"Untuk pertama kalinya, aku nyaman dengan seseorang setelah kejadian waktu itu. Apakah kali ini semua akan lebih baik?”
**
“Tipe idealku? Dia? Gak mungkinlah!” jawabku dengan tegas.
“Benarkah?”
Lagi-lagi ia menggodaku. Aku tahu, pasti aku yang akan kalah jika terus menjawabnya. Lebih baik aku diam.
“Oh ya, jam istirahat nanti ke taman belakang ya! Akum au ngenalin kamu ke temenku yang lain,” ungkapnya yang sekaligus mengalihkan topik pembicaraan kami barusan.
Tunggu, dia bilang mau mengenalkanku? Apa-apaan ini? Kenapa rasanya seperti ia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?
“Kita hanya teman dan aku hanya memperjelas status kita,” sambungnya yang seakan membaca pikiranku.
Sial, aku benar-benar malu sekarang. Ditambah senyuman mengejek dari pria disebelahku.
“Ingat! Kau harus datang! Karena aku tidak menerima penolakan!” tegasnya yang setelah itu beranjak dari bangku karena bel sudah bunyi.
Aku pun masih menatap kepergiannya dengan senyum tipis dan yang ada dalam pikiranku sekarang adalah kabur darinya. Memangnya Cuma dia yang bisa bermain-main? Aku juga bisa, asal Ibu tidak tahu.**
Bel sudah berbunyi menandakan jam istirahat dimulai, tapi aku sama sekali tidak beranjak dari kursi dan diam-diam menatapi Sandra yang sedang sibuk merapikan rambutnya.
“Ada apa? Kenapa kau terus melirikku?” tanya Sandra yang menyadari pandanganku.
“Emm … bukan apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu ke kantin. Kau mau?”
“Tidak, karena aku akan makan siang dengan Tommy. Mungkin kau bisa menikmati makan siangmu sendiri,” ucapnya tanpa menatapku.
Kurasa gadis ini masih marah dengan kejadian tadi pagi. Tapi bagaimanapun, aku tidak peduli. Aku akan meminta maaf padanya nanti.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi lebih dulu. Good bye!” pungkasku yang langsung beralih dari bangku dan menuju ke kantin.
Namun, Langkah yang awalnya maju itu tiba-tiba berbalik Ketika aku teringat akan ucapan Nicky tadi pagi. Pria itu pasti akan mencariku keseluruh tempat, tapi yang jelas ada satu tempat yang tidak akan ia masuki, yaitu toilet perempuan. Aku harus cepat-cepat kesana sebelum pria itu menemukanku.
Ceklek! Ctik!
Aku mengunci salah satu bilik kamar mandi yang kumasuki dan menunggu di dalam sampai jam istirahat selesai.“Alexi! Kenapa kau tidak suruh saja Nicky untuk berhenti mengganggu Tamara? Lagi pula, apa menariknya Tamara sampai Nicky harus mengejarnya?” tanya suara Liza yang kukenal.Dari dulu, gadis itu selalu pencemburu. Kali inipun, dia tetap sama. Apa dia menyukai Nicky? Ah, tapi itu bukan urusanku.
“Liz, kau sama sekali tidak tahu apa pun. Jadi, jangan mencampuri urusan Nicky! Biarkan saja dia melakukan yang ia suka dan satu hal, ia sama sekali tidak merepotkanmu, jadi kau juga jangan merepotkannya!” tegas Alexi yang entah mengapa nada suaranya menjadi tinggi.
Aku yang hanya bisa menguping pembicaraan mereka menjadi tambah penasaran, apa yang sebenarnya mereka bicarakan?
“Tapi, apa Nicky benar-benar tertarik pada Tamara?” tanya Liza yang lagi-lagi membuat suasana canggung.
Namun, aku juga ingin tahu, apa jawaban dari Alexi. Mungkinkah ia akan menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’.
“Sepertinya dia sangat tertarik pada Tamara,” jawab Alexi yang membuatku langsung terdiam.
Entah kenapa, rasa déjà vu menghinggapiku lagi. Aku jadi teringat tentang masa lalu. Padahal, masa lalu itu harus kulupakan.
“Sudahlah, ayo kita Kembali! Mereka pasti menunggu kita!” ajak Alexi yang baru mematikan kran air wastafel.Setelah itu, aku tak mendengar lagi suara mereka dan toilet ini menjadi sangat sepi. Aku bahkan merasa sedikit ketakutan meski ada ponsel yang menemaniku. Ah … kapan bel masuk berbunyi?
Ceklek!
Aku mendengar pintu toilet terbuka, namun tidak ada suara sama sekali. Apakah orang tersebut memang sengaja memelankan Langkahnya dan diam?
Tok! Tok!
Ketukan pintu itu membuatku tertegun dan buru-buru mematikan ponselku. Lalu, dengan cepat, aku juga mengangkat kakiku supaya tidak Nampak dari luar. Entah siapapun itu, aku harus tetap berjaga-jaga.
“Apa ada orang di dalam?” tanya suara itu begitu dalam, tapi mampu membuatku terdiam.
“Halo?”
Ada hal yang tidak kusangka bahwa Nicky berhasil menemukan tempat persembunyianku. Padahal, aku berusaha untuk menjauhinya.
Ah … bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Terus diam atau keluar menghadapinya?“Sampai kapan kau akan diam? Apa jangan-jangan, kau memang sengaja melakukannya?”
“Apa yang kau lakukan sampai sini? Kau kan tahu ini toilet perempuan,” balasku akhirnya.Mungkin, aku terlalu takut. Seharusnya aku diam saja, tapi mulut ini tidak mau menurut. Aku benar-benar sadar dengan semuanya.
“Aku mencarimu, karena kau tidak menerima ajakanku. Ya lebih tepatnya, kau sengaja menghindariku, bukan?”
“Kau tahu itu, lalu kenapa masih berusaha? Aku bahkan sangat heran dengan tingkahmu.”
“Entahlah. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Kumohon keluarlah sekarang! Aku janji tidak akan menyakitimu jika kau keluar sekarang!”
Ucapannya itu seakan mengancamku untuk tidak main-main. Tapi, bagaimana bisa aku keluar disaat aku benar-benar tidak menginginkannya? Apalagi, pria ini seperti akan memarahiku.
“Aku tidak mau! Pergilah! Jangan temui aku lagi!” suruhku yang tidak mengindahkan permintaannya.
Beberapa saat, aku tak mendengar lagi suaranya. Apa dia masih diluar? Atau dia sudah pergi?
Ah … aku bahkan tidak bisa membayangkan jika aku keluar dan tertangkap olehnya.Kring! Kring!
Aku mengutuki bunyi bel itu, mengapa dia berbunyi disaat posisiku masih tidak jelas? Apakah aman? Atau tidak?
“Nick, apa kau masih diluar?” tanyaku yang sedang mengetes keadaan luar.
Ah … aku tidak bisa terus di dalam, aku bisa terlambat ke kelas. Apa aku keluar saja dengan cepat dan buru-buru lari? Pasti dia tidak akan bisa menangkapku.
Ceklek!
Aku membuka pintu bilikku dengan pelan dan berusaha untuk tetap tenang. Entah kenapa, aku merasa aku sedang menghindar dari monster atau makhluk menyeramkan. Padahal, dia hanya manusia biasa, tapi aku begitu takut menghadapinya.
“Hei!”
Sudah kuduga, Nicky tidak akan pergi semudah itu. Tapi, ini sudah bel masuk, apa dia akan terus menungguku?
“Bagaimana? Kau suka dengan permainan ini? Sembunyi-sembunyi dan menunggu penangkap datang? Jujur, ini sangat seru, bukan?” Pertanyaan yang keluar itu mungkin terkesan biasa jika orang lain yang menanyakannya. Tapi berbeda dengan Nicky.
“Apa yang kau inginkan? Aku sama sekali tidak paham!” ucapku yang sudah kesal.
Tapi lihatlah pria ini! Mengapa ia terus tersenyum padahal pembahasan kita sama sekali tidak menyenangkan?
“Aku tidak menginginkan apa pun. Aku hanya ingin dirimu saja,” jawabnya dengan tampang yang sulit kumengerti.Ah … aku semakin tidak paham. Pria ini memang aneh, tapi terkadang aku menyukai Sebagian sifatnya? Apakah kali ini akan berbeda dengan sebelumnya?
"Bagaimana bisa aku terus melangkah disaat semua itu terjadi?”**“Semua pria selalu mengatakan hal yang sama. Aku tahu itu,” balasku tanpa menatap wajahnya.Aku lalu mencoba pergi, tapi pria ini mencekal lenganku. Ia takkan melepasku jika terus begini. Apa yang harus kulakukan? Padahal ini sudah waktunya masuk ke kelas?“Beri aku kesempatan, baru aku akan melakukan!”Lagi-lagi dia mengatakan hal yang aneh, memangnya kesempatan apa yang harus kuberikan?“Kesempatan? Aku tidak paham. Memangnya apa yang bisa kau tunjukkan? Rasa sayangmu kepadaku? Atau sesuatu yang lain?” balasku yang terkesan meremehkan.“Apa kau bisa memegang kata-kataku? Aku hanya ingin mendengarnya,” celetuknya yang masih belum menyerah.“Baiklah. Aku bisa memegang kata-katamu. J
"Aku kesal, karena aku merasa iri.”**“Kau benar. Aku dan gadis pemarah ini sangat cocok,” ungkap Nicky yang malah setuju dengan pendapat Alexi.Aku pun hanya bergidik ngeri dengan ungkapannya. Memang darimana kami terlihat cocok? Dari kaca pembesar?“Lalu, apa kalian akan jadian?” tanya Alexi yang semakin membuatku terdiam.Aku yakin, Alexi memang sengaja memancing kami berdua. Ia pasti ingin tahu sejauh mana hubungan kita. Padahal, aku dan Nicky sama sekali tidak akan sampai kearah sana. Semoga, Nicky tidak menjawab pertanyaan Alexi.“Mungkin,” balas Nicky yang langsung mengerutkan keningku.“Memangnya apa yang salah jika kita jadian? Aku bahkan menginginkan itu setelah Tamara menerimaku,” lanjutnya sambil melirikku.Aku tidak percaya, dia terus berbicara
"Ini catatan terakhirku. Nanti aku akan Kembali lagi.”**“Tom! Hentikan geli!” pintaku saat tangannya itu terus menggelitikku.“Tidak mau!” balasnya dengan nada seperti anak kecil.Tapi, aku tidak tahan dan langsung memaksa tangannya untuk diam. Setidaknya untuk beberapa menit aku bisa berhenti tertawa. Namun, kenapa pria dihadapanku ini malah memasang wajah sedih? Padahal aku tidak melakukan hal yang buruk. Dasar manja!“Kenapa? Kau marah?” godaku sambil menyentuh pipinya dengan lembut.“Kau sih!”“Apa lagi?” tanyaku balik.Tapi bukannya menjawab, ia langsung memelukku Kembali. Sama seperti dulu, Ketika ia kesal, ia akan memelukku dan aku menepuk punggungnya. Akhirnya, kita Kembali Bersama, meski ada kain tipis yang memisahkan. Setidaknya, peras
Aneka makanan mengisi meja makan yang kala itu masih kosong dan beberapa lilin ikut menghiasi suasana. Lalu, makan malam pun dimulai.“Paman! Apa kau suka dagingnya?” tanyaku yang tak sabar.“Ya, aku suka. Kau membuatnya sangat lezat,” puji Paman yang membuatku langsung tersenyum gembira.Ah … leganya mendengar Paman menyukai masakanku. Aku menjadi lebih antusias untuk mempelajari resep-resep baru agar bisa memasakan makanan yang lebih enak.“Dagingnya terlalu banyak lada,” keluh Ibu disaat aku baru saja senang.Lagi-lagi, ia memprotes masakanku ini. Padahal, aku tidak meminta pendapatnya. Mengapa dia terus berkomentar?“Emm … apa tidak enak, Mom?” tanyaku balik.“Ya.”“Jasmine, jangan bicara seperti itu!” Protes Paman Harisson membelaku.Aku pun hanya bisa diam dari pada ikut campur dan menimbulkan masalah. Lagi pula,
Aku menatap jam tanganku, menunggu kapan Alexi akan selesai berbincang dan memakan makan siangnya. Karena ini sudah terlalu lama dan aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggu.“Kau bosan?” tanya Nicky yang selalu saja tepat sasaran.“Tidak.”“Bohong!”Astaga, pria ini mulai lagi. Kenapa dia selalu saja tak percaya dengan perkataanku? Aku kan hanya ingin dia berhenti bicara.“Bagaimana jika kita keluar dan mencari udara segar?” tawarnya yang membuat semua mata tertuju kepadaku.“Tidak, aku ingin disini saja,” balasku yang sama sekali tidak berniat.“Ayolah! Kau kan bosan.”Astaga, kapan ia akan menyerah dan membiarkanku untuk tenang? Aku bahkan menjadi pusat perhatian atas suaranya yang lantang.“Pergilah Tam! Aku tahu kau bosan,” timpal Alexi yang mendukung supaya aku pergi Bersama Nicky.Ah … aku benar-benar menyesal s
"Maaf,” ucapku sesuai yang diinginkan.Bagaimana? Ia senang? Kalau tidak aku bisa mengulanginya sampai ribuan kali. Dan membuatnya bosan. Bukankah itu hal yang bagus?“Tam, kau tidak tulus,” keluh Sandra yang tidak puas.Baiklah, dia memang benar. Lagi pula, mana mungkin aku bisa mengatakan sesuatu yang tulus? Apa lagi untuknya. Seharusnya, ia sadar diri untuk tidak memaksaku. Karena semua akan sia-sia.“Maaf, aku tidak akan menyakitimu lagi,” ucapku dengan wajah yang penuh penyesalan.Padahal, itu semua hanya pura-pura dan dia terlalu bodoh untuk memahaminya.“Terima kasih, Tam. Aku senang. Kau bisa Kembali lagi menjadi dirimu. Mulai sekarang, tetaplah seperti ini!”Wah wah, apa dia sedang menasehatiku? Apa dia berpikir dirinya lebih baik? Dasar! Lihat saja nanti! Aku akan membuatmu m
Ibu memakirkan mobilnya di tepi jalan lalu keluar untuk membeli minuman. Matanya masih begitu sembab dan terkadang mengeluarkan air mata. Aku heran, kenapa dia begitu sedih? Padahal aku tidak merasa demikian.Ring! Ring!Ponsel Ibu berbunyi, apa yang harus kulakukan? Apa kujawab saja? Tapi, bagaimana jika itu telepon penting? Aku takut tidak bisa menyampaikan pesannya dengan baik dan membuat Ibu kesusahan.Ring! Ring!Astaga, sepertinya aku harus mengangkatnya. Tapi nomor siapa ini? Aku sama sekali tidak mengenalinya dan Ibu tidak memberikan nama diatasnya.“Halo?” sapaku lebih dulu setelah mengangkatnya.“Apakah ini nomor Ibu Jasmine?” sahut suara itu dan terdengar seperti seorang pria.“Ya, anda siapa ya?”“Oh, apa Ibu lupa saya? Saya pria yang pernah anda temui
Paman menuangkan susu ke gelasku. Membiarkanku untuk minum lebih dulu. Namun, aku menolak dan memberikan gelasku kepada Sandra. Karena aku berpikir seorang tamu harus dilayani pertama kali.“Jadi, kau tidak memberitahu Ibumu kau disini?” tanya Ibu pada Sandra.“Tidak.”Wow, bukankah dia terlalu nekat? Bagaimana jika Ibunya khawatir? Apa dia tak peduli? Oh! Kurasa tidak! Ibunya kan tidak peduli. Dan bisa dibilang dia sengaja kesini untuk mendapat perhatian Ibuku. Licik sekali.“Baiklah, Tante akan memberitahunya nanti. Sekarang habiskan makananmu!”“Dan kau juga, Tam!” sambung Ibu yang langsung kuiyakan.Paman lalu membuka pembicaraan baru dan aku malas menimpalinya. Mungkin, hanya Ibu yang tertarik membalasnya. Karena aku dan Sandra fokus menghabiskan sarapan.“Oh ya, bagaimana j
"Apa yang kau baca?” celetuk Nicky dan membuatku langsung menyembunyikan surat itu ke tas.Untung, ia belum sempat membaca dan aku hanya perlu mengatakan hal lain agar ia tak curiga.“I-ini surat Ibuku. Aku tak sengaja membawanya,” ucapku berbohong.“Oh, begitu?”“Emm … ya.”“Kalau gitu, apa aku boleh membacanya?”Hah? Dia mau membacanya? Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya. Aku harus mencari alasan lain dan menyuruhnya untuk pergi. Bisa gawat jika ia tahu ini surat dari Tommy.“Emm … aku malu,” jawabku.“Kenapa? Apa suratnya aneh?”“I-iya.”Astaga! Aku tidak tahu apa yang kukatakan? Padahal aku bisa mengatakan hal lain, tapi kenapa aku tidak mengucapkannya? Ah gila!
Aku terdiam cukup lama setelah menerima kecupan itu. Sangat lama sampai aku tidak sadar Paman mulai menjamah bagian tubuhku yang lain. Astaga! Apa yang sudah terjadi? Mengapa aku tidak bisa menggerakan tubuhku dan pasrah menerima belaiannya?“P-paman ….”“Ada apa? Hmm?” balas Paman yang masih sibuk mencium aroma tubuhku.Sungguh, aku begitu bingung sekarang dan mencoba untuk menjauhkan tubuh Paman dariku. Tapi, itu begitu sulit, serasa tak memiliki tenaga sama sekali. Lalu, aku harus bagaimana? Tidak mungkin aku menikmatinya, bukan? Pasti aku sudah gila bila menerimanya.“P-paman, lepaskan ….”Aku berusaha melepaskan tangannya yang hampir menyentuh dadaku, untung saja berhasil tapi langsung berubah ke pahaku. Owh … ini benar-benar gila. Aku tidak kuat jika terus ia sentuh. Tapi, bagaimana aku bisa kabur? Disaat ia men
Aku memandang keluar jendela, melihat banyaknya bintang mewarnai angkasa, melihat gelapnya malam, dan mendengar suara yang sunyi. Entah kenapa, Hal-hal sekecil ini sangat menenangkan hatiku dan memberiku sedikit kelegaan, meskipun hanya sesaat.Dulu, Ketika aku masih kecil, Nenek dan Kakek selalu mengajakku keluar untuk melihat bintang. Mereka lalu menceritakan banyak hal agar membuatku tertidur dan tak menunggu Ibu. Dan setiap pagi, aku pasti akan menangis karena mereka tidak membangunkanku.Padahal, aku selalu ingin menjadi orang pertama yang menyambut Ibu sepulang kerja. Dan Aku ingin menjadi orang yang ia peluk Ketika sampai ke rumah. Tapi, aku tak bisa mewujudkannya saat itu.Seandainya, aku bisa bercerita dengan diriku dimasa lalu, aku hanya ingin bilang, supaya dia tak terlalu berharap banyak pada Ibunya. Karena itu hanya akan membuatnya kecewa.“Tam!” panggil Ibu.
"Kalau iya, kau mau apa?” tanyaku membalas perkataan Nicky.“Aku tidak mau apa-apa.”Hah? Aku tidak mengerti. Tapi sudahlah, aku harus memaksanya untuk ikut pergi dari sini. Lagi pula, apa susahnya mengikutiku? Aku bahkan tak meminta bayaran darinya.“Kenapa kau terus memaksaku?” tanya Nicky yang benar-benar bingung.Aku pun juga bingung harus menjawabnya dengan apa. Karena aku tidak memiliki alasan yang masuk akal untuknya. Mungkin kalau berkata jujur, ia malah semakin tidak mau pergi dari sini. Betapa menyebalkannya itu.“Memangnya kenapa? Kau tidak mau ikut?” balasku yang malah bertanya balik.“Emm … tentu saja aku mau ikut, tapi sekarang aku tidak ada kepentingan denganmu,” jelas Nicky yang membuatku bingung.Apa maksudnya ia ada kepentingan dengan Ibu? Oh, ayolah! Ini sungg
Aku Kembali ke tempat duduk setelah Alexi melarangku untuk bicara. Aneh, aku bahkan tak bisa memberikan suara untuk sesuatu yang ia lakukan? Aku benar-benar kesal. Dan semoga saja keadaan Sandra baik-baik saja. Jika tidak, mungkin aku akan disalahkan oleh Ibu dan Tante.Tapi, aku masih tak paham mengapa Sandra memberikan obatnya kepada Alexi, padahal sudah jelas-jelas Alexi bukanlah anak yang baik, bahkan hampir mencelakai nyawa Sandra. Semoga saja setelah ini Sandra tak lagi berteman dengan Alexi.“Tam, kau tahu, aku tak menyukaimu,” ungkap Alexi tiba-tiba dan membuatku mengangkat alis kebingungan.Tumben sekali ia jujur? Aneh! Tapi baguslah, aku tidak perlu lagi berpura-pura baik didepannya. Sekarang hubungan kita pun berantakan. Dan aku tidak ingin memperbaikinya.Memang hubungan itu sekecil bolongan yang ada diatas jarum, sekalinya kamu memasukkan benang kedalamnya, belum tentu benang itu bisa bertahan. Ia
Wow, aku terkejut karena Tommy bisa teriak seperti itu. Bahkan, ia membuat semua orang menatap kami. Apa dia sangat kesal? Oh … tapi tolong suruh Nicky untuk melepaskan tangannya! Karena aku merasa, pria ini sedang memakai kukunya. Apa dia sengaja menyakitiku? Ingin membuat tanganku berdarah? Gila!“Tumben sekali kau teriak. Bahkan didepan kekasihmu sendiri,” ungkap Nicky yang langsung membuat Tommy terdiam.Gila! Apa Sandra menatap kami? Bukankah itu menyenangkan? Apakah ia cemburu? Seharusnya begitu. Tapi … kenapa aku malah senang? Bukankah ini ancaman bagiku? Astaga!“Hei Tam! Apa kau sedang merebut kekasih sahabatmu sendiri?” tanya Nicky dihadapan semua orang.Tunggu! Ini jebakan! Aku tidak boleh menjawab iya, jika tidak, aku akan dipermalukan seisi sekolah.Aku harus mencari jawaban lain dan membuat Sandra yang malu.&
"Jadi, kau ingin pergi sekarang?” tanya Nicky sambil mengelus pipiku.Aku pun mengangguk dan ia menjadi kesal. Padahal ia yang bertanya lebih dulu, kenapa ia malah marah? Seharusnya jangan memberikan pilihan! Dasar pria aneh! Tapi ya sudah jika ia melarangku pergi. Aku tetap akan disini dan mencari tahu segalanya tentang dirinya.“Jangan pergi!” pintanya dan kujawab dengan senyuman.Sekarang, aku juga mau bermain dan kaulah mainanku. Lalu Kita lihat, apakah aku bisa menarikmu semakin dalam? Dan membuatmu lupa akan segalanya? Atau kau yang akan berbalik menarikku? Sungguh ini terlalu berbahaya, tapi aku menyukainya. Ini akan sengat seru.“Kau aneh. Padahal kau daritadi meminta pergi, tapi sekarang kau mau tinggal. Apa yang membuatmu berubah keputusan?”“Apa ya? Aku juga tidak tahu. Mungkin karena ucapanmu,” jawabku yang lalu mendekat
"Hei, Tam! Kenapa kau tidak bergabung dengan kami? Kami sedang membicarakan hal yang menyenangkan,” ajak Alexi.Namun, aku tidak menggubrisnya dan asik memasang earphone ke telinga. Lagi pula, mereka sama sekali tidak membutuhkan kehadiranku. Buktinya, mereka tetap asik berbincang. Jadi, untuk apa aku bergabung?Lalu, kenapa Alexi bertindak seolah-olah tidak terjadi apa pun? Padahal kami baru bertengkar kemarin. Apa secepat itu ia melupakan sesuatu? Benar-benar aneh.“Tam, nanti kau mau ikut makan siang Bersama?” tanya Liza yang langsung kujawab gelengan.“Kenapa?” timpal Alexi yang selalu hadir.“Aku … diet.”Lagi-lagi aku memberi alasan yang sama. Serasa tidak ada alasan lain dikepalaku. Tapi, biarlah! Biarkan mereka muak dan membiarkanku pergi. Lalu, suruh Sandra untuk berhenti menatapku? Memangnya aku tonto
Paman menuangkan susu ke gelasku. Membiarkanku untuk minum lebih dulu. Namun, aku menolak dan memberikan gelasku kepada Sandra. Karena aku berpikir seorang tamu harus dilayani pertama kali.“Jadi, kau tidak memberitahu Ibumu kau disini?” tanya Ibu pada Sandra.“Tidak.”Wow, bukankah dia terlalu nekat? Bagaimana jika Ibunya khawatir? Apa dia tak peduli? Oh! Kurasa tidak! Ibunya kan tidak peduli. Dan bisa dibilang dia sengaja kesini untuk mendapat perhatian Ibuku. Licik sekali.“Baiklah, Tante akan memberitahunya nanti. Sekarang habiskan makananmu!”“Dan kau juga, Tam!” sambung Ibu yang langsung kuiyakan.Paman lalu membuka pembicaraan baru dan aku malas menimpalinya. Mungkin, hanya Ibu yang tertarik membalasnya. Karena aku dan Sandra fokus menghabiskan sarapan.“Oh ya, bagaimana j