Di dalam bagasi, Malik menunggu momen dimana mobil yang ditumpangi menepi. Malik harus bersabar sembari mengumpulkan keberanian ia terus berdoa.
"Ya Tuhan semoga ada kesempatan untuk saya kabur". Lirih Malik berdoa.
Tak lama setelah itu terlihat lampu merah di persimpangan jalan, Malik bersiap-siap dengan segala keberaniannya ia mulai menarik pintu bagasi.
"Krrek". Suara bagasi terbuka.
Ketika sudah benar-benar berhenti Malik langsung meloncat.
"Gubrak". Suara Malik melompat ke atas aspal.
"Suara apaan tuh bro, coba lo periksa". Usul pria bertato macan kepada Dahlan.
Sejurus kemudian Dahlan keluar dan melihat bagasi mobil terbuka dan Malik sudah hilang ntah kemana.
"Bro Malik kabur". Teriak Dahlan diikuti langkah kaki gengnya terkejut.
Di seberang jalan Malik bersembunyi di semak belukar ilalang sembari menahan rasa sakit di tubuhnya.
"Ayo kita cari". Sahut Dahlan kepada gengnya.
"Lo sebelah kanan, lo sebelah kiri, gua tengah". Usul pria bertato macan.
Tak lama kemudian Dahlan dan gengnya mencari Malik di sekitar lokasi mereka berhenti.
Dengan masing-masing membawa senjata tajam di tangan, mereka tak segan-segan menebaskan setiap inci tempat yang mereka curigai.
"Bro sini, gua nemu bercak darah". Teriak salah satu dari mereka diikuti yang lain mendekat.
Di antara mereka ada yang menjilat darah itu.
"Darahnya masih seger bro, pasti orangnya ga jauh dari sini". Tutur pria berambut panjang.
Para penjahat semakin beringas dan bersemangat mencari Malik, dari yang tadinya berpencar sekarang mereka putuskan untuk mencari Malik beramai-ramai.
"Waduh gimana ini, sebentar lagi mungkin saya akan ketahuan". Malik mulai kehilangan ide.
Di tengah kebuntuan itu terlihat mobil pick up berisi sayur-sayuran mulai menepi.
Melihat kesempatan itu Malik langsung berlari tertatih-tatih ke arah belakang mobil. Dengan susah payah menaikinya.
"Alhamdulillah". Ucap Malik ketika sudah sampai di atas mobil pick up itu.
Akhirnya Malik berhasil lolos dari kejaran para penjahat bengis itu.
Kini Malik sudah berada di atas mobil yang ntah akan membawanya, yang saat itu Malik pikirkan hanya pergi sejauh mungkin dari penjahat bengis tak berperasaan itu.
Di sepanjang jalan Malik terus memikirkan hal ihwal keadaan Salima yang ia tinggalkan di mobilnya.
"Maafkan aku Salima karena membuatkmu khawatir". Lirih Malik memikirkan Salima.
Tak terasa Malik mulai mengantuk.
"Huuaap". Malik menguap menahan kantuk, sejurus kemudian ia sudah berada dalam alam mimpi.
Sepoy-sepoy angin sore hari memang tak ada duanya, udara sejuk bercampur hangatnya mentari yang kian redup menambah pulas Malik tertidur.
Tak lama kemudian mobil yang ia tumpangi menepi di sebuah pasar tradisional. Satu persatu barang bawaan diangkut ke atas rak dagangan.
"Astaghfirullah pak ada mayat". Suara gadis pengangkut barang memanggil ayahnya.
"Jangan bercanda neng ga mungkin ada mayat di mobil bapak orang bapak dagangnya sayuran bukan mayat orang". Sahut bapak berpeci hitam.
"Eh si bapak di bilangin ngeyel, ini geh liat sendiri".
Bapaknya masih tak percaya dengan perkataan anaknya dan kemudian mendekati mobil untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Astaghfirullah neng waduh bahaya bapak ga mau dipenjara". Ucap bapak berpeci hitam histeris.
"Yah ga mungkin lah pak, bapak kan ga bunuh orang ini". Sahut anaknya.
"Iya neng emang bapak ga ngbunuh ini orang, tapi kan mayatnya ada di mobil bapak, yah pasti yang disalahin yang punya mobil". Ucap bapak dengan cemas sembari mengusap keringat dingin yang kian mengucur membasahi pipi.
"Bener juga yah pak, gimana kalo kita kubur aja sekarang, mumpung belum ada yang tau". Usul sang anak.
"Kubur dimana neng,di rumah?, Kalo ibumu tau gimana? Sudah pasti nanti bapak babak belur kena murka ibumu". Bapak berpeci hitam masih ketakutan ."Tenang pak, kita bisa susun rencana agar ibu ga sampe tau". Sang anak berusaha menenangkan ayahnya.Ketika percakapan antar anak dan bapak itu selesai, mereka langsung membawa Malik ke kediaman mereka yang letaknya tak jauh dari pasar."Terus pak dagangan kita gimana". Tanya anaknya."Gapapa neng kita tutup dulu sebentar, setelah semua selesai baru kita bisa tenang berdagang". Sahut bapak yang tengah menutupi tubuh Malik dengan koran.Mereka pun segera meluncur.Di tenga
"Mayat siapa neng". Tanya ibunya dengan lantang."Bukan apa-apa Bu cuma mayat kucing". Bapak berpeci hitam berusaha menyembunyikan kebenaran."Oh kucing, kirain mayat orang". Sahut ibu sembari menggoreng ikan."Iya Bu, ga mungkin juga kan bapak yang baik gini bunuh anak orang, hahaha". Bapak itu berusaha lebih meyakinkan istrinya dengan bercanda."Awas loh pak kalo bapak nyembunyiin sesuatu, ibu hajar nanti". Ancam istrinya sembari mengiris bawang putih."Iya Bu bapak ga bakalan nyembunyiin sesuatu, apalagi nyembunyiin istri muda, hehehe". Canda bapak."Aih Bapak omongannya di jaga yah, jangan buat ibu makin curiga". Lanjut istrinya mengancam."Ngga bu, itu hanya candaan bapak, jangan ibu masukkan ke hati, mending di masukkan ke paru-paru biar bapak selalu jadi separuh hati ibu". Bapak berpeci berusaha menenangkan istrinya dengan merayu."Bapak bisa aja". Sahut istrinya tersipu malu."Bapak mayatnya idup lagi". Teria
Di dalam kamar mandi, Malik masih tak enak hati apabila terlalu lama menyusahkan orang lain, terlebih lagi dia harus segera menemui orang terkasih yang ia tinggalkan."Pasti semua orang mengira kalau saya sudah meninggal, hahaha". Malik teringat dengan semua yang ia lalui."Pokoknya saya harus cepat sembuh agar segera pulang dari sini". Ucap Malik meyakinkan diri sendiri untuk segera pulih dari luka di tubuhnya.Setelah Malik selesai membersihkan tubuh dari segala kotoran yang melekat, ia beristirahat di kamar bekas gudang yang terletak tak jauh dari kamar mandi.Malam telah larut, suara burung hantu semakin lirih menyayat hati."Tolong". Suara teriakan membangu
Pembaca yang Budiman, dalam bab ini terdapat konten dewasa harap bijak dalam membacaAlhasil malam itu neng Ayu tak bisa tidur karena terus terbayang wajah tampan Aa Malik."Ah sial". Gerutu neng Ayu karena raga harus kalah oleh hati yang sudah terpaut wajahnya.Pagi mulai tampak dari balik celah pepohonan yang mengitari kediaman keluarga neng Ayu, menampakkan pemandangan indah khas pedesaan, udara segar memanjakan paru-paru setiap makhluk yang menghirupnya.Di sisi lain pagi itu Malik sudah mulai membaik kondisi fisiknya dan memutuskan untuk membantu bapak menyiapkan dagangan yang akan mereka jual."Ini di taruh di mana pak". Tanya Malik kepada bapak berpeci hitam yang diketahui bernam
"Eh iya pak". Sahut Ayu terkejut."Maaf yah neng". Ujar Malik sembari menunduk malu.Tanpa jawaban, neng Ayu berlalu meninggalkan Malik yang masih mematung di atas mobil.Malik menyesali perbuatannya yang tak senonoh kepada neng Ayu, ia menyadari bahwa dirinya hanyalah penumpang di rumah keluarga neng Ayu dan seharusnya Malik menjaga perasaannya hanya untuk Salima seorang bukan malah dengan gampangnya tergoda wanita lain, terlebih neng Ayu masih dibawah umur.Beberapa detik kemudian neng Ayu membawa dompet milik ayahnya."Dompet ini bukan pak?". Teriak Ayu kepada ayahnya yang tengah sibuk menghitung jumlah keranjang sembari menunjukkan dompet berwarna merah.
"Simulasi teh naon A?". Tanya neng Ayu dengan polosnya menatap mata Malik."Simulasi itu semacam percobaan neng, jadi kaya sebelum melakukanya harus latihan dulu". Malik perlahan-lahan menjelaskan tentang sesuatu yang baru neng Ayu ketahui."Oh kaya ngicip gitu yah A". Ujar Ayu sembari berpikir."Nah itu tau, anak bapak Marzuki emang pinter". Sahut Malik membenarkan pemahamannya."Makasih A, Aa Malik juga pinter". Tambah Ayu."Pinter apa nih neng?". Tanya Malik melangkah lebih mendekat."Pinter banget buat neng jatuh hati, eh keceplosan". Neng Ayu menutup mukanya karena malu.Bagai petir disiang bolong perkataan itu membu
Mentari pagi mulai tampak dari kejauhan, menghangati setiap insan makhluk di bumi. Suara kicau burung menyambut riang kedatangannya di pucuk-pucuk daun pohon cemara.Malik duduk termenung di samping pak Marzuki yang sedang fokus menyetir mobilnya."Nak Malik sudah betah belum di sini". Bapak Marzuki memulai pembicaraan berusaha mengusir keheningan."Alhamdulillah Pak saya sudah betah, tapi pak". Malik ingin mengucapkan sesuatu namun tidak enak hati."Tapi apa nak". Bapak Marzuki penasaran apakah ada hal yang disembunyikan oleh Malik."Sebenarnya saya juga rindu tempat yang seharusnya saya berada yaitu kampus Pak, takutnya saya di DO kalau belum juga kembali". Sahut
Hiruk pikuk kehidupan masyarakat pedesaan begitu terasa sangat hangat dikala Malik sampai di tengah pasar. Malik bertemu dengan seorang ibu penjual getuk yang tengah dirundung kemalangan karena sampai berjam-jam menunggu dagangannya belum satupun dicicipi pembeli bahkan menawar pun belum ada.Melihat kondisi itu Malik dengan segala upaya mendiskusikan rencana pemasaran produk getuk agar laku keras dipasaran dan tidak melulu harus mengungu pembeli."Makanan ini apa namanya Bu?". Tanya Malik kepada ibu penjual sembari memegang makanan yang ada di depannya."Ini namanya getuk nak, makanan khas orang Sunda, khususnya di daerah sini dahulu cukup terkenal akan kelezatan rasanya". Tutur ibu penjual getuk menceritakan tentang getuk."Hmm begitu yah bu, kok sekarang dagangan ibu masih banyak yah apa ada yang salah Bu dengan dagangan ibu?". Tanya Malik keheranan karena cerita kelezatan getuk tak mampu menepis kenyataan.
Malam semakin gelap, kabut di jalan semakin senyap, suara kepakan burung cabak terdengar nyaring, sesekali hinggap pada dahan pohon-pohon kering.Malik masih mencari neng Ayu, sesuai petunjuk dari tukang cilok yang ia temui selepas sholat Maghrib, Malik melangkah gontai menuju ke tempat rumah makan yang berada di samping kanan jalan.Dari kejauhan terlihat begitu ramai, sampai-sampai antrean panjang menjadi pemandangan indah saat kesan pertama sampai di rumah makan itu.Malik mencari sekeliling, matanya bagai burung elang yang mengincar mangsanya.Di Sudut kiri ia melihat wanita berjilbab berbaju hitam seperti yang neng Ayu kenakan. Ia hampiri.
Senja bersinar di ufuk barat, menemani cahaya yang kian berlalu terganti oleh samar gelapnya malam.Hari mulai gelap, Malik bersama bapak Marzuki dan neng Ayu tengah berkemas pulang dari pasar menuju ke tempat peristirahatan."Neng pulang duluan yah sama A Malik bapak mau mampir ke rumah pak ustadz dulu di belakang pasar bilang yah sama ibu nanti pulangnya agak malaman". Cakap bapak memberit
Matahari sepenggalah seperempat kepala, menandakan terik sinar matahari sudah hampir berada pada puncaknya. Hampir semua makhluk tengah mencari tempat untuk berteduh, ada yang di bawah rumah, kios-kios dan ada juga yang di bawah naungan rindangnya pohon-pohon besar.Tapi tidak dengan Malik yang masih asyik menjajakan dagangannya di pasar."Malik sini". Panggil bapak menyuruh Malik mendekat."Iya pak". Sahut Malik melangkah pelan berpaling dari ibu penjual getuk yang tengah kesusahan mencerna setiap saran dari Malik."Kamu jaga dagangan bapak yah, bapak mau pulang sebentar mau nganterin pesanan orang di kampung sebelah". Pinta bapak kepada Malik agar tak jauh-jauh dari dagangannya itu.
Matahari sepenggalah seperempat kepala, menandakan terik sinar matahari sudah hampir berada pada puncaknya. Hampir semua makhluk tengah berteduh di bawah naungan rindangnya pohon-pohon besar.Tapi tidak dengan Malik yang masih asyik berdagang di pasar."Malik sini". Panggil bapak menyuruh Malik mendekat."Iya pak". Sahut Malik melangkah pelan berpaling dari ibu penjual getuk yang tengah kesusahan mencerna setiap saran dari Malik."Kamu jaga dagangan bapak yah, bapak mau pulang sebentar mau nganterin pesanan orang di kampung sebelah". Pinta bapak kepada Malik agar tak jauh-jauh dari dagangannya itu.
Hiruk pikuk kehidupan masyarakat pedesaan begitu terasa sangat hangat dikala Malik sampai di tengah pasar. Malik bertemu dengan seorang ibu penjual getuk yang tengah dirundung kemalangan karena sampai berjam-jam menunggu dagangannya belum satupun dicicipi pembeli bahkan menawar pun belum ada.Melihat kondisi itu Malik dengan segala upaya mendiskusikan rencana pemasaran produk getuk agar laku keras dipasaran dan tidak melulu harus mengungu pembeli."Makanan ini apa namanya Bu?". Tanya Malik kepada ibu penjual sembari memegang makanan yang ada di depannya."Ini namanya getuk nak, makanan khas orang Sunda, khususnya di daerah sini dahulu cukup terkenal akan kelezatan rasanya". Tutur ibu penjual getuk menceritakan tentang getuk."Hmm begitu yah bu, kok sekarang dagangan ibu masih banyak yah apa ada yang salah Bu dengan dagangan ibu?". Tanya Malik keheranan karena cerita kelezatan getuk tak mampu menepis kenyataan.
Mentari pagi mulai tampak dari kejauhan, menghangati setiap insan makhluk di bumi. Suara kicau burung menyambut riang kedatangannya di pucuk-pucuk daun pohon cemara.Malik duduk termenung di samping pak Marzuki yang sedang fokus menyetir mobilnya."Nak Malik sudah betah belum di sini". Bapak Marzuki memulai pembicaraan berusaha mengusir keheningan."Alhamdulillah Pak saya sudah betah, tapi pak". Malik ingin mengucapkan sesuatu namun tidak enak hati."Tapi apa nak". Bapak Marzuki penasaran apakah ada hal yang disembunyikan oleh Malik."Sebenarnya saya juga rindu tempat yang seharusnya saya berada yaitu kampus Pak, takutnya saya di DO kalau belum juga kembali". Sahut
"Simulasi teh naon A?". Tanya neng Ayu dengan polosnya menatap mata Malik."Simulasi itu semacam percobaan neng, jadi kaya sebelum melakukanya harus latihan dulu". Malik perlahan-lahan menjelaskan tentang sesuatu yang baru neng Ayu ketahui."Oh kaya ngicip gitu yah A". Ujar Ayu sembari berpikir."Nah itu tau, anak bapak Marzuki emang pinter". Sahut Malik membenarkan pemahamannya."Makasih A, Aa Malik juga pinter". Tambah Ayu."Pinter apa nih neng?". Tanya Malik melangkah lebih mendekat."Pinter banget buat neng jatuh hati, eh keceplosan". Neng Ayu menutup mukanya karena malu.Bagai petir disiang bolong perkataan itu membu
"Eh iya pak". Sahut Ayu terkejut."Maaf yah neng". Ujar Malik sembari menunduk malu.Tanpa jawaban, neng Ayu berlalu meninggalkan Malik yang masih mematung di atas mobil.Malik menyesali perbuatannya yang tak senonoh kepada neng Ayu, ia menyadari bahwa dirinya hanyalah penumpang di rumah keluarga neng Ayu dan seharusnya Malik menjaga perasaannya hanya untuk Salima seorang bukan malah dengan gampangnya tergoda wanita lain, terlebih neng Ayu masih dibawah umur.Beberapa detik kemudian neng Ayu membawa dompet milik ayahnya."Dompet ini bukan pak?". Teriak Ayu kepada ayahnya yang tengah sibuk menghitung jumlah keranjang sembari menunjukkan dompet berwarna merah.
Pembaca yang Budiman, dalam bab ini terdapat konten dewasa harap bijak dalam membacaAlhasil malam itu neng Ayu tak bisa tidur karena terus terbayang wajah tampan Aa Malik."Ah sial". Gerutu neng Ayu karena raga harus kalah oleh hati yang sudah terpaut wajahnya.Pagi mulai tampak dari balik celah pepohonan yang mengitari kediaman keluarga neng Ayu, menampakkan pemandangan indah khas pedesaan, udara segar memanjakan paru-paru setiap makhluk yang menghirupnya.Di sisi lain pagi itu Malik sudah mulai membaik kondisi fisiknya dan memutuskan untuk membantu bapak menyiapkan dagangan yang akan mereka jual."Ini di taruh di mana pak". Tanya Malik kepada bapak berpeci hitam yang diketahui bernam