“Mas.” Sinar berusaha mendorong tubuh sang suami yang masih sibuk menjelajah di atasnya. “Ada yang ngetuk pintu. Buka dulu, paling mami.”
Benar saja, selang beberapa detik setelah Sinar berujar, terdengar suara Aida mendayu dari balik pintu. Memanggil nama Pras dan Sinar secara bergantian.
Helaan panjang dihembuskan Pras dari mulutnya. Lalu memberikan satu jejak terakhir pada dada sang istri sebelum bangkit. Beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu untuk Aida.
Buru-buru Sinar melompat dan berlari menuju kamar mandi. Membenarkan pakaian dalam yang pengaitnya sudah terlepas sedari tadi. Meskipun dress rumahan yang dikenakannya masih untuh membalut tubuhnya.
“Mana Sinar?” tanya Aida yang langsung menerobos masuk, setelah Pras membuka pintu.
Pras melihat tempat tidur mereka yang sedikit berantakan, tidak ada Sinar di sana. “Di kamar mandi,” jawabnya karena tahu pasti, Sinar akan membenarkan sesuatu terlebih dahulu sebelum bertemu dengan A
Jadi, bab ini tuh sudah ada di draft, ternyata saia lupa publish kemarin karena ada urusan dadakan. Baru 'ngeh' ketika baca komennya Mba Rinaimron kenapa belum up. Thankiz lho Mba beb ... Mohon dimaapkeun yakk, hehe ...
Sinar menutup tas bekalnya, setelah keduanya menghabiskan waktu untuk makan siang bersama. Setelah Pras menggantikan Raja di Casteel High, Sinar memang lebih sering pergi untuk makan siang bersama sang suami. Terkadang mereka makan di luar, tapi tidak jarang juga, Sinar membuatkan makan siang untuk dimakan bersama di ruangan Pras.“Pulang cepet, ya!” seru Sinar mengingatkan setelah meminum air mineralnya. “Mami sudah buatin janji sama dokter soalnya, jangan sampai telat.”“Hm.” Pras beranjak dari sofa menuju meja kerjanya. “Habis ini mau ke mana?”“Ke butiknya bunda.” Sinar melepas high heelnya kemudian mengangkat kakinya di atas sofa berselonjor. Bersandar pada lengan sofa dan melihat Pras yang sudah kembali menatap layar komputernya.“Apa ada butik baru di sekitar tempat bunda, Nar?” tanya Pras ketika mengingat ucapan Gusti. Ia belum mengambil kembali undangan yang sudah teronggok d
Pras berdecak ketika tahu, siapa dokter kandungan yang akan ditemuinya saat ini. Ia tahu kalau sang mami memang memiliki beberapa teman yang berprofesi sebagai dokter kandungan, tapi kenapa, harus wanita yang berada di depannya saat ini. Pras memandang punggung sang mami, yang ternyata juga ikut bersama mereka. Sudah duduk bersebelahan dengan Sinar, dan mengambil alih tempat, yang seharusnya menjadi tempat duduk Pras. Bukankah seharusnya, dua tempat duduk yang bersebrangan dengan sang dokter, ditujukan untuk pasangan suami istri? Bukannya malah mertua dan menantu seperti ini. Dokter Novi tersenyum simpul ketika melihat Pras. Pria yang pernah hendak dijodohkan dengan putrinya, namun Pras bahkan tidak muncul ketika Aida dan dirinya sudah mengatur jadwal blind date untuk anak mereka. Kala itu, Pras beralasan tengah sibuk, karena ada janji mendadak, dengan salah satu anggota dewan yang menjadi kliennya. Novi sebenarnya sedikit terkejut, ketika menerima undangan p
Sinar yang tengah duduk di balik meja kasir, sontak berdiri ketika melihat Ato memasuki butik. Pria itu terlihat membawa rantang di tangannya. Buat siapa lagi, kalau bukan untuk Sinar. Aida benar-benar mengatur asupan makanan untuk Sinar, agar sang menantu itu bisa segera memberikan Pras keturunan.Terbebani sebenarnya, tapi, di satu sisi, Sinar juga merasa senang dengan semua perhatian yang didapatnya saat ini. Mendapatkan ibu mertua yang luar biasa baik seperti Aida, merupakan anugerah tersendiri baginya. Tidak bisa dibandingkan dengan pernikahannya dengan Bintang dahulu kala.Ato lantas tersenyum ketika melihat Sinar menghampirinya. Tidak lupa, ia mengangguk sopan kepada wanita yang kini telah menjadi majikannya. “Pesannya Bu Aida, harus dihabisi, Mbak!” Ato meringis dengan lebar, sembari menjelajahkan maniknya ke dalam area butik.“Makasih, To,” balas Sinar sembari menerima rantang yang berjumlah empat susun dari Ato. Makanan yang mas
Pras menjejakkan kaki ke kamarnya, melihat sekeliling dan tidak menemukan sang istri ada di sana. Sepanjang jalan dari rumah depan sampai ke belakang pun, pria itu tidak melihat sosok istrinya sama sekali.“Nar …”Menunggu sejenak dan tidak ada sahutan. Pras memutuskan keluar kamar lalu menuju dapur. Benar saja dugaannya, Sinar tengah berada di dapur dan berada tepat di balik kompor tengah menggoreng sesuatu.Pras menghampiri dan berhenti tepat di sampingnya. “Gak bisa minta yang lain buat goreng?”Sinar menoleh dengan memanyunkan bibirnya sembari mendongak. Kemudian Pras menyambarnya bibir ranum itu dengan cepat. Bibir keduanya hanya menempel sebentar, tidak melakukan yang lebih dari itu.“Ini cuma sekali goreng, gak lama,” jawab Sinar. “Kamu tuh yang lamaan pulangnya, tumben telat.”Sinar meniriskan enam buah lumpia yang sudah digorengnya sedari tadi, lalu mematikan kompor. Membiarkann
Pras bungkam setelah mendengar penuturan Sinar. Melihat wanita itu kembali berbaring menarik selimut, masih dengan sesegukan. Meski mata Sinar terlihat terpejam, tapi Pras yakin, kalau istrinya itu belum bisa menidurkan hati dan pikirannya.“Sinar, ada yang harus kita selesaikan malam ini juga.”“Please, Mas, kepalaku sakit, aku cuma mau tidur, berharap bangun besok aku sudah amnesia.” Sinar membalik tubuhnya, memunggungi Pras, tanpa membuka mata. Ia hanya ingin tidur dengan tenang. Melupakan semua yang terjadi malam ini dan memulai esok pagi dengan lembaran yang baru.Pras yang sedari tadi hanya berdiri di sisi tempat tidur, akhirnya mengitarinya. Sebelum merebahkan diri, ia mematikan lampu kamar terlebih dahulu. Kemudian berbaring di sisi Sinar dan menarik selimut yang sama.Merasa Pras sudah berada di sisinya. Sinar kembali membalik tubuhnya untuk memunggungi Pras. Untuk malam ini dan seterusnya, ia harus mulai membiasakan diri
Pras terbangun dan melihat, tidak ada Sinar di sebelahnya. Biasanya, jika mereka tidur di apartemen, sudah bisa dipastikan Sinar akan selalu telat bangun di keesokan harinya. Tapi tidak kali ini.Sejak pertengkaran mereka malam itu, semuanya memang sangat terasa berbeda. Tidak hanya sikap Sinar yang terlampau dingin kepadanya, tapi, percintaan mereka pun terasa hambar bagi Pras. Tidak ada tatapan penuh gairah, yang selalu dilemparkan Sinar ketika mereka bercinta. Tidak ada lagi pelukan manja, setelah semua hasrat tersalurkan. Tidak ada pula obrolan absurd yang selalu dimuntahkan oleh Sinar untuk menemani tidurnya. Bahkan, sudah beberapa hari ini, Sinar selalu tidur memunggunginya. Semuanya terasa sunyi, kosong, dan hampa.Sinar juga tidak pernah lagi menggodanya dan mencoba memancing hasratnya ketika mereka hanya berdua. Wanita itu cenderung menutup mulutnya, dan menghindar untuk berlama-lama berada bersama Pras.Menyingkap selimutnya, Pras beranjak mengambil ce
“Burgerku belum juga habis, udah main tarik aja! Gak sopan tauk!” protes Sinar yang hanya merengut ketika Pras membawanya keluar dari restoran cepat saji dengan cepat.“Mereka lebih gak sopan, suap-suapan di tempat umum. Apa urat malu mereka itu sudah putus? Dasar anak zaman sekarang!”“Pelan-pelan jalannya,” rengek Sinar enggan menanggapi ocehan sang suami. Agak kewalahan ketika harus menyamakan langkah panjang Pras yang terlampu cepat. Sedangkan, di kakinya saat ini tengah terpasang high heel setinggi tujuh senti. “Kakiku keselo entar.”Pras menghela kemudian berhenti sejenak menatap Sinar. Pandangannya turun ke arah kaki, kemudian naik ke atas secara perlahan. Menatap lurus pada manik bening, yang kini selalu melihatnya tanpa pancaran riang seperti dahulu kala.“Jangan manja, Nar. Aku dari tadi jalan seperti biasa.”“Apanya yang biasa, kamu tuh dari tadi ngomel-ngomel mulu, gara J
Pras buru-buru mengeluarkan dompet, lalu meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di meja dan memberi kode kepada salah satu pelayan. Bergegas mengejar Sinar yang sudah berjalan cepat keluar restoran dan tidak lupa membawa paper bang yang berisi ponsel baru milik sang istri.“Sinar!” panggil Pras, tapi tidak kunjung ditoleh oleh Sinar. Wanita itu tetap saja berjalan lurus menuju lantai dasar.“Sinar!” panggil Pras sekali lagi. Kali ini, pria itu sudah dapat mensejajarkan langkahnya dengan Sinar. Berjalan bersisihan mengikuti ke mana kaki Sinar melaju.“Kamu mau jadi janda lagi?” pertanyaan bodoh yang dimuntahkan oleh Pras itu, kontan membuat Sinar berhenti dan menginjak kaki sang suami dengan sekuat tenaganya.“Kalau aku jadi janda, habis masa iddah, aku langsung minta Bira buat nikahin aku!” Sinar membuang wajah, lalu melengos pergi meninggalkan Pras secepat mungkin. Sesekali Pras memang harus ditekan d
Hola Mba beb ...My Arrogant Lawyer beneran tamat, kok. :D :D :DMeskipun saia juga gak rela, tapi, udah waktunya mup~on. Jadi cukup sekian dan terima kasih banyak sudah nemeni Pras sama Sinar sampai beranak pinak di GoodNovel.Sediih ... karena buat saia pribadi, Pras sama Sinar emang tokoh yang paling EUGH!, sampai saia bawa karakter mereka ke GN dengan cerita yang berbeda.Udahan curcolnya, eheheh ... Dan seperti janji saia waktu itu, ada hadiah tambahan untuk top fans setelah MAL tamat yakk. Datanya saia ambil per tanggal 20 Jan 2022 tepat pukul 20.00 WIB 1. Shifa Chibii : 500 koin GN + pulsa 200rb2. Fidyani - : 500 koin GN + pulsa 200rb3. Rafa Damanhuri : 300 koin GN + pulsa 150rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshood ID lewat DM Igeh @kanietha_Kok top fans 1 dan 2 sama dapatnya? Karena total gem yang diberikan ke MAL jumlahnya sama, jadi biar fair, yakk. Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi senin bisa
Pagi yang sibuk. Seperti itulah gambaran hari libur yang selalu dihadapi oleh Mai selama lima tahun belakangan ini. Setelah bangun di pagi hari, ia akan selalu menuju dapur terlebih dahulu untuk membuat camilan juga sarapan, untuk dua orang penghuni yang masih tertidur dengan begitu lelap. Di hari libur seperti ini, putri Mai pasti akan mengungsi ke kamarnya dan mereka akan selalu berakhir dengan tidur bertiga. Meskipun ingin protes karena jatah malamnya akan berkurang, tapi Raj tidak bisa menolak jika putri kecil mereka sudah merengek untuk minta tidur bersama. Tidak hanya itu, Raj merupakan seorang ayah yang sangat memanjakan putri semata wayang mereka itu. Apapun yang gadis kecilnya itu minta, Raj pasti akan menurutinya tanpa kata tapi. “Mamiii …” Langkah kecil yang tergesa itu berlari memasuki dapur dengan ma
Dengan iming-iming bahwa Rajlah yang nantinya akan mengurus bayi mereka saat malam menjelang, ketika telah lahir. Akhirnya, Mai setuju untuk bertahan dan melahirkan secara normal. Meskipun, banyak drama yang diciptakan dan entah sudah berapa luka serta cubitan yang telah diterima, Raj hanya pasrah saja. Karena ada masanya nanti, ia akan membalas semua ‘dendam’ saat ini pada Mai. Tunggu saja saat masa nifas istrinya itu selesai, maka Raj benar-benar akan membalasnya. Sampai pada akhirnya, Raj benar-benar terhenyak ketika kuku-kuku nan lentik dan terawat itu kembali menusuk pada luka yang sama. Hanya saja, kali ini tancapan kelima jemari itu lebih bertenaga dari yang sudah-sudah. Ditambah, jeritan sang istri yang sangat panjang itu, ternyata mengakhiri semua perjuangan seorang Mai. Seorang bayi perempuan nan cantik, akhirnya lahir ke dunia dengan penuh perjuangan. Mendengar tangis pertama yang begitu kencang dari bayi mungil mereka, membuat Raj seketika menitikkan air
Begitu keluar dari mobil yang berhenti di depan lobi pintu rumah sakit, Sinar langsung menelepon Raj untuk bertanya mengenai kamar yang Mai tempati saat ini. Namun, satu hal yang membuat Sinar akhirnya menggelengkan kepala, karena putri dan menantunya itu masih berada di sebuah restoran Padang. Mai masih belum mau beranjak dari sana, karena beralasan perutnya masih terlalu penuh, sehingga enggan untuk melangkah. Pada akhirnya, Sinar dan Pras hanya bisa menjenguk Sila untuk sementara sembari menunggu Mai sampai ke rumah sakit. Sebenarnya, Sinar hendak mengomeli Qai karena tidak memberinya kabar sama sekali mengenai kondisi Sila. Putranya itu juga tidak mengangkat, ketika Sinar meneleponnya. Hingga rasa penasaran bercampur kesal, kini hendak ia luapkan pada putranya itu, sampai Sinar merasa puas. Namun, setelah Sinar dan Pras masuk ke dalam ruangan yang ditempati Sila saat ini, semua rasa kesal itu akhirnya hilang. Melihat Sila yang benar-benar terbarin
Pikiran Sinar dan Pras kali ini benar-benar terpecah. Sungguh merasa tidak nyaman dengan Bira dan sang istri. Setelah pagi tadi Qai tidak bisa menghadiri pernikahan, karena harus menjaga Sila yang mendadak pingsan dan langsung dibawa ke rumah sakit. Kini, Raj menelepon untuk mengabarkan hal yang sama. Tidak bisa menghadiri akad nikah yang akan berlangsung, karena kondisi Mai yang mulai kontraksi dan harus berangkat ke rumah sakit. “Gimana?” tanya Pras setelah Sinar kembali menelepon Raj. “Ini lagi mau jalan ke rumah sakit.” Sinar meraih tangan Pras dan meremasnya dengan kuat. Menyalurkan kecemasan yang kini tengah menggelayut di hatinya. Melahirkan seorang anak ke dunia tidak akan pernah mudah. Untuk itulah, rasa cemas di hati Sinar kini semakin menjadi-jadi. “Sudah ngomong sama Bira?” Pras mengangguk. “Sudah, setelah akad nikah selesai. Kita langsung ke rumah sakit.” “Aku gak enak sama Bira kalau begini,” keluh Sinar. “Terus maumu itu bagaima
Sejak kejadian hari itu, Raj sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya. Semua Raj lakukan demi calon putrinya, demi Mai dan tentu saja demi keluarga kecilnya. Mengingat wajah Pras ketika mengancamnya kala itu, hati Raj juga sempat waswas dengan nasibnya jika Mai sampai tidak ingin berbaikan dengannya. Bukan karir yang Raj permasalahkan, tapi, nasib rumah tangga yang sudah pasti akan tercerai berai. Apalagi, jika nantinya ia tidak bisa bertemu dengan istri dan anaknya ketika telah terlahir ke dunia. Hanya satu hal itu yang Raj cemaskan, ketika sang mertua sempat memberi ancaman sedemikian rupa. Namun, nasib akhirnya berpihak pada Raj. Sang istri ternyata tidak sesulit itu ketika dibujuk. Bahkan, jika dipikir lagi, Mai itu cenderung penurut meskipun harus banyak drama yang tercipta sebelumnya. Asal kemauannya dituruti, maka dunia akan aman sejahtera. Hanya itu kuncinya jika ingin berhasil saat bernegosiasi dan berhadapan dengan Mai. Masalah hati, R
Begitu mendengar penjelasan dokter, mengenai kondisi Mai dan kandungannya baik-baik saja, ketiga orang yang saat ini berada di kamar VVIP itu langsung bernapas lega.“Meskipun baik-baik saja, tapi tingkat stresnya tetap harus dijaga,” lanjut dokter menjelaskan kondisi psikis Mai yang memang harus tetap diperhatikan karena tengah hamil besar. “Karena dampaknya, tidak akan baik bagi kondisi janin.”Manik Sinar dan Pras kompak menatap Raj dengan sebuah tanda tanya besar. Tampaknya, rumah tangga putrinya dengan Raj, sedang tidak baik-baik saja. Kalau Mai tidak stres, tidak mungkin putri mereka itu akan terdampar di rumah sakit seperti sekarang.“Baik, Dok, terima kasih,” ucap Sinar dan sang dokter itu berlalu dari ruang rawat inap tersebut. Menyisakan keempat orang yang kini saling pandang dalam diam.“Stres?” Pras menghampiri sang putri lalu duduk di tepi tempat tidurnya. “Kalian berdua bertengkar?”
Raj memang sengaja pulang terlambat. Bahkan, Raj pulang ke rumah saat langit sudah berubah kelam. Hatinya masih merasa kesal karena kejadian siang tadi. Ia bahkan sampai melupakan, kalau sudah membayar kamar hotel yang akan ditempati malam ini bersama sang istri.Ketika roda empatnya sudah berhenti di depan pagar, Raj mengernyit memandang rumahnya yang gelap gulita. Tidak mungkin kalau Mai belum pulang sampai semalam ini. Atau, Raj telah melewatkan sesuatu?Mengeluarkan ponselnya dari saku jas, Raj meneliti satu pesatu telepon masuk beserta chat yang ia terima dari siang sampai detik ini. Namun, tidak ada nama istrinya di dalam sana.Atau, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan Mai di dalam sana?Bulu kuduk Raj merinding seketika membayangkannya. Ia buru-buru keluar, membuka pagar dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Menyalakan seluruh penerangan yang ada dan mencari sang istri di setiap sudut rumah.“Mi …”Setelah
“Ke rumah sakit, Pak,” titah Mai setelah Ibam masuk ke dalam mobil dan sudah berada di belakang kemudi.“Ke rumah sakit?” tanya Ibam membalik badan seraya memasang sabuk pengaman. “Rumah sakit mana, Bu? Tadi kata pak Raj, saya disur—”“Ke rumah sakit ibu dan anak,” putus Mai lalu menyebutkan nama rumah sakit yang biasa ia kunjungi setiap bulannya untuk kontrol kandungan. “Nanti sampai sana, Pak Ibam bisa pulang aja.”“Loh, Bu? Kena—”“Jangan bilang sama pak Raj, kalau saya di rumah sakit.” Mai kembali memotong ucapan Ibam. “Udalah Pak, jalan aja. Saya capek banget mau ngomong.”“I-iya, Bu.” Ibam mana berani membantah. Ia langsung melajukan mobilnya ke tempat yang sudah disebut oleh sang majikan. Meskipun banyak tanya yang ada di kepala, tapi Ibam tidak berani bertanya ketika mood Mai terlihat buruk seperti sekarang.Selama