"Iya Bi, hari sudah semakin sore," jawab Irish tersenyum menatap wanita yang mengasuhnya dan Kakaknya sedari kecil.
"Emm ... Nona Muda, tadi Tuan Muda menghubungi Bibi. Kata Tuan Muda, beliau akan menginap di hotel malam ini." Bibi Dennisa memberitahu Irish.
"Menginap di hotel?" Irish mengernyit bingung, karena tidak seperti biasanya. Yang Irish tahu, jika Alex tidak pulang ke rumah, dia pasti akan tidur di apartemennya.
"Kata Tuan Muda tadi siang ada keributan di hotel, jadi Tuan Muda akan tinggal dulu di hotel." Bibi Dennisa menjelaskannya.
"Terima kasih ya, Bi. Bibi juga boleh pulang." Irish memeluk wanita tua tersebut.
"Hati-hati, Nona Muda. Tuan Ben, Bibi minta tolong antar Nona Muda dengan selamat sampai ke rumah."
"Ah, tenang saja Bi. Nona Muda Irish akan aman
Kejadian di gudang tua sudah teratasi dan tidak terjadi hal yang serius pada Alex. Namun, tidak dengan Ayana. Ben masuk ke kamar di mana Irish terbaring lemah selama enam jam. Alat infus menancap di pembuluh darahnya dan ventilator masih terpasang di hidungnya. Wajah cantik dan manis itu terlihat pucat. Ben begitu menyesali kejadian pada waktu itu. Tiit ... Tiit ... Tiit ... Suasana begitu sunyi dan yang terdengar hanyalah alat detak jantung Irish. Ben mendekati Irish yang masih tidak sadarkan diri. Dibelainya lembut surai keemasan milik Irish. "Irish, bukalah matamu. Cepatlah bangun!" Ben mengecup kening Irish. "Bagaimana keadaan Irish?" tanya Alex yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Dokter bilang keadaannya sudah stabil, tapi kenapa dia belum juga sadarkan diri?" ucap Ben terlihat sangat khawatir terhadap Irish, pasalnya Irish belum j
Irish merasa sangat risih ditatap dengan tatapan yang seperti sedang melihat orang aneh, akan tetapi Irish terlihat masa bodoh. Yang ada dalam pikirannya saat itu hanyalah makan, karena tidak dipungkiri, Irish sudah merasakan rasa lapar.Berbeda dengan para pegawai di sana, karena pusat perhatian mereka tertuju pada Irish. Entah karena Irish saat itu terlihat sangat anggun dan cantik atau mata mereka tertuju pada sosok seorang Benjamin.Irish memang mengakui jika Benjamin adalah pemuda yang tampan, akan tetapi Irish memang tidak menyukai sifat dan sikap Benjamin. Namun, di sisi lain Ben juga mempunyai sisi lembut yang baru diketahui oleh Irish akhir-akhir ini.Bola mata Irish terus berputar memperhatikan sekitar. Gadis cantik berlesung pipi itu masih menangkap sesuatu yang aneh di restoran itu."Selamat datang, Tuan Muda," sapa seorang perempuan yang membawakan daftar menu pada Benjamin."
Irish menghela napas panjang. Dia menengadah ke atas, menatap langit-langit ruangan tengah. Ayana yang menyadari hanya berdecak. "Aku akan sendirian, jika kau mengundurkan diri," celoteh Irish. "Ada si Bos Besar, dia pasti akan menemanimu setiap saat." Ayana terkekeh. Irish melengos mendengarkan ucapan Ayana. Melihat reaksi Irish yang sangat lucu, Ayana makin suka menggodanya. "Makanya buruan kalian menikah," celetuk Ayana. "Hah? Menikah? Dengan dia?" "Siapa lagi?" goda Ayana. "Sudah, ah. Aku berangkat sekarang saja, ya." Irish menyambar tasnya dan berlalu dari hadapan Ayana. "Kenapa jadi dia yang ngambek." Ayana mengangkat bahunya. ❣❣❣ Alex menyetir mobilnya dengan pelan saat memasuki area apartemen. Pria itu tampak tid
Benjamin van Dee Han, pemuda ini memang mempunyai banyak keistimewaan. Tak heran banyak wanita yang mengejar-ngejar dia, termasuk Grace, Anna, Nicole, dan masih banyak lagi. Salah satu dari mereka bertiga ada yang begitu terobsesi dengan Benjamin. Ben sendiri sudah ditagih oleh kedua orang tuanya untuk segera menikah. Namun, Ben masih enggan menjawabnya. Akan tetapi sejak bertemu dan mengenal Irish, Ben mulai memikirkan masa depannya. Selepas sang kakak menikah, Irish lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja. Sahabat satu-satunya Irish juga sudah mengundurkan diri dari perusahaan tempat dia bekerja. Setelah Alexander menikah, dia memutuskan untuk tinggal di apartemen. Irish pun sering sendirian di rumah, tak jarang Benjamin sering menemani Irish. "Kenapa setiap kali aku ajak tinggal di apartemenku, kau selalu menolak." Ben bertanya sambil membereskan meja makan. Irish terdiam karena tidak mende
Ben tampak tidak tenang terbaring di atas ranjangnya. Pikirannya melayang teringat kejadian saat Nicole memeluknya. Wanita itu datang dengan tiba-tiba dan langsung mendekapnya erat. Apakah Irish marah padaku? Sejak kejadian itu dia jadi diam dan enggan berbicara padaku, batin Benjamin. Lantas dia menggelengkan kepalanya, bangkit dari baringnya dan meraih benda pipih. Menyalakannya dan mencari kontak Irish. Antara ragu dan tidak, Ben tampak bingung. "Apa aku harus meneleponnya?" Ben belum begitu yakin. "Aah, aku ini kenapa?" Ben mengacak-acak rambut. "Aku akan bicara dengannya besok di kantor." ❣❣❣ Siang itu Benjamin menemui Alexander di cafe milik Howie. Kebetulan sekali di sana ada Gareth juga. Ben menemui Alex untuk membicarakan masalah Irish. "Aku sih tidak masalah." Alex menatap Ben. "Selama dia setuju, aku pun akan mendukungnya," lanjut Alex kembali me
Tik ... tok ... tik ... tok ....Suasana hening, yang terdengar hanyalah suara detik jarum jam yang mengalun berirama ke seluruh penjuru ruangan. Enam pasang mata yang hanya saling beradu pandang, membuat suasana semakin menegang. Bunyi suara deheman Alexander memecahkan keheningan ruangan tersebut."Kenapa jadi canggung begini suasananya," kata Alex mencairkan suasana."Pokoknya aku tidak setuju, Kak!" bantah Irish."Irish, Kakak bukannya tidak mau ikut campur urusan kalian. Kalian berdua sudah cukup dewasa untuk memilih dan itu adalah hak kalian. Coba kalian berdua bicarakan baik-baik." Alex hanya menjadi penengah antara Irish dan Benjamin. Dia netral tidak memihak siapapun, walaupun Irish adalah adik kandungnya. Dia membiarkan Irish agar bisa berpikir lebih dewasa lagi.
Suara bel kembali berbunyi, Irish meraih ponselnya dan berusaha menghubungi seseorang. Namun, karena Irish dalam keadaan bingung dan takut, dia salah menekan nomor dan mengakibatkan salah sambung. Irish bukannya menghubungi Alexander, tapi justru yang dia hubungi adalah Benjamin.Benda pipih milik Ben bergetar saat Ben bersiap untuk tidur. Tangannya meraih benda tersebut dan menatap layarnya."Irish? Tumben dia meneleponku." Ben buru-buru menjawab panggilan itu. "Halo.""Kak, bisa ke sini tidak? Aku takut. Bel rumah berbunyi terus, tapi aku tidak melihat siapa-siapa dilayar tidak. Please Kak, ke sini ya." Klik! Irish langsung menutup sambungan teleponnya. Ben terdiam menatap layar ponselnya, dia bengong."Kak? Dia sedang mengigau apa?" beo Ben. "Eh .
Cuaca kota Leiden siang itu agak mendung, gumpalan awan hitam menyelimuti sebagian langit kota Leiden. Mendung tak berarti hujan itu istilah pepatah. Masuk jam istirahat kantor, Benjamin segera bergegas keluar dari ruang kantor. "Pak Adrima, aku akan pulang awal hari ini." "Baik Tuan Muda," jawab pak Adrima. "Tuan Muda tidak perlu khawatir, hari ini saya akan standby di kantor." "Terima kasih pak Adrima." Ben masih berusaha menghubungi Irish. "Kenapa kau tidak mengangkat telepon dariku!" Mobil perlahan masuk ke halaman rumah Irish. Ben memperhatikan sekeliling rumah Irish, melepas seat bell dan keluar dari mobil. "Sepi ...." Ben melangkah menuju teras rumah. "Apa Irish pergi ke apartemen Kakaknya?" Ben menekan pin pintu rumah Irish dan masuk ke dalam. Benjamin menelusuri tiap ruangan dari kamar, dapur, teras belakang rumah