“Maaf Tuan. Sepertinya anda salah orang, jika meminta saya untuk membantu anda. Saya tidak pernah meninggalkan. Tolong anda tidak salah mengartikan kondisi saya dengan pacar saya dulu. Semua berbeda dengan kondisi anda dan ibu di masa lalu,” jawab Gerald kesal.
“Kita sama-sama lelaki Gerald. Apa kamu tidak merasa kasihan pada orang tua ini. Aku meninggalkan semuanya untuk Pancawati. Tolong bantu aku!” kata Bachtiar bebal.
“Bukannya anda tinggal dengan keluarga kecil anda yang lain Tuan, di perumahan Cempaka Asri,” kata Gerald yang tidak tahan lagi menghadapi Bachtiar.
Bachtiar tidak menyangka jika rahasianya akan di ketahui Gerald. Matanya terbelalak dengan mulut menganga. Bachtiar mulai membuka satu kancing bajunya, agar tidak panas. Padahal suhu di ruangan Gerald cukup nyaman dengan pendingin ruangan yang di hidupkan.
Gerald melihat gerak-gerik pria tua di depannya dengan senyum sinis, dan mengangkat kakinya. Gerald m
92Rumah Sakit Kota Bogor.Gerald secepatnya mengemudikan mobilnya ke rumah sakit. Jalanan masih cukup lenggang karena jam pulang kerja para pegawai di kota sibuk itu masih satu jam lagi.Gerald sengaja mencuri start untuk melancarkan perjalanannya. Jika Gerald berangkat di jam orang-orang pulang kerja, bisa di pastikan waktunya kan terbuang sia-sia di jalan, dan Pancawati akan kemalaman untuk sampai di Jakarta.Satpam rumah sakit yang sudah hafal dengan Gerald, dengan ramah mempersilakan Gerald untuk masuk.“Sendirian saja Tuan, tidak sama nona kecil?” tanya sang satpam ramah.“Tidak Pak. Kasihan kalau harus bolos sekolahnya. Hmm, ini Pak untuk beli kopi dan temannya, saya tidak sempat mampir tadi,” kata Gerald memberikan selembar uang pada sang Satpam.“Wah, rejeki nomplok di sore hari ini Tuan. Terima kasih banyak,” jawab sang Satpam dengan senyum lebar.Gerald dan sopirnya segera ma
Suntikan ke tiga untuk Debora sudah di berikan oleh Dokter jaga, setelah Gerald mengajak sang Dokter untuk mengobrol di sofa, bersama perawat pria yang tadi membantu Gerald.Gerald pun bisa tidur nyenyak di samping Debora, di kursinya. Dengan tangannya yang menggengam tangan Debora yang dia jadikan bantal, Gerald terlelap.Tanpa Gerald sadari, Debora mulai menujukkan kemajuannya. Perlahan Debora membuka mata dan melihat kesekelilingnya. Cahaya lampu yang ada hanya fokus pada dirinya, satu meter agak jauh darinya hanya remang-remang, karena hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu yang ada di atas Debora.Debora ingin berbicara, namun lidahnya masih terasa kelu, bibirnya pun kaku untuk bergerak. Nafasnya menderu, dan jantungnya berdetak cepat, saat berusaha berbicara.Dengan peningkatan laju kerja jantung, membuat Debora terengah-engah. Rasa dingin di tangannya yang terkena hembusan nafas Gerald, membuatnya menoleh ke samping kiri.“Dia tidur
Kabar bahagia tentang sadarnya Debora bergema di seluruh rumah sakit. Para perawat yang pernah merawat Debora, mengunjunginya ke kamar, bergantian setelah bebrapa alat di lepas dari tubuh Debora. Dan Dokter menyatakan kesembuhan Debora.“Banyak juga yang perhatian sama aku ya Gee,” kata Debora setelah rombongan para suster pergi dari kamarnya.“Seneng ya. Mereka khawatir kondisi kamu dan merasa iba dengan yang kamu alami, Babe,” jawab Gerald yang baru selesai manadi. Wajahnya segar dengan rambut yang masih basah.“Iya, aku pun akan begitu jika melihat yang bernasib sama dengan aku. Ehh, segar kalau mandi ya,” kata Debora yang merasa badannya lengket.“Iya. Mau mandi? Selama ini ‘kan ibu hanya lap-lap kamu saja, mirip bayi,” jawab Gerald dengan senyum.“Hmm, sudah ku duga, rasanya dah tebal ni daki di kulit,” jawab Debora.“Ok, kata Dokter ‘kan sudah bagus. Jadi aku
Gerald tak melepaskan pandangannya dari Debora sejak aktivitas panas mereka di kamar mandi. Dia berada di dekat Debora dengan sabarnya. “Gee, geli deh, dengan sikap kamu yang seperti ini,” kata Debora merasa risih teus di perhatikan oleh Gerald dengan pandangan mesum.“Aku ‘kan kangen kamu,” jawab Gerald dengan senyum menyimpan sejuta keinginan.“Tadi ‘kan sudah puas. Berapa kali coba, hah!” tanya Debora heran. “Ini dipasang lagi ‘kan gara-gara kamu, yang tidak bisa kontrol barang kamu,” imbuh Debora sambil memegang selang oksigennya. Debora merasa sesak, karena jantungnya yang bekerja terlalu berat dengan aktifitas gila yang Gerald lakukan padanya tanpa henti, selama satu jam di kamar mandi.“Maaf,” jawab Gerald dengan senyum dan mencium tangan Debora.Kondisi Debora yang baru sadar dari koma di paksa untuk melayani nafsu Gerald yang Debora kira hanya sebent
Gerald tidak dapat menyangkal lagi jika hatinya telah terpaut pada Debora, dia rela memberikan seluruh jiwa dan raganya pada wanita yang telah mengandung anaknya itu. Gerald begitu memanjakan Debora, membuat Debora terkadang geli sendiri. Perlakuan Ginny pada Debora pun seolah tidak mau kalah dengan daddy-nya. Seolah mereka sedang berlomba untuk menyenangkan hati Debora. “Kalian ini, jangan manjakan aku seperti ini Gee. Nanti aku jadi pemalas. Tidak kamu, tidak Ginny. Ibu juga sama saja,” protes Debora saat Gerald melayani semua kebutuhannya. Bahkan satu minggu pertama sejak Debora di rumah, Gerald semakin sering di rumah dari pada ke kantor. Gerald dengan setia menemani Debora. Menggendong Debora saat waktunya mandi, dan menjadi tugas Ginny untuk menyisir rambut Debora. “Aku tahu kamu bukan pemalas, aku manjakan kamu, karena aku sayang kamu dan anak kita,” jawab Gerald dengan senyum. “Ginny juga sudah tidak sabar ingin lihat adiknya ‘kan. Jadi
Meski Debora yakin Gerald akan mengizinkan dirinya menerima tamu di rumah, apalagi jika orang-orang yang selalu baik dengan dirinya juga sang ibu. Namun, demi melegakan sang ibu, yang tetap merasa tidak enak hati pada Gerald, hanya karena rumah itumilik Gerald, Debora pun menelepon Gerald. “Belum ada satu jam aku pergi, kamu sudah meneleponku, kangen ya, Babe?” tanya Gerald dengan wajah sumringah keluar dari mobilnya, menerima panggilan telepon Debora. Debora tersenyum mengakui, dirinya memang sudah merindukan Gerald, terlepas dari dirinya yang ingin memberi kabar akan mengundang tetangga kontrakannya ke rumah. “Pasti lagi tersenyum sekarang ya,” kata Gerald menggoda Debora dengan hembusan nafas Debora yang terdengar oleh Gerald. Gerald sudah sangat hafal apapun tentang Debora. “Ada apa Babe?” “Aku mau minta izin Gee,” jawab Debora sambil tersenyum senang. “Untuk?” tanya Gerald sambil terus melangkah memasuki lobby gedung kantornya. “T
Gerald menyambut Debora dan membantunya menuruni dua anak tangga terakhir dengan mengulurkan tangannya. Sungguh sikap seorang pangeran pujaan, yang begitu perhatian pada istrinya. Dengan tersenyum manis Debora mengucap terima kasih. Debora berjalan ke meja dapur, mendekati satu piring besar kue pukis yang dia inginkan. “Kamu beli berapa sih Gee. Banyak banget!” tanya Debora sambil mengambil piring yang lebih kecil untuk membagi kue pukisnya. “Hmm, seratus lima puluh ribu, dagangannya langsung habis aku beli,” jawab Gerald dengan tersenyum bangga. Kue pukis dengan harga dua ribu perbuah, dia borong semua. “Tadi dapat bonus lima Babe.” Debora tersenyum, tidak heran lagi dengan cara suaminya mengabiskan uang. “Enak ‘kan Josh?” “Hmm. Iya, enak. Santannya terasa, manisnya pas dan tidak eneg. Dengan selai nanasnya jadi segar,” jawab Joshua setelah menghabiskan satu potong kue. “Iya. Dulu aku sering beli di situ kalau mau berangkat terbang. U
Manager Manda, paham betul jika Manda sedang cemburu pada Debora. Mood Manda yang sedang buruk setelah di tolak seorang produser film, juga Manda yang baru di selingkuhi kekasihnya, melihat Debora begitu beruntung, pasti membuat Manda marah.Sang Manager mengikuti Manda dan berusaha mengajak Manda untuk keluar dari toko, sebelum Manda mempermalukan dirinya sendiri.“Kamu pergi sana, tidak perlu ikut campur urusanku!” seru Manda dengan kencang, membuat para pengunjung toko menatap pada Manda.Gerald dan Debora pun langsung mendongak ke arah Manda, yang berdiri empat meter di depannya.“Manda,” gumam Debora menyerahkan sebuah kaos dalam pada Gerald. Debora ingin berdiri untuk menghampiri Manda.“Duduk saja di sini. Bukan urusan kita Babe,” kata Gerald menahan Debora agar tidak mendekati Manda.“Begitukah?” tanya Debora meminta pendapat.“Iya. Biarkan saja. Ayo pilih lagi, mana