Jam kantor sudah menunjukkan lebih sepuluh menit dari jadwal seharusnya pulang kerja. Namun Pras, masih betah duduk di lobi dengan santai. Membaca koran terbitan hari ini dengan seksama, sembari menunggu sang istri yang ngotot ingin datang ke kantor saat Pras sudah pulang kerja.
Entah apa alasannya karena Sinar juga tidak mengatakannya. Wanita itu hanya mengatakan ingin pergi ke kantor Pras saat pria itu pulang kerja lalu kembali ke rumah bersama-sama. Kalau bukan karena istrinya itu tengah mengandung, maka Pras sudah pasti akan tidak akan mengidahkan rengekan Sinar tersebut.
Tepat lima belas menit menunggu, pundak Pras lalu di tepuk oleh seseorang yang sudah berdiri dengan tersenyum manis padanya.
“Lama yaaa, jalanan macet soalnya.”
Pras menatap sang istri yang semakin hari terlihat semakin cantik saja. Tubuhnya yang semakin berisi membuat Pras semakin betah memandang dan selalu ingin menempelkan tangan di sekujur tubuh Sinar.
Padahal,
Pagi itu, rumah lebih terasa sepi tanpa kehadiran Raja dan Aida. Sepasang suami istri yang selalu tampak kompak itu, tengah melakukan kunjungan dinas ke luar negeri sejak tiga hari yang lalu. Hingga di hari libur seperti saat ini, hanya menyisakan Pras dan Sinar di rumah. Sinar hanya duduk anteng di gazebo seraya memakan buah yang sudah tersaji untuk sarapannya kali ini. Tengah menunggu Pras, yang masih betah berlama-lama berenang sedari tadi. Beberapa saat kemudian, Pras berenang menuju tangga kolam dan menuntaskan kegiatannya. Menghampiri Sinar dengan tubuh basahnya, lalu dengan sengaja mengibaskan rambutnya yang masih basah ke arah sang istri. “Maaas! Basah tauk ih!” kesalnya seraya mengusap semua tetes basah yang singgah di kulit tubuhnya. Kemudian, Sinar memberikan sebuah handuk kecil untuk mengeringkan rambut Pras. “Makanya mandi.” Pras hanya mengusap rambutnya satu kali dengan handuk yang baru diberikan oleh Sinar, lalu mengalungkannya di leher
Pertemuan yang dilakukan di sebuah kafe yang masih terlihat sepi itu, ternyata bukan hanya dihadiri oleh Lex dan Pras saja. Ada seorang wanita yang juga ikut serta bersama mereka. Wanita itu adalah sekretaris firma, yang sudah lima tahun belakangan ini mengabdi di sana. Arista, wanita berusia 29 tahun dan masih berstatus single itu, akhirnya dipilih oleh Lex untuk untuk mengambil alih beberapa saham yang ada di Surya Exporindo. Sebelumnya, Lex juga sudah berkonsultasi dengan Pras. Dengan bertukar pikiran dan banyak pertimbangan, akhirnya Pras menyetujuinya. Mengikutsertakan Arista dalam rencana mereka, juga tidak ada buruknya. Karena selama mengenal Arista, Pras tahu kalau wanita itu tidak pernah neko-neko dan cenderung penurut. Toh nantinya, Arista juga akan mendapat bayaran yang setimpal atas kerja samanya. Karena, semua yang dilakukan saat ini, hanya boleh diketahui oleh mereka bertiga. “Jadi, ini surat perjanjiannya.” Lex menyodorkan sebuah map yang berisi berkas
Manik legam itu, sudah memperhatikan Pras sejak pria itu masuk ke dalam resto dan duduk bersama teman prianya. Tidak berselang lama kemudian, ada seorang wanita lagi yang ikut bergabung di meja yang sama. Ketiga orang tersebut, tampak membicarakan hal yang sangat serius. Hal itu jelas terlihat, karena sepanjang pertemuan yang ada, tidak tampak tawa sekali pun yang tersemat diantara mereka bertiga. Hingga pada akhirnya, Pras lebih dulu berdiri dan melangkahkan kakinya keluar resto. Meninggalkan kedua orang temannya, yang masih berbincang di meja. Pria itu juga terlihat langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya dengan tergesa. Seolah sudah memiliki janji lain setelah dari sini. “Bisa … antar aku pulang?” Pras berdecak tidak suka. Melihat seseorang menerobos masuk ke dalam mobilnya begitu saja. “Keluar sendiri, atau aku yang seret kamu keluar, Day.” Daya menghela dengan gelengan dan masih keras kepala. Tidak mengindahkan ucapan Pras, w
Dapur, adalah tujuan Pras selanjutnya, jika tidak menemukan sang istri berada di kamar. Namun, tebakannya kali ini salah, Pras tidak menemui Sinar di sana. Mengeluarkan ponsel dari saku celana, Pras mencoba menelepon Sinar untuk mencari tahu keberadaannya. Namun, tidak juga ada yang mengangkat. Selanjutnya, Pras memanggil seorang pelayan untuk bertanya keberadaan istrinya yang tidak biasa seperti ini. “Mbak Sinar di teras belakang, Mas,” ujar Lusi, pelayan yang memang ditugaskan khusus untuk mengurus keperluan Sinar. “Lagi jahit baju,” “Jahit baju, di teras belakang? bukannya mesin jahitnya ditaruh di gudang?” Dahi Pras mengerut, menunggu jawaban Lusi sejenak sebelum melangkahkan kaki ke teras belakang. “Waktu Mas Pras pergi tadi, Mbak Sinar minta mesin jahitnya dikeluarin sama dipasangin dinamonya dan segala macamnya, terus minta ditaroh di teras belakang.” jelas Lusi lagi. Pras mengangguk paham. “Makasih, tolong siapkan makan siang.” Kemudia
Kelopak mata Sinar terbuka dengan malas. Merasa terganggu dengan suara getaran ponsel, yang tidak henti berbunyi di atas nakas. Ingin menjangkau tapi tidak sampai. Ponsel Pras berada pada nakas yang bersebrangan dengan dirinya.“Mas.” Sinar menepuk pelan bahu yang tengah memeluknya hingga berulang kali. “Mas hapemu rewel, ganggu!”“Hmm, biarin, bentar juga mati sendiri,” jawab Pras masih dengan mata yang tertutup erat. Merasa enggan mengangkat telepon di hari libur seperti ini.Benar saja, tidak lama kemudian, ponsel Pras berhenti bergetar. Namun, tidak berselang lama, getaran itu kembali lagi mengganggu tidur siang keduanya. Sebenarnya, hanya Sinar seoranglah yang merasa terganggu. Sedangkan Pras, pria itu tetap asyik terlelap tanpa memedulikan suara yang ada.“Udah kubilang, kan, kalau mau tidur itu di silent,” decak Sinar berusaha bangkit, tapi tubuhnya ditahan dalam pelukan Pras.“Sudah, gak
Sinar menumpu wajahnya dengan tangan kiri. Menatap Pras memakan mi ayamnya dengan begitu lahap. “Kenapa tiba-tiba mau mi ayam di sini? padahal dulu kan ke sini makannya bakso, gak pernah ngerasain mi ayamnya sama sekali?”“Karena aku tiba-tiba pengen mi ayam,” jawab Pras setelah menelan makanannya.“Itu namanya ngidam,” ucap Sinar dengan mulut yang masih penuh.Pras menggeleng, masih tetap pada pendiriannya kalau ia tidak ngidam. Hal ini seperti dirinya menginginkan sesuatu dan harus mendapatkannya. Sesimple itu, pikir Pras.“Sudah berapa kali aku bilang, aku itu gak ngidam,” elak Pras.“Kalau gak ngidam, di perempatan dekat rumah kan ada juga yang jual mi ayam, kenapa gak makan di situ aja?”“Karena aku pengen makan di sini Sinar sayaaang,” Pras sudah telampau gemas, karena sang istri sedari tadi memojokkannya dengan kata ngidam. “As simple as that, bukan ngidam,
Sinar mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan dengan teratur. Duduk bersandar pada headboard, sembari menunggu Pras yang masih berada di kamar mandi. Sibuk mengusap perut, yang sedari tadi selalu saja mendapat tendangan, dari sang bayi yang berada di dalam sana. Sinar pernah hamil sebelumnya, dan ia benar-benar merasakan banyak perbedaan dengan kehamilan pertamanya dahulu kala. Karena perbedaan itulah, Sinar sangat yakin kalau jenis kelamin bayinya saat ini adalah perempuan. Hingga ia pun sudah menyiapkan nama panggilan untuk bayinya kelak. “Kenapa?” Pras yang baru saja keluar dari kamar mandi, segera menghampiri Sinar yang terlihat meringis sembari mengusap perutnya. “Dia main akrobat lagi di dalam?” “Hu’uh,” kata Sinar dengan anggukan dan bibir yang maju beberapa senti. Meletakkan kedua telapak dinginnya pada perut sang istri, lalu menempelkan telinganya di sana. Pras terkekeh sendiri ketika merasakan tendangan kecil itu, begitu keras
"Mukanya biasa aja bisa gak, sih! Gak usah kecentilan gitu!" Sinar berdecak sembari memberi cubitan kecil berkali-kali pada lengan Pras. Sejak sang dokter kandungan mengatakan jenis kelamin bayi mereka, pria itu spontan menyematkan senyum tipisnya yang tiada henti. Hal tersebut membuat Sinar semakin kesal. Bagaimana tidak, kalau para perawat serta beberapa pengunjung rumah sakit yang berjenis kelamin perempuan, mendadak menambatkan maniknya ke arah Pras. "Kecentilan?" tanya Pras dengan datar. "Iya! Gak usah pake senyum-senyum gitu! Kamu itu lama-lama jadi meresahkan." "Meresahkan?" Pras masih belum mengerti di mana letak kesalahannya, hingga sang istri menekuk wajah sepanjang perjalanan melewati koridor rumah sakit. Bukankah sikap Pras saat ini tengah menunjukkan kalau dirinya sedang bahagia? Tapi mengapa Sinar sedari tadi sibuk menggerutu tiada henti. "Iya! Jangan pura-pura gak tahu, kalau dari tadi itu, dilihatin mulu sama mbak-mbak perawat.