Pras menjejakkan kaki ke kamarnya, melihat sekeliling dan tidak menemukan sang istri ada di sana. Sepanjang jalan dari rumah depan sampai ke belakang pun, pria itu tidak melihat sosok istrinya sama sekali.
“Nar …”
Menunggu sejenak dan tidak ada sahutan. Pras memutuskan keluar kamar lalu menuju dapur. Benar saja dugaannya, Sinar tengah berada di dapur dan berada tepat di balik kompor tengah menggoreng sesuatu.
Pras menghampiri dan berhenti tepat di sampingnya. “Gak bisa minta yang lain buat goreng?”
Sinar menoleh dengan memanyunkan bibirnya sembari mendongak. Kemudian Pras menyambarnya bibir ranum itu dengan cepat. Bibir keduanya hanya menempel sebentar, tidak melakukan yang lebih dari itu.
“Ini cuma sekali goreng, gak lama,” jawab Sinar. “Kamu tuh yang lamaan pulangnya, tumben telat.”
Sinar meniriskan enam buah lumpia yang sudah digorengnya sedari tadi, lalu mematikan kompor. Membiarkann
Pras bungkam setelah mendengar penuturan Sinar. Melihat wanita itu kembali berbaring menarik selimut, masih dengan sesegukan. Meski mata Sinar terlihat terpejam, tapi Pras yakin, kalau istrinya itu belum bisa menidurkan hati dan pikirannya.“Sinar, ada yang harus kita selesaikan malam ini juga.”“Please, Mas, kepalaku sakit, aku cuma mau tidur, berharap bangun besok aku sudah amnesia.” Sinar membalik tubuhnya, memunggungi Pras, tanpa membuka mata. Ia hanya ingin tidur dengan tenang. Melupakan semua yang terjadi malam ini dan memulai esok pagi dengan lembaran yang baru.Pras yang sedari tadi hanya berdiri di sisi tempat tidur, akhirnya mengitarinya. Sebelum merebahkan diri, ia mematikan lampu kamar terlebih dahulu. Kemudian berbaring di sisi Sinar dan menarik selimut yang sama.Merasa Pras sudah berada di sisinya. Sinar kembali membalik tubuhnya untuk memunggungi Pras. Untuk malam ini dan seterusnya, ia harus mulai membiasakan diri
Pras terbangun dan melihat, tidak ada Sinar di sebelahnya. Biasanya, jika mereka tidur di apartemen, sudah bisa dipastikan Sinar akan selalu telat bangun di keesokan harinya. Tapi tidak kali ini.Sejak pertengkaran mereka malam itu, semuanya memang sangat terasa berbeda. Tidak hanya sikap Sinar yang terlampau dingin kepadanya, tapi, percintaan mereka pun terasa hambar bagi Pras. Tidak ada tatapan penuh gairah, yang selalu dilemparkan Sinar ketika mereka bercinta. Tidak ada lagi pelukan manja, setelah semua hasrat tersalurkan. Tidak ada pula obrolan absurd yang selalu dimuntahkan oleh Sinar untuk menemani tidurnya. Bahkan, sudah beberapa hari ini, Sinar selalu tidur memunggunginya. Semuanya terasa sunyi, kosong, dan hampa.Sinar juga tidak pernah lagi menggodanya dan mencoba memancing hasratnya ketika mereka hanya berdua. Wanita itu cenderung menutup mulutnya, dan menghindar untuk berlama-lama berada bersama Pras.Menyingkap selimutnya, Pras beranjak mengambil ce
“Burgerku belum juga habis, udah main tarik aja! Gak sopan tauk!” protes Sinar yang hanya merengut ketika Pras membawanya keluar dari restoran cepat saji dengan cepat.“Mereka lebih gak sopan, suap-suapan di tempat umum. Apa urat malu mereka itu sudah putus? Dasar anak zaman sekarang!”“Pelan-pelan jalannya,” rengek Sinar enggan menanggapi ocehan sang suami. Agak kewalahan ketika harus menyamakan langkah panjang Pras yang terlampu cepat. Sedangkan, di kakinya saat ini tengah terpasang high heel setinggi tujuh senti. “Kakiku keselo entar.”Pras menghela kemudian berhenti sejenak menatap Sinar. Pandangannya turun ke arah kaki, kemudian naik ke atas secara perlahan. Menatap lurus pada manik bening, yang kini selalu melihatnya tanpa pancaran riang seperti dahulu kala.“Jangan manja, Nar. Aku dari tadi jalan seperti biasa.”“Apanya yang biasa, kamu tuh dari tadi ngomel-ngomel mulu, gara J
Pras buru-buru mengeluarkan dompet, lalu meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di meja dan memberi kode kepada salah satu pelayan. Bergegas mengejar Sinar yang sudah berjalan cepat keluar restoran dan tidak lupa membawa paper bang yang berisi ponsel baru milik sang istri.“Sinar!” panggil Pras, tapi tidak kunjung ditoleh oleh Sinar. Wanita itu tetap saja berjalan lurus menuju lantai dasar.“Sinar!” panggil Pras sekali lagi. Kali ini, pria itu sudah dapat mensejajarkan langkahnya dengan Sinar. Berjalan bersisihan mengikuti ke mana kaki Sinar melaju.“Kamu mau jadi janda lagi?” pertanyaan bodoh yang dimuntahkan oleh Pras itu, kontan membuat Sinar berhenti dan menginjak kaki sang suami dengan sekuat tenaganya.“Kalau aku jadi janda, habis masa iddah, aku langsung minta Bira buat nikahin aku!” Sinar membuang wajah, lalu melengos pergi meninggalkan Pras secepat mungkin. Sesekali Pras memang harus ditekan d
“Katanya mau ke rumah bunda, tapi kenapa kamu belum siap-siap?” tanya Pras yang baru saja selesai mandi. Berhenti sebentar menatap Sinar, sebelum memasuki walk in closet. “Malah rebahan seperti itu dan belum ganti baju.” Sinar memajukan bibirnya sekilas, kemudian memunggungi Pras yang hanya memakai bathrobe, dengan sebuah handuk kecil yang bertengger di kepala. Pria itu tengah sibuk mengusap rambut basahnya. “Gak jadi, aku ngantuk, mau tidur aja.” Detik selanjutnya Sinar memang menguap lalu menutup mata. Memeluk guling dengan erat dan berharap sebentar lagi akan terlelap. Pras lalu menghampiri Sinar dan duduk di sebelahnya. Tangannya terjatuh pada lekukan pinggang dan sedikit memberi remasan di sana. “Tadi nangis-nangis minta ke rumah bunda, sekarang malah mau tidur?” Sinar mengangguk-angguk tanpa membuka mata. “Aku lagi dapet, Mas. Jadi pengen istirahat aja, ngantuk.” “Bulanan?” Pras sedikit tidak percaya. Ia memang tidak hapal dengan
Dokter keluarga yang bernama Halim itu tersenyum ramah, seraya manggut-manggut mendengar penjelasan Sinar yang masih menyimpak kekesalan pada Pras. Seharusnya tidak perlu sampai memanggil dokter, karena Sinar hanya kelelahan dan butuh istirahat, pikirnya. “Jadi, kapan jadwal haid terakhir?” tanya Halim sembari memasukkan peralatannya ke dalam tas. “Lupa, Dok.” Sinar memberi ringisan lebar pada sang dokter. “Kira-kira? Dua atau tiga minggu yang lalu?” tanya Halim lagi, mencoba memastikan sesuatu. “Sepertinya tiga, tapi yang jelas, saya yakin kalau ini bukan waktunya haid,” terang Sinar. “Mungkin semingguan lagi, tapi saya gak ingat tanggal pasnya,” lanjutnya sembari mengingat-ingat. Halim mengangguk mengerti. “Tapi kramnya gak lama, kan?” “Gak dok,” jawab Sinar dengan gelengan. Halim kemudian menatap Pras penuh maksud. “Saya gak kasih obat dulu, ya. Pras. Tapi, coba kalian ke dokter kandungan besok pagi, biar bisa sekalian di US
Sinar terbangun ketika jarum jam hampir menuju angka dua dini hari. Masih mengantuk sebenarnya, tapi perutnya tidak bisa dikompromi. Sinar merasakan lapar yang teramat sangat hingga sejurus kemudian, cacing di dalam perutnya pun berbunyi.Menoleh pada Pras yang masih tertidur lelap, Sinar tidak ingin membangunkannya.Sinar beranjak dengan perlahan, sembari menahan napas dan menyingkirkan tangan Pras yang terjatuh di perutnya. Enggan mencari piyamanya yang masih berserakan di lantai dalam gelap. Sinar menuju walk in closet, dan mengambil piyama baru untuk dikenakan.Sinar kemudian memekik seraya mengurut dadanya berulang kali, ketika berbalik. Pras tiba-tiba sudah berada di depannya, hingga tangan bebasnya pun reflek memukul lengan Pras sekenanya.“Kaget tauk! Ngomong kalau ikutan masuk,” kesal Sinar seraya memanyunkan bibir.“Ngapain jam segini ganti baju lagi?” tanya Pras mengusap wajah ngantuknya sejenak.“Aku
Sinar berjalan gontai menghampiri Pras, setelah keluar dari kamar mandi. Langsung menjatuhkan bokongnya pada pangkuan Pras dan mengalungkan satu tangan di leher suaminya. “Aku laper, pengen makan sate, Mas,” ujarnya dengan bibir yang mencebik manja. Pras melepaskan tas yang masih mengalung pada leher istrinya itu. Meletakkan benda tersebut di sebelahnya. “Kamu bakal nunggu lama kalau minta pak Juna bikin dulu. Atau, mau makan di luar?” “Umm … boleh!" seru Sinar lalu melebarkan senyumnya seketika. "Makan di luar aja, deh! Tapi gendoong.” Sudut bibir Pras tertarik tipis. Sudah menjulurkan tangan untuk bersiap menggendong Sinar yang kembali bersikap manja. Namun, wanita itu malah menolak dan bangkit dari pangkuannya. Belakangan ini, Pras memang kerap dibuat pening akibat sikap Sinar yang selalu berubah-ubah. Wanita itu seolah tidak memiliki pendirian yang tetap. Detik ini bilang mau ke barat, tapi bisa langsung berubah haluan untuk pergi ke utara, di det