Debora sudah bersiap di dalam pesawat Gerald, sejak satu jam yang lalu. Namun si empunya pesawat belum juga muncul batang hidungnya. Rasa kesal mulai menyelimuti hatinya. Hari pertama bekerja dengan Gerald sudah bad mood.
Tepat satu jam tiga puluh menit menunggu, Gerald pun akhirnya datang. Dengan wajah angkuhnya dia memasuki pesawat di mana Debora dan Rama berdiri di samping pintu menyambutnya.
“Ambilkan aku air dingin!” seru Gerald sambil duduk di kursi, dan melepas satu kancing jasnya.
Debora yang mengiringi di belakangnya segera menjawab. “Makanannya juga tuan?” tanya Debora dengan lembut.
“Nanti saja, aku mau air dingin dulu.”
Debora pun mengangguk dan mengambilkan segelas air dingin di dapur. Irisan buah, juga dia siapkan dalam piring dengan wrapping plastic bening.
Debora meletakkan air dingin dan irisan buah itu di meja depan kursi empuk Gerald. Tidak ada ucapan terima k
Debora mundur dari punggung Gerald, dengan sangat terpaksa melepas satu persatu kancing baju seragamnya. Helaan dapas kasar yang Debora hembuskan terdengar di telinga Gerald, membuat Gerald tersenyum menang.“Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu!” seru Gerald sambil memainkan air yang mulai merendam tubuhnya. Gerald melirik pada Debora yang justru terpaku saat tersisa satu kancing lagi, dari baju motif batik mega mendung berwarna biru.“Ahh, sudahlah!. Lama,” seru Gerald kemudian keluar dari Jacuzzi, hanya dengan memakai celana dalamnya. Sontak saja Debora terkejut dan menjerit, sambil berbalik badan. Gerald hanya mengulum senyum dengan reaksi Debora.Gerald segera mengambil handuk dan mengurungkan niatnya untuk berendam. Gerald masuk lagi dalam kamarnya dan memilih untuk tidur di atas ranjangnya.Perlahan Debora keluar dari kamar mandi, setelah merapikan bajunya lagi. Dilihatnya Gerald sudah tertelung
Dengan penuh semangat Debora berangkat ke pelabuhan dengan taksi, untuk naik kapal ferry menuju Singapura. Perjalanan kurang lebih satu jam untuk menyeberang membuat Debora tidak sabar lagi untuk bertemu Pancawati.Dua jam kemudian Debora pun sampai di rumah sakit tempat Pancawati di rawat. Saat memasuki rumah sakut untuk ke lift menuju kamar Pancawati, sosok pria berkaos putih dengan celana denim, mencuri perhatiannya. Sosok pria yang tidak asing baginya dari cara berjalan. Debora segera mempercepat langkahnya, bahkan setengah berlari di lobby rumah sakit menuju lift begitu tahu pria itu juga akan masuk lift.“Tunggu!” seru Debora dengan nafas terengah menahan pintu lift yang akan tertutup.Seorang pria berkacamata berdiri di belakang dua orang wanita menatapnya terkejut. “Bora,” panggil pria itu.Debora masuk begitu seorang wanita menahan pintu lift. Debora pun segera
Mereka berdua sampai di depan pelabuhan. Debora dan Dokter Irfan tidak langsung turun dari mobil. Dokter Irfan masih menunggu Debora tenang dan tidak menangis lagi.“Aku akan mengantarmu sampai hotel jika kamu masih menangis Bora,” kata Dokter Irfan membelai wajah Debora yang tertunduk.“Tidak perlu Fan, aku bisa sendiri. Lebih baik kamu kembali ke rumah sakit dan jaga teman kamu,” jawab Debora. Debora takut jika Gerald melihatnya bersama Dokter Irfan, dan akan membuat Gerald marah.“Aku akan kembali sekarang. Terima kasih Fan,” kata Debora lagi sambil mengusap matanya. “Bora,” kata Dokter Irfan mencegah Debora untuk keluar dari mobilnya. Suaranya terdengar pilu dan penuh harap. “Biarkan aku mengantar kamu,” ucapnya lagi.Begitu Debora keluar dari mobil, Dokter Irfan pun memarkirkan mobilnya, kemudian berlari mengejar Debora ke l
Gerald terpaku melihat layar note booknya. Adegan dewasa seorang wanita dengan suara desahan yang mengundang gairah, di dalam mobil.“Sialan gadis itu. Berani-beraninya dia melawanku,” ucap Gerald dengan penuh amarah. Gerald ingin sekali mendatangi dan menyeret wanita yang ada dalam adegan dewasa itu. Namun sayang, Gerald harus menghadiri peresmian salah satu gerai supermarketnya.“Thom, selidiki Dokter sialan itu. Dia harus tahu, Debora milikku.”“Baik Bos,” jawab Thomas cepat, meski ada tanya dalam hatinya. Sejak kapan, Debora menjadi milik Gerald, dan sejak kapan Gerald menjadi perduli pada wanita.Gerald mengetahui apa yang terjadi pada Debora dan Dokter Irfan, dari kamera dan perekam suara yang ada di jam tangan Debora yang terhubung langsung pada note book Gerald. Maksud hati, Gerald ingin melindungi Debora, namun dirinya harus melihat adegan penuh nafs
Debora terduduk di sudut kamar, tidak sanggup melihat peperangan panas Gerald dengan gadis panggilannya. Debora berusaha menutup mata dan telinganya, namun suara mereka yang saling berteriak merasuk di telinga luarnya, menyalurkan gelombang ke gendang telinga dan berubah menjadi getaran untuk masuk ke dalam telinga bagian dalam. Getarannya terespon juga oleh saraf matanya hingga membentuk bayangan-bayangan erotis yang seolah nyata, meski dia sudah menutup mata dan menyembunyikan kepalanya menunduk di sela tubuh dan kedua lututnya.Tubuhnya bergetar, karena siksaan mental yang Gerald berikan begitu terasa menyakitkan dari pada siksaan fisik yang bisa segera diobati. Terbayangkan bagaimana seorang wanita normal dalam artian tidak memiliki ganguan mental, suka atau kecanduan dengan pornografi, dipaksa melihat adegan seksual secara langsung. Ada rasa jijik, takut dan marah yang menjadi satu.Debora yang terisak sampai tidak menyadari
Dalam pesta, Debora tidak dapat menolak saat diajak bersulang dengan anggur merah oleh pasangan Kang setelah makan malam. Meski sudah dilarang oleh Gerald, saat Debora mengacungkan gelas kedua, Debora tetap meminumnya, dengan alasan menghormati tuan rumah dan menunjukkan kegembiraannya.Karena tidak biasa minum, setelah menghabiskan dua gelas Debora merasa pusing. Debora tidak mampu berdiri tegak, sendirian. Gerald yang tidak pernah meninggalkan Debora, membawa Debora untuk keluar dari ruangan menuju ke dek bagian atas dari kapal mewah itu, sebuah kolam renang kecil, melengkapi kemewahan kapal mewah itu. Gerald membawa Debora duduk di pinggir dek, di samping kolam. Menikmati malam yang cerah dari tengah laut menuju Singapura.“Kapal ini bergerak ke mana Tuan?” tanya Debora saat menatap ke depan mereka, pemandangan kota Singapura.“Singapura. Sebentar lagi kita sampai di Marina,” jawab Gerald tanpa m
Debora sudah terlelap dalam selimutnya, saat Gerald masuk ke kamar. Gerald mengusap kepala Debora, dan memandangnya dengan iba.“Lelaki seperti itu yang membuatmu jatuh cinta,” ucap lirih Gerald kemudian menghela nafas panjang. Gerald sudah mengetahui, rahasia terbesar Dokter Irfan.Gerald kemudian berbaring di samping Debora, setelah berganti kaos dan celana piyama berbahan sutera. Dengan tenang, Gerald tidur dan tanpa mengganggu Debora lagi. Gerald biarkan Debora bermimpi indah sebelum gadis itu tahu siapa kekasihnya yang sebenarnya.“Letha, izinkan aku merawat anak kita. Aku berjanji, akan menyanyanginya sepenuh hati,” seru Gerald dalam tidurnya hingga membuat Debora terbangun. Jam di ponselnya masih menunjukkan pukul tiga pagi. Sebutir air mata lolos dari mata Gerald yang terpejam. Gumaman yang tidak jelas, Gerald ucapkan dengan raut muka sedih. Debora tidak dapat mendengarnya dengan jelas kata-kata yang diucapk
Dua jam setelah prosesi pernikahan, Gerald langsung membawa Debora terbang ke Jepang. Legalitas pernikahan dan restu kedua orang tua sudah di tangan, meski dokumen pernikahan belum tercetak. Gerald sudah memiliki Debora sepenuhnya, tapi tidak dengan hati Debora, yang masih mencintai Dokter Irfan. Gerald pun tahu itu, namun bukan menjadi masalah besar baginya, karena Debora dalam keadaan sadar menandatangani perjanjian pernikahan mereka.“Lihatlah, kanal berita online sudah memeberitakan pernikahan kita, kamu sudah memulai rencana balas dendam kamu,” kata Gerald menunjukkaan situs berita online dari ponsel pintarnya.Debora menatap layar ponsel Gerald, bersamaan juga dengan masuknya notifikasi pesan dari beberapa akun media sosial miliknya yang banjir ucapan selamat dari teman-temannya disertai potongan gambarnya melakukan prosesi pernikahan. Orang-orang yang penasaran dengan Debora, ramai-ramai mengikuti akun sosial media Debora.