Senja bersinar di ufuk barat, menemani cahaya yang kian berlalu terganti oleh samar gelapnya malam.
Hari mulai gelap, Malik bersama bapak Marzuki dan neng Ayu tengah berkemas pulang dari pasar menuju ke tempat peristirahatan.
"Neng pulang duluan yah sama A Malik bapak mau mampir ke rumah pak ustadz dulu di belakang pasar bilang yah sama ibu nanti pulangnya agak malaman". Cakap bapak memberit
Malam semakin gelap, kabut di jalan semakin senyap, suara kepakan burung cabak terdengar nyaring, sesekali hinggap pada dahan pohon-pohon kering.Malik masih mencari neng Ayu, sesuai petunjuk dari tukang cilok yang ia temui selepas sholat Maghrib, Malik melangkah gontai menuju ke tempat rumah makan yang berada di samping kanan jalan.Dari kejauhan terlihat begitu ramai, sampai-sampai antrean panjang menjadi pemandangan indah saat kesan pertama sampai di rumah makan itu.Malik mencari sekeliling, matanya bagai burung elang yang mengincar mangsanya.Di Sudut kiri ia melihat wanita berjilbab berbaju hitam seperti yang neng Ayu kenakan. Ia hampiri.
"Bajingan kau Dahlan" umpat Salima kepada kekasihnya yang tengah asyik menggandeng wanita lain."Saya bisa jelaskan semuanya sayang, ini salah paham". Dahlan berusaha membela diri."Semua sudah jelas, tak ada yang perlu dijelaskan, mulai sekarang kita putussss, plakk". Pungkas kekesalan Salima sembari menampar pipi Dahlan begitu keras hingga seisi cafe bisa mendengarnya.Salima berjalan gontai meninggalkan Dahlan dengan hati hancur, sosok yang ia cintai kini menjadi penyebab derai air mata yang kian mengalir membasahi pipi.Daun cemara mulai berguguran menyambut kesedihan Salima, ia tak tau harus mengadu pada siapa perihal derita cinta yang ia rasakan. Teman curhat satu-satunya hanya buku diary pemberian mamanya yang sudah wafat.
Hari baru mulai tumbuh, cahaya matahari telah temaram di bawah pusara langit. Muda-mudi asyik bercengkrama di antara megahnya gedung.Di sudut kampus ITB, Malik tengah kebingungan mencari kelasnya."Ah sial di mana ini kelas". Gerutu Malik sembari membawa banyak buku di tangannya.Keringat bercucuran, Malik bagai mendaki gunung mencari kelasnya dari lantai 1 hingga lantai 4, dia lupa setiap kelas mempunyai kode nomor masing-masing.Di tengah kebingungan itu terlihat gadis manis berkerudung putih berjalan ke arahnya."Maaf Mbak mau nanya, kelas Fisika untuk mahasiswa baru di mana yah?". Tanya Malik sembari senyum manis."Nomor ruangannya bera
Suasana semakin panas dikala Dahlan mengacungkan senjata tajam ke arah Malik."Rasakan ini keparat, ciaaat". Dahlan melancarkan serangan, namun Malik berhasil mengelak.Dahlan semakin gencar mengayunkan senjata tajam, ia bagai penjahat bengis yang ingin menghabisi mangsanya.Dalam setiap serangan, Malik hanya menghindar, sangat terlihat jelas ia tak serius meladeni Dahlan yang sedari tadi menebaskan pisaunya."Bagaimana masih mau lanjut?". Tanya Malik mempermainkan Dahlan."Kau mau main-main keparat, rasakan jurus pamungkasku, ajian walang sangit, ciaaat". Dahlan mengeluarkan jurus andalannya. Justru membuat Malik tertawa."Cukup menghibur nama jurusmu". Celetuk Malik
Seketika Salima berpikir bahwa yang terkapar di tengah jalan itu adalah Malik.Ia keluar dan langsung berlari dari mobil, semua nasehat dari Malik tak ia perdulikan, yang ada pikiran saat itu hanya untuk segera melihat keadaan Malik.Ketika hendak sampai di lokasi kejadian, satu persatu para pria berjaket hitam pergi berlalu dari tempat itu, yang ada hanya Dahlan yang tengah duduk di samping sebujur tubuh tak bergerak itu.Ketika sampai di tempat kejadian, Salima langsung histeris. Terlihat bercak darah bercucuran di sekitar lokasi itu."Malikkk, apa yang terjadi Dahlan, kau benar-benar sudah keterlaluan, akan kulaporkan kau ke polisi, atas tuduhan pembunuhan". Ancam Salima sembari mengusap air matanya.
Waktu terus berputar dari siang kembali malam, hari masih berlanjut hingga tuhan berkata cukup.Di tempat lain, Malik tak sadarkan diri, sekujur tubuhnya penuh luka, terikat tangan dan kakinya ia terus mengerang kesakitan."Rasakan itu bajingan, kamu akan kita siksa sampe mampus, cuih". Gertak Dahlan sembari meludahi muka Malik."Kita buang saja nih orang bro". Usul pria berambut panjang."Mending kita jual saja organ dalamnya, kan lumayan tuh buat beli sabu lagi, yah kan". Usul pria lain bertato macan di tangannya."Boleh juga usul lo bro". Sahut Dahlan menyetujui saran itu .Perlahan tali yang mengikat Malik dilepaskan satu persatu, pertama dari tangan kemudian kaki. Malik masih tak sadarkan diri.Ketika semua tali terlepas, Malik dimasukan kedalam karung besar bekas tepung terigu kemudian di taruh di bagasi dan dibawa entah kemana."Aku dimana ini". Lirih Malik setengah sadar."Uhuk-uhuk". Batuk Malik kare
Di dalam bagasi, Malik menunggu momen dimana mobil yang ditumpangi menepi. Malik harus bersabar sembari mengumpulkan keberanian ia terus berdoa. "Ya Tuhan semoga ada kesempatan untuk saya kabur". Lirih Malik berdoa. Tak lama setelah itu terlihat lampu merah di persimpangan jalan, Malik bersiap-siap dengan segala keberaniannya ia mulai menarik pintu bagasi. "Krrek". Suara bagasi terbuka. Ketika sudah benar-benar berhenti Malik langsung meloncat. "Gubrak". Suara Malik melompat ke atas aspal. "Suara apaan tuh bro, coba lo periksa". Usul pria bertato macan kepada Dahlan. Sejurus kemudian Dahlan keluar dan melihat bagasi
"Kubur dimana neng,di rumah?, Kalo ibumu tau gimana? Sudah pasti nanti bapak babak belur kena murka ibumu". Bapak berpeci hitam masih ketakutan ."Tenang pak, kita bisa susun rencana agar ibu ga sampe tau". Sang anak berusaha menenangkan ayahnya.Ketika percakapan antar anak dan bapak itu selesai, mereka langsung membawa Malik ke kediaman mereka yang letaknya tak jauh dari pasar."Terus pak dagangan kita gimana". Tanya anaknya."Gapapa neng kita tutup dulu sebentar, setelah semua selesai baru kita bisa tenang berdagang". Sahut bapak yang tengah menutupi tubuh Malik dengan koran.Mereka pun segera meluncur.Di tenga
Malam semakin gelap, kabut di jalan semakin senyap, suara kepakan burung cabak terdengar nyaring, sesekali hinggap pada dahan pohon-pohon kering.Malik masih mencari neng Ayu, sesuai petunjuk dari tukang cilok yang ia temui selepas sholat Maghrib, Malik melangkah gontai menuju ke tempat rumah makan yang berada di samping kanan jalan.Dari kejauhan terlihat begitu ramai, sampai-sampai antrean panjang menjadi pemandangan indah saat kesan pertama sampai di rumah makan itu.Malik mencari sekeliling, matanya bagai burung elang yang mengincar mangsanya.Di Sudut kiri ia melihat wanita berjilbab berbaju hitam seperti yang neng Ayu kenakan. Ia hampiri.
Senja bersinar di ufuk barat, menemani cahaya yang kian berlalu terganti oleh samar gelapnya malam.Hari mulai gelap, Malik bersama bapak Marzuki dan neng Ayu tengah berkemas pulang dari pasar menuju ke tempat peristirahatan."Neng pulang duluan yah sama A Malik bapak mau mampir ke rumah pak ustadz dulu di belakang pasar bilang yah sama ibu nanti pulangnya agak malaman". Cakap bapak memberit
Matahari sepenggalah seperempat kepala, menandakan terik sinar matahari sudah hampir berada pada puncaknya. Hampir semua makhluk tengah mencari tempat untuk berteduh, ada yang di bawah rumah, kios-kios dan ada juga yang di bawah naungan rindangnya pohon-pohon besar.Tapi tidak dengan Malik yang masih asyik menjajakan dagangannya di pasar."Malik sini". Panggil bapak menyuruh Malik mendekat."Iya pak". Sahut Malik melangkah pelan berpaling dari ibu penjual getuk yang tengah kesusahan mencerna setiap saran dari Malik."Kamu jaga dagangan bapak yah, bapak mau pulang sebentar mau nganterin pesanan orang di kampung sebelah". Pinta bapak kepada Malik agar tak jauh-jauh dari dagangannya itu.
Matahari sepenggalah seperempat kepala, menandakan terik sinar matahari sudah hampir berada pada puncaknya. Hampir semua makhluk tengah berteduh di bawah naungan rindangnya pohon-pohon besar.Tapi tidak dengan Malik yang masih asyik berdagang di pasar."Malik sini". Panggil bapak menyuruh Malik mendekat."Iya pak". Sahut Malik melangkah pelan berpaling dari ibu penjual getuk yang tengah kesusahan mencerna setiap saran dari Malik."Kamu jaga dagangan bapak yah, bapak mau pulang sebentar mau nganterin pesanan orang di kampung sebelah". Pinta bapak kepada Malik agar tak jauh-jauh dari dagangannya itu.
Hiruk pikuk kehidupan masyarakat pedesaan begitu terasa sangat hangat dikala Malik sampai di tengah pasar. Malik bertemu dengan seorang ibu penjual getuk yang tengah dirundung kemalangan karena sampai berjam-jam menunggu dagangannya belum satupun dicicipi pembeli bahkan menawar pun belum ada.Melihat kondisi itu Malik dengan segala upaya mendiskusikan rencana pemasaran produk getuk agar laku keras dipasaran dan tidak melulu harus mengungu pembeli."Makanan ini apa namanya Bu?". Tanya Malik kepada ibu penjual sembari memegang makanan yang ada di depannya."Ini namanya getuk nak, makanan khas orang Sunda, khususnya di daerah sini dahulu cukup terkenal akan kelezatan rasanya". Tutur ibu penjual getuk menceritakan tentang getuk."Hmm begitu yah bu, kok sekarang dagangan ibu masih banyak yah apa ada yang salah Bu dengan dagangan ibu?". Tanya Malik keheranan karena cerita kelezatan getuk tak mampu menepis kenyataan.
Mentari pagi mulai tampak dari kejauhan, menghangati setiap insan makhluk di bumi. Suara kicau burung menyambut riang kedatangannya di pucuk-pucuk daun pohon cemara.Malik duduk termenung di samping pak Marzuki yang sedang fokus menyetir mobilnya."Nak Malik sudah betah belum di sini". Bapak Marzuki memulai pembicaraan berusaha mengusir keheningan."Alhamdulillah Pak saya sudah betah, tapi pak". Malik ingin mengucapkan sesuatu namun tidak enak hati."Tapi apa nak". Bapak Marzuki penasaran apakah ada hal yang disembunyikan oleh Malik."Sebenarnya saya juga rindu tempat yang seharusnya saya berada yaitu kampus Pak, takutnya saya di DO kalau belum juga kembali". Sahut
"Simulasi teh naon A?". Tanya neng Ayu dengan polosnya menatap mata Malik."Simulasi itu semacam percobaan neng, jadi kaya sebelum melakukanya harus latihan dulu". Malik perlahan-lahan menjelaskan tentang sesuatu yang baru neng Ayu ketahui."Oh kaya ngicip gitu yah A". Ujar Ayu sembari berpikir."Nah itu tau, anak bapak Marzuki emang pinter". Sahut Malik membenarkan pemahamannya."Makasih A, Aa Malik juga pinter". Tambah Ayu."Pinter apa nih neng?". Tanya Malik melangkah lebih mendekat."Pinter banget buat neng jatuh hati, eh keceplosan". Neng Ayu menutup mukanya karena malu.Bagai petir disiang bolong perkataan itu membu
"Eh iya pak". Sahut Ayu terkejut."Maaf yah neng". Ujar Malik sembari menunduk malu.Tanpa jawaban, neng Ayu berlalu meninggalkan Malik yang masih mematung di atas mobil.Malik menyesali perbuatannya yang tak senonoh kepada neng Ayu, ia menyadari bahwa dirinya hanyalah penumpang di rumah keluarga neng Ayu dan seharusnya Malik menjaga perasaannya hanya untuk Salima seorang bukan malah dengan gampangnya tergoda wanita lain, terlebih neng Ayu masih dibawah umur.Beberapa detik kemudian neng Ayu membawa dompet milik ayahnya."Dompet ini bukan pak?". Teriak Ayu kepada ayahnya yang tengah sibuk menghitung jumlah keranjang sembari menunjukkan dompet berwarna merah.
Pembaca yang Budiman, dalam bab ini terdapat konten dewasa harap bijak dalam membacaAlhasil malam itu neng Ayu tak bisa tidur karena terus terbayang wajah tampan Aa Malik."Ah sial". Gerutu neng Ayu karena raga harus kalah oleh hati yang sudah terpaut wajahnya.Pagi mulai tampak dari balik celah pepohonan yang mengitari kediaman keluarga neng Ayu, menampakkan pemandangan indah khas pedesaan, udara segar memanjakan paru-paru setiap makhluk yang menghirupnya.Di sisi lain pagi itu Malik sudah mulai membaik kondisi fisiknya dan memutuskan untuk membantu bapak menyiapkan dagangan yang akan mereka jual."Ini di taruh di mana pak". Tanya Malik kepada bapak berpeci hitam yang diketahui bernam