Makan malam di rumah Tante Melinda yang biasanya hanya bertiga, malam itu bertambah satu personil. Ralph Warren. Tante Melinda memperkenalkannya padaku dan Josie sebagai sahabat lama. Tanpa aku dan Josie minta, kisah panjang Tante Melinda tuturkan, sementara kami menikmati hidangan. Saat awal datang ke Finlandia, karena nekat, Tante Melinda dengan suami dan putrinya mengadu nasib. Dan orang Finlandia pertama yang ada di samping mereka adalah Ralph. Dalam semua perjuangan, Ralph setia sebagai kawan. Ralph yang membuka jalan juga untuk usaha yang dirintis suami Tante Melinda."Aku menjadi guru di sebuah sekolah karena Ralph. Dia menjadi wakil kepala sekolah di sana, aku diminta masuk menjadi guru sejarah tentang Asia dan guru Art. Untuk mendiang Ardo, Ralph yang punya banyak relasi, akhirnya menolong Ardo bisa punya restoran dan butik. "Aku dulu tidak terlalu terlibat dengan bisnis, karena fokus di sekolah dan mengurus Fisca. Setelah kecelakaan itu ..." Tante Melinda menunda menyelesai
Aku mencermati ekspresi Ralph. Hampir dia membuka mulutnya, kami mendengar suara dari arah pintu. Suara tawa dua wanita yang hari-hari ini dekat denganku. Josie dan Tante Melinda masuk membawa tentengan di tangan mereka. "Hai, kalian di sini?" tanya Tante Melinda dengan bahasa lokal. "Ya dan bagus kalian datang. Bergabung saja sekalian." Ralph melambai memberi isyarat agar kedua wanita cantik itu segera mendekat."Baiklah. Tuan yang akan mentraktir kami siang ini?" Tante Melinda melangkah mendekat. Senyumnya lebar dia menggoda Ralph. Bagaimana mungkin Ralph yang mentraktir kalau kami makan di restoran Tante Melinda sendiri. "Tentu. Hari ini aku sedang gembira. Jadi aku akan mentraktir wanita hebat dan cantik yang tidak mungkin aku lupakan." Ralph pun menimpali dengan ceria. Terkesan membalas candaan Tante Melinda, tetapi aku tahu itu muncul dari hatinya. "Siapa takut? Ayo, Josie, kita kuras dompet Ralph hari ini." Tante Melinda menoleh pada Josie yang dari tadi hanya senyum-senyum
Mata Josie masih tertuju padaku. Dadaku makin kuat berdegup. Josie sudah mahasiswa, bukan remaja. Dia wanita dewasa. Dia makin cantik dan matang. Tante Melinda mengajar Josie bagaimana berpenampilan cantik meski tetap sederhana. Aku makin sering terpesona, makin takut tak bisa menahan diriku. "Di sini aku ga ketemu mama dan papa." Ucapan Josie menyadarkan aku. Aku sudah mulai melambung dan segera mendarat lagi ke bumi. "Tapi ada aku di sini." Aku mengusap pipi Josie. "Kamu tahu apa yang aku ingin cepat wujudkan?""Apa? Langsung jawab ga usah digantung." Josie melebarkan kedua matanya. "Menikah sama kamu. Aku kangen terus, padahal tiap hari sama-sama." Aku menjawab sambil maju lebih dekat pada Josie. "Ih, ga sabaran. Tunggu aku selesai kuliah, Kak." Josie mundur sedikit menjauh."Nggak. Begitu kamu ulang tahun dua puluh, aku langsung atur pernikahan. Aku lamar kamu ke Tante Mel," kataku dengan nada serius. "Ga bisa kali. Kalau belum kelar kuliah, jadi istri rempong deh, Kak. Ga ma
Mataku terbelalak tak bisa kutahan saat melihat apa yang ada di depanku. Josie tertawa riang di samping cowok bule berambut coklat terang. Entah apa yang cowok itu katakan, yang pasti Josie tampak sangat gembira bersamanya. Darahku terasa mendidih. Josie sedang ada di resto, di jam kerja. Dia bukan melakukan pekerjaannya, tetapi asyik berduaan dengan seorang cowok yang entah itu siapa! Dengan cepat aku langkahkan kakiku mendekati mereka. Menyebalkan, Josie bahkan tidak memperhatikan kalau aku berdiri tidak sampai dua meter darinya. "Josie, kamu masih bekerja, bukan?!" Aku sangat geram. Tidak perlu aku ucapkan salam. Aku hanya mau Josie sadar dia bertingkah mengesalkan. Josie seketika menoleh, begitu juga cowok itu. "Kak! Udah datang? Bukannya jam empat baru selesai acaranya?" Josie tampak terkejut melihat aku di depannya. "Ya. Dan bagus aku mendapati calon istriku berduaan dengan cowok di tempat kerjanya. Makasih banget," ujarku ketus. "Iih, kok marah? " Josie makin terkesiap ka
Aku ikut terkejut dengan ekspresi Josie. Aku melepas kekasihku, tapi sebelah tanganku masih menggenggam jemari Josie. "Kak ... aku takut," ucap Josie jujur. Dari pandangannya aku tahu dia tidak nyaman. "Sorry ..." kataku lirih. "Jangan aneh-aneh dulu. Papa dan mama pasti ga suka aku ga bisa jaga diri." Josie melihat dengan sedikit malu. "Sorry ..." Aku mengucapkan kata yang sama. Josie mengangguk. Merah wajahnya sedikit memudar. "Aku boleh ya, berteman dengan Aven? Dia juga punya adik cewek yang menyenangkan. Aku senang bisa berteman dengannya juga." "Oya?" Aku mengerutkan kening. Sudah berapa kali Josie dan cowok itu bertemu? Bahkan Josie juga kenal adiknya? "Sebenarnya, pertama bertemu di sini itu karena adiknya Aven. Arvenna. Dia dipanggil Arvi. Umuran anak SMP gitu, Kak. Si Aven itu baru mau lulus SMA." Josie menjelaskan, seolah tahu apa yang bergulung di pikiranku. Aku menahan diri untuk tidak membiarkan rasa cemburu beraksi lagi. Jujur, aku juga merasa aneh dengan diriku
"Kalau kamu memang sayang sama aku, keluar dari ruangan ini. Sekarang," kataku pada Josie. Aku menahan letupan di dada yang seperti akan meledakkan aku. "Kak, kenapa?" Josie jelas bingung dengan sikapku. "Avin? Harvino Gracio Andika?" Pria itu berdiri dan menatap padaku dengan pandangan yang tak bisa aku gambarkan. "Bagus. Ternyata ingatanmu ga seburuk yang aku pikir. Aku ga pernah mengharapkan hari ini terjadi dalam hidupku. Tapi aku ga bisa mengelak lagi. "Anda sudah di depanku. Dengar baik-baik. Terima kasih untuk semua sakit yang Anda buat pada ibuku. Terima kasih membuat aku dan Kak Lili menjadi anak yang terlunta-lunta. Ternyata Anda bahagia di sini. Dengan mereka? Luar biasa. Aku ga akan mau dan ga akan pernah melihat Anda lagi. Selamat tinggal."Aku meraih tangan Josie, sedikit menariknya, dan mengajak kekasihku segera keluar dari ruangan itu. Aku terus melangkah meninggalkan resto menuju ke tempat parkir. Mobil menunggu di sana dan aku langsung mengajak Josie masuk. "Kak
Beberapa hari berlalu. Aku tidak lagi bicara apapun soal kejadian di resto malam itu. Aku berusaha menganggap malam itu tak pernah ada. Namun, tetap saja tidak mudah. Jika aku sedang sendirian, muncul wajah pria itu, dengan tatapan terkejut dan sedih dalam kepalaku. "Ga usah dipikir, Avin. Lupakan. Lupakan." Aku bicara pada diriku sendiri. Lalu kembali aku berjuang fokus dengan pekerjaan. Kelas terakhir hari itu, aku hanya meminta anak-anak berlatih dengan group masing-masing. Tidak ada pelajaran tambahan apapun. Aku memantau saja jika. mereka ada kesulitan atau perlu arahan. Hampir satu jam berlalu, kelas pun usai. Murid-murid membereskan peralatan mereka lalu meninggalkan ruang musik. Aku masih merapikan peralatanku ketika di pintu seseorang mengetuk. "Hai, Pak Guru! Boleh masuk?" Suara manis dan renyah terdengar dari wanita langsing dengan rambut ikal berwarna coklat gelap itu. "Hai, Ibu Leena? Bagaimana, ada yang bisa saya bantu?" Aku mengangkat tasku dan berjalan mendekati pi
Josie berdiri tepat di depanku. Dia berusaha tetap tenang meski aku bisa melihat ada aura cemas dan takut di wajahnya. "Setiap orang bisa saja berbuat salah. Tetapi selalu ada alasan di balik tindakan yang diambilnya. Tidak bisakah mencoba memahami, lalu membuka hati yang luas, dan tidak menyimpan sakit lebih lama?" Josie masih ingat dengan jelas apa yang aku memang katakan saat Josie berontak dan tidak mau menerima Ertie. "Kak ... kumohon. Kali ini saja, dengarkan Aven. Setelah itu, Kak Avin bisa pikirkan harus bagaimana." Josie terus membujukku. "Kak Avin, aku minta tolong. Aku tidak akan lama." Aku cukup terkejut, Aven bicara dengan bahasa Indonesia. Dan dia memanggilku dengan Kak. Aku tidak segera bereaksi. Dalam kepalaku bergulung banyak hal. Semua kepedihan karena ayah, kemarahan yang sulit aku singkirkan setiap mengingat dia, dan juga hati yang seharusnya luas dan lapang berani melihat kenyataan. "Kak, kumohon ..." Josie kembali membujuk. Aku tidak menjawab, tetapi aku be
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap