Bising jalanan kota seolah bukan hal baru yang terdengar di telinga. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tidak menyurutkan keramaian. Dari pinggir kota, sebuah industri masih begitu segar berdiri sepanjang hari.
"Mbak Gita apa tidak lagi yang perlu saya kerjakan?"tanya gadis berambut pirang mengemas barangnya.Pertanyaan itu sontak membuat gadis berjilbab di ruangan terpisah kaca mendongak. Kacamata anti radiasinya menambah kesan lelah di wajahnya."Tidak, terima kasih, Celine,"ucap Gita kembali menatap layar komputer di depannya."Oalah. Saya kira mau menghabiskan pekerjaan sendirian sampai Mbak Gita lembur lagi,"ucap Celine berhenti di depan mejanya."Rencananya begitu. Tapi besok saya ada kunjungan ke Surabaya dan belum bersiap. Duluan saja,"ucap Gita membuatnya mengangguk sebelum berlalu meninggalkan ruangan.Papan nama Dyah Anggita Anindyaswari di depan mejanya sudah menjelaskan siapa dirinya. Seorang manager muda divisi laboratorium pabrik urea terbesar di Indonesia yang berdiri di antara jajaran nama besar perusahaan. Untuk ukuran perempuan yang bekerja di PT Pupuk Anumerta, gadis itu berada pada tingkat paling muda dengan pencapaian besarnya.Drrt"Halo,"sapa Gita sembari menunggu komputernya mati."Mbak Gita. Pak Ramli meminta Anda membuat PowerPoint untuk membuat jalinan mitra kerja pada saat kunjungan besok,"ulas di seberang telfon."Saya sudah menyiapkan. Saya kirimkan ke Anda segera ya,"ucap Gita menutup telfon tanpa basa-basi.Dunia kerjanya memang tidak memerlukan basa-basi untuk semua hal. Tingkat disiplin yang ditetapkan Gita di divisi laboratorium tidak jarang membuatnya terkesan dingin. Kata-kata yang ketus tidak jarang terucap begitu saja dari bibirnya tanpa bisa terkendali.Menyabet jas lab di lengannya, Gita keluar dari ruangan meninggalkan ruang kerja selama beberapa tahun ini. Lampu yang berkedip pelan membuat nyalinya sedikit ciut. Wajahnya begitu ketus namun dirinya masih saja sangat penakut dengan hal kecil seperti itu. Namun gadis yang menjunjung tinggi profesionalitas itu mampu menyembunyikan dengan apik."Pak Hilman. Saya minta tolong, lampu di lantai tiga di divisi laboratorium diperbaiki. Saya khawatir itu membahayakan,"ucap Gita setengah beralibi."Baik Bu. Mau saya ambilkan mobilnya Bu?,"tanya Hilman membuatnya menggeleng pelan."Tidak terimakasih Pak. Selamat malam,"ucapnya meninggalkan pintu masuk.Parkiran sepi menyisakan mobilnya dan beberapa mobil pegawai divisi lain sudah menjadi pemandangan biasa baginya. Mobilnya melaju meninggalkan area kawasan pabrik menuju perumahan dinas PT Pupuk Anumerta tidak jauh dari sana.Mengingat sayuran di kulkasnya telah habis membuatnya memutar balik membelah jalanan menuju pusat kota. Tanpa mengganti seragam yang masih melekat, Gita mengenakan sweater dan sendal jepit memasuki sebuah swalayan.Gadis itu bisa saja bergaya seperti para istri di jajarannya. Tas branded dengan tampilan memukau bak aktris papan atas. Namun dirinya terlalu malas untuk banyak bergaya dan menghamburkan uangnya. Pembangunan rumah pribadinya saja masih setengah jadi sudah membayangkan yang tidak perlu."Miss Independent mau belanja apa nih?,"sapa seorang perempuan masih mengenakan blazer hitam khas wanita modern."Tumben Azhara Lovanka pergi belanja sendirian,"ucap Gita tidak tahan mencibir lawan bicaranya."Ayolah. Aku sudah lama tidak memasak sendiri. Mumpung sedang tidak ada penerbangan malam ini,"ucap Azhara menambahkan paprika di keranjang belanjanya."Bukan itu maksudnya. Kemana pramugara yang biasanya menemanimu kemana-mana itu?,"tanya Gita."Aku tidak bisa membiarkan diriku jatuh ke dalam lembah menyusahkan menjadi istri dan ibu. Aku masih menyukai terbang dan melakukan apa saja sendirian,"ucap Azhara."Tidak heran untuk seorang Azhara. Malam ini aku juga akan memasak. Kamu mau makan malam bersama?,"tanya Gita menyerahkan trolinya ke kasir."Kamu memang selalu mengerti isi hatiku Gita-,""Totalnya 1.500.000 rupiah,"ucap kasir menyela pembicaraan."Jadikan satu aja. Sekali-kali aku mentraktir manager PT Pupuk Anumerta dong,"ucap Azhara membuat raut wajah orang sekitar menatap kaget perempuan di depan kasir."Bisakah tidak menyertakan profesi, Mbak pramugari plat merah?,"tanya Gita memutar bola mata malas."Menyebalkan. Dengan raut wajah berantakan seperti ini tidak perlu menyebutkan profesi sebagai pramugari. Sungguh memalukan,"ucap Azhara mengaduh."Tampilan berantakan tapi mengenakan setelan kantor dengan heels 5 cm tidak sebanding dengan sweater dan sendal jepit Azhara. Jangan memutar kondisi. Dimana kamu parkir?,"tanya Gita memasukkan semua belanjaan ke mobil."Ya baiklah aku kalah. Aku parkir di lantai dua. Aku sudah hafal rumah dinasmu. Nanti aku menyusul saja,"ucap Azhara melambaikan tangan berlalu pergi.Belum saja keluar dari parkiran, tampak panggilan tak terjawab berulang kali dari ponselnya. Sepertinya banyak yang ingin menghubungi di malam hari. Padahal dirinya sudah sering menyatakan jam kerjanya dibawah jam sepuluh malam. Bahkan sekarang sudah jam sebelas masih ada yang berusaha menghubunginya."Maaf mengganggu waktu beristirahat Anda, Mbak Gita. Saya hanya ingin memastikan terkait jadwal perjalanan Anda besok sudah saya kirimkan ke email Anda,"simpul pesan suara Celine."Astaga kebiasaan burukmu tidak pernah berubah Celine. Sudah seringkali saya katakan tidak perlu membuat jadwal perjalanan dan sejenisnya. Saya bisa mengatur sendiri. Tapi terimakasih sudah membuatnya. Jangan ulangi lagi,"ucap Gita membalas pesan suara Celine sebelum melanjutkan perjalanan pulang.Dentum lagu Something Just Like This memenuhi CR-V yang ditumpanginya. Mobil yang dibeli dengan kerja kerasnya sendiri seperti rumah yang masih juga belum selesai berada di dekat pedesaan. Sebuah gambar yang terbingkai dalam kalender menunjukkan impian Gita menikmati masa tua kelak di pedesaan.Seorang gadis kecil melintas tanpa memperhatikan jalanan membuatnya menginjak rem mendadak. Tampak gadis kecil itu malah duduk menangis di depan mobil tanpa berniat beranjak."Astaga merepotkan sekali. Lagipula kemana orangtuanya? Apa tidak waras membiarkan anak kecil berkeliaran di jam segini? Kenapa pakai nangis?,"tanya Gita tidak sabar.Wajah ketusnya semakin menambah aura menakutkan bagi gadis itu. Bukannya mengurangi volume tangisan malah memperbesar. Gita menatapnya bosan menarik tangannya beranjak."Kau merepotkan,"ucap Gita acuh kembali memasuki mobilnya.Kondisi tubuhnya sudah sangat lelah menjadi bertambah penat karena bertemu anak kecil dengan dramanya. Padahal dia cukup besar untuk menyeberang dengan waras. Tanpa harus meninggalkan tangisan atau malah duduk di depan mobilnya. Orang yang berada di sekitar sana bukannya membantu mengajak anak itu menepi malah mengabadikan momen.Entah judul apa yang akan muncul di laman pencarian sebentar lagi. Hal kecil saja tidak luput di video dan viral di jagat maya tanpa kepastian nyata. Apalagi hal epik seperti tadi. Belum tuntas amarahnya bergemuruh, mobilnya sudah memasuki kawasan perumahan dinasnya.Sebuah mobil yang terparkir lebih dulu membuatnya memutar bola mata malas. Kebiasaan Azhara mengebut di jalan raya tidak pernah berubah. Sepertinya dia perlu merasakan ditilang dulu baru menghentikan kebiasaannya. Tingginya semampai bak model majalah fashion menatap Gita tidak sabar."Untuk apa kamu parkir disana? Masukkan saja mobilmu,"ucap Gita sebal."Kurangi kekonyolanmu Gita. Bagaimana aku bisa memasukkan mobilnya kalau kunci rumah dinasmu menggunakan sidik jari?,"tanya Azhara membuat gadis itu mengetuk jidatnya pelan."Seharusnya aku memberitahu penjaga menambahkan sidik jari untukmu juga,"ucap Gita membuka pagar."Tidak perlu Gita. Aku tidak sepenting dirimu sampai bisa bebas memasuki apartemen ku. Ada apa dengan wajah malasmu itu?,"tanya Azhara membuka pintu rumah."Kejadian kecil di jalan,"ucap Gita begitu malas.Mendengar jawaban singkat dari sahabatnya membuat Azhara tak lantas diam. Dirinya membuka minuman dingin dari kulkas."Dinginkan kepalamu. Apa ada hal janggal di perusahaan?,"tanya Azhara menyodorkan kaleng minuman dingin."Tidak ada. Aku hanya kesal ada anak kecil yang melintas sembarangan tapi tidak ada yang menghentikannya,"ucap Gita menyandarkan kepalanya."Astaga. Itu hanya hal kecil saja, Git. Melihat betapa menyusahkannya anak kecil dan ibunya sudah membuatku pusing selama di penerbangan. Aku tidak masalah dengan adanya anak kecil. Hanya saja aku membayangkan saja, hal apa yang membuatnya mau menyerahkan hidupnya melayani pria dan anaknya,"ucap Azhara."Aku juga tidak tau. Aku akan masak sebentar. Malam ini menginap lah,"ucap Gita beranjak."Tidak semudah itu, Git. Aku datang kemari juga ingin menambah bakat memasak. Aku bosan dengan masakan itu itu saja. Sebenarnya lebih mudah membeli, tapi memasak sendiri itu lebih seperti menambah skil. Aku juga ingin menjadi makhluk serba bisa. Lagipula tanpa kamu minta aku akan menginap,"ucap Azhara."Baguslah. Kemarin aku menambahkan beberapa perabotan di kamarmu,"ucap Gita mencuci sayur.Sementara Gita bersiap untuk memasak, Azhara masih asyik menelusuri tiap sudut bangunan itu. Seolah dirinya sudah lama tidak menginap."Kamu memang selalu baik. Tapi Gita kamu mau kemana? Kopermu terlihat penuh?"tanya Azhara melirik koper 16 inci di dekat kakinya."Besok ada kunjungan ke Surabaya,"ucap Gita mulai mengeluarkan semua peralatan masaknya seraya mengikat celemek di pinggang."Dan kamu belum tidur saat ini. Akh, coba saja aku ke Surabaya siang hari. Tapi sayangnya aku ke Surabaya di penerbangan malam esok hari. Gita, penghargaan di sudut kanan lemari terlihat baru. Kamu tidak memberitahu ku,"komentar Azhara."Itu hanya hadiah kecil saat kunjungan ke universitas,"ucap Gita tanpa melirik sahabatnya."Cukup terdengar hebat. Apa ada yang bisa ku bantu?"tanya Azhara penasaran menilik kegiatan gadis itu di dapur."Apa menurutmu menggoreng beberapa frozen food lebih baik daripada memutar film?"tanya Gita.Gadis itu terdiam sembari melihat bagaimana seseorang yang biasanya mengaduk erlenmeyer tengah mengaduk sayur. Dua hal berbeda namun sama-sama dirinya kuasai. Niatnya untuk memasak menjadi urung melihat percikan minyak saat menggoreng begitu liar."Heum. Sepertinya aku lebih baik memutar film saja. Eh kamu tau, Nindi rekan kerjaku mengira kita lesbi,"ucap Azhara memilih beberapa film membuatku tersengih."Yang benar saja. Aku cukup normal untuk menyukai lawan jenis. Hanya saja, sedang tidak ada yang ku sukai dan aku tidak berniat untuk merepotkan diri dengan semua itu,"ucap Gita menyajikan salad sayur dalam mangkuk besar beserta beberapa kawanan siomay goreng."Tidak ada yang kamu sukai atau belum ada yang kantongnya sebanding denganmu?"tanya Azhara terkekeh geli."Heuh. Aku sudah punya penghasilan sendiri. Alasan itu tidak masuk akal untukku,"ucap Gita jujur.Penghasilan yang dia dapatkan lebih dari cukup untuk mencukupi kebutuhannya. Untuk apa mencari pria dengan kantong tebal jika dia juga berkantong lebih dari cukup."Jadi pria yang seperti apa? Aku cukup baik dalam mencari kenalan pria dengan berbagai jenis dengan kesetiaan yang baik,"ucap Azhara."Entahlah aku juga belum memikirkannya lagi Azhara,"ucap Gita.Gadis itu tidak sedang sombong dengan semua perkataan dan fakta yang ada. Namun dirinya juga tidak tahu pria seperti apa yang mampu membuatnya terpikat. Dirinya sering menemui banyak pria dalam berbagai kesempatan dengan berbagai latar. Tapi tidak ada yang menarik.Drrt"Git, kamu sedang kencan dengan Altezza?" tanya Azhara menatap kaget nama yang tertera di panggilan.Sedangkan gadis yang dimaksud seolah terlihat biasa saja menggeser tombol hijau dan membesarkan suaranya. Gita tidak ingin menyembunyikan hal tidak penting pada sahabatnya itu."Apa pacarmu mulai berulah?"tanya Gita santai.Mendengar kalimat pamungkas Gita, Azhara mengurungkan niat bertanya lebih jauh. Bahkan dirinya malah tergelak kencang menertawai kebodohannya. Sejak kapan sahabatnya itu akan membuang waktu tanpa alasan."Hei. Jangankan memikirkan pacar, kamu bahkan sudah membuatku pusing saat ini. Kenapa harus mengabari ada pekerjaan keluar kota saat tengah malam? Aku bahkan belum menyiapkan apapun,"celoteh Altezza."Jangan salahkan aku. Celine sendiri yang memilih rekan untuk pekerjaannya,"ucap Gita jujur membuatnya terdengar mengerang frustasi."Kenapa harus ada Celine? Astaga entah semarah apa pacar ku ketika tahu,"ucap Altezza membuatnya menghela nafas bosan."Cemburu tanpa alasan juga tidak bagus. Apalagi dia tidak berhak melakukan itu, Altezza. Maaf karena sudah mengatakan ini,"ucap Gita tampak ragu.Sontak pertanyaan kian terdengar dari ponselnya. Suara penuh tanya itu berusaha ingin tahu rahasia apa yang dipegang gadis di balik ponsel. Namun gadis itu tidak sekejam itu membiarkan pria di seberang berduka di malam yang mulai larut."Katakan saja, Nona Gita. Ku mohon katakan saja. Aku lebih baik tau lebih awal,"mohon Altezza."Aku kemarin tidak sengaja bertemu dengannya di jalan. Dia sedang menggandeng seorang pria pemegang seperempat saham. Dengar, Altezza bukannya ingin membuatmu sedih dengan kenyataan sama berulang kali. Terkadang kita harus fokus dengan apa yang tengah kita usahakan dulu.Bukan sekali kamu menjadi pelarian gadis sepertinya. Gadis terbaik itu akan datang di waktu yang tepat, Altezza. Maaf membuatmu kembali sakit hati. Tapi ingat hari esok masih menanti. Jangan terpuruk dengan keadaan,"tutur Gita panjang lebar sebelum pria itu memutuskan mengakhiri panggilan.Gita hanya terdiam membisu kehilangan fokus dengan film yang tengah ditonton. Luka pegawainya juga terasa baginya. Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataan dunia memang pahit, bukan.Bunyi roda koper yang berpacu dengan lantai dingin bandara terasa seirama dengan derap langkah sneakers yang ku pakai. Seharusnya semalam aku tidur lebih cepat. Jadi tidak perlu terlambat seperti ini."Maaf atas keterlambatan saya, Pak. Saya pastikan tidak akan mengulangi lagi,"ucapku menyusul langkah general manager dan para komisaris besar perusahaan."Anda hanya terlambat tiga detik, Nona Gita. Tidak masalah menunggu perempuan sedikit lebih lama,"ucap pemilik saham terbesar perusahaan.Wajah menawan dan saham yang dimiliki sepadan dengan jumlah istrinya. Pria itu memiliki karakter tak kalah buruk dari playboy jalanan yang kerap meresahkan kaum hawa. Bedanya dengan harta yang dia miliki cukup untuk menarik perempuan. Entah selamanya maupun hanya semalam. I hope you understand what I mean."Bagi saya disiplin adalah segalanya. Tentu itu sangat mengganggu,"ucapku melangkah lebih cepat menjauhi pria aneh itu. Berdekatan dengannya hanya membawa aura negatif. Entah berapa banyak asiste
Author POVPesawat Boeing-737 yang baru saja tiba mendarat dengan mulus di atas landasan pacu Bandara Juanda. Seorang pria berjalan santai dengan menarik kopernya diiringi seorang perempuan dan satu pria berambut cepak yang terus waspada dalam segala kondisi."Sertu Sinta. Serka Aditya,"panggil pria berambut pendek memalingkan wajah sejenak membaca situasi."Siap,"ucapnya begitu tegas mengundang perhatian sekitar."Kita sedang dalam tujuan kenduri. Bukan sedang perjalanan dinas. Tidak perlu formal begitu. Setelah ini, kalian langsung menemui orangtua saja. Jangan sampai terlambat. Oh iya, saya tadi mau bertanya. Apa sudah ada informasi mengenai Riana? Saya sudah memberitahu Rindy memintanya mengantar ke Bandara,"ucap pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Baik, Pak. Tadi saya sudah menghubungi Mbak Rindy. Tapi belum ada informasi lagi. Saya sudah mengatakan memakai baju hitam pakai sneakers. Mungkin belum sampai Pak,"ucap Sinta menimpali.Pria itu menghela nafas pelan me
GITA POVMembawanya ke tempat ini benar seperti yang ku duga. Apa dia mulai gila memanggil sembarang orang sebagai ayahnya? Beruntung Celine dengan cepat bisa membawa Riana menjauh dari lokasi. Saat ini aku hanya bisa diam di depan Altezza yang menatapku penuh tanya."Apa kamu sudah gila? Ini acara besar bagi pengantin, Gita. Kenapa kamu harus mengejarnya?"tanya Altezza memijat pelipisnya.Suasana mungkin sudah beralih kondusif, namun beberapa wajah pembesar perusahaan ternyata ada disini sudah cukup membuatnya malu. "Aku tau salah, Altezza. Sungguh, anak kecil merepotkan,"ucapku hanya pasrah jika saja ada ultimatum masuk melalui emailnya.Bahkan aku sekarang juga sudah kehilangan nafsu makan. Sekalipun di ajak Altezza, kali ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Saat ini yang ku butuhkan hanya ruangan sepi untuk menenangkan diri. "Permisi, Mbak. Saya boleh duduk di sini?"tanya seorang pria tampaknya salah satu pembawa pedang tadi di susul temannya yang lain."Aku bukan pemilik kurs
Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana. Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.Padahal, itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas. "Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.Tapi mana mun
"Nona, nama Anda indah".UhukTelinga ku tidak sedang salah dengar kan. Sontak membuatku menoleh ke belakang tampak begitu saling memalingkan wajah. Apa pria di sebelah ku yang mengatakan itu?"Saya? Anda saja tidak mengenal saya,"ucapku cuek."Dyah Anggita Anindyaswari. Nama Dyah menunjukkan bangsawan Sunda pada masa Dyah Pitaloka,"ucap Dirga membuatku melenguh heran."Mengenal saya saja tidak. Anda sudah menerka asal saya. Apapun suku nya bukan menjadi pedoman pemberian nama. Lagian kalau saya Dyah Pitaloka pasti saya membalas dendam ke Majapahit bukannya bela pati,"ucapku membuatnya menghela nafas panjang. "Saya hanya berkomentar. Jika Anda tidak suka lupakan saja,"ucap Dirga pelan."Ada-ada saja. Kalau gitu, Mbak yang disana namanya Sinta artinya dia orang Jawa? Karena namanya tokoh Rama dan Sinta dalam Ramayana. Kemudian Mas disana namanya Aditya apa dia orang bercorak India dengan nama Adityawarman. Atau Mas yang disana namanya Adrian. Apa dia orang Barat? Kemudian Mas yang na
"Bawa saja, ini juga bawa. Aku bisa kesana dan beli lagi nanti,"ucap Azhara memasukkan banyak barang ke dalam ransel. "Duh, habis ini aku berpotensi langsung menikah kalau begini,"ucap Sinta menggeleng pelan."Ini juga perlu kamu bawa. Pakai kalau semisal ada kenduri. Dijamin langsung dapat suami,"ucap Azhara.Sementara aku hanya menatap keduanya malas. Dua orang itu ternyata sama bodohnya jika dipertemukan. Tunggu saja, tidak lama lagi bahkan mereka berdua akan kembali berulah. Lihatlah, entah berapa banyak barang yang akan dibawa Sinta. Mulai dari hair dryer, catokan, masker sampai semua jenis perlengkapan kecantikan dan oleh-oleh.Celine hanya tertawa sesekali bersama mereka. Aku harap gadis itu akan tetap normal meskipun bersama dengan mereka. Aku hanya khawatir kejiwaannya mungkin akan terganggu setelahnya. "Ayah, Tante Gita ajak ke Madiun juga. Sebentar saja, nanti baru kembali ke Surabaya,"ucap Riana malah menoleh."Nggak bisa, Nak. Nona Gita punya urusan disini,"ucap Dirga.
"Ya sudah, sama anak ku saja,"ucap Shafiya."Bercanda mulu dari. Sudah berbicara serius malah bercanda. Dia juga sudah punya istri, Bu Shafiya. Ada anaknya lagi. Lebih baik saya lajang seumur hidup kalau gitu,"ucapku mencuci piring membereskan meja makan.Suasana rumah yang selalu damai cukup membuat pikiran ku terkadang rileks dengan sendirinya. Kapan lagi telinga ku tidak terganggu bisingnya suara pabrik?"Kamu orang Kalimantan tapi logat Bugis, Kutai, Jawa. Gimana atuh?"tanya Shafiya membuatku membuang nafas sebal."Di Kalimantan semua etnis bertemu jadinya ya gini,"ucapku mengupas jeruk di atas meja. "IBUUU". Sapaan merusak telinga terdengar sumbang membuatku ingin mual saja. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang waras? Hah, ini wanita yang menitipkan Rania sewaktu di bandara."Kamu kira Ibu tuli kah? Bisanya keponakanmu kamu titipkan orang lain,"ucap Shafiya sebal."Tadi buru-buru, Bu. Dia Gita, kan?"tanya Rindy mengambil tempat di depan ku. "Iya, Mbak Rindy,"ucapku mena
"Manusia hanya lah makhluk fana. Tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah. Maka jika dia mengatakan dirinya sempurna maupun kesempurnaan sesungguhnya itu dusta belaka"Dyah Anggita Anindyaswari Rapat tinggal menunggu waktu di monitor untuk dimulai. Tapi aku heran dengan sekitar. Mengapa meja hari ini terlihat ada yang kosong? Siapa yang mengisi disana? Sepertinya kemarin semuanya hadir di sini. Apa ada yang absen atau izin?"Hari ini seperti agenda dari pertemuan ini, maka kami menyerahkan kepada Pak Wicitra delegasi dari Pupuk Anumerta di Petrokimia,"ucap Dhito membuat wajah senior harap harap cemas.Kapan lagi dapat tunjangan lebih besar? Aku harap siapapun yang berada di posisi itu benar-benar cakap dan bertanggung jawab. Bukan pria seperti Pak Daniel. Altezza terasa lebih baik dan lebih bijaksana dalam menjalin konsolidasi seperti ini."Baik, semuanya sudah melihat presentasi kemarin siang. Karena itu kami juga dengan sepakat juga telah memilih Nona Dyah Anggita Anindyaswari
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah