli dengan panggilan itu, karena dia sedang terburu-buru. Vanessa masih di ruang operasi, jadi dia harus bergegas pergi ke rumah sakit. Jovi ingin berada di dekat sang istri. "Hei, apa kau tidak mendengar aku." Anna merentangkan tangan di depan motor yang baru saja dinaiki oleh Jovi. "Minggir," gumam Jovi yang sudah siap untuk berangkat. "Aku tidak mau." Sayang sekali, Anna bergeming. "Setidaknya berikan nomor ponselmu sebelum kau pergi." "Minggir sekarang atau aku akan menabrakmu." Jovi kembali meminta disertai dengan ancaman. "Berikan nomor ponselmu, agar kita bisa mengobrol dengan lebih tenang dan... Kyaa." Anna segera menghindar ketika Jovi benar-benar melajukan motornya. Padahal lelaki itu hanya melajukan motor dengan sangat lambat untuk menakut-nakuti. Tentu saja itu membuat Anna langsung menghindar karena takut ditabrak. "Tunggu dulu." Rupa
"Mahasiswa baru ya?" Jovi mendongak ketika dia mendengar ada suara di sebelahnya. Ada seorang perempuan yang tampaknya lebih muda dari dirinya, tersenyum dengan sangat lebar. Hal yang membuat Jovi mendengus pelan. "Ada masalah dengan status kuliahku?" tanya Jovi kini kembali menatap ke depan. Sekarang ini, Jovi memang sudah mulai menjalankan kuliah kembali dan ini adalah hari pertamanya. Padahal, hari ini bersamaan dengan jadwal operasi Vanessa. Tapi karena dia juga tidak bisa bolos pada semester baru dan hari pertama, jika ingin cepat lulus. Alhasil Jovi memilih untuk pergi ke kampus dengan perasaan was-was. "Tidak ada sih." Bukannya menyerah, perempuan tadi malah duduk di sebelah Jovi yang memang kosong. "Tapi aku boleh berkenalan denganmu kan? Namaku Anna." "Maaf, tapi tidak bisa." Jovi segera menolak dan memilih untuk pindah ke deretan kursi paling belakang, walau dia suka duduk di tengah. "Kenapa tidak bisa?" tan
"Keguguran?" tanya Cindy dengan kedua alis terangkat. "Ya." Danapati mengangguk pelan. "Dan sepertinya baik Jovi maupun Vanessa tidak tahu tentang kehamilan itu. Bahkan Jovi mengaku sempat memberikan Vanessa obat untuk menghalangi kehamilan, tapi mungkin lupa diminum karena bertengkar." Cindy terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan suaminya. Dia yang sejak tadi menunggu di sana karena Vanessa harus dibiarkan sendiri untuk istirahat, benar-benar merasa sangat terkejut. Padahal cucu adalah hal yang sangat Cindy inginkan, tapi dia malah kehilangan. "Ini mungkin hukuman untukku," bisik Cindy pelan. "Ini pasti karena aku menindas Vanessa dan memaksanya untuk memiliki anak yang tidak mereka inginkan." "Jangan menyalahkan dirimu." Danapati mencoba untuk menenangkan sang istri. "Itu semua terjadi bukan karena dirimu." "Ya." Cindy tidak segan untuk mengangguk, ketika mengingat apa yang terjadi. "Ini semua karena mobil sialan yang tid
"Dasar orang gila." Cindy nyaris saja berteriak, ketika masuk ke dalam kamar rawat inap menantunya. "Masa anaknya koma begini malah minta uang tiga ratus juta." "Pantas saja Vanessa selalu terlihat stres ketika membicarakan keluarganya." Danapati mengembuskan napas lelah. "Ternyata mereka memang sakit jiwa." "Tidak apa-apa." Hanya Jovi yang terdengar tenang, walau raut wajahnya jelas tidak terlihat baik-baik saja. "Setidaknya mereka tidak akan berani untuk mendekati Vanessa lagi setelah ini." "Ya, kau benar." Cindy mengangguk paham. "Memang lebih baik meminta mereka untuk membuat surat pernyataan seperti tadi." Saat kedua orang tua Vanessa meminta uang, Jovi memang langsung menyanggupi dengan satu syarat. Keluarga mereka tidak boleh lagi muncul di hadapan Vanessa, apa pun yang terjadi. Memang syarat itu terkesan durhaka, tapi itu rasanya akan lebih baik untuk Vanessa. Orang tua perempuan itu bahkan tidak mau repot-repot menjenguk putrinya yang sedang sekarat setelah menerima
"Kau baru saja melakukan apa?" Gery bertanya dengan bola mata yang membesar. "Aku menabrak perempuan gendut itu," jawab Manda dengan santainya, bahkan sambil mengikir kuku. "Tadi aku kebetulan melihat mereka bergandengan tangan saat menyeberang jalan. Karena kesal, aku langsung asal tabrak saja. Untung hanya perempuan gendut itu yang benar-benar tertabrak," lanjut Manda seolah yang dia katakan bukanlah apa-apa. "Kau gila." Gery menggeleng pelan. "Kalau dia mati bagaimana?" "Mana mungkin dia mati." Manda malah menghardik. "Kejadian itu terjadi tepat di depan rumah sakit, jadi pasti dia akan segera diselamatkan. Apalagi perempuan itu kan menantu pemilik rumah sakit yang katanya akan segera bergelar direktur. Dia pasti diutamakan." "Tapi andaikata dia tidak selamat? Apa yang akan terjadi denganmu?" tanya Gery dengan kedua alis terangkat. Manda tidak langsung menjawab dan terlihat berpikir terlebih dahulu. Dia bahkan menghentikan kegiatannya mengikir kuku, karena pertanyaan san