Gadis dengan mata sayu itu masih terus membayangiku. Yang aku pikirkan, kalau dia nekat mengakhiri hidupnya, bagaimana? Apakah dia mengalami hidup yang sungguh amat sangat berat, sehingga dia kepingin mati?
Ah, dia masih sangat muda. Aneh sekali. Gadis seumuran dia harusnya itu penuh semangat untuk mengejar cita-cita. Bagaimana caraku bisa memastikan kalau gadis itu baik-baik saja? Apa perlu aku mencari di gang itu, terakhir kali aku melihatnya?Serius, sayang sekali gadis semuda dia, lumayan cantik, harusnya punya masa depan cerah, tapi justru putus asa dengan hidupnya."Ngapain juga aku sampai segitunya mikir orang ga dikenal? Itu cewek pasti punya orang tua. Kalau dia kenapa-napa, ya orang rumahnya pasti akan bertindak. Hehh, mending tidurlah. Besok kerjaan udah panjang menunggu." Aku kembali merebahkan badan.Tapi mataku tak bisa juga terlelap. Hingga lebih lima belas menit rebahan, aku duduk lagi. Lebih baik aku mengerjakan sesuatu sampai lelah, baru aku akan bisa lelap tidur. Kembali laptopku aku nyalakan. Aku mulai buka file rencana tahun ajaran baru.Ini akan jadi tahun kedua aku mengajar dan dilepas sendiri. Semester yang baru lalu aku masih menjadi asisten saja sebagai guru musik. Tapi setelah ini aku harus menghadapi murid-murid itu sendiri. Dan yang cukup mengejutkanku, aku dipindahkan ke lokasi SMA, bukan lagi SMP."Guru SMA. Hee ...." Aku tersenyum sendiri. "Ga nyangka juga aku jadi guru SMA. Ini sekolahan khusus wanita lagi. Kalau aku cewek mungkin bisa ikut tinggal di asrama."Aku membaca lagi beberapa bagian yang sudah aku buat. Lumayan, kurasa cukup untuk perjalanan satu tahun. Tinggal maksimalkan aktivitas saja. Aku melihat ke jam dinding di tembok samping kananku, hampir tengah malam."Astaga, sudah selarut ini. Ayo cepat tidur, Avin. Besok bisa kesiangan." Aku bicara pada diriku sendiri. Lalu aku mematikan laptop dan merebahkan badan lagi di atas ranjangku.Aku pejamkan mata, memang mulai terasa berat. Wajah dengan mata sayu itu muncul lagi."Apa gadis itu baik-baik saja?" Sekali lagi pertanyaan itu mengusik di hatiku.Jika boleh, aku pingin ketemu satu kali saja biar aku yakin dia tidak mati seperti yang dia inginkan.*****Waktu terus berjalan. Aku sibuk dengan persiapan tahun ajaran baru. Sementara Lola seperti lenyap ditelan bumi. Aku masih berharap sebelum semester dimulai aku bisa bertemu dengannya dan menyelesaikan ketegangan yang terjadi di antara kami.- hai, Vin. Kamu kontak di waktu yang salah. aku keluar kota. Kira-kira dua minggu baru balik.Itu jawaban yang aku terima saat aku mengirim pesan pada Lola. Aku tidak tahu mau bilang apa lagi. Rasa sayangku terus terang saja perlahan memudar. Rindu tidak lagi muncul di hati. Terutama saat aku sibuk dengan banyak hal, Lola seakan bukan sesuatu yang utama di hidupku.Jawaban pesan yang terkesan cuek dari Lola, makin membuat aku enggan kembali menghubunginya. Lebih berguna aku fokus dengan tugas baru yang sudah terpampang di depan mata.Tok tok tok!Pintu kamarku diketuk. Kakakku nongol di depan pintu. "Aku mau jalan. Kamu ga sarapan?""Bentar lagi, Kak. Kakak bikin sarapan apa?" tanyaku sambil mengangkat ransel dan tas laptop yang ada di meja."Roti isi. Kamu bisa bawa saja kalau belum pingin makan," ujar Kak Lili."Oke, thank you," sahutku."Eh, Vin, aku pulang malam. Abis kerja, Edo mau ajak aku ke ultah temannya. Kamu atur aja, mau makan di rumah atau di luar," pesan Kak Lili."Gampanglah. Met bekerja. Good luck!" kataku sambil mengepalkan tangan, memberi semangat."Yaa!" Kak Lili melambai dan melangkah meninggalkan rumah.Aku ke ruang makan, membungkus roti isi lalu berangkat. Dengan motor andalanku, aku memulai perjalanan hari itu. Huh, degdegan juga. Ini hari pertama aku akan mengajar murid yang lebih besar. Seperti apa suasana kelasnya nanti? Kuharap para gadis muda menjelang dewasa itu akan terbuka dan bisa bekerja sama dengan baik.Tidak sampai sepuluh menit aku tiba di sekolahan yang cukup beken di kota Bandung. Unik, karena memang muridnya hanya para wanita. Namun, yang datang untuk belajar di sekolah itu dari berbagai penjuru kota di Indonesia. Aku bisa katakan Valeri Light Academy ini seolah-olah miniatur Indonesia."Selamat pagi, Pak! Selamat datang!" Sebuah sapaan hangat menyambutku saat aku masuk ke ruang guru. Seorang guru wanita usia kira-kira empat puluhan tahun tersenyum ramah padaku."Selamat pagi, Bu Rani." Aku membalas senyum ramahnya."Sudah siap bertanding semester ini, Pak?" Dia mengulurkan tangan menyalamiku."Begitulah, Bu. Saya pasti akan merepotkan, banyak yang saya masih harus belajar," jawabku. Aku membalas uluran tangan guru dengan postur tinggi dan sedikit gemuk itu."Tenang saja, Pak, kita akan bekerja sama. Saya mengajar vokal untuk kegiatan ekstra anak-anak, Pak Harvino mengajar musik. Saya siap membantu kapan saja." Senyum ramah Bu Rani belum lenyap."Baik, Bu. Terima kasih banyak." Aku mengangguk senang."Oya, Pak, ga usah kaget kalau ada murid yang rada aneh-aneh sama Pak Guru muda yang enak dipandang, ya?" Bu Rani mengangguk-angguk sambil kembali melempar senyum."Oh? Ahh, iya, Bu." Aku nyengir. Aku menangkap maksudnya. Aku ini guru pria, masih muda, dan baru. Yang kuhadapi para gadis di kelas. Kenapa jadi sedikit serem, ya?Bu Rani meneruskan langkah meninggalkan ruangan itu, sedangkan aku menuju ke meja di bagian paling kiri ruangan guru yang lumayan besar itu. Di situ tempat aku berkantor selama di sekolah ini. Sepi juga. Di ruangan yang besar itu, hanya ada aku sendirian. Apa guru-guru memang belum pada datang? Aku meletakkan ransel di bawah sebelah belakang kursi dan tas laptop di meja.Jam sembilan baru aku akan masuk kelas. Mungkin ada baiknya aku berkeliling sekolah. Hari cerah, sepertinya bagus juga menikmati udara segar. Taman-taman di sekolah ini terawat indah dan rapi. Aku senang melihatnya.Kulangkahkan kakiku menuju ke taman samping, di dekat lapangan basket. Di sana ada gazebo untuk duduk bersantai. Dengan langkah ringan aku mengarahkan diriku ke sana. Tepat saat berbelok hampir tiba di taman, seseorang berlari dengan cukup cepat dari depanku dan menabrakku tiba-tiba."Aouuhh!" seru gadis itu. Dia oleng dan hampir terjatuh. Tasnya pun melorot dan hampir lepas dari pundaknya."Ih, jalan lihat-lihat, dong!" sentak gadis itu dnegan suara kesal.Aku segera menegakkan posisiku dan memandang padanya. Gadis dengan seragam baru itu membetulkan letak tasnya, lalu kembali berdiri dan melihat padaku. Mataku langsung lebar menatap padanya. Mata itu! Dua bola mata bulat yang sayu, yang aku lihat malam itu."Kamu di sini?" ujarku masih dengan rasa terkejut.Gadis di depanku itu dengan cepat mengangkat wajahnya dan menatapku. Kedua alisnya berkerut, seolah-olah berpikir keras. "Siapa, ya? Emang kita udah kenal?" Dia bicara dengan logat Jawa Timur-an. Suara dan bicara yang aku tidak asing rasanya. Aku menduga dia berasal dari Surabaya atau Malang. "Kamu ga ingat aku?" tanyaku balik. Aku sangat yakin dia gadis yang hampir kena senggol motorku. Gadis yang ingin mati itu. "Hmm ... nggak. Ga usah sok kenal," katanya. Aku semakin yakin dia memang bukan berasal dari kota ini. "Kamu murid baru?" tanyaku lagi. "Ya, dan aku udah telat. Benar-benar sial pagi hariku," tukas gadis itu mencibir sambil ngeloyor pergi. Aku menaikkan kedua alisku. Heran dengan sikap angkuh dan cueknya. Benar-benar gadis yang misterius. Apa dia tidak tahu kalau aku guru di sini? Tidak bisa hormat sedikit sama orang! Aku menggeleng-geleng dan meneruskan langkah kakiku. Aku memperhatikan baju yang aku kenakan. Senyum kecil pun begitu saja meluncur di bibirku. Aku tidak
Aku menunggu murid itu membuka suara, menyebutkan apa lagu favoritnya. Tidak ada pergerakan. Wajahnya datar, tatapannya lurus ke arahku. "Josephine. Benar, panggilan kamu Josephine?" tanyaku akhienya. "Josie." Pendek Josie menjawab. "Oke, Josie. Apa lagu favoritmu?" tanyaku lagi. "Ga ada." Datar, itu jawabannya. "Hm?" Aku cukup kaget dengan ucapan pendek itu. Pertanyaanku berlanjut. "Kamu ga suka musik?" "Apa harus punya lagu favorit?" Nada suaranya makin dingin. Aku bisa merasa seketika kelas menjadi sedikit tegang. Beberapa siswa tampak berbisik-bisik. Dari reaksi mereka jelas bukan tanggapan baik dengan sikap Josie. "Anak baru ini, belagu banget, sih. Sopan dikit ama guru, ga bisa?" Salah satu murid dari deretan kiriku angkat bicara. Dugaanku benar, saat bertemu dengan Josie di dekat taman, aku tahu dia mengenakan seragam baru. Dia memang murid baru. Tapi tidak mengira, dia langsung masuk kelas teratas di sekolah ini. Josie melirik ke arah gadis itu, tapi tidak menimpali a
Masih tak bisa kupercaya rasanya dengan kabar yang aku dengar dari Arka dan Diki. Sampai aku pulang, aku tidak bisa tenang. Makan malam dengan makanan favorit pun rasanya hambar dan tidak selera. Masih tersisa setengah di piring, aku biarkan saja. Aku masuk ke kamar dan duduk di ranjang. Aku sandarkan badan di kepala ranjang. Aku mencoba menghubungi Lola. Tidak ada jawaban. Aku coba bahkan hingga empat kali, panggilan telponku tidak diangkat juga. "Kamu sesibuk apa, sih? Jangan-jangan Arka dan Diki benar. Kamu ga hanya bekerja dengan pergi ke mana-mana dan sering ga ada kabar. Tapi karena kamu juga punya acara dengan cowok lain." Aku bergumam kesal. Tidak ada pilihan. Aku mengirimkan pesan buat Lola. - aku mau kita bicara. ga bisa ditunda. begitu kamu pulang, kita harus ketemu dan menyelesaikan semuanya. Aku kirim pesan itu dengan darah seperti bergemuruh di dada. Aku kenal Arka dan Diki lebih lama dari kenal Lola. Tidak mungkin jika mereka mengada-ada. Tapi di satu sisi hatiku te
Jujur, aku makin merasa tidak dihargai oleh Lola. Sikapnya yang terus saja mau menang sendiri membuat aku benar-benar lelah. "Oke, bicara saja, terserah," ujarku. Aku mundur dan menyandarkan punggung di kursi. Lola mulai bicara ini dan itu yang tidak jelas juntrungannya. Aku sudah ogah mendengar semua yang Lola katakan. Yang aku lakukan mengangguk atau menggeleng, atau hanya menatap saja. Tidak ada niatan aku mendesak Lola mendengarkan aku. Aku benar-benar lelah dengan semuanya. "Paham?" kata terakhir Lola. Matanya masih menyala menatap padaku. "Ya, oke." Aku menjawab dengan lesu. "Avin!" Lola tidak lega dengan jawaban yang aku berikan. "Sudah aku dengar semuanya. Aku paham, kurasa cukup." Aku berdiri dan bersiap pulang. Tidak ada gunanya. Lola tidak mau jujur, tidak mau melihat sisi yang salah dari hubungan kami dan menimpakan semua padaku. Dan menilai aku yang terlalu lebay. Fine. "Kalau gitu aku ga mau kamu ungkit-ungkit soal pekerjaanku, apa saja yang aku lakukan. Aku mau k
"Iya, Pak, aku tahu," ucap Josie. "Terlalu banyak yang aku pingin skip, tapi nyatanya harus aku jalani. Biarpun semua ga adil." Kalimat itu memaksa aku menatap lebih lekat pada Josie. Dia tidak menjelaskan apa yang dia maksud, tapi aku bisa mengerti, dia protes dengan keadaan dirinya. "Boleh kamu jelaskan?" tanyaku. Kedua mata cantik Josie mengerjap beberapa kali. "Ntar PR-ku ga selesai. Mending aku kerjain. Kasih waktu lima belas menit, boleh?" Josie menghindar, tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia segera menunduk melihat pada lembaran tugas dan mulai fokus mengerjakan. Ada iba di hatiku muncul. Gadis ini menyimpan sesuatu. Malam itu, saat hampir bertabrakan dengan motorku, dia tidak takut dan menangis. Justru kesal karena tidak benar-benar tertabrak. Saat di kelas, dia tidak peduli apapun. Lalu hari ini, dia bingung karena tidak bisa mengerjakan tugas dan hampir menangis tiba-tiba entah karena apa. "Sudah, Pak. Kayak gini, ta?" Nada medok Jawa Timur Josie muncul lagi. Aku mema
Aku masih mencoba menerka siapa yang sedang menghubungi aku. Salah satu orang tua murid lesku? Tapi semua aku punya nomornya. Atau ada orang baru mau kasih les musik anaknya? Biasanya langsung lewat admin tempat les. Tapi suaranya rasanya aku pernah dengar. "Ya, halo. Maaf, ini dengan siapa?" Aku bertanya. "Ih, si Bapak, terlalu. Sama murid sendiri aja ga kenal." Suaranya sedikit cempreng dan ringan. Murid katanya. Murid SMA? "Kamu murid kelas 12?" tanyaku lagi. "Iyesss, Pak! Ayo, siapa?" Ruang sekali ini cewek ngomong. "Resti?" tebakku. "Horee!! Berhasil. Pak Guru keren!!" Makin girang suara Resti. "Ada apa? Liburan, kok nelpon? Aku mau malam mingguan." Aku menjawab santai. "Pak, aku di depan rumah." Resti bicara juga dengan santai. "Ngapain?" ujarku. Bingung dengan maksud Resti. "Depan rumah Bapak." Resti melanjutkan. "Apa?!" Aku kaget bukan main mendengar itu. "Haa ... haaa ..." Tawa Resti lepas tanpa kontrol. "Aku mau malam mingguan sama Bapak!" "Resti?!" Aku hampir te
Resti mengeluarkan ponsel dan membuka galeri. Dia menunjukkan satu foto. Aku memperhatikan foto itu. Tampak seorang gadis duduk di atas pohon. Tidak terlihat wajah gadis itu karena foto diambil dari belakang. "Ini Josie?" tanyaku tidak yakin. Gambar diambil dari jarak agak jauh, tidak jelas siapa yang ada di foto. Apalagi kepala gadis itu tertutup penutup hoodie yang dia kenakan. "Emang ga keliatan, Pak. Tapi aku ga mungkin salah. Kamar Josie sebelahan sama aku. Jadi lumayan sering kami ketemu. Mana si Monika, sohib aku, sekamar sama dia. Hafal banget, Pak, aku." Resti meyakinkan aku. "Ini tinggi juga dia naik ke atas pohon. Pohon mangga, kan? Yang di belakang sekolah?" Aku memastikan lagi. "Betul. Dia naik pohon itu bisa tiga sampai empat kali seminggu. Kayak ritual aja. Aku beneran heran." Resti menambahkan. Aku langsung teringat malam kejadian aku hampir menabrak Josie. Gadis itu mengatakan ingin mati. Jangan-jangan ini salah satu cara dia ..."Kamu ga tanya, halangi, atau apa
Tatapan yang Josie tujukan padaku sangat jelas menunjukkan dia tidak suka aku menyebut namanya. Sayangnya aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dan aku memang sengaja ingin tahu hasil kerja Josie. Jujur saja, aku mengambil resiko Josie akan makin tidak menyukai guru musik yang keren ini. Bisa jadi setelah ini, justru Josie akan membentengi diri lebih kuat dan tidak ingin disentuh atau sebaliknya. "Pak, saya mulai sekarang?" Monika mengangkat tangan. "Ya, oke. Silakan." Aku mengangguk dan meminta Monika maju ke depan kelas. Dengan gitar di tangan, Monika maju duduk di kursi di depan tak jauh dari mejaku. Monika terlihat tenang. Dia mulai memetik gitarnya dan terdengar dentingan lagu daerah Sumatera Barat. Kambanglah Bungo. Manis juga dia memainkan lagu itu. Lumayan juga permainan gitar Monika. "Oke! Pembukaan yang baik dari Monika. Thank you sudah menyiapkan diri dengan baik." Aku cukup puas dengan apa yang Monika tampilkan. Segera arah pandangku bergeser, pada Istanti yang sudah
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap