Septian, Jihan. Kalian disini?"
Panggil seseorang yang kini menghampiri mereka berdua. Lalu Septian dan Jihan pun menoleh ke arah suara itu, Septian tersenyum saat melihat sosok gadis yang kini ada dihadapannya.
Semetara Jihan dia masih bingung dan bertanya-tanya tentang gadis yang kini berdiri dihadapannya dengan senyuman manisnya."Karina. Kapan kamu sampai disini?" Tanya Septian terlihat senang, sampai-sampai dia pun melepaskan genggaman tangannya pada Jihan. membuat Jihan semakin bingung dan mulai merasa Penasaran sekaligus kecewa dengan sikap Septian.
"Baru aja datang kok. Aku buru-buru dari New York kesini karena ingin bertemu kamu dan Jihan. Aku penasaran dengan sahabatmu yang bernama Jihan. Ternyata aslinya lebih cantik ya," Puji Karina yang kini menatap Jihan dengan senyuman yang tidak pudar dari bibirnya."
"Sahabat? Kenapa Septian ngenalin gue sebagai sahabat sama dia. Bukan
"Ya Tuhan dimana dia? Lo kemana sih, Han? Harus kemana lagi gue cari lo, Jihan Aiyana. Lo dimana sekarang? maafkan gue karena udah bikin lo kecewa dan mungkin sakit hati," Batin Septian. Smbil sesekali mengusap kasar wajahnya."Tuan ini sudah larut malam saya harus pulang, kasihan anak istri saya sudah menunggu dirumah. Maaf tuan aku akan mengantar anda kembali ke hotel," Ucap sang sopir taksi itu."Tapi pak, bagaimana dengan istri saya? Dia belum ketemu. Saya takut terjadi sesuatu pada istri saya pak." Septian kini terlihat semakin khawatir karena belum juga menemukan Jihan."Semoga istri anda baik-baik saja tuan. Sebaiknya anda beristirahat dulu saja. Besok pagi-pagi saya jemput anda lagi kesini. Saya akan temani anda mencari istri anda sampai ketemu," Ucap Super taxsi itu. Septian pun tak bisa memaksa kehendaknya, dia pun kembali ke hotel dengan perasaan khawatirnya. Dia berharap Jihan s
Septian kini sedang duduk dikantin menikmati secangkir kopi dan makanan yang dia pesan. Dia tampak berpikir dan teringat kembali dengan keinginan Jihan untuk kembali ke Indonesia. Namun, tiba-tiba ada yang menepuk pundak Septian. Lalu Septian pun menoleh, dan alangkah terkejut saat gadis yang ingin dia hindari. Kini berada dihadapannya."Bagaimana keadaan Jihan. Sep?" Tanya Karina yang kini sudah duduk disamping Jihan."Sudah membaik, mungkin besok kami akan kembali ke Indonesia, kasihan Jihan, dia ingin kembali ke Indonesia," Jawab Septian sambil meminum kopinya yang masih hangat."Em..., boleh aku bertemu dengan dia? Kebetulan ini aku bawa sedikit buah dan makanan untuk kamu dan Jihan," Ujar Karina.Karena merasa tidak enak pada Karina. Akhirnya Septian pun menyetujui keinginan Karina. Lagi pula tidak ada salahnya kan? Toh, Karina hanya ingin menengok Jihan saja.Dan pada akhirnya
Kini Septian menghampiri Jihan yang sedang bersama seorang wanita. Dan alangkah terkejutnya Septian saat melihat wanita yang kini bersama Jihan."Mama!" Seru Septian terkejut. Namun langsung mencium punggung tangan ibu mertuanya itu."Iya, Nak. kamu dari mana? Tadi saat Mama sampai dirumah sakit Jihan sendirian," Ucap Sabrina sambil tersenyum ramah pada Septian. Sedang Jihan, dia masih memalingkan wajahnya."Itu, anu. Mah, aku ada perlu dengan temanku sebentar," Jawab Septian sambil menunduk takut kalau Sabrina akan memarahinya. Karena sudah tega meninggalkan Jihan yang sedang sakit sendirian."Wanita ya? Mama tahu pasti ini yang membuat kalian kini tidak saling menyapa, dan membuat Jihan marah padamu?" Tanya Sabrina yang kini menatap menantunya dengan senyuman."Maaf Mah, aku yang salah, tapi aku sudah menyelesaikannya kok, dan untung saja dia mengerti, terus Mama kapan sampai disin
"Silahkan Duduk Kak," Ucap Jihan, mempersilahkan Karina duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Meski dalam hatinya dia merasa was-was karena ketakutannya akan kehilangan Septian.Karina pun duduk, sementara septian masih setia memegangi kursi roda jihan. Dia pun mendorongnya menuju brankar. Lalu Septian pun membantu Jihan untuk berbaring di brankarnya. Dan setelah itu Septian duduk dikursi yang ada disamping brankar. Karina yang melihat itu pun tersenyum, meski sebenarnya dia merasa iri pada Jihan. Tapi Karina tidak boleh egois apalagi harus menjadi perebut suami orang. Dan dia sadari Jihan dan Septian memang Pasangan serasi mereka cantik dan tampan."Kalian benar-benar pasangan yang serasi. Seharusnya aku menyadari itu dari awal, maaf Jihan. Aku tidak tahu kalau kamu adalah istri Septian. Kamu tahu, aku sangat syok saat Septian mengatakan kalau kamu adalah istrinya. Jujur aku sebenarnya sangat iri padamu, Han. Karena kamu sudah menjadi sa
Septian pun tersenyum saat melihat istrinya tengah berdiri di pembatas balkon, dia pun menghampiri Jihan dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari bibirnya. Karena melihat pemandangan yang sangat indah baginya.Tanpa Jihan sadari, kini Septian menghampirinya karena Jihan terlalu fokus pada pemandangan yang baginya sangat indah.Tiba-tiba ada yang memeluk Jihan dari belakang, dan itu membuat Jihan terkejut lalu dia pun menoleh. Namun, Jihan tersenyum saat tahu siapa yang memeluk dirinya meski sedikit gugup karena apa yang Septian Lakukan padanya.Septian pun mengecup pundak Jihan, lalu dia pun menelusup kan kepalanya di ceruk leher Jihan. Membuat Jihan semakin gugup dan wajahnya semakin merona. Sesekali Septian pun mengecup leher jenjang Jihan yang terlihat sangat mulus dan terawat."Ti-Tian.""Hm, biarkan begini sebentar saja," Ucap Septian. Yang masih nyaman dengan posisinya
Pagi kini terlihat begitu sangat cerah. Namun, terlihat dua insan masih setia dengan tidur lelapnya. Sementara yang lain sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing."Pagi Bun, Yah," Sapa Kiara, yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Begitu juga dengan Reno yang sudah gagah dengan stelan kantornya. Meski usianya sudah tidak muda lagi tapi ketampanannya tidak pernah luntur dimakan waktu."Pagi sayang," Jawab Aleta dan Reno dengan senyuman mereka yang selalu menyapa pagi Kiara dan dia sangat menyukai itu. Kini Kiara pun duduk disamping Reno dan mengambil sarapannya."Kak Tian dan Kak Jihan belum bangun ya?" Tanya Kiara. Sambil mengambil dua helai roti dan memolesnya dengan selasi coklat kesukaan nya."Belum Ki. Tapi biarkan saja mungkin mereka kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh, lagi pula ini masih hari cuti mereka di kampus," Jawab Aleta sambil tersenyum pada putrinya."Enak
Kini Jihan dan Septian pun sudah bangun dari tidurnya. Malah mereka sudah bersiap untuk pergi ke rumah nenek Nadia, neneknya Jihan. Dan kini Jihan dan Septian sudah berada diruang keluarga menunggu Aleta pulang untuk pamit, karena mereka ingin pergi ke rumah neneknya Jihan, tidak lama Aleta pun pulang. Dia mendapati putra dan menantunya yang sudah rapih. "Kalian mau kemana? Kok udah Rapih?" Tanya Aleta sambil membawa barang belanjaannya dan menaruh dimeja pantry di dapur. Kami ingin mengunjungi oma Nadia, Bun. Udah lama kami gak kesana," Jawab Jihan sambil tersenyum "Oh gitu, lama gak, sayang? Atau mau nginep?" Tanya Aleta. "Kayaknya nginep deh, Bun. Rumah oma kan jauh, lagian kan jarang juga kesana, jadi mau nginep," Jawab Septian. "Oh ya udah, titip salam buat Oma kalian, nanti kapan-kapan kita sekeluarga main kesana. Tian, ayahmu tadi bilang kalau mau pake mobil, kuncinya ada di laci nakas dekat televisi. Tapi hati-h
Akhirnya Jihan dan Septian pun kini sampai didepan rumah oma Nadia. Rumah itu terlihat sangat indah meski sederhana dengan hanya dua lantai tidak seperti rumah orang tua Jihan dan juga rumah orang tua Septian yang cukup megah. Tapi karena terdapat pekarangan rumah yang ditanami bunga-bunga yang indah rumah itu pun kini terlihat sangat indah."Wah lihatlah, Tian. Dari dulu oma tidak berubah ya, dia suka sekali menanam bunga-bunga yang indah dipekarangan rumahnya, aku sangat suka saat berada dirumah Oma," Ucap Jihan dengan senyuman yang merekah di bibir mungilnya."Iya rumah inu sangat indah. Tapi, tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan dirimu sayang," Ucap Septian mengeluarkan jurus gombalnya sambil tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya pada Jihan. Membuat Jihan tersipu malu dengan mengulum senyum di bibirnya saat mendengar ucapan Septian. Entah kenapa meski terdengar seperti gombalan yang receh, Jihan sangat suka karena Septia
Tuh kan Zam, gerbangnya udah ditutup. Kamu sih!" Azzam memandang Zura dari kaca spion. Terlihat wajah gadis itu yang sangat menggemaskan saat dia sedang kesal seperti sekarang ini. "Udah nggak apa-apa. Cuma lima menit kok." Azzam turun dari motornya diikuti oleh Zura. Lalu dia men-standar kan motornya di depan gerbang, tanpa kata dia lalu menarik tangan Zura ke samping sekolah. "Kita mau kemana, Zam?" Tidak ada jawaban dari Azzam. Dia hanya menunjuk ke tembok samping sekolah yang tingginya hampir dua meter dan sudah ada tangga disana. "Maksudnya kita manjat?" "Iyalah, Emang kamu mau dihukum?" "Tapi Zam...." "Udah Ayo! Namish membimbing Zura untuk menaiki tembok itu. Zura terlihat sangat kesulitan saat ingin meloncat. Berbeda dengan Azzam yang sudah sampai dibawah. "Azzam, aku ta
"Zam, kamu itu ngeyel banget sih! Kamu mau belajar sekarang atau aku pulang?" "Aku tinggal bilang ke opa kalau kamu nggak mau nge-lesin aku!" "Apa sih mau kamu, Zam?" Zura bertanya dengan mengacak-acak rambutnya. Wajahnya terlihat sangat frustasi. Bagaimana tidak? Semenjak pulang sekolah. Dia sudah duduk diruang tamu rumah Azzam. Tapi pemuda itu tidak sedikit pun mau membuka bukunya. Dan yang dia lakukan hanya memandangi wajah Zura saja. "Masakin aku ya? Janji deh habis ini mau belajar." Zura memutar bola matanya malas saat mendengar permintaan Azzam. Lalu dia pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju dapur dengan bibir yang tak henti mengucapkan sumpah serapah untuk Azzam. Sementara Azzam dia malah tersenyum senang melihat wajah kesal Zura. Azzam menyusul Zura ke dapur dan duduk di salah satu kursi yang tersedia di sana. Dia kembali memandangi Zura yang sibuk b
"Lo kenapa diem aja?" Azzam bertanya. Yap, seseorang yang misterius tadi pagi adalah Azzam. Dan sekarang mereka kini berada ditaman kota. Entah apa tujuan Azzam mengajak Zura ke taman. "Hah? Apa, Zam?" Zura balik bertanya dengan gelagapan. Pasalnya Zura canggung disaat dia bersama dengan Azzam. lidahnya mendadak kelu. "Lo kenapa?" Tanya Azzam lagi. "Nggak apa-apa kok, oh iya ngapain kamu ngajak aku kesini?" Zura menjawab dengan pertanyaan. "Gue cuma mau ngasih tau kalo pacar lo itu nggak baik buat lo!" Azzam memandangi wajah Zura yang terlihat manis dengan kalung emas putih yang melingkari lehernya. Dan rambut hitamnya yang terurai. menambah kesan cantik untuk gadis itu. “Pacar? Maksud kamu siapa ya?” Tanya Zura dengan heran. Dia melupakan hal yang tadi malam dibicarakannya dengan Raga. kakaknya. “Itu yang sok kecakepan. Yang kerjaanya antar jemput
"Loh itu bukannya Kak Rania ya, Kakak lo? Yah gue keduluan dong." Richi terlihat sedih. "Iya, tapi cowok yang bareng kak Rania itu. Pacarnya Zura." "Wah nggak bener tuh orang. Udah punya Zura juga masih aja ngembat calon gue." Richi yang juga menatap geram kearah Rania dan Raga. "Kali aja cuma temenan. Jangan berpikiran negatif dulu lah." Kali ini Dika yang berbicara. Dia paling dewasa diantara yang lainnya. "Kita tanya nanti aja waktu udah keluar. Disini malu kalau sampek ribut." Ujar Richi. Azzam semakin geram saat melihat Raga memasangkan jam tangan ke pergelangan tangan kakaknya. Rania. Azzam beranjak dari duduknya saat melihat pergerakan sepasang kekasih itu. Bugh! "Brengsek lo ya!" Raga tersungkur akibat pukulan
"Ekhem." Raga dan Zura memoleh kearah suara orang yang mengganggu quality time keduanya. Dan Zura membulatkan matanya saat dihadapannya berdiri seorang Azzam Dengan senyuman manis meski seperti dipaksakan. "Hai." Sapa Azzam. Yang membuat Zura tersenyum kaku. "Boleh gue duduk disini?" Tanya Azzam. Zura hendak menjawab namun sudah lebih dulu dipotong oleh Raga. "Kenapa harus disini? Kan masih banyak tempat kosong yang ada disana." "Gue nanya sama, Zura bukan nanya lo." Azzam terlihat kesal dengan penolakan yang dilakuan Raga. Dan dengan santainya Azzam malah duduk di samping Zura. "Kenapa lo mau pacaran sama dia? Masih ganteng juga gue." Teja merutuk dalam hatinya. Bisa-bisanya Azzam bicara seperti itu dihadapan Raga yang Azzam ketahui adalah kekasih Zura. "Sebenarnya dia..." "Ya jelas dia pilih gue lah. Lo kan masih ingusan. Dan gue udah dewasa." Kalo masalah ganteng, lo ngaca deh sana. Masih gantengan gu
Zura duduk dengan cemas di sofa ruang kepala sekolah. Setelah bel pulang sekolah tadi ada siswi yang mengatakan bahwa dia dipanggil bapak kepala sekolah untuk ke ruangannya. "Ada apa ya Pak? Apa saya membuat kesalahan?" "Apa kamu sudah lama mengenal, Azzam?" Tanya kepala sekolah itu dengan menatap ke arah Zura dengan intens. "Belum Pak, baru tadi pagi saat Azzam tidak sengaja menabrak saya." "Jangan terlalu formal, Nak. Panggil saja saya Opa seperti, Azzam." Zura pun tersenyum kikuk saat menanggapi ucapan Opa. Dia dibuat semakin bingung. "Begini Zura. Opa lihat kamu itu berbeda. Jadi bolehkah Opa meminta tolong padamu?" "Kalau saya bisa bantu pasti saya bantu Opa." "Sebenarnya Opa capek menasehati Cucu Opa itu. Dia itu keras kepala. Opa dan orang tua juga kakaknya sudah menyerah." "Maksud Opa gimana? Saya ng
16 Tahun Kemudian Citttt!!! Seorang pemuda mengeram kesal di dalam mobilnya. Walau pun begitu dia keluar dari mobilnya setelah menabrak seseorang. "Lo gak apa-apa kan?" Tanya pemuda itu. Dengan membantu seorang gadis yang tanpa sengaja dia tabrak untuk berdiri. Gadis itu pun menatap pemuda itu karena merasa sedang ditatap olehnya, namun pemuda itu mengalihkan pandangannya dari sang gadis "Lo masih bisa jalan, kan?" Gadis itu menggelengkan kepalanya karena luka di lututnya terasa sangat perih. Dia pun sesekali meringis. "Hei, Apa yang kamu lakukan?" Teriak gadis itu. "Diamlah!" Pemuda itu mendudukan gadis itu di kursi samping kemudi dan menatapnya. "Kita mau kemana?" "Nama lo, siapa?" Bukannya menjawab. Pemuda itu malah balik bertanya. "Zura." Gadis itu menjawab dengan sedikit meringis. "Lo, mau kemana?" "Sek
5 Tahun Kemudian "Papa...!"Seru seorang bocah laki-laki sambil berlari. "Hap, jagoan Papa." Gara pun langsung menangkap tubuh mungil yang berlari kearahnya sambil tertawa. "Dede Raga tunggu Kakak dong! Kok ditinggal sih," Teriak gadis kecil berumur sekitar 8 tahun itu. "Kak Nala lama sih. Jadi Laga tinggal aja. Papa, Laga kangen." "Iya sayang Papa juga kangen sama Abang. Tapi jangan lari-lari dong sayang, kasihan Kak Nara nya ngejar-ngejar kamu tuh cape," Ucap Gara. Yang kini melihat Nara tengah terengah-engah karena mengejar Raga. "Mama mana, Bang? " Tanya Gara pada putranya. "Kak Nala. Lihat Mama nggak?" Bukan menjawab Raga malah balik bertanya pada Nara. "Tante lagi dikamar Om. Katanya dari tadi perutnya mules terus, Jangan-jangan mau lahiran Om Tante nya," Jawab Nara. "Hah, Lahiran! Ya udah Abang main sama kak Nara dulu ya. Papa mau ke kamar lihat Mama dulu takut adi
Seperti apa yang Naira katakan. Kini mereka pun berkunjung ke rumah mama Jihan. Seperti biasa Maura pun sudah datang dari pagi untuk menyambut cucu kesayanganya itu. Karena memang Naira memberi tahukan kalau dia akan berkunjung ke rumah Jihan. Nara pun tak mau kalah dia malah menginap dari semalam karena tidak mau terlambat untuk menyembut baby Raga. Semenjak Naira dan Gara pindah ke rumahnya sendiri satu bulan yang lalu. Naira dan Gara harus bisa membagi waktu untuk mempertemukan Raga dengan kedua neneknya. "I'm Coming Kak Nara, Kakek, Nenek Aunti Nindy. Raga udah datang nih," Naira berseru membuat Raga kini tertawa saat melihat Nara kakaknya berseru memanggil nama Raga. Sambil berlari kearahnya. "Yeay baby Laga udah datang," Seru Nara. Dengan hebohnya membuat Gara dan Naira tertawa melihat respon Nara yang begitu sangat antusias. "Hay kakak Nara," Sapa Naira. Lalu dia mengecup pipi Nara dan men