GITA POV
Membawanya ke tempat ini benar seperti yang ku duga. Apa dia mulai gila memanggil sembarang orang sebagai ayahnya? Beruntung Celine dengan cepat bisa membawa Riana menjauh dari lokasi. Saat ini aku hanya bisa diam di depan Altezza yang menatapku penuh tanya."Apa kamu sudah gila? Ini acara besar bagi pengantin, Gita. Kenapa kamu harus mengejarnya?"tanya Altezza memijat pelipisnya.Suasana mungkin sudah beralih kondusif, namun beberapa wajah pembesar perusahaan ternyata ada disini sudah cukup membuatnya malu."Aku tau salah, Altezza. Sungguh, anak kecil merepotkan,"ucapku hanya pasrah jika saja ada ultimatum masuk melalui emailnya.Bahkan aku sekarang juga sudah kehilangan nafsu makan. Sekalipun di ajak Altezza, kali ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Saat ini yang ku butuhkan hanya ruangan sepi untuk menenangkan diri."Permisi, Mbak. Saya boleh duduk di sini?"tanya seorang pria tampaknya salah satu pembawa pedang tadi di susul temannya yang lain."Aku bukan pemilik kursi, duduk saja,"ucapku cuek."Mbak, nggak makan? Nanti sakit,"ucap salah satu pria itu sebelum dibarengi dengan pertanyaan tidak berguna lainnya."Mbak, suka es buah, ya. Soalnya manis"."Makanannya ntar nangis loh, Mbak. Kalau nggak dimakan sama orang cantik kayak Mbak"."Mbak, mau makan apa nih biar Abang ambilkan?".Sepertinya kali ini aku harus memberi pelajaran untuk mereka. Bukan latar belakang melainkan etika dan ada baiknya tidak menjual latar untuk mempermainkan perempuan manapun."Apa setiap perempuan juga akan ditanya pertanyaan itu, Mas kerabat mempelai laki-laki?"tanyaku tersenyum lebar.Seolah terkejut dengan kalimat yang ku utarakan, mereka saling pandang sejenak. Entah bualan apalagi yang akan mereka keluarkan dari bibirnya itu. Aku bahkan sudah muak jika harus mendengar kalimat membosankan ini."Eh, enggak. Bukan begitu maksud kami, Mbak. Kalau dilihat, Mbak ini cocok jadi calon istri untuk komandan. Sama seperti sebuah rumah, sebuah batalion juga perlu ada ratu untuk membantu tugasnya,"ucap salah satunya."Cih, jika raja saja tidak bisa membangun dan menjaga sendiri rumahnya. Untuk apa dijadikan raja. Karena sejatinya kedudukan ratu bukan pembantu raja,"ucapku tak bisa menahan kekesalan.Mana mungkin istri dijadikan pembantu di rumah. Mereka seharusnya dijadikan ratu dan dimuliakan. Apa yang dikerjakan pun tidak berbicara tentang kedudukan tapi tentang tanggung jawab. Sedangkan ketika dia berjalan di sebuah kerumunan, dia akan selalu terlindung dan tidak semua orang bisa melihatnya."Pasti Mbak umurnya di atas 27 tahunan, nih". Aku tersenyum kecil mendengar penuturan mleset seperti demikian."Apa hubungannya dan mengapa Anda harus menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi?"tanyaku menatapnya serius."Karena mereka perempuan cerdas malah tersisih di masyarakat dan yang sok tau malah dijunjung tinggi. Bahkan belum tau apa-apa di lapangan seolah sudah menyabet gelar cumlaude. Padahal sebenarnya yang banyak tersisih itu bisa melahirkan anak emas di kemudian hari,"ucapnya lugas terdengar berbeda dari yang lain.Seorang pria mendekat membuat pria yang lain berdiri memberinya hormat. Apa dia atasan dari semua pria playboy jalanan ini?Mungkin.Apa peduli ku? Masalahnya, apa Altezza sedang berusaha menghabiskan makanan di meja prasmanan? Atau apa perempuan di sana membuatnya tertarik? Aku sudah bosan duduk diam mendengarkan ocehan tidak berguna mereka."Izin, silahkan duduk, Ndan,"ucap mereka bergantian.Ck, duduk saja butuh izin darinya. Memangnya siapa dia? Akh, semoga saja ada yang bisa menyelamatkan ku dari sini. Aku sungguh sudah bosan saat ini."Nona, saya Dirga Hadiraja Atmaja-,""Maaf menyela. Tapi apa tujuan Anda memperkenalkan diri?"tanyaku tak ingin berbelit.Sontak membuat wajah para pria di meja mendadak pucat. Memangnya apa salahnya hanya ingin to the point? Aku sangat tidak suka dengan bertele-tele karena hanya membuang waktu saja."Baiklah, Nona. Saya ayah dari anak perempuan yang Anda bawa tadi,"ucap Dirga membuatku mendongak.Oh, ini pria yang menjadi pokok permasalahan ku seharian ini. Membuat kekacauan dan mempermalukan diriku sampai ke tulang-tulang. Sungguh, ayah yang tidak bertanggung jawab."Apa Anda sudah gila membiarkan anak sekecil itu di bandara? Terlebih memberikan pada orang yang bahkan tidak Anda kenal. Seharusnya Anda terkena pasal perlindungan anak. Hah, Anda sudah membuat saya gila hanya karena anak itu merengek. Seolah saya orang yang tidak bertanggung jawab. Padahal saya bahkan tidak kenal anak itu,"ucapku berapi-api."Ada apa ini, Gita? Kenapa kamu sangat marah?"tanya Altezza baru tiba dengan dua piring makanan."Saya tau ada kesalahan, Nona. Saya mohon tetap tenang agar tidak mengundang perhatian,"ucap Dirga.Aku menarik nafas panjang meredakan kepala ku yang sudah mulai memanas. Bahkan aku sudah kehilangan akal sehat kh saat menyentuh titik emosi tertinggi seperti saat ini. Tampak dari siluet selongsong pedang mereka yang berkilauan wajahku memerah menahan emosi."Nona Dyah Anggita"Panggilan itu terdengar tidak asing membuatku segera berdiri bersamaan dengan Altezza menatap seorang pria berpakaian formal dengan perempuan disebelahnya."Untuk apa Diana disini?"bisik Altezza membuatku menginjak pelan kakinya.Bagaimana bisa dia berbisik sementara orang yang dibicarakan berada di depannya? Diana, adalah sekretaris pemilik perusahaan, Pak Ramli. Penampilannya bak model tak kalah cantik dibandingkan Celine maupun Stela. Akh, tidak. Semua sekretaris di perusahaan memiliki wajah menawan.Tapi bukan itu yang sedang membuatku tertarik saat ini. Pertanyaan dalam benak ku sama dengan pertanyaan yang dilontarkan Altezza."Pak, dia orang yang Anda cari,"ucap Diana membuatku membulatkan mata kaget.Apa ini tentang yang ku lakukan tadi? Aku bahkan sudah tidak bisa berpikir jernih tentang bahasan yang sedang dibahas dua manusia di depan ku."Oh ya. Nona Dyah Anggita ternyata masih muda. Membuat sesuatu dengan kompeten yang biasa dimiliki pegawai lama mampu Anda kerjakan. Saya tertarik dengan penyajian presentasi yang Anda lakukan nanti,"ucap pria itu membuatku menghela nafas lega."Terima kasih, Pak,"ucapku tidak ingin berbasa-basi.Tampak pria itu berbisik pada Diana membuat hati kecilku kembali bergejolak. Jangan sampai pria ini menanyakan tindakan ku yang tidak kompeten hari ini. Aku tidak punya jawaban lain untuk menjawab pertanyaannya."Saya ingin membicarakan mengenai presentasi besok jika Anda berkenan, Nona,"ucapnya membuatku bergidik ngeri."Anda bisa berpindah ke meja kami jika berkenan,"ucap Diana membuatku menoleh menatap Altezza khawatir."Tentu. Nona Gita akan kesana,"ucap Altezza membuatku mengangguk pelan menyetujui."Silahkan, Nona. Ladies first,"ucap pria itu mempersilahkan berjalan lebih dulu ke mejanya.Belum sempat beranjak, seorang pria menahan langkah ku."Tapi saya masih ada urusan dengan Anda, Nona,"ucapnya menahan ku.Astaga.Selain putrinya, apa pria ini berusaha merusak karier yang ku bangun? Apa tidak ada yang bisa menahannya sebelum berdiri di depan ku?"Akh, Anda bisa menemui saya saja dulu, Pak. Nona Gita sedang ada urusan mendesak. Anggap saja saya pengganti asistennya,"ucap Altezza menarik pria itu membuatku menghela nafas lega.Entah itu di kantor, atau di tempat umum seperti disini atasan memang selalu berbeda. Bahkan bukannya ikut mengantri, di meja ini semuanya sudah disediakan. Hah, apalah dayaku yang hanya remahan rengginang."Diana, saya ingin berbicara dengan Nona Dyah Anggita,"ucapnya membuatku menghela nafas pelan."Baik, Pak,"ucap Diana berlalu.Bahkan saat ini suasananya seolah menjadi hening. Suara MC yang memandu acara saja bahkan tidak berpengaruh padaku. Aku saat ini benar-benar tidak bisa berpikir jernih."Nona, Anda sudah lebih dahulu di perusahaan dibandingkan dengan saya. Tentu Anda tahu karakter general manager operasi begitu buruk dan tidak kompeten,"keluhnya membuatku mengingat perlahan."Pak Daniel maksud Anda,"ucapku membuatnya mengangguk pelan.Pria itu bukan hanya sangat meresahkan kaum hawa karena sering menggoda para sekretaris maupun karyawati tapi juga kinerjanya kurang optimal. Dirinya tidak punya kemampuan selain menyuruh ku atau Altezza saja. Selain itu dia kerap mengomentari gaya pakaian dan bentuk tubuh seluruh karyawati."Jika mengenai kinerja, mungkin bisa diperbaiki. Namun, saya rasa hampir seluruh karyawati di divisi laboratorium juga menaruh kritik mengenai sikapnya, Pak. Dari Pak Altezza juga melaporkan hal yang sama mengenai kritik karyawatinya,"ucapku."Lalu apa yang menjadi masalah jika kedua divisi bawahannya juga sudah tahu?"tanyanya membuatku berpikir sejenak sebelum berbicara."Bukannya Anda sendiri tahu, Pak Daniel adalah teman Pak Ramli. Kami tidak ingin kehilangan pekerjaan karenanya,"ucapku membuatnya mengangguk pelan."Tetapi pekerjaan tidak bisa dicampur aduk dengan kekuasaan. Mereka yang berkuasa tidak akan berpikir sebagai anggota keluarga. Karena itu termasuk KKN. Apalagi saat ini Papa tidak lagi memegang perusahaan. Besok biar saya tangani masalah ini,"ucapnya membuatku menghela nafas lega.Setidaknya ada solusi untuk satu masalah di antara banyak masalah yang ada. Sepertinya bersama pria muda ini perusahaan Pupuk Anumerta akan tumbuh pesat lagi ke depannya."Anda sedang ada pekerjaan mendesak, Nona Dyah Anggita Anindyaswari?"tanya nya membuatku menoleh."Saya saat ini sedang tidak ada pekerjaan yang mendesak, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"tanyaku penasaran."Akh, tidak. Sebenarnya saya juga hanya datang saja. Terkadang kita juga perlu datang di acara orang yang tersayang, Nona Dyah Anggita Anindyaswari,"ucapnya membuatku mencerna kalimatnya."Anda bisa memanggil saya Gita saja, Pak. Tapi maaf, maksudnya, Pak?"tanyaku enggan berpikir keras untuk hal yang tidak penting."Sebelum saya mendapatkan posisi saat ini, saya punya hubungan dengan Stela. Saat itu saya sedang melanjutkan pendidikan di Jerman sembari meneruskan cabang usaha disana. Sebuah hubungan jarak jauh tentu lebih banyak rintangan, Nona. Dan mungkin saja pria itu lebih baik dariku,"ucapnya seperti sad boy.Bahkan pemilik perusahaan juga bisa galau hanya karena ditinggal nikah? Astaga, dunia memang sudah dipenuhi dengan percintaan. Lihatlah, wajah lesunya. Apa menurutnya Stela akan sedih? Dia bahkan akan senang ada laki-laki yang mengharapkannya."Anda tidak bisa begini, Pak. Maafkan saya,"ucapku menarik lengannya mendekati bagian musik.Kaget dengan tindakan ku, bukannya menolak pria yang ku tarik malah ikut begitu saja seolah tidak berdaya."Anda bisa menyanyi, Nona Gita?"tanyanya membuatku berpikir sejenak."Sebenarnya tidak bisa, Pak,"ucapku menatapnya."Anda pernah dengar kalau suara vokal grup terdengar merdu karena dilakukan bersama. Tidak perlu cemas,"ucapnya membuatku mencerna pelan.Beberapa wedding organizer segera memakaikan mic wireless seolah sedang melakukan presentasi di lapangan. Semoga tindakan ini bisa menutup tindakan konyol ku sebelumnya. Aku berharap besar untuk itu."Pak, Anda yakin melakukan ini? Nona Gita tidak terlalu baik dalam menyanyi,"ucap Diana menghampiri."Tidak masalah, Diana. Anda hafal lagu Give Me your Forever?"tanyanya membuatku menggeleng cepat."Bagaimana kalau Photograph dari Ed Sheeran,"ucapku menawarkan salah satu yang cukup ku hafal.Pria itu hanya mengangguk paham sebelum akhirnya mengajak ku berjalan ke tengah. Sontak membuat MC segera mengerti maksud kehadiran kami sebelum akhirnya mempersilahkan."Selamat malam, semuanya. Saya Dhito ditemani kekasih saya, Gita ingin menghibur Anda sekalian,"ucapnya membuatku melirik sekilas wajah syok Stela.Maafkan aku, Stela. Ini demi karier dan juga menghibur pria yang sudah kau tinggalkan. Lagipula sekarang kamu tidak berhak senang ataupun sedih atasnya. Karena kamu juga sudah memiliki pria lain, batin ku sebelum menyambut kata-katanya.Suara merdu Dhito hanya membuatku membatu. Pria ini bukan lagi menyanyi tapi tengah konser. Apa tidak ada jasa lipsync disini? Rasa khawatir ku kian memuncak begitu telah mencapai reff yang dinyanyikan bersamaan.🎶So you can keep meInside the pocket of your ripped jeansHolding me closer 'til our eyes meetYou won't ever be alone, wait for me to come home🎶Benar katanya. Semoga suara sumbang ku tidak terdengar oleh suara tamu undangan yang di arahkan Diana ikut bernyanyi dan menyalakan lampu senter nya. Hah, Dhito kau cerdas. Akh ya kalau tidak cerdas dia akan lengser oleh para komisaris pembesar perusahaan.Sementara mataku selalu mencuri-curi lirik pada wajah Stela yang mulai kehilangan semangat. Bahkan dibujuk berulang kali oleh suaminya. Jika dia tidak termakan cemburu tidak bergunanya pasti akan tenang. Karena dirinya juga mengenal ku baik tidak akan kencan ataupun pacaran dengan siapapun.Dia bahkan sudah cukup tau hubungan yang kerap dianggap seluruh kantor sepasang kekasih bersama atasannya, Altezza itu hanya sepasang sahabat saja."Anda tidak keberatan dengan yang saya lakukan, Pak?"tanyaku berbisik pelan."Tidak, saya pikir itu cara baik untuk bahagia datang kemari. Terima kasih, Nona,"ucapnya mempersilahkan ku segera kembali ke tempat duduk."Nak Dhito, kenapa nggak bilang kalau lagi disini? Ini anak gadis tante,"ucap istri ketiga pemilik saham terbesar mengenalkan putrinya sebelum kalimat sejenis kian bermunculan."Nak Dhito, kapan milih pacarnya? Kok sudah ada aja. Tante kira masih sendiri?""Mama mu sudah akrab sama anak Tante, loh. Main ke rumah yuk,"Rentetan pertanyaan itu hanya membuatku jengah ingin segera beranjak saja. Namun tatapan Dhito memintaku tetap berada di tempat membuat tubuhku hanya membeku di tempat menulikan telinga. Tapi aku juga tidak heran untuk hal ini. Dhito adalah pemilik perusahaan saat ini.Bayangkan hidup putrinya bersama crazy rich mungkin sudah cukup membuat tentram hari tua. Terlebih tabungan dan deposito yang di kantongi. Sayangnya kegalauan Dhito bahkan tidak dilihat para gadis muda yang mereka bawa. Stela ku akui memiliki wajah yang manis rupawan.Tentang masa lalunya dan Dhito yang bermain di belakang saat melanjutkan pendidikan di luar negeri bukanlah urusan ku. Selama ini dia selalu baik, lalu untuk apa memendam dalam sesuatu tidak berbudi seperti itu? Mengherankan.Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana. Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.Padahal, itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas. "Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.Tapi mana mun
"Nona, nama Anda indah".UhukTelinga ku tidak sedang salah dengar kan. Sontak membuatku menoleh ke belakang tampak begitu saling memalingkan wajah. Apa pria di sebelah ku yang mengatakan itu?"Saya? Anda saja tidak mengenal saya,"ucapku cuek."Dyah Anggita Anindyaswari. Nama Dyah menunjukkan bangsawan Sunda pada masa Dyah Pitaloka,"ucap Dirga membuatku melenguh heran."Mengenal saya saja tidak. Anda sudah menerka asal saya. Apapun suku nya bukan menjadi pedoman pemberian nama. Lagian kalau saya Dyah Pitaloka pasti saya membalas dendam ke Majapahit bukannya bela pati,"ucapku membuatnya menghela nafas panjang. "Saya hanya berkomentar. Jika Anda tidak suka lupakan saja,"ucap Dirga pelan."Ada-ada saja. Kalau gitu, Mbak yang disana namanya Sinta artinya dia orang Jawa? Karena namanya tokoh Rama dan Sinta dalam Ramayana. Kemudian Mas disana namanya Aditya apa dia orang bercorak India dengan nama Adityawarman. Atau Mas yang disana namanya Adrian. Apa dia orang Barat? Kemudian Mas yang na
"Bawa saja, ini juga bawa. Aku bisa kesana dan beli lagi nanti,"ucap Azhara memasukkan banyak barang ke dalam ransel. "Duh, habis ini aku berpotensi langsung menikah kalau begini,"ucap Sinta menggeleng pelan."Ini juga perlu kamu bawa. Pakai kalau semisal ada kenduri. Dijamin langsung dapat suami,"ucap Azhara.Sementara aku hanya menatap keduanya malas. Dua orang itu ternyata sama bodohnya jika dipertemukan. Tunggu saja, tidak lama lagi bahkan mereka berdua akan kembali berulah. Lihatlah, entah berapa banyak barang yang akan dibawa Sinta. Mulai dari hair dryer, catokan, masker sampai semua jenis perlengkapan kecantikan dan oleh-oleh.Celine hanya tertawa sesekali bersama mereka. Aku harap gadis itu akan tetap normal meskipun bersama dengan mereka. Aku hanya khawatir kejiwaannya mungkin akan terganggu setelahnya. "Ayah, Tante Gita ajak ke Madiun juga. Sebentar saja, nanti baru kembali ke Surabaya,"ucap Riana malah menoleh."Nggak bisa, Nak. Nona Gita punya urusan disini,"ucap Dirga.
"Ya sudah, sama anak ku saja,"ucap Shafiya."Bercanda mulu dari. Sudah berbicara serius malah bercanda. Dia juga sudah punya istri, Bu Shafiya. Ada anaknya lagi. Lebih baik saya lajang seumur hidup kalau gitu,"ucapku mencuci piring membereskan meja makan.Suasana rumah yang selalu damai cukup membuat pikiran ku terkadang rileks dengan sendirinya. Kapan lagi telinga ku tidak terganggu bisingnya suara pabrik?"Kamu orang Kalimantan tapi logat Bugis, Kutai, Jawa. Gimana atuh?"tanya Shafiya membuatku membuang nafas sebal."Di Kalimantan semua etnis bertemu jadinya ya gini,"ucapku mengupas jeruk di atas meja. "IBUUU". Sapaan merusak telinga terdengar sumbang membuatku ingin mual saja. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang waras? Hah, ini wanita yang menitipkan Rania sewaktu di bandara."Kamu kira Ibu tuli kah? Bisanya keponakanmu kamu titipkan orang lain,"ucap Shafiya sebal."Tadi buru-buru, Bu. Dia Gita, kan?"tanya Rindy mengambil tempat di depan ku. "Iya, Mbak Rindy,"ucapku mena
"Manusia hanya lah makhluk fana. Tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah. Maka jika dia mengatakan dirinya sempurna maupun kesempurnaan sesungguhnya itu dusta belaka"Dyah Anggita Anindyaswari Rapat tinggal menunggu waktu di monitor untuk dimulai. Tapi aku heran dengan sekitar. Mengapa meja hari ini terlihat ada yang kosong? Siapa yang mengisi disana? Sepertinya kemarin semuanya hadir di sini. Apa ada yang absen atau izin?"Hari ini seperti agenda dari pertemuan ini, maka kami menyerahkan kepada Pak Wicitra delegasi dari Pupuk Anumerta di Petrokimia,"ucap Dhito membuat wajah senior harap harap cemas.Kapan lagi dapat tunjangan lebih besar? Aku harap siapapun yang berada di posisi itu benar-benar cakap dan bertanggung jawab. Bukan pria seperti Pak Daniel. Altezza terasa lebih baik dan lebih bijaksana dalam menjalin konsolidasi seperti ini."Baik, semuanya sudah melihat presentasi kemarin siang. Karena itu kami juga dengan sepakat juga telah memilih Nona Dyah Anggita Anindyaswari
Bunyi monitor berpadu dengan dinginnya ruangan membuatku membuka mata menatap sekitar. Anisa menatapku penuh dengan kata-kata yang ingin segera dikeluarkan dari bibirnya."Kamu kira aku sekarat? Untuk apa kamu memasang alat medis sebanyak ini? Aku mau pulang saja,"ucapku membuatnya mengajukan 5 jarinya."Kak. Sekarang aku dokternya. Lagian kenapa kakak nggak makan? Apa gaji pokok dan tunjangan 30 jutamu tidak bisa menyisakan waktu untuk makan?"omel Anisa menyebalkan."Aku hanya GERD saja. Sudah jangan berlebihan,"ucapku sadar kondisi tubuh.Aku sadar punya penyakit itu. Hanya saja kali ini begitu ceroboh sampai lupa dan berakhir di rumah sakit. Terlebih dokternya saudara ku sendiri. Aku sudah membayangkan cerewetnya perempuan di depan mataku."Hanya? Kakak pingsan 10 jam dan mengatakan hanya?"tanya Anisa gemas."Bertindak lah sebagai dokter dan jangan berlebihan. Aku ingin pulang dan tidur di rumah saja,"ucapku membuatnya menatap tidak percaya."Kak-,""Celine, coba beritahu pada Alte
Author POV Seorang pria bersandar di teras rumah menikmati liburan tanpa beban pekerjaan sejenak sebelum memulai hal baru. Putri kecilnya sekarang sudah terlelap di kelamnya malam. Sementara dirinya masih terjaga memikirkan kembali kalimat perempuan asing yang ditemuinya beberapa waktu lalu.Dirinya memang terlalu ceroboh dalam menjaga anak. Bagaimana jika yang dititipkan adalah penculik? Bukannya dramatis, namun nyatanya banyak kasus yang bisa menimpa anak-anak. "Sudah malam kok masih diluar, Nak?"tanya Setyo mengambil tempat di sebelahnya."Nggak bisa tidur, Rama,"ucap Dirga mengusap lengannya beberapa kali karena terkena gigitan nyamuk."Memikirkan Gita?"tanya Setyo membuatnya malah tergelak."Gita itu hanya orang asing yang sekedar bertemu, Rama,"ucap Dirga menuangkan teko kopi ke gelas yang baru."Heh, Rama itu yang menggendongmu dari bayi sampai sekarang. Tidak biasanya kamu berdiam diluar begini,"ucap Setyo.Pria itu paham betul apa yang sedang putranya hadapi. Riana setiap h
Gita POV Air mataku meluncur bebas begitu seluruh kalimat akad terucap dengan lancar dari lisan Dyo beberapa jam yang lalu. Saudara perempuan ku telah menemukan pasangannya masing-masing. Rumah ini benar-benar akan sepi. Telinga ku sampai panas mendengar kalimat menyenangkan tetangga budiman.Membuatku beranjak mengambil kunci mobil meninggalkan rumah. Bukannya aku tidak ingin menyaksikan saudara ku bahagia. Tetapi aku sedang tidak ingin merusak hari bahagia dengan campur aduk tetangga budiman. Jalanan kota begitu lengang bahkan menyisakan mobil ku sendiri di lampu merah. Memikirkan pekerjaan sepertinya lebih baik. Pagi ini Celine sudah mengirimkan 12 email yang berisi beberapa pekerjaan. Kunjungan Dhito ke departemen ada atau tanpa adanya diriku sudah seperti dugaan. Dia cukup paham dengan kondisi departemen yang begitu ulet. "Coy. Kamu dimana? Aku mau numpang tidur".Bunyi pesan suara Azhara terdengar begitu lelah. Sepertinya dia juga akan menumpang mengisi amunisi di apartemen.
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah