Bunyi roda koper yang berpacu dengan lantai dingin bandara terasa seirama dengan derap langkah sneakers yang ku pakai. Seharusnya semalam aku tidur lebih cepat. Jadi tidak perlu terlambat seperti ini.
"Maaf atas keterlambatan saya, Pak. Saya pastikan tidak akan mengulangi lagi,"ucapku menyusul langkah general manager dan para komisaris besar perusahaan."Anda hanya terlambat tiga detik, Nona Gita. Tidak masalah menunggu perempuan sedikit lebih lama,"ucap pemilik saham terbesar perusahaan.Wajah menawan dan saham yang dimiliki sepadan dengan jumlah istrinya. Pria itu memiliki karakter tak kalah buruk dari playboy jalanan yang kerap meresahkan kaum hawa. Bedanya dengan harta yang dia miliki cukup untuk menarik perempuan. Entah selamanya maupun hanya semalam.I hope you understand what I mean."Bagi saya disiplin adalah segalanya. Tentu itu sangat mengganggu,"ucapku melangkah lebih cepat menjauhi pria aneh itu.Berdekatan dengannya hanya membawa aura negatif. Entah berapa banyak asisten yang menjadi korban tamparan istrinya. Seharusnya yang mendapatkan tamparan itu suaminya. Tapi sepertinya harta dan wajahnya itu sudah membutakan matanya."Silahkan, Nak Ayana,"ucap seorang pria tua, manager divisi keuangan.Pria itu tidak bermasalah di lapangan dan sebagai suami tidak meresahkan istrinya. Tapi tidak mungkin pria itu yang ku inginkan. Sungguh Azhara sepertinya perlu memperbaiki pikirannya. Berbeda dengannya yang hidup di lingkungan cenderung glamor. Sekalipun di industri memiliki penghasilan sepadan tidak cukup membuat penghuninya sama.Pramugari yang sibuk menata kabin first class saja sudah cukup membuatku bisa membaca keadaan. Gadis tinggi semampai dengan tubuh bak model majalah fashion. Karakternya yang lemah lembut itu sungguh memukau hati di sekitarnya. Akh, lagi pula aku belum menemukan keinginan untuk menikah dan mengurus anak. Bermain hanya membuang waktu.Semua itu terlalu merepotkan untuk seorang Ayana Diantha. Aku selalu berdoa agar jodohku diberikan saja pada orang lain. Jadi dia tidak akan menunggu sampai menua. Sepertinya doa ku terkabul. Sampai sekarang sekalipun banyak yang berusaha mencarikan jodoh, hasilnya nihil. Tidak ada satupun yang tulus maupun sesuai.Jus tomat yang tersaji di depan mata membuatku menghela nafas pelan. Buah bewarna merah yang terasa menggoda itu hanya berlaku pada orang lain saja. Tidak padaku."Mbak saya boleh minta air putih saja? Saya alergi tomat,"ucapku sopan."Baik Mbak,"ucap pramugari mengganti minuman yang tersaji.Mataku menatap awan di ketinggian dari jendela sebelah sembari menikmati penerbangan. Pekerjaan Azhara seindah ini namun risikonya saat salah perhitungan bisa menyita nyawanya sendiri. Sekalipun melompat keluar tidak ada yang menjamin keselamatannya.BughTubuhku refleks tegap setelah sesuatu yang berat menimpa perut. Mataku melirik seorang anak kecil melemparkan senyum padaku. Wajah yang disertai banyak liur nyaris membuatku mual dibuatnya. Balita mana yang dilepaskan orangtuanya disaat penerbangan berlangsung?Akh, bukan. Kalimat itu kurang tepat. Orangtua mana yang melepaskan balitanya saat penerbangan berlangsung? Apa dia sudah kehilangan akal? Apa menurutnya ini taman bermain? Dan kenapa harus aku yang mendapatkan anak berliur ini?Mataku melirik kemeja yang basah terkena liurnya. Masalahnya aku tidak berdiri di tengah kabin hingga membuatnya tidak bisa memilih jalan lain. Aku bahkan duduk di sisi paling ujung single seat. Lirikan mata tajam yang tanpa sengaja terpaku begitu saja membuatnya terdiam menatapku horor sebelum berlalu pergi.Setelahnya hanya terdengar tangisan dari sisi lain kabin. Semua itu semakin seperti kutukan bagiku. Bagaimana bisa setiap waktu aku harus bermasalah dengan anak-anak dimanapun berada? Apa aku ini memiliki takdir buruk seperti itu?"Maaf Mbak. Tadi saya sempat ke kamar mandi. Tidak tahu kalau ada anak kecil kemari,"ucap Celine membuatku menghela nafas pelan."Tidak masalah, Celine. Gita juga harus belajar menjadi Ibu juga nanti kalau sudah menikah,"ucap pria muda seusiaku dari divisi operasi.Mataku menatapnya terlihat lebih baik dari apa yang sudah terbayang di kepala. Tampilannya terlihat jauh lebih segar dengan kemeja dan jasnya."Kalau saya mau, Pak. Tidak masalah Celine, kembali saja ke tempatmu. Lagipula sepertinya Anda terlihat menyimpan banyak beban di balik wajah segar itu,"ucapku menarik senyum kecil."Wah, Anda sangat salah kali ini. Saya sudah memikirkan lagi kalimat Anda dan memang tidak ada gunanya. Lagipula saya hanya khawatir jodoh saya datang di semua waktu. Jadi, saya harus selalu terlihat rapi dong. Nah, Anda pasti perlu ini,"ucap Altezza menyerahkan lembar tisu basah membuatku terkekeh.Sangat disayangkan pria baik sepertinya selalu berakhir naas dalam dunia percintaan. Tapi ku pikir itu lebih baik sebelum tercebur dalam jurang pernikahan."Anda itu pria tapi suka koleksi benda seperti ini?,"tanyaku menggeleng tak percaya."Bukannya suka koleksi. Tapi semua itu terkadang kita perlukan beberapa waktu. Ada untungnya juga kabar dari Celine semalam. Jika saja dia mengajak divisi surveyor yang terjadi bukan seperti ini. Aku mungkin masih kepikiran untuk banyak hal,"ucap Altezza membuatku mengangguk mengerti."Aku tidak melihat Stela beberapa hari ini. Kemana dia?,"tanyaku."Stela mengambil cuti menikah. Bukannya kamu sudah diberitahu Celine perjalanan ini sekaligus mengunjungi Stela. Bagi manager seperti kita di hari pertama tidak dibutuhkan komisaris,"ucap Altezza membuatku mengangguk pelan."Sepertinya itu alasan Celine menyusun jadwal untukku kemarin. Baiklah,"ucapku bersandar kembali menikmati perjalanan.Semoga saja."Mbak. Maaf, keterlambatan saya membuat Anda terhambat. Ibu Anda berusaha menghubungi perusahaan berulang kali,"ucap Celine membuatku memutar bola mata malas."Tidak masalah. Maaf merepotkanmu,"ucapku tidak heran mendapati perempuan itu menghubungi.Sebentar lagi hari libur, pasti menghubungi memintaku pulang dengan menyertakan tambahan membawa pulang calon menantu. Entah apa yang dia pikirkan saat ini?"Aku siap kamu kenalkan lagi kok, Git,"ucap Altezza terkekeh.Pria ini agak aneh ku pikir. Apa menjadi pria langganan yang ku bawa menghadap kedua orangtua itu hal yang membanggakan? Entahlah, setidaknya dia membantu. Meskipun aku yakin kedua orangtua ku tau. Kami hanya dua orang yang saling berencana membohongi mereka hanya saja menghargai akting aktornya."Sepertinya begitu. Dengan siapa Stela menikah? Teman?"tanyaku membuang fokus perhatian."Dengan seorang tentara dan sepertinya aku juga akan mempunyai asisten baru. Tentara harus siap dimana saja ditempatkan dan ya, tidak mungkin dirinya harus terus menerus berpisah dari suaminya. Memang mencari jodoh itu susah,"keluh Altezza."Kamu masih normal. Lagipula kamu baru menginjak usia 34 tahun. Masih banyak kesempatan bertemu dengan perempuan yang tepat. Berbeda dengan ku. Perempuan berusia 31 tahun hanya menjadi bahan cibiran tetangga. Sudah tidak ikut membantu perekonomian, kerjaannya ikut campur,"ucapku mengeluarkan isi kepala.Selain malas ditanya pasangan, beberapa alasan malas tinggal di rumah adalah menjadi bahan gunjingan tetangga. Bukannya aku tidak ingin bersosialisasi, tapi jika terus menerus mendengar itu hanya memanaskan telinga saja. Apartemen jauh lebih menarik bagaimanapun bentuknya."Aku pernah mendengarnya sesekali. Sudah pernah ikut kencan buta?,"tanya Altezza membuatku menggeleng pelan."Merepotkan. Aku tidak akan melakukan hal sia-sia untuk mencari pria. Lagipula aku tidak tertarik,"ucapku menutup perbincangan kembali tenggelam dalam ketenangan menjelang mendarat.-&-Iringan komisaris segera dijemput helikopter menuju ruang pertemuan di Gresik. Sementara manager divisi yang tidak sebanding seperti kami masih diberikan keleluasaan menikmati perjalanan dinas."Celine. Kemarin itu saya sudah coba perbaiki sesuai keinginan Pak Ramli mengenai perubahan data yang akan tersaji. Apa kamu sudah mengecek kembali?,"tanyaku sembari membenarkan letak kacamata hitam menghalau silau sinar mentari Bandara Juanda.Dibandingkan dengan gambaran khayal novelis, aku malah terlihat sangat sederhana. Penampilan juga tidak akan mengubah cara pikir tetangga kanan kiri rumahku. Berhias hanya membuat semakin banyak terdengar celotehan tidak berguna."Pak Ramli kemarin juga meminta ku mengoreksi data. Ada apa dengan Pak Ramli? Sepertinya tidak biasa dirinya berbeda seperti ini?"tanya Altezza heran membolak-balikkan layar tablet nya."Sudah saya perbaiki, Mbak. Maaf menyela tapi dari informasi yang saya terima, Pak Ramli sudah menyerahkan kekuasaan pada putranya. Tapi belum diangkat dengan resmi,"ucap Celine membuatku mengangguk paham.Pergantian posisi seperti itu seharusnya diberi tahu pada seluruh karyawan. Hal itu terkait kinerja pimpinan agar bisa dimengerti anggota. Tapi sebagai bawahan tidak ada yang bisa dilakukan selain menurut."Kopermu kali ini akan kamu isi apa dari kota ini, Git?"tanya Altezza."Entahlah, aku saja bahkan tidak memikirkan buah tangan yang mungkin saja bisa ku dapat disini. Lagipula kita sering kesini, untuk apa membawa buah tangan? Apa kamu sedang membujukku berwisata kuliner?"tanyaku."Kamu memang selalu cerdas, Gita,"ucap Altezza membuatku menggeleng tak percaya."Aku sepertinya harus fokus dengan pertemuan mitra kali ini. Terlebih kamu tau sendiri pimpinan sekarang berganti. Kalau mau berkeliling ajak saja Celine,"ucapku."Yang ada Celine kepikiran pekerjaan terus. Mana mungkin aku bawa sekretaris tanpa bosnya. Eh, ngomongin masalah data yang minta di ubah putranya Pak Ramli sepertinya memang suka hal berbau hijau, ya,"ucap Altezza membolak-balik slide.Belum sempat mataku melirik slide yang ditunjukkan Altezza, sesuatu terasa menghempas tubuh pelan. Beberapa saat hingga sedikit terasa terhuyung."Mbak. Ini Riana, ya. Titip salam buat Dirga,"ucap seorang perempuan asing menyerahkan gadis berusia 7 tahun padaku."Maaf saya tidak mengenal dan tidak mempunyai hubungan dengan Anda,"ucap Celine segera menyusulnya."Saya tidak punya waktu berdebat karena ada urusan lain,"ucapnya memasuki taksi melaju meninggalkan bandara.Mataku menatap heran Altezza sejenak sebelum akhirnya tawanya pecah. Ada apa ini? Apa aku menjadi korban trend anak milenial menyesatkan, setelah menjadi korban trend menguji amarah? Apa sekarang tidak ada trend yang lebih waras lagi?"Berhenti tertawa Altezza!,"titahku kesal.Belum selesai jetlag yang ku alami, sudah menerima hal aneh seperti ini. Sebenarnya apa dunia benar-benar sedang memberiku kutukan aneh itu?"Tante, ayo ke tempat Ayah,"ucapnya menarik baju ku."Kamu ikut saya, ya,"ucap Celine segera mengambil alih.Dirinya cukup paham emosiku yang tidak pernah terkendali di dekat anak kecil. Bahkan kamera saja mulai bergerak mengintai dimana-mana."Nggak mau. Aku maunya sama Tante,"ucapnya memeluk kakiku yang terbalut sneakers."Kita tinggalkan saja. Tempat ini ramai, pasti ada yang akan mengambilnya. Kita sudah terlalu lama disini. Pasti manager yang lain sudah menunggu,"ucapku melirik jam tangan enggan berpikir repot."Tante,"ucapnya memeluk kakiku terlepas begitu saja saat mengambil langkah panjang meninggalkan bandara.Sebuah mobil SUV berhenti disertai dengan beberapa orang mengenakan logo mitra perusahaan membuatku segera melangkah yakin. Namun teriakan dan tangisan menyebalkan gadis kecil itu membuat riuh sekitar."Mbak. Mentang-mentang masih muda, apa susahnya mengakui anak?"ucap seorang wanita menarik koperku."Maaf, jangan mengganggu,"ucap Celine berusaha membuat jarak memudahkan langkahku dan Altezza."Astaga. Ternyata anak muda yang tidak mau mengakui anaknya itu ada ya. Mentang-mentang sekarang sudah punya pacar mapan lupa anaknya. Masa anaknya ditinggalkan di bandara"."Anaknya kurus sekali seperti tidak diasuh berbeda dari Ibunya yang glamor"."Mohon menjaga jarak. Aduh,"ucap Celine terjerembab di atas lantai dengan begitu memalukan baginya."Mbak. Orang yang sulit punya keturunan selalu berharap punya. Kamu yang sudah dikasih malah ditinggal. Ibu macam apa kamu?"tanya seorang perempuan membalik paksa tubuhku."Berdirilah Celine. Mari kita abaikan saja. Altezza, bisakah membantu menarik koper?"tanya ku enggan meladeni membantu Celine berdiri memasuki mobil."Tentu saja. Kali ini demi popularitas di jagat maya orang-orang terlalu agresif,"ucap Altezza mendukung argumen ku."Tante. Jangan tinggalkan aku,"ucapnya memelas membuatku menghela nafas menarik tangannya lepas dari kaki.Tanpa peduli cibiran dan kamera, tujuanku saat ini ingin segera menuju pusat informasi bandara. Tangisan dan jeritan yang begitu berisik tidak menghalangi langkah jenjang ku menyelesaikan pekerjaan ku."Permisi. Saya mau menyerahkan anak yang kehilangan keluarganya. Saya tidak tau anak ini dan saya yakin ini hanya bagian konten kreator saja. Saya tidak punya hubungan apapun dengan anak ini,"ucapku lugas."Baik Nona. Terimakasih dan maaf telah mengganggu kenyamanan Anda. Kemari sayang siapa namamu? Biar kami temukan dengan cepat orangtuamu,"ucap penjaga loket pusat informasi bandara berusaha merayunya."Riana Elvina Atmaja. Ayah yang menitipkan ke Tante. Riana janji nggak nakal. Tapi jangan tinggal Riana disini,"ucapnya memeluk erat kakiku."Dengar. Saya tidak kenal Ayahmu,"ucapku sebal."Sepertinya anak ini mengenal Anda, Nona. Akan lebih baik jika Anda membawanya saja,"ucap penjaga membuatku mengerutkan kening tidak percaya.Membawa anak kecil?Cih, mimpi buruk apa yang tengah ku alami semalam? Bahkan dia bertingkah seolah mengenal diriku dengan baik. Entah pria mana yang tidak bertanggung jawab meninggalkan anaknya sesuka hati."Maaf, tapi saya punya urusan lain. Rekan saya sudah menunggu,"ucapku melangkahkan kaki menjauh.Author POVPesawat Boeing-737 yang baru saja tiba mendarat dengan mulus di atas landasan pacu Bandara Juanda. Seorang pria berjalan santai dengan menarik kopernya diiringi seorang perempuan dan satu pria berambut cepak yang terus waspada dalam segala kondisi."Sertu Sinta. Serka Aditya,"panggil pria berambut pendek memalingkan wajah sejenak membaca situasi."Siap,"ucapnya begitu tegas mengundang perhatian sekitar."Kita sedang dalam tujuan kenduri. Bukan sedang perjalanan dinas. Tidak perlu formal begitu. Setelah ini, kalian langsung menemui orangtua saja. Jangan sampai terlambat. Oh iya, saya tadi mau bertanya. Apa sudah ada informasi mengenai Riana? Saya sudah memberitahu Rindy memintanya mengantar ke Bandara,"ucap pria itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Baik, Pak. Tadi saya sudah menghubungi Mbak Rindy. Tapi belum ada informasi lagi. Saya sudah mengatakan memakai baju hitam pakai sneakers. Mungkin belum sampai Pak,"ucap Sinta menimpali.Pria itu menghela nafas pelan me
GITA POVMembawanya ke tempat ini benar seperti yang ku duga. Apa dia mulai gila memanggil sembarang orang sebagai ayahnya? Beruntung Celine dengan cepat bisa membawa Riana menjauh dari lokasi. Saat ini aku hanya bisa diam di depan Altezza yang menatapku penuh tanya."Apa kamu sudah gila? Ini acara besar bagi pengantin, Gita. Kenapa kamu harus mengejarnya?"tanya Altezza memijat pelipisnya.Suasana mungkin sudah beralih kondusif, namun beberapa wajah pembesar perusahaan ternyata ada disini sudah cukup membuatnya malu. "Aku tau salah, Altezza. Sungguh, anak kecil merepotkan,"ucapku hanya pasrah jika saja ada ultimatum masuk melalui emailnya.Bahkan aku sekarang juga sudah kehilangan nafsu makan. Sekalipun di ajak Altezza, kali ini aku benar-benar tidak nafsu makan. Saat ini yang ku butuhkan hanya ruangan sepi untuk menenangkan diri. "Permisi, Mbak. Saya boleh duduk di sini?"tanya seorang pria tampaknya salah satu pembawa pedang tadi di susul temannya yang lain."Aku bukan pemilik kurs
Bunyi lift saat tiba di lantai yang ku tuju memenuhi telinga ku. Aku merasa tidak pulang terlalu malam. Namun tidak biasanya terasa sunyi di sekitar hotel. Altezza juga sudah menghilang entah kemana. Tangan ku menggeser pelan kartu kamar hotel sebelum bergegas merebahkan tubuh ke atas ranjang. Namun semua rencana itu berakhir menjadi wacana saat melihat gadis kecil sedang tertidur pulas begitu rapi. Ayahnya mendidik gadis ini dengan keras sampai tidur pun teratur. Sayangnya dia masih terlalu lembut mengenai perasaannya.Padahal, itu lah yang sebenarnya mampu mengubah total karakter dan kebiasaan dari orang tersebut. Mataku tidak butuh waktu lama untuk kembali terpejam pulas. "Bunda, kapan pulang? Riana rindu Bunda,"ucap gadis itu memelukku hangat dengan mata terpejam.Akh, aku sudah mau tidur malah menjadi penasaran maksudnya. Tidak, Gita sekarang saat yang tepat untuk tidur. Lagipula gadis itu akan kembali ke pangkuan Ayahnya besok pagi, batinku enggan berpikir keras.Tapi mana mun
"Nona, nama Anda indah".UhukTelinga ku tidak sedang salah dengar kan. Sontak membuatku menoleh ke belakang tampak begitu saling memalingkan wajah. Apa pria di sebelah ku yang mengatakan itu?"Saya? Anda saja tidak mengenal saya,"ucapku cuek."Dyah Anggita Anindyaswari. Nama Dyah menunjukkan bangsawan Sunda pada masa Dyah Pitaloka,"ucap Dirga membuatku melenguh heran."Mengenal saya saja tidak. Anda sudah menerka asal saya. Apapun suku nya bukan menjadi pedoman pemberian nama. Lagian kalau saya Dyah Pitaloka pasti saya membalas dendam ke Majapahit bukannya bela pati,"ucapku membuatnya menghela nafas panjang. "Saya hanya berkomentar. Jika Anda tidak suka lupakan saja,"ucap Dirga pelan."Ada-ada saja. Kalau gitu, Mbak yang disana namanya Sinta artinya dia orang Jawa? Karena namanya tokoh Rama dan Sinta dalam Ramayana. Kemudian Mas disana namanya Aditya apa dia orang bercorak India dengan nama Adityawarman. Atau Mas yang disana namanya Adrian. Apa dia orang Barat? Kemudian Mas yang na
"Bawa saja, ini juga bawa. Aku bisa kesana dan beli lagi nanti,"ucap Azhara memasukkan banyak barang ke dalam ransel. "Duh, habis ini aku berpotensi langsung menikah kalau begini,"ucap Sinta menggeleng pelan."Ini juga perlu kamu bawa. Pakai kalau semisal ada kenduri. Dijamin langsung dapat suami,"ucap Azhara.Sementara aku hanya menatap keduanya malas. Dua orang itu ternyata sama bodohnya jika dipertemukan. Tunggu saja, tidak lama lagi bahkan mereka berdua akan kembali berulah. Lihatlah, entah berapa banyak barang yang akan dibawa Sinta. Mulai dari hair dryer, catokan, masker sampai semua jenis perlengkapan kecantikan dan oleh-oleh.Celine hanya tertawa sesekali bersama mereka. Aku harap gadis itu akan tetap normal meskipun bersama dengan mereka. Aku hanya khawatir kejiwaannya mungkin akan terganggu setelahnya. "Ayah, Tante Gita ajak ke Madiun juga. Sebentar saja, nanti baru kembali ke Surabaya,"ucap Riana malah menoleh."Nggak bisa, Nak. Nona Gita punya urusan disini,"ucap Dirga.
"Ya sudah, sama anak ku saja,"ucap Shafiya."Bercanda mulu dari. Sudah berbicara serius malah bercanda. Dia juga sudah punya istri, Bu Shafiya. Ada anaknya lagi. Lebih baik saya lajang seumur hidup kalau gitu,"ucapku mencuci piring membereskan meja makan.Suasana rumah yang selalu damai cukup membuat pikiran ku terkadang rileks dengan sendirinya. Kapan lagi telinga ku tidak terganggu bisingnya suara pabrik?"Kamu orang Kalimantan tapi logat Bugis, Kutai, Jawa. Gimana atuh?"tanya Shafiya membuatku membuang nafas sebal."Di Kalimantan semua etnis bertemu jadinya ya gini,"ucapku mengupas jeruk di atas meja. "IBUUU". Sapaan merusak telinga terdengar sumbang membuatku ingin mual saja. Apa semua orang di rumah ini tidak ada yang waras? Hah, ini wanita yang menitipkan Rania sewaktu di bandara."Kamu kira Ibu tuli kah? Bisanya keponakanmu kamu titipkan orang lain,"ucap Shafiya sebal."Tadi buru-buru, Bu. Dia Gita, kan?"tanya Rindy mengambil tempat di depan ku. "Iya, Mbak Rindy,"ucapku mena
"Manusia hanya lah makhluk fana. Tidak ada sesuatu yang sempurna selain Allah. Maka jika dia mengatakan dirinya sempurna maupun kesempurnaan sesungguhnya itu dusta belaka"Dyah Anggita Anindyaswari Rapat tinggal menunggu waktu di monitor untuk dimulai. Tapi aku heran dengan sekitar. Mengapa meja hari ini terlihat ada yang kosong? Siapa yang mengisi disana? Sepertinya kemarin semuanya hadir di sini. Apa ada yang absen atau izin?"Hari ini seperti agenda dari pertemuan ini, maka kami menyerahkan kepada Pak Wicitra delegasi dari Pupuk Anumerta di Petrokimia,"ucap Dhito membuat wajah senior harap harap cemas.Kapan lagi dapat tunjangan lebih besar? Aku harap siapapun yang berada di posisi itu benar-benar cakap dan bertanggung jawab. Bukan pria seperti Pak Daniel. Altezza terasa lebih baik dan lebih bijaksana dalam menjalin konsolidasi seperti ini."Baik, semuanya sudah melihat presentasi kemarin siang. Karena itu kami juga dengan sepakat juga telah memilih Nona Dyah Anggita Anindyaswari
Bunyi monitor berpadu dengan dinginnya ruangan membuatku membuka mata menatap sekitar. Anisa menatapku penuh dengan kata-kata yang ingin segera dikeluarkan dari bibirnya."Kamu kira aku sekarat? Untuk apa kamu memasang alat medis sebanyak ini? Aku mau pulang saja,"ucapku membuatnya mengajukan 5 jarinya."Kak. Sekarang aku dokternya. Lagian kenapa kakak nggak makan? Apa gaji pokok dan tunjangan 30 jutamu tidak bisa menyisakan waktu untuk makan?"omel Anisa menyebalkan."Aku hanya GERD saja. Sudah jangan berlebihan,"ucapku sadar kondisi tubuh.Aku sadar punya penyakit itu. Hanya saja kali ini begitu ceroboh sampai lupa dan berakhir di rumah sakit. Terlebih dokternya saudara ku sendiri. Aku sudah membayangkan cerewetnya perempuan di depan mataku."Hanya? Kakak pingsan 10 jam dan mengatakan hanya?"tanya Anisa gemas."Bertindak lah sebagai dokter dan jangan berlebihan. Aku ingin pulang dan tidur di rumah saja,"ucapku membuatnya menatap tidak percaya."Kak-,""Celine, coba beritahu pada Alte
Suara tangisan bayi bersahutan dengan lirihnya suara tangis seorang perempuan mengisi sebuah kamar bersalin. Di hari selasa minggu kedua bulan Juni, seorang bayi laki-laki lahir ke dunia secara normal. Perempuan itu masih tersedu beberapa saat bayinya lahir ke dunia. Sementara si jabang bayi segera di adzani ayah mertuanya.Tangisannya masih terdengar hingga perempuan itu dibersihkan dari darah yang berceceran. Beberapa perawat yang membantu persalinan tampak keheranan. Pasalnya dia masih menangis hingga proses persalinan usai. Bahkan belum memasuki proses menjahit bekas persalinan. Ibu mertua yang baru tiba bersama suaminya segera melangkah masuk mencium kening menantunya menenangkan."Sabar ya, Nduk. Rasanya memang perih setelah melahirkan,"ucap Shafiya memeluknya menenangkan."Bun, Mas Dirga belum sampai ya?".Sontak ibu mertuanya mendongak menatapnya lekat sebelum tersenyum kecil. Sepertinya dia bukan menangis hanya untuk menangisi rasa pedihnya. Dia menangis pun karena merindukan
Suara minyak yang meletup-letup semenjak tadi Subuh memberikan perhatian sendiri untuk ku. Sosok perempuan paruh baya itu menyiapkan sarapan di dini hari untuk seisi rumah. Termasuk menyeduh susu untuk ku dan Rania. Perempuan itu lantas menoleh sebelum bibir ku sempat berbicara. "Kok sudah bangun. Istirahat saja yang cukup, Nduk,"ucap Bunda membuatku tersenyum kecil."Kenapa Bunda repot-repot?"tanyaku."Ini nggak merepotkan. Dulu Bunda harus selalu bangun pagi buat menyiapkan sarapan Mas Dirga, Mas Dewa dan Mas Dipta sebelum berangkat ke kantor. Ayahmu itu terlalu nol besar untuk pengalaman memasak. Kata Dirga, kamu masih sering nangis sebelum tidur. Apa ada yang rese di asrama?"tanya Bunda membuatku mendongak.Lantas aku hanya tersenyum tipis seraya menggeleng. Siapa yang berani mengganggu istri komandannya? Aku hanya menangis karena semua yang ada di pikiran ku sendiri. Belakangan angan ku menjadi liar membayangkan kejadian buruk menimpa Dirga dan membuatnya meninggalkan ku hanya b
Udara dingin kota Jakarta setelah hujan pagi ini memberikan suasana segar bagi penghuninya. Mungkin juga menyebalkan karena harus menerjang banjir. Setelah kondisi ku membaik, aku diperbolehkan pulang pagi ini. Tentu saja dengan mengirimkan surat keterangan sakit ke kantor. Sementara Dirga kini benar-benar overprotektif.Dia sudah meminta ku sarapan nasi kuning segunung. Belum lagi susu yang membuatku muak. Sekarang segala jenis buah-buahan ini. Belum lagi sayur yang sudah menunggu untuk makan siang. Sepertinya dia ingin membuatku kekenyangan hingga tidak bisa bergerak. Baru saja dibicarakan, pria itu sudah menelfon ku. Apa dia tidak punya pekerjaan lain yang bisa dilakukan?"Tumben telfon,"ucapku."Kamu kan biasanya sibuk kerja di jam segini, Dek. Kamu nggak ada keinginan makan apa gitu?"tanya Dirga."Cukup. Aku sudah bingung bagaimana cara menghabiskan semua makanan ini,"ucapku membuatnya tergelak."Ya sudah. Saya sudah menyediakan berbagai keperluan untuk mengisi waktumu. Coba buka
Cinta itu memang tidak memandang pada siapa dirinya akan hadir dan menyapa. Mungkin itulah kalimat yang sering kita dengar selama ini. Setelah badai menerpa dan aroma tidak sedap akibat gagalnya perjodohan karena ku, aku mengambil alih segalanya. Aku tidak bisa mencegah Sarah setelah diriku sendiri jatuh pada laki-laki yang usianya terpaut jauh dari ku.Dirga berpikir, aku pasti mengalami tekanan batin setelah semua mulut berbicara. Sayangnya, mental ku sudah kuat semenjak bekerja di pabrik bertahun-tahun. Aku sudah terbiasa menghadapi berbagai ucapan ketus manusia saat di pabrik dahulu. Itu tidak membuatku lantas kuyu dan kehilangan arah. Kalimat mereka hanya komentar atas segala tindak tanduk. Hanya saja Dirga tidak tahu hal itu dan terus khawatir. Pria itu pula yang diam-diam meminta kekasih Sarah untuk datang ke kota ini beberapa hari lebih cepat. Dia tidak mau membuatku semakin terasing di dalam keluarga. Tapi aku pun tidak mau jika ada yang mengalami badai kedua seperti Dirga.
Rintik hujan mengguyur kota Jakarta hari ini membuatku berharap tidak menimbulkan banjir. Pasalnya Dirga tengah ke pasar bersama dengan Rania. Mataku melirik tanaman yang tumbuh subur di samping rumah. Tanaman yang Dirga katakan hanya mekar sesekali itu memang tidak kunjung berbunga.Sama halnya seperti tandusnya perasaan Nanda yang harus menerima kenyataan calon istrinya memang tidak akan siap menikah dengannya. Pria itu mengerti bahwa memang dia hanya dijadikan pelampiasan semata untuk keinginan orang tuanya. Hanya saja rasa yang sudah terlanjur bermekaran itu harus berguguran sebelum waktunya.Keluarganya pun mengerti dengan baik penjelasan baik dari Nanda maupun Dirga. Lantas meminta pria itu menikah sesuka hatinya saat dia pun telah siap dan cocok dengan seorang perempuan. Mungkin di mata orang lain aku terlihat seperti perusak hubungan. Nyatanya untuk apa hubungan semu itu harus bersemi. Aku tidak rela Nanda harus menjalani seperti yang Dirga rasakan saat itu.Di sisi lain, aku
Setiap tempat punya ciri khas.Aku pikir kalimat itu memang benar-benar nyata. Berbeda dengan Pupuk Anumerta yang seringkali memunculkan obrolan ringan di sela jam istirahat. Sepanjang hari aku hanya menghabiskan waktu menyimpan suara tanpa mengungkapkan sedikit pun. Semua orang di tempat ini lebih individualis dibandingkan di Pupuk Anumerta.Ingin sekali aku bercerita pada Dirga tentang sunyinya suasana baru ku setiap kali dia menghubungi menanyakan bagaimana kantor baru. Sayangnya pria itu akan menjadi jauh lebih khawatir. Sepertinya aku hanya kurang terbiasa dan membaur dengan mereka saja. Suasana makan siang kali ini terasa sedikit lebih sepi. "Mbak, karyawan baru dari Pupuk Anumerta?".Pertanyaan itu membuatku mendongak menatap seorang gadis membawa makan siangnya seraya tersenyum lebar. Gadis muda itu terlihat begitu ramah membuatku lantas tersenyum hangat. Dia mungkin menjadi orang pertama yang mengajak ku berbicara sepanjang berada di departemen."Saya juga karyawan baru, Mba
Suasana begitu riuh ketika berhenti di depan rumah dinas Dirga membuatku menoleh heran. Pria itu tidak banyak berkomentar segera menarik tangan ku mengajak turun. Sontak riuh terompet hingga confetti yang berhamburan begitu melangkah masuk membuatku tersenyum lebar."Selamat datang kembali, Bu Dirga. Saya turut berduka cita untuk kondisi yang menimpa Ibu. Semoga Allah memberikan ketabahan dan keikhlasan,"ucap Bu Chandra memelukku hangat."Maaf sudah banyak merepotkanmu, Mbak,"ucapku tidak enak hati."Akh, tidak usah merendah begitu. Biasanya Bu Dirga juga sudah menyiapkan anggota. Saya cuman mengawasi saja. Ya ampun Rania sudah besar,"ucapnya menatap gadis di belakang ku.Di antara banyaknya orang, aku menemukan Azhara berada di barisan paling belakang membuatku segera beranjak mendekat. Aturan di militer membuat segala hal diurutkan berdasarkan tingkat jabatan. Padahal aku sudah sering mengatakan untuk meniadakan hal tersebut untuk kehidupan sehari-hari. Sejatinya pangkat ini hanyala
Helaan nafas untuk ke sekian kalinya terdengar lirih di kedua telinga. Berkas pemindahan tugas pun telah tercecer di atas meja selepas perbincangan panjang kami. Belum lagi beberapa buah tisu di keranjang sampah turut melengkapi sajian malam. Tidak cukup sampai disitu, berbagai dokumen Rania tumpah ruah di atas meja. Dirga memejamkan mata seraya mengusap wajahnya kasar membiarkan kepalanya dingin terlebih dahulu. Sedangkan aku hanya diam memandangi berbagai berkas di atas meja. Rania tidak berani berkutik memilih bergelayut di lengan ku. Nova kurang ajar itu malah membeberkan perkara kondisi kehamilan yang ku jalani."Rania. Kamu kembalilah ke kamarmu dulu. Ayah mau berbicara dengan Bunda,"ucap Dirga membuatku menatap nanar Rania."Bunda tidak bersalah, Ayah,"ucap Rania perlahan beranjak seraya menutup pintu. Belum saja aku membuka suara, Dirga memberikan kelima jarinya menahan ku. Dia tidak sedang ingin mendengar penjelasan dari ku sedikitpun. Pria itu mengambil berkas pemeriksaan
Pov DirgaKehilangan anak bukanlah sesuatu duka biasa. Sepertinya dengan kalimat itu bisa menggambarkan bagaimana perasaan ku saat ini. Beberapa saat setelah mendarat di Halim Perdanakusuma dengan segala rangkaian penyambutan dan perayaan, Azhara mendatangi rumah ku. Tidak cukup disitu, perempuan itu pun didampingi sang suami menyatakan kabar duka. Rama dan Bunda pun tidak luput menceritakan pada ku tentang kabar itu.Semua orang seolah berusaha memberitahu ku untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan pada Gita. Padahal tanpa semua kalimat itu pun aku tahu, dia lah yang paling terluka. Lagipula aku hanya sedih bukannya kecewa. Aku tidak kecewa padanya atas kejadian ini. Justru aku kecewa dengan diriku sendiri. Entah bagaimana dia memandang ku hingga enggan menceritakan berita duka ini.Apakah dia segan atau hanya tidak ingin mengganggu?Pertanyaan itu seolah berputar mencari jawaban. Kita berdua adalah sepasang suami istri. Tetapi mengapa saling canggung untuk bercerita seolah