Home / Young Adult / Murid Kesayangan / Bab 4. Murid Baru yang Misterius

Share

Bab 4. Murid Baru yang Misterius

last update Last Updated: 2022-06-15 19:37:54

Gadis di depanku itu dengan cepat mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua alisnya berkerut, seolah-olah berpikir keras.

"Siapa, ya? Emang kita udah kenal?" Dia bicara dengan logat Jawa Timur-an. Suara dan bicara yang aku tidak asing rasanya. Aku menduga dia berasal dari Surabaya atau Malang.

"Kamu ga ingat aku?" tanyaku balik. Aku sangat yakin dia gadis yang hampir kena senggol motorku. Gadis yang ingin mati itu.

"Hmm ... nggak. Ga usah sok kenal," katanya. Aku semakin yakin dia memang bukan berasal dari kota ini.

"Kamu murid baru?" tanyaku lagi.

"Ya, dan aku udah telat. Benar-benar sial pagi hariku," tukas gadis itu mencibir sambil ngeloyor pergi.

Aku menaikkan kedua alisku. Heran dengan sikap angkuh dan cueknya. Benar-benar gadis yang misterius. Apa dia tidak tahu kalau aku guru di sini? Tidak bisa hormat sedikit sama orang!

Aku menggeleng-geleng dan meneruskan langkah kakiku. Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Senyum kecil pun begitu saja meluncur di bibirku. Aku tidak mengenakan seragam kemeja resmi sekolah. Seragam kaos berkerah, dengan tema sekolah terpampang di sana. Pantas saja dia tidak tahu kalau aku guru. Begitulah kalau wajah tidak lekas tua.

Akhirnya, aku menikmati suasana pagi dengan duduk di gazebo taman. Sambil aku mencari inspirasi untuk mengawali pembukaan kelas. Harus sesuatu yang berbeda. Kalau biasa-biasa saja, murid tidak akan tertarik dari awal, akan berat memaksa mereka mengikuti pelajaran hingga akhir semester.

Drrtt ... Notif masuk di ponselku. Aku mengeluarkan benda tipis yang ada di meja kecil di depanku. Lola? Tumben dia ingat padaku. Aku membuka pesan dari pacarku. Pacar. Menyebut kata itu seperti tidak ada rasa apapun di hati.

- Vin, kamu bisa tengok Mama? Ini aku telpon beberapa kali ga ada jawaban. Ada yang penting aku perlu kasih tahu.

"Aduh, Lola. Nyapa manis dikit kenapa, sih?" Jujur saja, mendapat pesan itu aku bukan gembira.

- aku di sekolah, sebentar lagi mengajar. Hubungi saja ART di rumah. Siang baru aku bisa ke rumah kamu.

Aku menuliskan jawaban. Sebenarnya ada pertanyaan juga yang muncul di kepalaku. Kalau sampai Tante Merlin tidak menjawab Lola, apakah terjadi sesuatu yang buruk? Ah, jauhkan pikiran itu. Sudahlah. Aku mengirim pesan yang aku tulis.

Tidak lama pesan datang lagi dari Lola. Begitu aku baca, rasanya lebih baik tidak aku buka saja pesan darinya.

- Aku minta tolong, Vin. Urusanku ini mendesak. Kasih tugas saja kelas kamu, tinggal bentar, bisa kan?

Aku tidak membalas lagi pesan itu. Aku matikan ponsel. Aku tahu jika aku tidak menjawab, Lola bisa saja juga menerorku. Lebih baik aku balik dan bersiap. Kelas pertamaku akan segera dimulai.

*****

Ruang musik berada di paling ujung. Aku melangkah dengan hati berdebar menuju ke sana. Bukan hal baru mengajar buat aku. Tetapi pegang kelas sendiri dalam jumlah lumayan besar, akan berbeda rasanya dengan saat mengajar les privat atau jadi asisten kelas.

Excited iya, grogi tentu, itu yang aku rasa di dadaku. Tapi, aku adalah gurunya. Aku leader di kelas, aku yang mengatur. Apa yang aku kuatirkan? Aku menghibur diri sendiri. Tinggal beberapa langkah lagi aku akan sampai.

Terdengar suara berisik dari ruangan paling ujung itu. Mau bagaimana lagi? Isi kelas itu semua wanita. Tahulah seperti apa kalau wanita sudah membuka mulut. Cerita A hingga Z tidak ada habisnya.

Langkahku terhenti di depan kelas. Semua mata memandang ke pintu, kepadaku. Gadis-gadis muda, yang baru masuk usia dewasa itu sebagian besar menatap aku dengan wajah terpana.

"Selamat pagi semuanya!" Aku menyapa dengan suara lantang, melempar senyum, agar ketegangan yang aku rasakan segea berkurang.

"Selamat pagi, Pak!" Sahutan serempak menyambutku.

Aku meneruskan langkah menuju ke meja yang ada di sisi paling kanan kelas. Aku tahu semua mata masih menatapku dan beberapa tampak berbisik-bisik. Aku meletakkan tas laptop di atas meja, berdiri di samping meja guru.

"Selamat bergabung dengan kelas musik semester ini. Kita akan belajar bersama-sama dan aku berharap kalian siap melakukan sesuatu yang berbeda." Aku membuka kelas, pendahuluan.

Aku mengedarkan lagi pandangan ke seluruh kelas. Ruang musik, tempat duduk diatur bukan seperti kelas pada umumnya. Kursi siswa berjajar panjang di sisi kiri dan kanan. Sengaja ditata terbuka di tengah untuk memudahkan saat melakukan praktik bermain musik.

Ada yang mengangkat tangan di deretan kanan, hampir pojok. Aku mengangguk mempersilakan dia bertanya. Seorang gadis dengan wajah bulat, sedikit gemuk dan berkacamata. Dan yang menarik justru gadis di sebelahnya, yang duduk di paling ujung kanan. Mataku seketika menatap tajam pada gadis itu.

"Pak, ga kenalan dulu? Ga kenal maka ga sayang!" ujar gadis yang mengangkat tangan.

Aku tersenyum lebar. Siswa di sebelahnya melihat padaku dengan tatapan tajam dan pandangan terkejut. Aku tidak asing dengan wajah gadis itu. Kurasa ....

"Pak!" Dari sisi tengah ada yang menyahut.

Aku menoleh ke arah itu. "Ya, silakan!"

"Kenalannya yang lengkap, ya! Nama, alamat, tanggal lahir, nomor ponsel dan nama di akun sosmed!" Senyum lebar muncul dari murid itu. Seorang gadis dengan rambut coklat terang berponi.

Aku ikut tersenyum lebar. Suasana mulai renyah. Tapi jujur saja, grogi belum menyingkir. Tidak terlalu nyaman hanya sendiri dengan dua puluh satu wanita di dalam ruangan.

"Iya! Setuju! Huhh!!" Riuh mulai terdengar.

"Baiklah!" Aku bicara keras menenangkan kelas.

Kulangkahkan kaki mendekati whiteboard, mengambil spidol dan menuliskan namaku di papan.

'Harvino Gracio Andika'

Aku kembali menghadap ke kelas. "Panggil saja Pak Avin, mudah diingat." Aku meletakkan spidol lalu balik mendekati meja.

"Panggilnya Kak Avin saja kali! Muda gitu, masak bapak-bapak!" Terdengar sahutan di sebelah kiriku.

Sorakan pun menyambut lagi. Aku hanya tersenyum kecil. Beginilah resikonya, menjadi guru muda. Mana aku tampan, kata kakakku. Juga kata mendiang ibuku.

"Oke, Semuanya!" Segera aku meredakan suasana.

Kembali semua mata memandang padaku.

"Giliran aku berkenalan dengan kalian. Aku akan panggil sesuai absen. Yang aku panggil jawab hadir, lalu sebutkan satu lagu favorit kalian." Aku membuka lembar daftar hadir siswa yang ada di meja.

"Oke, Pak! Siap! Mantap! Seru, nih!" Lagi-lagi sahutan terdengar dari beberapa orang.

Mulai aku panggil satu per satu dari siswa dengan abjad paling awal. Anggita, Bellinda, Catherine, Doan, dan seterusnya. Lucu-lucu juga judul lagu yang mereka sebut. Sebagian besar lagu hit dari Korsel. Yang lainnya lagu dalam negeri.

"Istanti Prastika!" Aku memanggil sambil melihat ke seluruh ruangan.

"Hadir, Pak. Bengawan Solo!" Seorang gadis kurus dengan wajah oval menjawab.

"Huaahhh!!" Gelak tawa meledak mendengar jawaban Istanti.

"Kenapa? Itu lagu bagus, kok!" Istanti berdiri dan bicara dengan kesal.

"Ya, Istanti benar. Lagu Bengawan Solo ini sudah go international. Mestinya kita bangga dengan lagu itu." Aku tersenyum pada Istanti.

"Nah, kan!?" ujar Istanti. Dari wajahnya tampak lega karena pak guru membelanya.

"Oke, berikutnya!" Aku kembali melihat ke daftar nama. "Josephine Clarita Vivian Danantya!"

Tidak ada yang mengangkat tangan. Aku mengedarkan pandangan lagi. Dari kiri hingga paling kanan. Murid-murid mengarahkan mata sama ke arah yang aku tuju. Paling kanan.

"Josephine Clarita Vivian Danantya!?" ulangku.

Dengan lesu, tatapan tidak senang, gadis itu mengangkat tangannya. Matanya sayu memandangku.

Related chapters

  • Murid Kesayangan   Bab 5. Kejutan dari Kekasih

    Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku. "Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya. "Josie." Pendek Josie menjawab. "Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi. "Ga ada." Datar, itu jawabannya. "Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?" "Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin. Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie. "Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara. Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini. Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali a

    Last Updated : 2022-06-17
  • Murid Kesayangan   Bab 6. Pertengkaran Tak Bisa Dihindari Lagi

    Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja. Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga. "Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal. Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola. - aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya. Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku te

    Last Updated : 2022-07-23
  • Murid Kesayangan   Bab 7. Lebih Baik Pisah?

    Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah. "Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya. "Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku. "Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu. "Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan. "Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang. Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine. "Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau k

    Last Updated : 2022-07-26
  • Murid Kesayangan   Bab 8. Tentang Josie

    "Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil." Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya. "Boleh kamu jelaskan?" tanyaku. Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?" Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan. Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa. "Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi. Aku mema

    Last Updated : 2022-07-28
  • Murid Kesayangan   Bab 9. Kejutan Murid Centil

    Aku masih mencoba menerka siapa yang sedang menghubungi aku. Salah satu orang tua murid lesku? Tapi semua aku punya nomornya. Atau ada orang baru mau kasih les musik anaknya? Biasanya langsung lewat admin tempat les. Tapi suaranya rasanya aku pernah dengar. "Ya, halo. Maaf, ini dengan siapa?" Aku bertanya. "Ih, si Bapak, terlalu. Sama murid sendiri aja ga kenal." Suaranya sedikit cempreng dan ringan. Murid katanya. Murid SMA? "Kamu murid kelas 12?" tanyaku lagi. "Iyesss, Pak! Ayo, siapa?" Ruang sekali ini cewek ngomong. "Resti?" tebakku. "Horee!! Berhasil. Pak Guru keren!!" Makin girang suara Resti. "Ada apa? Liburan, kok nelpon? Aku mau malam mingguan." Aku menjawab santai. "Pak, aku di depan rumah." Resti bicara juga dengan santai. "Ngapain?" ujarku. Bingung dengan maksud Resti. "Depan rumah Bapak." Resti melanjutkan. "Apa?!" Aku kaget bukan main mendengar itu. "Haa ... haaa ..." Tawa Resti lepas tanpa kontrol. "Aku mau malam mingguan sama Bapak!" "Resti?!" Aku hampir te

    Last Updated : 2022-07-30
  • Murid Kesayangan   Bab 10. Kesepakatan dengan Pak Guru

    Resti mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Dia menunjukkan satu foto. Aku memperhatikan foto itu. Tampak seorang gadis duduk di atas pohon. Tidak terlihat wajah gadis itu karena foto diambil dari belakang. "Ini Josie?" tanyaku tidak yakin. Gambar diambil dari jarak agak jauh, tidak jelas siapa yang ada di foto. Apalagi kepala gadis itu tertutup penutup hoodie yang dia kenakan. "Emang ga keliatan, Pak. Tapi aku ga mungkin salah. Kamar Josie sebelahan sama aku. Jadi lumayan sering kami ketemu. Mana si Monika, sohib aku, sekamar sama dia. Hafal banget, Pak, aku." Resti meyakinkan aku. "Ini tinggi juga dia naik ke atas pohon. Pohon mangga, kan? Yang di belakang sekolah?" Aku memastikan lagi. "Betul. Dia naik pohon itu bisa tiga sampai empat kali seminggu. Kayak ritual aja. Aku beneran heran." Resti menambahkan. Aku langsung teringat malam kejadian aku hampir menabrak Josie. Gadis itu mengatakan ingin mati. Jangan-jangan ini salah satu cara dia ..."Kamu ga tanya, halangi, atau apa

    Last Updated : 2022-07-31
  • Murid Kesayangan   Bab 11. Mengesankan Atau Mengejutkan?

    Tatapan yang Josie tujukan padaku sangat jelas menunjukkan dia tidak suka aku menyebut namanya. Sayangnya aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dan aku memang sengaja ingin tahu hasil kerja Josie. Jujur saja, aku mengambil resiko Josie akan makin tidak menyukai guru musik yang keren ini. Bisa jadi setelah ini, justru Josie akan membentengi diri lebih kuat dan tidak ingin disentuh atau sebaliknya. "Pak, saya mulai sekarang?" Monika mengangkat tangan. "Ya, oke. Silakan." Aku mengangguk dan meminta Monika maju ke depan kelas. Dengan gitar di tangan, Monika maju duduk di kursi di depan tak jauh dari mejaku. Monika terlihat tenang. Dia mulai memetik gitarnya dan terdengar dentingan lagu daerah Sumatera Barat. Kambanglah Bungo. Manis juga dia memainkan lagu itu. Lumayan juga permainan gitar Monika. "Oke! Pembukaan yang baik dari Monika. Thank you sudah menyiapkan diri dengan baik." Aku cukup puas dengan apa yang Monika tampilkan. Segera arah pandangku bergeser, pada Istanti yang sudah

    Last Updated : 2022-08-02
  • Murid Kesayangan   Bab 12. Senyum Pertama dari Josie

    Langkahku begitu cepat menuju ke belakang sekolah. Kebun cukup luas terhampar di depanku. Beragam tanaman dari jenis perdu hingga pohon besar ada di sana. Sebagian tanaman buah seperti rambutan, jambu, dan juga mangga. Mataku segera mencari deretan pohon mangga yang tinggi. Aku masih ingat jelas, di foto yang Resti tunjukkan seperti apa posisi pohon dan dahan tempat Josie duduk di atasnya. "Sepertinya bagian paling belakang. Memang jarang orang datang ke sana. Tempat paling nyaman untuk bersembunyi dari keramaian," kataku dalam hati. Aku kembali melangkah, makin dalam menjelajahi kebun sekolah. Pohon-pohon mangga mulai gampak di depanku. Dan ... aku menghentikan kakiku. Pohon yang paling ujung dan paling tinggi, di atas sana terlihat Josie. Dia duduk di atas dahan yang lumayan besar dan kokoh, di bagian tengah pohon itu. Posisi Josie membelakangi aku. Dia tidak mungkin sadar ada yang datang ke tempat dia menyepi. Perlahan aku mendekati pohon itu. Saat hampir sampai di bawah pohoh,

    Last Updated : 2022-08-05

Latest chapter

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Semua Sudah Selesai, Ke Mana Setelah Ini?

    Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar

  • Murid Kesayangan   Extra Part - Bulan Madu dan Klarifikasi

    Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg

  • Murid Kesayangan   Bab 133. Murid Kesayanganku

    "Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika

  • Murid Kesayangan   Bab 132. Tidak Akan Berpisah Lagi

    Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri

  • Murid Kesayangan   Bab 131. Mata Sayu dan Sendu Itu

    Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo

  • Murid Kesayangan   Bab 130. Siapa Jono?

    Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten

  • Murid Kesayangan   Bab 129. Nomor Tak Dikenal

    Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari

  • Murid Kesayangan   Bab 128. Jejak Di Pusara

    Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha

  • Murid Kesayangan   Bab 127. Aku Hanya Ingin Menangis

    Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status