Hari ini aku langsung update dua bab ya đ
âApa sekarang kau sudah percaya?â Vanessa mendongak ketika mendengar suara bernada tanya itu. Dia langsung meringis, ketika melihat dokter yang tadi dia tendang berdiri di depannya. Kali ini, sudah lengkap dengan sneli dan stetoskop. âMaaf.â Hanya itu yang bisa Vanessa katakan dengan kepala menunduk. âKalau sudah tahu kesalahanmu, mungkin kau bisa mengembalikan tanda pengenalku?â Sang dokter kini mengulurkan tangan. Dengan gerakan hati-hati, Vanessa meletakkan lanyard beserta kartu ID dokter milik lelaki di depannya. Ada nama Joviandri William N tertulis di sana. Kartu ID yang jelas sangat sakti, dan berlaku di rumah sakit yang Vanessa datangi. âMaaf.â Vanessa sekali lagi mengatakan hal yang sama. âAku benar-benar malu karena sudah salah sangka padamu.â âApa kau salah sangka karena melihat tatoku?â tanya Jovi tampak mencemooh. âMemangnya kenapa dengan tato? Apa aku terlihat buruk dengan itu?â âOh, tidak!â Vanessa menggeleng dengan cepat. âAku bahkan tidak terlalu
âWOI, GUYS. VANESSA BARU PUTUS!â Padahal Vanessa berharap bisa merasakan ketenangan ketika sampai di rumah, tapi rupanya itu sangat salah. Dia baru saja membuka pintu, dan menegur sang adik yang sedang main judi online, tapi sekarang malah dirinya yang diteriaki. "Dari mana kau mendapat informasih tidak masuk akal itu?" hardik Vanessa dengan mata yang sudah hampir keluar dari posisinya. "Semua orang juga tahu ekspresimu ketika diputus pacar." Sang adik segera berlari, setelah mengatakan hal itu. âHei, brengsek!â Vanessa jelas saja akan mengejar, tapi dia jelas kalah. Tubuhnya lebih besar dari sang adik lelaki. âJangan kejar-kejaran di tangga.â Sang ibu ikut-ikutan berteriak entah dari mana. âDia duluan yang cari gara-gara,â hardik Vanessa dengan kesal. âAku bahkan tidak bilang apa-apa, tapi dia sudah berteriak.â âDia masih kecil, Nes.â Sayangnya sang ibu malah membela sang adik. âKecil my ass. Dia sudah bisa bikin anak.â Vanessa hanya berani mengatakan hal itu deng
[+628xxxxxxxx: Aku tahu permintaanku tadi sangat aneh, jadi tidak usah dipikirkan. Omong-omong ini Vanessa.] âBagaimana mungkin aku tidak memikirkannya?â bisik Jovi dengan senyum jahil. âIni terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja.â âKau berbicara denganku?â Rekan kerja Jovi yang sejak tadi membaca buku, bertanya. âYa.â Jovi dengan cepat mengangguk. âAku ingin tahu jadwal jaga IGD hari ini. Apakah ada aku nanti sore?â âTentu saja. Jadwalmu setelah ini sampai malam.â âKalau begitu, bisa tolong gantikan aku? Aku punya urusan yang sangat mendesak sore nanti, mungkin sampai besok pagi.â Jovi bertanya dengan senyum lebar. *** [Dokter Mesum: Bagaimana kalau kita membicarakan ini setelah jam pulang kantor?] [Dokter Mesum: Kita bisa makan malam bersama, kemudian lanjut ke hotel mungkin?] Helaan napas disertai dengan geraman pelan terdengar dari balik salah satu kubikel. Pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah Vanessa Wijaya yang terlihat sangat putus asa sa
âApa yang kau lakukan di kamar hotel?â Pertanyaan itu, menyambut Jovi yang baru saja membuka pintu kamarnya, sepuluh menit setelah dia masuk ke dalam kamar hotel. Itu pun dia terpaksa membuka pintu, karena suara ketukan di pintu benar-benar mengganggu. Siapa yang sangka kalau Jovi akan kedatangan tamu tidak terduga. âMama,â panggil Jovi dengan ekspresi syok. âKenapa bisa ada di sini?â âHarusnya Mama yang tanya sama kamu,â hardik perempuan paruh baya yang tampak terkejut itu. âKenapa kamu ada di sini, dan tadi Mama lihat kamu sama perempuan.â Sungguh, ingin sekali Jovi mengumpat. Padahal dia dan Vanessa baru saja masuk kamar, dan sedang berdiskusi ketika pintu kamar terketuk. Padahal tadi Jovi tidak melihat sang mama ada di sekitar restoran atau lobi hotel, tapi dia malah ketahuan. âApa kamu mau menghamili perempuan itu untuk mendapat restu Mama?â âBukan seperti itu, Ma. Tidak ada Manda di dalam.â Tahu apa maksud sang ibu, Jovi segera membantah. âKalau begitu biar Mama masuk
âApa Mama gila?â hardik Jovi tidak peduli kalau itu kurang ajar. Padahal Jovi dan mamanya baru saja kembali dari mengantar Vanessa, dan mereka bahkan belum masuk ke rumah. Namun, lebih penting bagi Jovi untuk mengonfrontasi ibunya itu. âJustru kau yang gila, Jov.â Mama Cindy balas menghardik. âKalau Mama tidak sengaja melihat kalian melintas saat keluar dari ruang meeting, kalian pasti sudah melakukan hal yang macam-macam.â âKalau pun iya, memangnya kenapa?â tanya Jovi dengan mata melotot. âZaman sudah berubah, Ma. Yang seperti itu bukan lagi sesuatu yang tabu, antar pasangan. Yang bukan pasangan saja banyak.â âTapi Mama tidak mau kau begitu tanpa ikatan,â balas Cindy terus berjalan masuk ke dalam rumah mereka. âLagi pula, menikah adalah hal yang paling bagus untukmu.â âKenapa itu bisa menjadi bagus untukku?â tanya Jovi, tentu saja akan mengejar sang ibu. âApa ini masih tentang Manda?â âKalau kau sudah tahu, maka tidak perlu bertanya.â Cindy tiba-tiba saja berbalik d
âBagaimana bisa ibumu datang ke rumahku, Brengsek?â Vanessa langsung memaki, begitu teleponnya tersambung. âMaaf, tapi siapa ini?â Suara maskulin di seberang sambungan telepon bertanya. âIni aku Vanessa.â Perempuan bertubuh gempal yang masih berdiri di luar kantornya berdesis pelan, karena ada rekan kerja yang lewat. Dia tentu tidak ingin dipelototi rekan kerjanya. âJangan pura-pura melupakanku, Dokter Cabul, lanjutnya masih dalam suara pelan. Vanessa sebenarnya ingin sekali mengikuti orang tuanya dan Cindy pergi sarapan, tapi itu tidak mungkin. Dia harus pergi bekerja, jika tidak ingin mendapat makian dari team leadernya. Kebetulan ada nasabah besar yang harus dikunjungi hari ini. âApa maksud kalimatmu itu?â Jovi tampak begitu terkejut. âKalimat yang mana yang kau maksud?â Vanessa balas bertanya. âTentu saja bagian yang cabul itu,â geram Jovi terdengar begitu kesal. âAstaga! Apakah kau tuli atau bagaimana?â Bukannya memberikan klarifikasi, Vanessa malah makin in
âYa, aku rasa kau terlalu beruntung.â Meghan segera mengangguk yakin, ketika tadi mendengar omongan Vanessa. âKalau tidak, mana mungkin kau bisa merayu banyak lelaki.â Vanessa melirik perempuan yang baru saja berbicara itu. Tentu saja yang barusan bicara adalah bos Meghan, yang tampak kesal karena lagi-lagi Vanessa yang berhasil meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengambil kredit pada mereka dan harus Vanessa yang mengurus. âUcapan Bu Meghan tidak salah kok. Aku memang pandai merayu nasabah, untuk menjadi nasabah kita.â Vanessa dengan mudahnya memperbaiki kalimat atasan langsungnya itu. âKebetulan saja, pengusaha yang butuh modal kerja itu kebanyakan lelaki. Karena itu marketing kebanyakan perempuan kan?â lanjut Vanessa dalam nada tanya dan senyum mengejek. âBu Meghan juga perempuan kan?â Perkataan itu tentu saja membuat Meghan menjadi makin kesal saja, karena apa yang dikatakan Vanessa tidak salah. Sebagian besar yang mengambil modal kerja memang pengusaha lelaki, dan mark
âApa kau janda?â tanya Jovi dengan hati-hati. âAPA KAU INGIN MATI?â Suara teriakan Vanessa bukan hanya membuat Jovi terkejut, tapi juga seisi kantin. Hal yang membuat perempuan itu malu sendiri ketika tersadar, dan hanya bisa memberikan senyum canggung pada semua orang yang melihatnya. âBisa kecilkan suaramu?â desis sang dokter yang ikut merasa malu. âAku tidak akan berteriak, kalau mulutmu bisa dijaga,â hardik Vanessa dalam desisan pelan. âAku kan hanya bertanya, memangnya tidak boleh?â âBertanya boleh, tapi yang masuk akal sedikit,â balas Vanessa masih dengan suara kecil. âAku bahkan belum pernah menikah, tapi sudah disebut janda. Apa kau mendoakan pernikahanku kelak berumur pendek?â âSebelum aku lebih banyak bicara, bagaimana kalau kita pindah tempat saja?â tanya Jovi melirik ke sekelilingnya. âTerlalu banyak orang yang melihat kita, dan sebagian besar adalah kolegaku.â Vanessa ikut melirik ke sekelilingnya, dan benar saja. Masih ada cukup banyak orang yang menatap ke ara
"Siapa yang mau datang?" tanya Vanessa dengan mata melotot, dan tentu saja ponsel di tangan. "Pak Menteri Kesehatan," jawab Cindy dengan santainya. "Kata Papa kalian, dia kebetulan melakukan kunjungan rumah sakit, jadi sekalian saja datang menjenguk." "Maaf, Tante." Cindy yang juga ada di ruang rawat inap itu tentu akan terkejut dan bertanya. "Tapi kok bisa Pak menteri datang ya?" "Loh? Kalian tidak tahu ya?" Cindy malah jadi bingung. "Pak Menteri itu kan saudaranya Papa Danapati." "Hah?" Vanessa adalah orang pertama yang berteriak. Bukan suatu kemajuan, karena dia sama sekali tidak membentuk sebuah kata atau kalimat. "Saudara dengan Pak Menteri?" Anna bertanya dengan mata membulat dan mulut terbuka. "Saya tidak salah dengar kan?" "Kau tidak salah dengar dan bisakah kau fokus saja mengerjakan apa yang perlu kau kerjakan?" Jovi balas bertanya, tapi dengan ekspresi yang tidak senang. "Kalau kau selalu berhenti untuk bergosip, kapan bisa selesai." "Oh, maaf." Anna dengan ce
"Kenapa ada orang menyebalkan di sini?" Jovi langsung bertanya ketika dia masuk ke dalam kamar rawat inap sang istri, sembari menenteng kantongan berisi makanan. "Jangan tidak sopan begitu, Vi. Anna dan Dokter Johan hanya datang untuk berkunjung." Cindy tentu akan menegur putranya. "Selamat pagi menjelang siang, Kak Jovi." Anna tiba-tiba saja menjadi sangat sopan. "Habis beli makanan ya?" Jovi menaikkan sebelah alis melihat tingkah kalem Anna. Tapi tentu saja, dia tidak terlalu peduli dengan perempuan itu karena ada hal yang lebih penting. "Sayang, ini pesanan makananmu." Jovi mendekat ke arah ranjang pasien. "Sesuai pesanan, nasi kuning langgananmu. Tidak ada di tersedia secara online, jadi aku sendiri yang pergi beli." Sebelum benar-benar menyerahkan kantongan berisi makanan itu pada istrinya, Jovi terlebih dahulu mengecup sudut bibir Vanessa. Hal yang tentu saja membuat perempuan yang adalah pasien itu membeku di tempat. "Astaga, Vi. Kalau mau mesra-mesraan sama istrimu
"Huh? Siapa yang datang?" Seorang lelaki berseragam polisi berpangkat cukup tinggi, menaikkan sebelah alisnya. "Itu, Pak. Pelapor tabrak lari tempo hari. Yang Bapak tangani kasusnya itu." "Mau apa lagi sih mereka." Pak polisi itu mengeluh. "Suruh saja masuk dulu." Danapati masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi tidak senang. Hal yang tentunya tidak membuat si polisi takut, dia bahkan tersenyum lebar. "Aku lihat, tidak ada perkembangan dari kasus tabrak lari menantuku." Danapati langsung bertanya tanpa basa-basi. "Apa Pak Polisi benar-benar menangani hal ini dengan baik?" "Tentu saja kami menanganinya dengan baik." Pak Polisi tadi tersenyum lebar. "Kami sementara melihat rekaman CCTV, tapi itu kan butuh waktu. Apalagi pekerjaan kami kan banyak." "Pekerjaan kalian yang banyak, atau kalian merasa kekurangan uang sogokan?" tanya Danapati dengan senyum miringnya yang mencemooh. "Wah, Pak itu namanya fitnah." Si
"Loh, ada Jovi di sini." Anna tersenyum ketika melihat lelaki yang dia lihat itu. Berbeda dengan Anna, Jovi malah berdecih pelan. Lelaki itu sama sekali tidak senang melihat kehadiran teman kelasnya itu. Apalagi Anna berada di rumah sakit milik keluarganya. "Kenapa kau ada di sini?" Anna mengekori Jovi yang sedang berjalan cepat menuju ke lift. "Apa kau juga berniat untuk nanti bergabung dengan peneliti yang ada di Hospitalia ini?" Tentu saja Jovi memilih untuk tidak menjawab. Dia tidak ingin mengurusi perempuan yang terus mengikutinya itu, karena perlu pergi ke kamar sang istri. Dia sudah sengaja pergi makan siang dan mandi, karena sahabat sang istri datang menjenguk. "Hei, apa kau tidak punya telinga?" tanya Anna terlihat cemberut, ketika masuk ke dalam lift. "Dokter Jovi, sepertinya Mbak yang di sana berbicara dengan dokter." Seorang perawat memberitahu. "Dia tidak bicara denganku," jawab Jovi dengan senyum tipis.
"Vanessa? Apa yang kau lamunkan?" Yang empunya nama tersentak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengannya. Makin terkejut ketika menyadari ada Cinta-sang sahabat, hanya berjarak lima senti dari wajah Vanessa. "Argh." Vanessa refleks mendorong sang sahabat. "Aduh!" Tentu saja Cinta akan mengeluh. "Kau itu kenapa sih?" "Ka ...." Vanessa ingin berbicara lebih banyak, tapi tidak bisa. Bisa mengeluarkan suara seperti barusan saja sudah merupakan kemajuan besar. "Pelan-pelan, Ta. Jangan terlalu membuat dia terkejut, nanti kepala Vanessa bisa berdarah lagi." Kali ini, giliran Lydia yang berbicara. "Cinta yang membuatku terkejut." Vanessa memperlihatkan ponselnya untuk berbicara. "Lagi pula, kenapa kalian harus membuatku terkejut." "Coba lihat dia." Erika berdecak pelan. "Padahal kita sudah susah-susah meluangkan waktu untuk datang menjenguk, tapi dia malah menyalahkan kita. Mana dari sejak kita datang dia cuma melamun saja. Dasar tidak tahu diuntung." Vanessa memutar b
"Gangguan bicara kadang terjadi pada pasien dengan pendarahan otak." Dokter bedah saraf memberi tahu. "Efeknya bisa jadi permanen, tapi bisa juga hanya sementara saja." "Saran saya, Mbak Vanessa boleh dicoba untuk terapi bicara saja dulu. Mungkin Dokter Danapati dan Dokter Jovi bisa sekalian ikut membantu. Saya yakin kalian bisa membantu untuk terapi juga." Walau terbalut dengan perban, semua orang tahu kalau Vanessa tengah mengerutkan keningnya. Dia sungguh tidak menyangka akan mendengar penjelasan seperti itu dari dokter yang menanganinya. Padahal, dia bisa bersuara walau tidak bisa merangkai kata. "Tidak apa-apa, Nes." Jovi berusaha untuk tersenyum dan menenangkan istrinya, ketika dokter yang menangani pergi. "Masih diterapi karena ini hanya gangguan sementara saja. Mungkin kau sudah bisa kembali berbicara dengan baik setelah beberapa minggu." Sayang sekali, Vanessa menggeleng. Dia tentu saja menjadi orang yang paling terpukul atas gangguan bicara yang dia alami sekarang in
"Jovi tunggu dulu." Anna berlarian mengejar lelaki yang dia panggil itu. "Hei, apa kau tidak mendengar?" Tentu Jovi tidak peduli dengan panggilan itu, karena dia sedang terburu-buru. Vanessa masih di ruang operasi, jadi dia harus bergegas pergi ke rumah sakit. Jovi ingin berada di dekat sang istri. "Hei, apa kau tidak mendengar aku." Anna merentangkan tangan di depan motor yang baru saja dinaiki oleh Jovi. "Minggir," gumam Jovi yang sudah siap untuk berangkat. "Aku tidak mau." Sayang sekali, Anna bergeming. "Setidaknya berikan nomor ponselmu sebelum kau pergi." "Minggir sekarang atau aku akan menabrakmu." Jovi kembali meminta disertai dengan ancaman. "Berikan nomor ponselmu, agar kita bisa mengobrol dengan lebih tenang dan... Kyaa." Anna segera menghindar ketika Jovi benar-benar melajukan motornya. Padahal lelaki itu hanya melajukan motor dengan sangat lambat untuk menakut-nakuti. Tentu saja itu membuat Anna langsung menghindar karena takut ditabrak. "Tunggu dulu." Rupa
"Mahasiswa baru ya?" Jovi mendongak ketika dia mendengar ada suara di sebelahnya. Ada seorang perempuan yang tampaknya lebih muda dari dirinya, tersenyum dengan sangat lebar. Hal yang membuat Jovi mendengus pelan. "Ada masalah dengan status kuliahku?" tanya Jovi kini kembali menatap ke depan. Sekarang ini, Jovi memang sudah mulai menjalankan kuliah kembali dan ini adalah hari pertamanya. Padahal, hari ini bersamaan dengan jadwal operasi Vanessa. Tapi karena dia juga tidak bisa bolos pada semester baru dan hari pertama, jika ingin cepat lulus. Alhasil Jovi memilih untuk pergi ke kampus dengan perasaan was-was. "Tidak ada sih." Bukannya menyerah, perempuan tadi malah duduk di sebelah Jovi yang memang kosong. "Tapi aku boleh berkenalan denganmu kan? Namaku Anna." "Maaf, tapi tidak bisa." Jovi segera menolak dan memilih untuk pindah ke deretan kursi paling belakang, walau dia suka duduk di tengah. "Kenapa tidak bisa?" tan
"Keguguran?" tanya Cindy dengan kedua alis terangkat. "Ya." Danapati mengangguk pelan. "Dan sepertinya baik Jovi maupun Vanessa tidak tahu tentang kehamilan itu. Bahkan Jovi mengaku sempat memberikan Vanessa obat untuk menghalangi kehamilan, tapi mungkin lupa diminum karena bertengkar." Cindy terduduk di kursi yang ada di dalam ruangan suaminya. Dia yang sejak tadi menunggu di sana karena Vanessa harus dibiarkan sendiri untuk istirahat, benar-benar merasa sangat terkejut. Padahal cucu adalah hal yang sangat Cindy inginkan, tapi dia malah kehilangan. "Ini mungkin hukuman untukku," bisik Cindy pelan. "Ini pasti karena aku menindas Vanessa dan memaksanya untuk memiliki anak yang tidak mereka inginkan." "Jangan menyalahkan dirimu." Danapati mencoba untuk menenangkan sang istri. "Itu semua terjadi bukan karena dirimu." "Ya." Cindy tidak segan untuk mengangguk, ketika mengingat apa yang terjadi. "Ini semua karena mobil sialan yang tid