“Sorry? Tadi kau bilang apa?” tanya Felix dengan kedua alis terangkat.
“Mulai sekarang, saya yang akan berurusan dengan Pak Felix,” jawab Damar dengan senyum lebar. “Soalnya Bu Audrey ada kesibukan, jadi untuk sementara semua pekerjaan dialihkan pada saya dan kalau saya tidak bisa, baru dialihkan lagi pada orang lain.” “Begitu ya.” Felix hanya bisa mengangguk dengan senyum meringis yang sangat tipis. “Kalau begitu, saya serahkan contohnya saja ya. Setelah didiskusikan dengan Rey, tolong beri tahu aku apa yang harus diubah.” Kening Damar mengerut mendengar pernyataan dari sang ilustrator barusan. Rasanya dia sudah mengatakan kalau semua pekerjaan Audrey dialihkan padanya kan? Tapi kenapa Felix masih ingin menunggu keputusan sang atasan? “Kau akan memberikannya pada Rey kan?” tanya Felix menyerahkan map cokelat. “Tentu saja,” jawab Damar dengan senyum lebar. “Nanti kami akan melihatnya bersama.” Kini giliran keni“Sekarang aku harus apa?” gumam Audrey menatap ponselnya. “Apanya?” Mel-sahabat dari Audrey bertanya. “Aku mendapat DM dari ibu mertua,” jawab Audrey, diikuti dengan gerakan menyugar rambut. “Apa kau tidak berhubungan baik dengan ibu mertua?” “Dia bahkan tidak tahu, kalau anaknya menikah denganku.” “WHAT?” “Apa kau pikir ini taman bermain?” tanya Audrey dengan mata melotot. “Ini di kantorku.” Mel menutup mulut dengan kedua tangan. Perempuan yang berkunjung demi membawa oleh-oleh itu, melirik ke arah pintu. Memastikan kalau orang yang sedang dibicarakan, tidak sedang berada di sekitar mereka. “Apa kau gila?” tanya Mel dengan wajah serius. “Masa kau menikah tanpa sepengetahuan keluarga lelaki? Kau beri alasan apa pada Daddy-mu?” “Damar yatim piatu. Mereka hanya orang tua angkat.” Audrey menjawab, disertai dengan kedikan bahu. Seolah apa yang dikatakannya bukanlah apa-apa.
“Bagaimana?” Vita menatap putrinya dengan tatapan penuh harap. “Apa sudah ada hasilnya?” “Hasil apa sih, Mom?” Audrey jelas saja akan membalas dengan pertanyaan lain. “Aduh, kau ini. Masa tidak mengerti maksud Mommy sih?” Vita berdecak kesal. “Maksudnya, kau sudah hamil atau belum?” Damar nyaris saja menyemburkan kopi yang sedang dia minum, ketika mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan membuat siapa pun itu akan tersedak. Lebih tepatnya, akan membuat pasangan nikah kontrak mana pun tersedak. “Tidakkah Mommy terlalu buru-buru?” tanya Audrey seolah tidak peduli. “Ini baru sekitar dua bulan sejak hari pernikahan.” “Tapi bukan berarti belum ada kan?” tanya Vita masih tersenyum lebar. “Bisa saja kalian itu sangat subur, sehingga bisa jadi bayi dengan mudah. Yah, walau mungkin kalian sempat pakai pengaman juga.” “Sayang sekali, tapi aku baru saja selesai datang bulan,” jawab Audrey de
“Apa aku boleh mengajukan cuti?” Damar bertanya dengan sangat hati-hati, seminggu setelah kejadian menelepon ibunya. “Cuti? Buat apa?” Audrey balas bertanya dengan kening berkerut. Kentara sekali kalau perempuan itu terlihat tidak senang. “Ada ... sedikit acara keluarga.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Damar dan hanya itu saja alasan yang terlintas di kepalanya. “Sedikit acara keluarga?” ulang Audrey dalam nada tanya, yang sebenarnya berupa sindiran. “Sejak kapan acara keluarga bisa diukur sedikit dan banyaknya? Lalu keluargamu yang mana?” Damar makin meringis mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan perempuan di depannya. Itu semua terjadi karena dia merasa tidak perlu memberi tahu pada Audrey, apa yang membuatnya harus cuti. Menjemput perempuan yang dijodohkan olehnya. Itulah agenda Damar saat cuti nanti. Tentu saja hal ini dilakukan bukan atas keinginan sendiri, melainkan atas ancaman sang ibu angkat.
“Buongiorno.” Audrey mengulurkan tangan dengan santai dan tentu saja dalam bahasa Italia, dilanjutkan dengan bahasa Inggris. “Kenalkan, Audrey Alexander Allen. Pacarnya Damar.” Perempuan dengan rambut pirang di depan pasangan itu, menatap uluran tangan Audrey dengan ragu-ragu. Dia sebenarnya bingung dengan keadaan sekarang ini. “Bisa jelaskan ini?” tanya perempuan pirang itu dalam bahasa Italia, jelas ditujukan untuk siapa. Damar tentu saja hanya bisa menganga. Dia merasa bingung dengan kedatangan Audrey yang begitu tiba-tiba, setelah kemarin sampai tadi pagi sempat marah. Tapi tentu saja dia harus mengatakan sesuatu kan? “Bagaimana kalau kita pindah tempat dulu?” tanya Damar, juga dalam bahasa Italia. “Maaf, tapi ada aku di sini.” Audrey, tentu saja akan menyela. “Bisakah kalian tidak berbicara dalam bahasa yang tidak kumengerti? Aku merasa seperti sedang diselingkuhi.” Walau Audrey sudah mempelajari bahasa Italia, dia masih tidak tahu banyak hal. Apalagi dia baru belajar seja
“Boleh aku tanya apa yang terjadi?” Damar langsung bertanya ketika dia dan Audrey pada akhirnya sudah berada di dalam ruangan perempuan itu. “Aku tidak mengerti,” jawab Audrey dengan asal. “Maksudku, kenapa tiba-tiba mengikutiku ke bandara?” Audrey mendesah cukup keras, setelah menghempaskan dirinya ke atas kursi kerja empuk miliknya. Sesungguhnya, Audrey sudah menyusun rangkaian kalimat untuk menjawab. Sayang sekali, itu terdengar agak ambigu baginya. Tapi memangnya ada jawaban lain? “Biar bagaimana, kau suamiku. Keluarga besarku tahu itu dan mereka bisa berpapasan denganmu di mana saja. Aku tidak ingin jadi bahan gosip.” Kening Damar berkerut mendengar kalimat itu. Jawaban yang sebenarnya cukup masuk akal, tapi sayangnya belum cukup. Masih ada banyak alasan yang bisa menepis fakta kalau dirinya selingkuh, hanya karena pergi menjemput perempuan asing di bandara. “Baiklah.” Damar mengangguk, mencoba untuk mengerti. “Tapi dibanding mengikutiku seperti itu, kau bisa langsung ikut
“Di mana Damar?” Audrey bertanya dengan kening berkerut. “Pergi makan siang, Bu,” jawab sang sekretaris yang terlihat sedikit bingung. “Bukannya tadi Pak Damar ada bilang ya?” “Kapan?” “Ka-katanya sudah beritahu waktu masuk ruangan tadi,” jawab sang sekretaris yang mulai takut karena dipelototi. Audrey menggeram marah mendengar pernyataan itu, karena saat terakhir masuk tadi, Damar tidak mengatakan apa-apa padanya. Lelaki itu hanya menyerahkan berkas dan sudah. Hanya terjadi kegiatan yang melibatkan pekerjaan dan tidak ada permintaan izin untuk apa pun. “Dia pergi sendiri?” tanya Audrey hanya untuk memastikan saja. “Bersama dengan ... Bu Jennie dari bagian lab, Bu.” Sang sekretaris sempat terhenti karena merasa gugup. Ekspresi marah Audrey makin menjadi, bahkan wajahnya sudah memerah. Padahal tadinya dia ingin berbaikan dengan lelaki itu, karena sadar dirinya memang sedikit keterlaluan. Tapi kalau seperti ini, namanya cari gara-gara. Saking marahnya, Audrey sampai membanting
“Tunggu sebentar.” Damar menarik lengan Audrey dengan refleks. “Apa maksudnya saya dipecat?” tanya Damar, sengaja menggunakan bahasa yang lebih sopan. “Apa kau bodoh atau apa?” tanya Audrey terdengar begitu dingin. “Dan lepaskan tanganku.” “Maksudnya, kenapa saya dipecat?” Damar tentu akan memperbaiki kalimatnya. “Saya tidak melakukan kesalahan apa pun.” “Tidak melakukan kesalahan apa pun?” Sekarang Audrey menaikkan satu alisnya. “Kau yakin tidak melanggar satu pun pasal yang ada pada kontrakmu?” Damar langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat, karena tahu kalau dirinya melakukan kesalahan. Lebih tepatnya, dia sudah melakukan dua kesalahan sekaligus, untuk dua kontrak yang berbeda. Pertama, untuk kontrak kerja. Damar pergi begitu saja, tanpa meminta izin atau memberi tahu Audrey. Memang dilakukan saat jam makan siang dan saat Audrey tidak punya jadwal penting, tapi tetap saja melanggar. Kedua. Tentu saja ini perihal perkataannya tentang berkencan beberapa waktu lalu. Padahal Da
“AUDREY!” Belum juga benar-benar melangkah masuk ke dalam rumah, Audrey sudah bisa mendengar namanya yang bergema ke mana-mana. Itu tentu saja ulah sang ayah dan dia tahu apa yang menyebabkan hal itu. “Kenapa lelaki Sialan ini masih di sini?” tanya Audrey, begitu melihat Damar. “Kau barusan mengatai suamimu dengan sebutan apa?” tanya Vita dengan mata membulat karena kaget. “Aku menyebutnya Sialan.” Audrey tidak keberatan untuk mengulang. “Lelaki brengsek yang hanya tahu main perempuan.” “Itu salah paham,” jawab Damar dengan cepat. “Aku kan sudah menjelaskannya padamu.” “Biar kutebak. Kau pasti tidak menceritakan pada orang tuaku, terutama tentang kehadiran Mathilda dan juga tentang Jennie.” “Audrey cukup.” Carl memberi perintah. “Kau tidak boleh asal menuduh, sebelum mendengar cerita lengkapnya.” “Memangnya Dad sudah mendengar apa?” “Kalian bertengkar karena salah paham deng
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka