“Tunggu sebentar.” Damar menarik lengan Audrey dengan refleks. “Apa maksudnya saya dipecat?” tanya Damar, sengaja menggunakan bahasa yang lebih sopan. “Apa kau bodoh atau apa?” tanya Audrey terdengar begitu dingin. “Dan lepaskan tanganku.” “Maksudnya, kenapa saya dipecat?” Damar tentu akan memperbaiki kalimatnya. “Saya tidak melakukan kesalahan apa pun.” “Tidak melakukan kesalahan apa pun?” Sekarang Audrey menaikkan satu alisnya. “Kau yakin tidak melanggar satu pun pasal yang ada pada kontrakmu?” Damar langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat, karena tahu kalau dirinya melakukan kesalahan. Lebih tepatnya, dia sudah melakukan dua kesalahan sekaligus, untuk dua kontrak yang berbeda. Pertama, untuk kontrak kerja. Damar pergi begitu saja, tanpa meminta izin atau memberi tahu Audrey. Memang dilakukan saat jam makan siang dan saat Audrey tidak punya jadwal penting, tapi tetap saja melanggar. Kedua. Tentu saja ini perihal perkataannya tentang berkencan beberapa waktu lalu. Padahal Da
“AUDREY!” Belum juga benar-benar melangkah masuk ke dalam rumah, Audrey sudah bisa mendengar namanya yang bergema ke mana-mana. Itu tentu saja ulah sang ayah dan dia tahu apa yang menyebabkan hal itu. “Kenapa lelaki Sialan ini masih di sini?” tanya Audrey, begitu melihat Damar. “Kau barusan mengatai suamimu dengan sebutan apa?” tanya Vita dengan mata membulat karena kaget. “Aku menyebutnya Sialan.” Audrey tidak keberatan untuk mengulang. “Lelaki brengsek yang hanya tahu main perempuan.” “Itu salah paham,” jawab Damar dengan cepat. “Aku kan sudah menjelaskannya padamu.” “Biar kutebak. Kau pasti tidak menceritakan pada orang tuaku, terutama tentang kehadiran Mathilda dan juga tentang Jennie.” “Audrey cukup.” Carl memberi perintah. “Kau tidak boleh asal menuduh, sebelum mendengar cerita lengkapnya.” “Memangnya Dad sudah mendengar apa?” “Kalian bertengkar karena salah paham deng
“Kalian sudah berbaikan kan?” tanya Vita dengan kedua mata menyipit, menatap putri angkatnya. “Tentu saja.” Audrey yang menjawab. “Lalu kenapa wajah Damar tidak terlihat baik?” Semua orang melirik Damar yang saat ini terlihat cemberut, dengan cengkungan di bawah mata yang terlihat cukup jelas dan juga sedikit pucat. Siapa pun yang melihat, tahu kalau lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Atau mungkin, sedang kurang tidur. “Aku baik-baik saja,” jawab Damar dengan senyum tipis yang dipaksakan. “Sungguh?” tanya Carl dengan kening berkerut. “Audrey tidak menyiksamu kan?” Berat sekali bagi Damar untuk menjawab pertanyaan itu, tapi dia tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, dia melebarkan senyum dan menggeleng pelan. Sangat pelan. Tentu saja itu tadi adalah kebohongan, tapi mana mungkin Damar mau menceritakan penyiksaan yang dia alami nyaris sepanjang malam. Bukan hanya menyiksa secara fisik, tapi juga psikis. “Rasanya mau nangis,” gumam Damar dalam hati. “Padahal sedikit
“Apa maksudmu?” tanya Mathilda dengan suara yang cukup keras. “Bisa kau bicara dengan benar?” “Tidak bisa.” Perempuan yang diajak bicara langsung menggeleng, kemudian menjawab dalam bahasa Inggris yang malah membuat bingung. “Tidak bisa bertemu.” Mathilda menggeram marah, karena tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Padahal pertanyaannya sangat mudah, tapi malah yang menerima kedatangannya malah tidak tahu apa-apa. Untung saja ada orang lain yang datang untuk menjelaskan. “Saya coba bertanya dulu ya. Ada kemungkinan Pak Damar tidak bisa ditemui tanpa janji.” “Coba tanya saja dulu.” Mathilda mengangguk pelan dan perlu menunggu resepsionis tadi menelepon. “Maaf, tapi sepertinya Pak Damar tidak bisa ditemui.” Sayangnya, resepsionis tadi membawa kabar buruk. “Oh, damn it. Bisakah aku membuat janji untuk lain waktu? Mungkin besok atau lusa?” Resepsionis tadi kembali menelepon dan berbicara dalam bahasa
“Damar, kau ini kenapa sih?” Yang empunya nama memijat pangkal hidungnya, sembari menempelkan ponsel di telinga. Dia baru saja menerima telepon dari sang ibu angkat, setelah seharian mengabaikan panggilan itu. “Kenapa kau berubah begini?” tanya sang ibu dengan suara bergetar. “Sebelumnya kau tidak pernah mengabaikan teleponku. Sekali pun kau sibuk, pasti kau akan meninggalkan pesan.” “Aku tidak berubah, Madre.” Damar tentu saja akan membela diri. “Aku hanya benar-benar tidak punya waktu untuk sekedar mengirim pesan.” “Lalu bagaimana bisa kau pergi berkencan dengan pacarmu itu?” tanya sang ibu terdengar makin emosi. “Memangnya kau pikir ibu bodoh?” “Aku tidak pergi berkencan dengan siapa pun.” Damar berusaha keras untuk menekan suaranya, agar tidak menjadi lebih keras. “Aku bahkan nyaris tidak keluar dari kantor hari ini.” “Bohong,” tuding sang ibu tanpa pikir panjang. “Mathilda melihatmu keluar dari kantor bers
“Ada apa lagi dengan kalian?” Vita mendesah, ketika melihat menantu dan anaknya yang tidak terlihat akur. “Gak apa-apa kok, Mom. Hanya sedikit salah paham dan sudah diluruskan.” Tanpa terduga Audrey yang menjelaskan dengan cukup panjang. “Yakin nih?” tanya Carl, melirik pada menantunya. “Aku masih kesal sih, Dad.” Damar menjawab dengan jujur. “Tapi ya sudahlah, bukan sesuatu yang terlalu parah kok.” Vita hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan pasangan muda itu. Rasanya baru sebentar saja, tapi mereka sudah cukup sering bertengkar. Kalau mau jujur, Vita merasa agak khawatir. “Kenapa kalian sering bertengkar sih?” Akhirnya Vita mengutarakan isi pikirannnya. “Masa sih?” Audrey yang membalas. “Perasaan Mom saja.” “Aku berharap seperti itu, jadi tolong jangan bertengkar lagi. Kalian membuatku khawatir, terutama karena ini semua terjadi dengan tiba-tiba.” “Mom tidak perlu khawatir.”
“Barusan kita mendapat review jelek.” Damar menjelaskan di rapat yang diadakan secara mendadak. “Seseorang meng-upload di media sosial tentang wajahnya yang berubah menjadi jelek, setelah menggunakan produk kita.” Kali ini, Damar menekan tombol dari poin laser di tangannya, untuk memperlihatkan hal yang dimaksud. Unggahan itu berupa video seorang perempuan yang menjelaskan keadaan wajahnya. Memang terlihat cukup parah. Ada kemerahan dan jerawat di sana. “Dia menyebutkan sedang menggunakan produk kita dan sudah berjalan sekitar hampir sebulan, tapi tiba-tiba wajahnya jadi seperti ini.” Damar kembali melanjutkan. “Lalu, ada juga orang lain yang bahkan sudah melaporkan ke balai obat-obatan dan polisi.” Audrey yang mendengar semua itu, langsung mendesah pelan dan memijat pangkal hidunya. Berita ini, bukan hanya membuatnya pusing, tapi juga marah. Ini jelas adalah fitnah. SkinNovel. Produk kecantikan milik perusahaan Audrey,
“Apa lagi sih masalahmu?” Audrey nyaris saja berteriak, ketika teleponnya sudah diangkat oleh Felix. “Bukan aku yang bermasalah, Audrey, tapi kau. Perusahaanmu lebih tepatnya.” “Hubungannya dengan pemutusan kontrak kerja itu apa?” Tentu saja Audrey masih tidak habis pikir. “Aku tetap bisa membayarmu.” “Aku tidak mau citraku menjadi buruk, hanya karena membuat packaging untuk perusahaan yang buruk.” “Apa pun yang kau baca di internet, itu semua belum terbukti,” desis Audrey benar-benar merasa marah. Dia merasa dikhianati, untuk yang kedua kalinya. “Kalau begitu, buktikan dulu kau tidak salah,” balas Felix dengan santainya. “Setelah itu, kau bisa kembali padaku.” Kening Audrey mengernyit mendengar kalimat terakhir lelaki itu. Entah kenapa, dia mengartikannya sebagai sesuatu yang berbeda.. Sayang sekali, Audrey tidak punya banyak waktu untuk mengonfirmasi. Teleponnya sudah ditutup. “Sialan!” Kesal, Aud
“Lebih cepat lagi, please.” Damar menggeram dalam suara rendah dan tertahan. “Kau pikir aku ini mesin yang bisa bergerak cepat?” jawab Audrey dengan nafas terengah. “Kakiku sudah mulai terasa pegal.” “Kalau begitu, biarkan aku mengambil alih.” Damar yang terengah pun memohon dengan sangat. “Aku mohon.” Audrey tidak menjawab, tapi dia berhenti bergerak. Kedua tangan yang tadi bertumpu pada kaki Damar, kini bergerak memeluk sang suami. Sayangnya, dia masih belum mau membiarkan lelaki itu mengambil alih kegiatan ranjang mereka dan memilih mengubah posisi saja. “Jangan bergerak.” Kali ini giliran Audrey yang menggeram, ketika merasakan sang suami menggoyangkan pinggulnya. “Aku tidak bisa menahan diri lagi, Re,” desis Damar tepat di telinga sang istri yang kini memeluknya. Dia bahkan menggigit bagian telinga itu, sebelum melanjutkan, “Tolong lepaskan ikatan di tanganku. Please.” Sungguh, Damar ingin sekali mengentak lebih keras. Dia bisa melakukan itu dalam keadaan duduk dan terikat
“Apa kau menikmati acaranya?” Audrey bertanya pada orang di depannya, dengan senyum lebar. “Kau mengejekku?” desis Patricia tampak begitu marah. “Aku hanya bertanya, Patricia. Mengejek dan bertanya jelas adalah dua hal yang berbeda.” Dua perempuan itu pada akhirnya saling menatap. Patricia dengan tatapan kemarahan disertai dendam, sementara Audrey dengan tatapan penuh kemenangan. “Re. Kau di sini.” Baru juga Patricia ingin buka mulut untuk memaki, tapi Damar sudah mendekat. Lelaki itu tampak begitu rapi dengan menggunakan tuxedo berwarna putih dan dasi kupu-kupu hitam. Penampilannya jadi makin sempurna dengan celana hitam, sapu tangan putih dan rambut tertata. “Ada Patricia rupanya.” Demi kesopanan, Damar dengan terpaksa menyapa. “Hai.” Mau tidak mau, Patricia menyunggingkan senyum. “Aku tidak tahu kalau kau benar-benar dari Italia dan punya rumah seindah ini.” “Ini bukan rumahku, tapi
“Wah, jadi ini perkebunan milik Padre?” tanya Audrey, ketika mereka baru saja memasuki kawasan penuh tanaman anggur. “Ya, kebetulan saja ini sudah dekat masa panen.” Domi yang menjawab dengan riang. “Kau bisa memetik beberapa kalau mau, sebelum semuanya dijadikan wine.” “Oh, sungguh?” Audrey tampak cukup tertarik. “Tapi apakah aku boleh mendapatkan keduanya? Anggur dan wine?” “Apa pun yang kau inginkan.” Kali ini, Damar yang menjawab. “Aku bertanya pada Padre,” balas Audrey dengan sebelah alis yang terangkat. “Ini semua akan jadi milikmu, jadi tentu kau boleh meminta apa saja.” Damar tersenyum lebar, sembari menatap sang istri. Hal yang membuat ayahnya berdecak. “Rasanya kau lebih parah, dari lelaki mana pun yang kukenal di dunia ini.” Mau tidak mau, Domi mengeluh juga. “Kalau tidak ingin dilihat, Padre tidak perlu melihat.” Audrey membalas dengan sangat kurang ajar. Mendengar itu, Domi hanya bisa mendengus saja. Dia juga tidak mungkin marah, karena biar bagaima
“Apa aku tidak salah lihat?” tanya seseorang pada Happy. “Bu Audrey dan Pak Damar bergandengan tangan?” “Sama sekali tidak,” jawab Happy dengan embusan napas pelan. “Yang kau lihat itu adalah kenyataan.” “Serius?” tanya rekan kerja Happy yang tadi. “Jadi gosip yang bilang kalau Bu Audrey mengincar Damar itu benar?” “Tidak, Sayang.” Happy menatap temannya dengan tatapan kasihan. “Sejak awal Pak Damar itu off limit. Sejak awal dia sudah sold out, alias taken.” Setelah mengatakan hal itu, Happy memilih untuk melangkah terlebih dulu dan meninggalkan temannya yang tampak sangat terkejut. Biar bagaimana, atasannya sudah datang. Dia tidak bisa lagi bersantai-santai dengan alasan habis dari membeli kopi. “Sekarang aku punya dua atasan,” gumam Happy sepelan mungkin. “Untung Pak Damar baik, tapi jelas aku harus hati-hati padanya. Kalau tidak, Bu Audrey yang akan memecatku.” *** “Perasaanku saja, atau sejak ta
“Untuk apa kau membawa buket bunga?” tanya Domi, ketika melihat sang menantu berdiri di depan pintu rumah, yang baru saja dia buka. “Aku tentu saja akan memberikan ini untuk ....” “Damar?” Fiana muncul di sebelah sang suami dengan sebelah alis terangkat. “Kau ingin memberikan bunga untuk Damar? Bukankah seharusnya terbalik?” “Tentu saja bukan untuk Damar,” jawab Audrey dengan senyum lebar. “Aku membawakan ini untuk Madre dan membawakan hadiah lain untuk Damar.” Kedua alis Fiana terangkat mendengar jawaban yang mengejutkan, tapi tetap menerima buket bunga yang dibawakan oleh menantunya. Hadiah yang sangat tidak biasa dari menantu perempuannya, sampai Audrey lupa untuk dipersilakan masuk. Untung saja Audrey yang sedikit tidak tahu malu itu, meminta izin untuk duduk di ruang tamu. Katanya, masih ada hadiah yang mau diberikan. “Cokelat untuk Madre.” Audrey mengeluarkan sekotak cokelat yang terlihat mahal. “Apa ayah mertuamu ini tidak mendapatkan apa-apa?” tanya Domi pu
“Ini benar-benar tidak masuk akal,” desis Audrey benar-benar kesal, dengan ponsel yang menempel di telinga. “Bagaimana mungkin mereka mengurung, bahkan menempatkan bodyguard di depan pintu dan di bawah jendela.” Mendengar protes dari sang istri, Damar hanya bisa tertawa pelan. Memang ini sangat tidak masuk akal, tapi kalau Audrey jadi memperhatikan dirinya seperti ini, rasanya Damar tidak akan masalah. “Mau apa lagi?” tanya damar denan senyum yang terkulum. “Walau aku sering olahraga, tapi aku tidak mungkin melawan orang-orang berbadan besar itu kan? Apalagi mereka lebih dari satu orang.” “Tapi kau kan bukan anak gadis perawan yang harus dijaga dengan bak,” hardik Audrey terlihat begitu kesal. “Aku juga bukan serigala yang akan memangsamu.” Tentu saja Damar akan tertawa mendengar hal itu. Dia merasa perumpamaan yang diucapkan oleh Audrey sangat lucu. “Bu, tolong jangan pacaran di depan saya.” Jangankan Damar, Happy saja merasa risih dan langsung menegur ketika sang atas
“Senang berkenalan dengan Anda berdua.” Carl mengulurkan tangan, disertai dengan senyuman lebar. “Hai, aku Dominique. Panggil saja Domi dan aku adalah ayah dari Damar. Lelaki yang selama ini ternyata sudah menikah dengan putrimu.” Carl sempat terdiam untuk beberapa saat, berpikir kalau dirinya baru saja diejek. Untungnya, Domi segera tersenyum lebar setelahnya. Memberitahu kalau dia hanya bercanda, walau di bawah pelototan sang istri. “Aku merasa senang karena pada akhirnya, kita semua bisa bertemu juga,” ucap Vita dengan senyum antusiasnya. “Omong-omong, ini adik Audrey. Mereka berbeda sangat jauh, tapi Brian sangat mengagumi kakaknya.” “Aku tidak suka mereka,” gumam Brian tanpa segan. “Mereka tidak akan mengambil Kak Audrey kan?” “Bukan kami yang akan mengambil kakakmu, Nak.” Carl dengan cepat menanggapi. “Tapi lelaki yang satu ini yang akan dan sudah melakukannya.” “Padre.” Damar tentu saja akan langsung menegur, ketika sang ayah menepuk pelan punggungnya. Dia tidak ingin Br
“Kau bilang apa?” tanya Damar dengan mata melotot. “Mathilda yang menyerangmu,” jawab Audrey yang tengah menggunakan rangkaian perawatan kulitnya, setelah pulang kerja. “Dia sudah mengau.” “Yang benar saja!” Damar tampak tidak percaya. “Katanya dia menyukaiku, tapi menyerangku. Apakah itu terdengar masuk akal?” “Cinta itu buta.” Audrey yang sudah selesai, kini menatap suaminya. “Dia akan melakukan apa saja, untuk menyingkirkan saingan atau mendapatkanmu. Dalam kasus ini, dia ingin menyingkirkanku. Hanya saja dia lupa kalau aku juga punya mobil Eropa dan duduk di sebelah kanan sebagai penumpang.” “Ini serius?” tanya Damar masih tampak tidak percaya. “Maksudku, dia benar-benar meminta seseorang untuk mencelakaimu?” “Kenapa? Tidak percaya?” tanya Audrey dengan mata melotot. Jujur saja, Audrey tidak suka dengan pertanyaan Damar. Lelaki itu seperti terdengar tidak rela ada yang memfitnah perempuan yang dia sukai. Audrey tidak menyukai hal itu sama sekali. “Jujur saja tidak.” Damar
“Apa maumu?” Audrey mendongak ketika mendengar suara ketus itu. Dia tersenyum, ketika melihat tamunya sudah datang. Siapa yang sangka kalau Mathilda benar-benar datang sesuai dengan keinginannya. “Aku sudah datang, jadi katakan apa maumu.” “Duduk dulu, Mathilda.” Audrey mengedikkan bahu dengan santainya, menunjuk kursi yang ada di depannya. “Kita ini sedang di tempat umum, akan jadi tontonan kalau kau terus berdiri.” Perempuan berdarah Italia itu tidak langsung duduk, dan memilih untuk melihat sekitarnya lebih dulu. Mereka sedang ada di sebuah kafe yang cukup ramai, dengan beberapa pasang mata yang menatapnya. “Katakan dengan cepat, karena aku harus ke bandara.” Pada akhirnya, Mathilda memilih untuk duduk. “Bandara?” Audrey bertanya dengan kedua alis yang terangkat. “Kau akan berangkat?” “Tentu saja aku perlu pulang ke rumah orang tuaku kan? Apa kau pikir aku akan selamanya tinggal di sini, setelah dipermalukan seperti itu?” Audrey tersenyum miring mendengar apa yang dikataka