Mai duduk di tepi ranjang milik Raj sembari menjelajahkan maniknya. Meneliti tiap barang yang dimiliki oleh pria itu di kamarnya. Terlihat bersih dan rapi. Bahkan kamar Qai yang notabene dibereskan oleh pelayan rumah, tidak serapi milik Raj.
Untuk ukurannya, memang sangat jauh jika dibandingkan kamar milik Mai yang ada di rumah. Jika dilihat lagi, ukuran kamar Raj sepertinya tidak jauh beda dengan walk in closet milik Mai yang ada di kamar. Atau, mungkin masih sedikit lebih besar.
“Ini kamar, siapa yang bersihin hari-hari?” tanya Mai.
“Suamimu, lah,” balas Raj sembari melepas satu per satu kancing kemejanya di depan lemari yang terbuka. “Kadang, Sila, kadang juga mama. Lihat situasi juga, kalau aku sibuk banget, ya gak bakal sempat bersih-bersih.”
Raj mengambil kaos
“Ckckck, aku baru tahu kalau kamu punya bakat bohong.” Belum ada lima menit roda empat milik Raj menjauh dari rumah orang tuanya, pria itu sudah melempar sindiran kepada Mai. Lantas, yang disindir tidak berkomentar atau menoleh sama sekali. Mai hanya menurunkan sandaran jok, lalu menutup matanya dengan satu tangan. “Ay, suamimu lagi ngomong, di dengar.” “Hm, aku dengar,” sahut Mai dengan mata terpejam. “Silakan dilanjut.” “Kalau aku lanjut, kamu pasti tidur,” pungkas Raj geregetan. “Tidur ajalah, nanti dilanjut kalau sudah sampai.” “Hmm.” Raj menghela. Terkadang, ia harus terus memupuk kesabaran jika menghadapi sisi
Sembari menunggu Mai yang berada di kamar mandi, Raj pergi ke walk in closet untuk mengganti pakaiannya. Setelah selesai dan keluar dari ruang penyimpanan pakaian, Raj sudah mendapati Mai duduk di meja riasnya. Menyemprotkan sesuatu di wajah, lalu berlanjut dengan beberapa hal lagi setelahnya. “Kita belum selesai, Ay,” kata Raj lalu duduk sembari bersandar pada headboard. Berselonjor lalu menarik selimut sebatas paha. Manik Mai menatap Raj sekilas dari pantulan cermin meja riasnya. Sembari menepuk-nepuk wajah, Mai memutar sedikit tubuhnya untuk menatap sang suami. “Mau apa lagi?” “Kamu masih berat dengan pernikahan ini?” tanya Raj kembali ke maksud awal pembicaraannya. “Aku mau kamu jujur, Ay.” “Aku, sedang berusah
Sejak awal menjatuhkan hati pada Permaisuri dari keluarga Sagara, Raj paham benar dengan konsekuensi yang akan dihadapi ke depannya. Terlebih, ketika dirinya saat ini sudah menjadi menantu dari keluarga tersebut. Maka, semua gerak geriknya di luaran sana pasti akan lebih disorot lagi. Namun, satu yang Raj tidak habis pikir, kalau Mai berani mengancam menggunakan keahliannya sebagai pengacara. Jika dipikir-pikir lagi, itu berarti Mai tidak ingin Raj berselingkuh darinya. Memangnya, istri mana yang ingin suaminya berbuat serong di luar sana. Hanya saja, satu yang tersirat dari ancaman Mai tersebut. Yaitu, Mai ingin pernikahan yang mereka jalani sekarang tetap bertahan. Semoga, semua ini menjadi awal yang baik untuk kehidupan rumah tangga mereka ke depannya. Lantas, seperti yang sudah dititahkan oleh Sinar waktu itu
Hola Mba Beb. Udah akhir bulan, waktunya pengumuman. Yang namanya tertulis di bawah ini, bisa DM ID-nya di igeh saia yaakk @kanietha_ (pake [_] underscore di belakang yakk). Saya tunggu sampai tanggal 4 Nov, yaa. Setelah itu, moon maap kalau hangus. Karena saia ngirim datanya sekaligus ke pihak GN. 1.Luspita Gusti 2.Novel Lovers 3.RF Riani 4.Rna Waty 5.Tralala 6.Aisha Arkana 7.Mia Prahartina 8.Yunianingsih Surya 9.Ratna Puspita 10.Sophia Setiawan 11.Ismaya Melaningsih 12.Lilis Suryani 13.Arunika Eklibb 14.Yielda Sofyan 15.Loetfie Iloet 16.Arie Asmara 17.Retna Seipudien 18.Nuey Azizah 19.MyLusiana 20.Hepi 21.Himatul Aliyah H 22.Kharem Nisya 23.Irwani Siregar 24.Hayati Nur 25.Mala Intan 26.Mmbak6658 27.Niessa Diana 28.Novee Lim 29.Devirulli27
“Gak besar seperti rumahmu, tapi, lumayan kalau dipake buat bikin anak.” Mai yang tengah membuka sabuk pengaman, langsung melirik datar pada sang suami. Apa Raj sangat menginginkan anak di pernikahan mereka, sehingga yang ada di kepala pria itu hanyalah, anak, anak dan anak. Pagi itu, setelah mereka menikmati sarapan di balkon kamar hotel, Raj mengajak istrinya untuk mengunjungi rumah masa depan mereka. Rumah dua lantai yang mengusung konsep modern dengan sentuhan industrial itu, benar-benar tampak simple dan elegan dari depan. “Dari ruang tamu, tengah, dapur, kamar, sampai rooftop, semuanya bisa dipakai!” Kedua alis tebal Raj itu bergerak naik turun dengan tatapan jahil. “Mulutnya, bisa gak diatur sedikit kalau ngomong?”
Entah mengapa, bagi Mai hari berlalu begitu cepat. Tinggal satu atap dengan sang mertua pun, pada akhirnya juga harus dijalani oleh Mai. Beruntung, karena kedua orang tua Raj sangat welcome dengan Mai, hingga hari-harinya berjalan seperti biasa. Meskipun, ada hal-hal yang memang harus dijaga untuk menghindari sebuah gesekan yang mungkin saja terjadi, tanpa disadari. Sampai akhirnya, hari yang ditunggu itu pun tiba. Resepsi pernikahan yang digelar dengan begitu mewah. Bahkan, mengalahkan resepsi Qai dan Sila satu bulan yang lalu. Bagaimana tidak lebih megah, kalau tamu yang diundang dari pihak Raj, adalah para pejabat yang biasa berkeliaran di Istana Negara. Walaupun, tanpa kehadiran sang presiden, seperti yang sempat diharapkan Sinar saat itu. Akhirnya, impian yang sudah Sinar susun sebelumnya, berhasil dengan sempur
“Sampai kapan kamu mau diemin aku?” “Sampai kamu sadar, kalau aku sudah jadi suamimu.” Raj melihat eggs benedic yang sedari tadi tidak disentuh sama sekali oleh Mai. Padahal, sarapan yang disantap oleh Raj, kini sudah tinggal separuh. Istrinya itu juga tidak menyentuh minuman yang ada di atas meja sama sekali. “Jangan kekanakan, Raj.” Raj kemudian meletakkan garpu dan pisaunya bersamaan di atas piring. Sejak semalam, ia memang sengaja mendiamkan Mai. Mencoba mengacuhkan istrinya itu meskipun Mai sempat memeluknya dari belakang ketika mereka berada di tempat tidur. Selama ini, toleransi Raj terhadap Mai sudah terlalu tinggi. Sekali-sekali, istrinya itu memang harus diberi pelajaran dan harus introspeksi diri. “Sabar
“Ini, kita mau ke mana lagi, Mbak?” tanya sang sopir yang sudah berkeliling tanpa tujuan hampir satu jam lamanya. Mai menggigit bibir bawah bagian dalamnya untuk berpikir. “Taman deket-deket sini ada gak, Pak. Saya mau sarapan.” Berpikir sejenak. Tidak lama kemudian, sang sopir itu pun mengangangguk. Tidak berani membantah, ataupun bertanya mengenai masalah yang tengah dihadapi salah satu atasannya itu. Ia hanya tahu, kalau semua yang dilakukannya bersama Mai pagi ini, haruslah disimpan dalam diam. “Ada Mbak,” jawab sang sopir. “Mbak Mai mau ke sana?” “Iya, Bapak sudah sarapan?” Mai bertanya balik. Khawatir kalau sang sopir hotel tersebut, ternyata belum sarapan pagi ini. “Sudah, Mbak.”