Dua hari sudah Pancawati menjalani obeservasi untuk proses pencangkokan ginjal, berbagai tes pun harus dilakukan oleh tim Dokter yang akan menangani Pancawati. Beberapa tes yang harus dilakukan antara lain. tes darah dan jaringan, tes untuk HIV dan hepatitis, mamogragi, pap smear, cek jantung dan paru-paru hingga kolonoskopi.
Pancawati termasuk beruntung bisa mendapatkan pendonor yang cepat, dan cocok, dan semua itu berkat uang dan kekuasaan Gerald.
Dokter memilih pencangkokan dulu, sebelum Pancawati menjalani operasi mata dan kemudian operasi untuk memperbaiki struktur kulitnya yang sudah rusak. Mengingat kondisi ginjal Pancawati yang sudah parah, dan akan lemas jika terlambat hemodialisa.
Dan satu jam yang lalu, Pancawati sudah masuk dalam ruang operasi. Debora menunggu di depan ruang operasi ditemani sepasang pengawal Gerald yang ditugaskan menjaga dan mengawasi Debora. Sedang Gerald malam setelah mengantar Pancaw
Gerald tiba di apartemen Debora dan masuk dengan kunci yang dia miliki. Debora baru saja selesai memakai gaun malamnya, namun belum sempat menutup resleting belakangnya.Gerald pun tak sengaja melihat punggung halus dengan kulit eksotis dan paha mulus Debora, yang berdiri membungkuk dengan satu kaki naik di atas kursi untuk memakai stocking di depan meja rias, karena pintu kamar Debora yang tidak ditutup. Dress selutut berwarna merah maroon dengan leher Sabrina, Debora dapat dari Stacy, telah mengekspos paha belakangnya jika Debora membungkuk, karena kain yang terangkat ke atas.Dengan duduk di sofa yang ada di depan kamar Debora, Gerald leluasa melihat gerak-gerik Debora di dalam kamar. Hanya dengan melihat punggung mulus Debora, Gerald sudah menelan kasar salivanya. Sudah lama Gerald tidak menikmati kulit halus wanita, yang biasanya menemani malam penatnya setelah bekerja seharian.Saat Debora mendongak untuk mengangkat kakinya, dir
Gerald mengantarkan Debora pulang. Sepanjang perjalanan mereka kembali saling membisu. Mereka sibuk dengan pemikiran mereka masing-masing. Debora merasa penerimaan Bertha yang baik atas dirinya akan membantunya lebih mudah menghadapi sikap Gerald yang sering berubah-ubah kepadanya. Sedang Gerald memikirkan jalan untuk membentuk image memiliki pernikahan yang harmonis dan bahagia, dan semua orang harus tahu, agar ayah Letha mengetahuinya.“Aku tidak mengantarmu masuk, kamu naiklah sendiri,” kata Gerald begitu sampai di parkiran gedung apartemen. di lantai lima. Apartemen yang di tinggali Debora ada di lantai delapan, dari total tiga puluh lantai dari bangunan apartemen mewah itu.“Hmm, aku besok mulai kerja. Masih boleh ‘kan aku kerja?” tanya Debora dengan hati-hati. Memastikan jawaban Gerald untuk memberinya ijin bekerja.“Hmm, bekerjalah. Pak Yanto akan menjemputmu besok,&
Debora sudah bersiap di dalam pesawat Gerald, sejak satu jam yang lalu. Namun si empunya pesawat belum juga muncul batang hidungnya. Rasa kesal mulai menyelimuti hatinya. Hari pertama bekerja dengan Gerald sudah bad mood.Tepat satu jam tiga puluh menit menunggu, Gerald pun akhirnya datang. Dengan wajah angkuhnya dia memasuki pesawat di mana Debora dan Rama berdiri di samping pintu menyambutnya.“Ambilkan aku air dingin!” seru Gerald sambil duduk di kursi, dan melepas satu kancing jasnya.Debora yang mengiringi di belakangnya segera menjawab. “Makanannya juga tuan?” tanya Debora dengan lembut.“Nanti saja, aku mau air dingin dulu.”Debora pun mengangguk dan mengambilkan segelas air dingin di dapur. Irisan buah, juga dia siapkan dalam piring dengan wrapping plastic bening.Debora meletakkan air dingin dan irisan buah itu di meja depan kursi empuk Gerald. Tidak ada ucapan terima k
Debora mundur dari punggung Gerald, dengan sangat terpaksa melepas satu persatu kancing baju seragamnya. Helaan dapas kasar yang Debora hembuskan terdengar di telinga Gerald, membuat Gerald tersenyum menang.“Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu!” seru Gerald sambil memainkan air yang mulai merendam tubuhnya. Gerald melirik pada Debora yang justru terpaku saat tersisa satu kancing lagi, dari baju motif batik mega mendung berwarna biru.“Ahh, sudahlah!. Lama,” seru Gerald kemudian keluar dari Jacuzzi, hanya dengan memakai celana dalamnya. Sontak saja Debora terkejut dan menjerit, sambil berbalik badan. Gerald hanya mengulum senyum dengan reaksi Debora.Gerald segera mengambil handuk dan mengurungkan niatnya untuk berendam. Gerald masuk lagi dalam kamarnya dan memilih untuk tidur di atas ranjangnya.Perlahan Debora keluar dari kamar mandi, setelah merapikan bajunya lagi. Dilihatnya Gerald sudah tertelung
Dengan penuh semangat Debora berangkat ke pelabuhan dengan taksi, untuk naik kapal ferry menuju Singapura. Perjalanan kurang lebih satu jam untuk menyeberang membuat Debora tidak sabar lagi untuk bertemu Pancawati.Dua jam kemudian Debora pun sampai di rumah sakit tempat Pancawati di rawat. Saat memasuki rumah sakut untuk ke lift menuju kamar Pancawati, sosok pria berkaos putih dengan celana denim, mencuri perhatiannya. Sosok pria yang tidak asing baginya dari cara berjalan. Debora segera mempercepat langkahnya, bahkan setengah berlari di lobby rumah sakit menuju lift begitu tahu pria itu juga akan masuk lift.“Tunggu!” seru Debora dengan nafas terengah menahan pintu lift yang akan tertutup.Seorang pria berkacamata berdiri di belakang dua orang wanita menatapnya terkejut. “Bora,” panggil pria itu.Debora masuk begitu seorang wanita menahan pintu lift. Debora pun segera
Mereka berdua sampai di depan pelabuhan. Debora dan Dokter Irfan tidak langsung turun dari mobil. Dokter Irfan masih menunggu Debora tenang dan tidak menangis lagi.“Aku akan mengantarmu sampai hotel jika kamu masih menangis Bora,” kata Dokter Irfan membelai wajah Debora yang tertunduk.“Tidak perlu Fan, aku bisa sendiri. Lebih baik kamu kembali ke rumah sakit dan jaga teman kamu,” jawab Debora. Debora takut jika Gerald melihatnya bersama Dokter Irfan, dan akan membuat Gerald marah.“Aku akan kembali sekarang. Terima kasih Fan,” kata Debora lagi sambil mengusap matanya. “Bora,” kata Dokter Irfan mencegah Debora untuk keluar dari mobilnya. Suaranya terdengar pilu dan penuh harap. “Biarkan aku mengantar kamu,” ucapnya lagi.Begitu Debora keluar dari mobil, Dokter Irfan pun memarkirkan mobilnya, kemudian berlari mengejar Debora ke l
Gerald terpaku melihat layar note booknya. Adegan dewasa seorang wanita dengan suara desahan yang mengundang gairah, di dalam mobil.“Sialan gadis itu. Berani-beraninya dia melawanku,” ucap Gerald dengan penuh amarah. Gerald ingin sekali mendatangi dan menyeret wanita yang ada dalam adegan dewasa itu. Namun sayang, Gerald harus menghadiri peresmian salah satu gerai supermarketnya.“Thom, selidiki Dokter sialan itu. Dia harus tahu, Debora milikku.”“Baik Bos,” jawab Thomas cepat, meski ada tanya dalam hatinya. Sejak kapan, Debora menjadi milik Gerald, dan sejak kapan Gerald menjadi perduli pada wanita.Gerald mengetahui apa yang terjadi pada Debora dan Dokter Irfan, dari kamera dan perekam suara yang ada di jam tangan Debora yang terhubung langsung pada note book Gerald. Maksud hati, Gerald ingin melindungi Debora, namun dirinya harus melihat adegan penuh nafs
Debora terduduk di sudut kamar, tidak sanggup melihat peperangan panas Gerald dengan gadis panggilannya. Debora berusaha menutup mata dan telinganya, namun suara mereka yang saling berteriak merasuk di telinga luarnya, menyalurkan gelombang ke gendang telinga dan berubah menjadi getaran untuk masuk ke dalam telinga bagian dalam. Getarannya terespon juga oleh saraf matanya hingga membentuk bayangan-bayangan erotis yang seolah nyata, meski dia sudah menutup mata dan menyembunyikan kepalanya menunduk di sela tubuh dan kedua lututnya.Tubuhnya bergetar, karena siksaan mental yang Gerald berikan begitu terasa menyakitkan dari pada siksaan fisik yang bisa segera diobati. Terbayangkan bagaimana seorang wanita normal dalam artian tidak memiliki ganguan mental, suka atau kecanduan dengan pornografi, dipaksa melihat adegan seksual secara langsung. Ada rasa jijik, takut dan marah yang menjadi satu.Debora yang terisak sampai tidak menyadari