Beranda / Fantasi / Mr. Airlangga / 2. Miss penolong

Share

2. Miss penolong

last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-07 21:15:35

“Pak … eh mas … aduh … anda tidak apa-apa?” pertanyaan tolol macam apa ini, bagaimana mungkin orang tidak apa-apa setelah tertabrak mobil? Aku menunduk di depan orang itu, keadaan gelap gulita penerangan hanya berasal dari lampu mobilku. Orang itu mendongak, memandangku dengan bingung. Tidak ada darah, aku bernafas lega. “Bapak tidak apa-apa?” tanyaku lagi, sepertinya tidak ada yang terluka tapi siapa tahu. Aku harus membawanya ke rumah sakit! Tapi di mana? Gila ini di tengah tol. “Pak … pak …,” kataku lagi yang terlihat sia-sia karena laki-laki itu hanya memandangku bingung.

Aku meraih pundak laki-laki itu yang dengan kasar ditepisnya, dengan kaget aku mengangkat tangan seperti orang yang sedang ditodong senjata membiarkan leher dan kepalaku dengan susah payah menyangga payung di tengah lebatnya hujan. Aku memandang lelaki itu, memberikan tatapan malaikat manis untuk memberitahu bahwa aku tidak bermaksud jahat. Jahat? Memang apa yang bisa aku perbuat dengan tubuh mungil 155 cm dibanding pria itu yang sepertinya besar dan sangat tegap. “Masuk ke mobil Pak, hujannya deras banget” kataku sambil menunjuk ke arah mobilku. Kali ini dia membiarkan aku menolongnya berdiri. Dan ternyata menolong bukan kata yang tepat, laki-laki ini sangat tegap, tinggiku hanya sama seperti tinggi dadanya. Tetapi tetap tidak mengurungkan niatnya untuk memapahnya masuk ke dalam mobil.

Aku menarik nafas panjang, baru menyadari kebodohan akutku setelah duduk di dalam mobil, aku membiarkan seorang asing masuk dan duduk bersama di dalam mobil. Seorang asing yang juga adalah lelaki berbadan tegap yang kemungkinan hanya dengan menjentikkan jarinya aku akan jatuh pingsan dan baru tersadar tiga hari kemudian. Ya Tuhan bodohnya aku.

Aku melirik lelaki berbadan tegap di sampingku, mukanya masih tampak bingung, memandangi interior mobil seperti baru pertama kali dia melihatnya. Mobilku tidak bisa terlalu lama berhenti di sini, sebelum ada mobil lain yang salah tempat menyusruk mobilku, aku harus segera jalan.

“Mas … bisa saya antar ke mana, ke tujuan mas” aku memutuskan untuk memanggil mas, sepertinya si badan tegap ini belum terlalu tua. Berapa yah umurnya, akhir 30an? Dia menoleh ke arahku, cukup membuat aku tegang. Dari keremangan lampu interior mobil aku bisa melihat wajahnya yang tampan, ala makjang masih sempet-sempetnya aku menilai dia tampan atau tidak disaat kemungkinan aku terjatuh di tangan psikopat. Dia masih diam.

“Mas …” Kataku lagi.

“Tempat apa ini?” akhirnya dia berbicara. Pheeeww … aku menarik nafas lega, minimal dia bisa berbicara, coba kalau dia ternyata tidak bisa berbicara dan aku tidak tahu menahu bahasa isyarat bagaimana kita akan berkomunikasi coba?

“Bandung.” Jawabku ragu-ragu, aku tidak yakin apa maksud pertanyaan dia dengan “tempat apa ini”, apa maksudnya kita di mana? Aku yakin aku belum meninggalkan bandung.

“Bandung? Apa itu nama desa?”

Hah … dia tidak tau Bandung? Mati gue, jangan-jangan tabrakan tandi membuat dia gegar otak. Sekarang dia mengalami amnesia dan tidak tahu siapa dirinya, tidak tahu apapun! Terus apa yang harus aku lakukan? Tiba-tiba aku ingat film Jason Bourne, dimana dia mengalami amnesia setelah tertembak dan jatuh ke laut. Tetapi lelaki ini bukan Jason Bourne, tapi dari postur badan dan wajahnya bisa saja lho dia menjadi the next Jason Bourne. Aarrrgghhh gue ngelantur lagi.

“Mas ingat namanya siapa?” ok, pertanyaan basic untuk memastikan apakah dia amnesia atau bukan.

Dia memandangku sesaat, seperti ingin memastikan bahwa aku ini manusia.  “Aku Ra Putra Airlangga” jawabnya singkat, ada nada kewibawaan Ketika dia mengucapkan namanya.

Nama yang aneh pikirku, Ra Putra Airlangga. Mendengar nama Airlangga saja sudah jarang, apalagi pakai Ra Putra. Tetapi mungkin orang tua orang ini adalah penggemar nama-nama kuno, siapa tahu. Namaku saja memakai Maharani, yang juga bukan nama moderen.

“Kenapa kamu tersenyum?” tanyanya membuyarkan lamunanku.

“Ah … maaf, namanya terdengar agak aneh. Kurang familliar untuk jaman ini” jawabku.

Dia terdiam. “Kamu menggunakan kata-kata yang cukup aneh,” dia seperti sedang mencerna sesuatu. “Tetapi aku bisa memahaminya”. Sumpah aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan.

“Bisa saya antar ke mana?”

“Aku hendak pergi ke kerajaan Majapahit, tetapi tiba-tiba aku berada di sini” katanya sambil celingukan meniti sekeliling yang gelap gulita.

Majapahit? Hhhmmm … mungkin dia harus aku bawa ke rumah sakit, bisa saja terjadi gegar otak. Aku harus bergerak cepat sebelum terjadi apa-apa dengan dia. Ok, di mana rumah sakit terdekat?

“Ok … saya bawa Mas ke rumah sakit ya?” dia memandang aku dengan wajah tidak mengerti, seolah-olah kata rumah sakit adalah sebuah kata dari jaman pra sejarah yang belum bisa diterjemahkan oleh ilmuwan sekarang. Aku melihat seat belt dia yang belum terpasang, dengan otomatis mengarahkan tanganku untuk memasangkan seat belt, dan ditangkis dengan genggaman kuat. Sangat kuat. “Aww … aaww” jeritku kesakitan. Dia melepaskan tanganku dengan cepat. “Saya cuman mau masangin seat belt” dengan cepat aku meraih seat belt dan menguncinya, menarik tanganku secepat aku bisa takut kalau-kalau ada tangkisan kedua.

Aku mengemudi dalam diam sambil sesekali melirik ke Ra Putra ... haish namanyan susah bener. Aku berusaha tampak kalem walaupun dalam hati aku benar-benar jiper. Bagaimana kalau dia seorang psikopat beneran? Terus aku diculik, diperkosa dan dimutilasi? Oh nooo, membayangkannya membuat aku bergidik ngeri. Lagian bodoh banget sih aku, kenapa aku masukin laki-laki ini ke dalam mobil.

 Tapi kamu nggak bisa meninggalkan dia sendirian setelah kamu tabrak dodol! Pikiranku mendebat diriku sendiri. Aku mengangguk menyetujui sisi pikiran yang agak baik ini, tapi sisi pikiran takutku menciut di sudut, seperti tikus yang melihat kucing lapar.

Karena sibuk berdebat dengan pikiranku sendiri ternyata aku mengemudikan mobilku meninggalkan bandung, baru tersadar ketika gerbang tol sudah berdiri manis di arah depan. Lha bagaimana dengan rencana membawa dia ke rumah sakit? Aku menengok ke arah penumpang baruku yang masih terdiam. “Saya harus kembali ke bandung atau langsung ke Jakarta?” tanyaku padanya, walaupun itu juga pertanyaan yang sama yang aku ajukan ke diri sendiri. Dia tidak menjawab. Baiklah, Jakarta it is!

Hujan mereda begitu aku memasuki gerbang tol. Akhirnya aku bisa melajukan mobil dengan kecepatan normal, pheeewww. Penumpang baruku masih belum bersuara dari tadi, pikiran kuatir mulai nongol lagi di kepalaku, jangan-jangan dia sedang merencanakan sesuatu yang tidak normal buat aku. Aduh jangan-jangan dia benar-benar psikopat … heeeeelllppp.

“Mas … ada yang terasa sakit, misalnya di kepala atau tempat lain gitu?” tanyaku asal, membuka kesunyian. Dia menoleh, dari sudut mata aku bisa menangkap wajahnya yang ternyata lumayan ganteng. Duuh ini sempat-sempatnya.

“Benda apa ini?” tanyanya dengan suara bariton yang anehnya kok terdengar berwibawa. Gimana bisa?

“Maksudnya?” tanyaku bingung, lha iya maksudnya benda apa.

“Ini …” dengan hati-hati dia menyentuh dashboard mobil.

“Mobil maksudnya?” tanyaku lagi tambah bingung. Suer amnesianya mungkin sangat parah, sampai-sampai dia lupa ada kendaraan bernama mobil.

“Mo bil” katanya pelan, lebih ke diri sendiri.

“Mas inget nggak rumahnya di mana, atau mau ke mana?”

“Aku berasal dari Singosari dan hendak pergi ke kerajaan Majapahit, ketika tiba-tiba aku terbentur benda ini. Mo-bil”

Sumpah aku mau tepok jidat, tapi terhalang perasaan tidak enak dan tidak sopan. Hadooh kenapa gue jadi kena masalah begini sih? Singosari ... Majapahit. Yang aku tahu Singosari itu nama tempat di solo dan Majapahit? Aku memutar otak menimbang-nimbang di mana rumah sakit terdekat yang mempunyai peralatan lengkap. Mungkin dia harus di scan di kepala, masuk di besin besar seperti di film-film itu. Hhhmm … mahal nggak yah kira-kira? Duh, mesti merogoh celengan nih, huaaaa … Mamiiiihh tolonglah anakmu ini.

Setelah melalui perdebatan panjang dengan diri sendiri, lah dengan siapa lagi coba? Pastinya si Ra Putra Airlangga tidak dalam posisi yang aku percaya untuk berdiskusi. Bisa-bisa dia nanti ngomongin tentang Hayam wuruk, perang bubat … apalagi yah … hhhmm baru sadar pengetahuan sejarahku sangat minim, aku berjanji untuk g****e nanti ke depannya atau … a ha, kirim surat ke Menteri Pendidikan supaya materi pelajaran sejarah lebih detail. Betul kan? Kalau bukan kita generasi anak Indonesia yang belajar sejarah Indonesia, siapa lagi?

Setelah berdiskusi panjang dengan diri sendiri akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke apartemen. Dengan mempertimbangkan, satu - sekarang sudah malam walaupun aku ke rumah sakit orang ini hanya akan ditaruh di ruang gawat darurat dan akan menunggu penanganan besok pagi dan  dua - pakaian dia basah kuyup. Pakaianku juga, basah seksi begitu. Pulang adalah keputusan paling bijaksana untuk saat sekarang.

Bersambung ...

Bab terkait

  • Mr. Airlangga   3. Nama saya Lusia Maharani

    Aku menarik nafas lega ketika akhirnya aku berhasil memarkir mobil dengan selamat dan yang paling penting lagi sampai apartemen dengan selamat pula. Sampai detik ini orang ini belum menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah seorang psikopat, pheeeww.“Ini apartemen saya, besok pagi saya antarkan ke rumah sakit. Sekarang Mas bisa mengeringkan badan di atas biar nggak masuk angin” kataku seolah-olah menghindari masuk angin adalah hal yang paling penting saat ini. Aku membuka pintu dan menggambil koper kecilku yang terletak di jok belakang. Besok harus cuci mobil, kalau nggak mau mobil bau apek pikirku. Aku melihat Ra Putra Airlangga yang masih duduk manis di dalam mobil. Maksudnya, gue yang harus bukain pintu gitu? Amnesia sih boleh, tapi terus jangan bikin gue jadi babu dong. Aku mendengus kesal lalu berjalan kearah pintu penumpang.Aku membuka pintu dengan tampang cemberut dan sukses berubah terbengong ketika setelah beberapa detik si Ra ... haish, aku menam

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   4. Panggil aku Ra Putra Airlangga

    Dia memandangku dengan pandangan misterius.“Aku tidak tahu ada nama desa Surabaya, Semarang atau Jakarta” katanya lirih, lebih ke dirinya sendiri.Desa? Memang nggak ada nama desa Jakarta atau Surabaya cui, itu nama kota. Kota besar! Tapi seriusan nih orang nggak tahu Jakarta dan Surabaya? Apakah seberat itu amnesianya? Aku menyesal tidak membawanya ke rumah sakit langsung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa dengannya malam ini di sini? Meninggal? Aku akan berurusan dengan polisi, jadi tersangka utama. Aku dengan tinggi 155 cm ini, mencelakai lelaki yang cocok menjadi espionage sekelas Jason Bourne.“Memang kamu benar tidak tahu Jakarta atau Surabaya?” tanyaku.“Apakah kedua desa tersebut berada di wilayah negara Majapahit?”Dari tadi orang ini ngomongin negara Majapahit terus, kita kan bukan berada di era Patih Gajah Mada!“Kedua kota tersebut ada di wilayah Indonesia, negara persatuan republik

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   5. Rahasia jaman ini

    Pelan-pelan aku turun dari tempat tidur, dan dengan gerakan sehalus ninja aku berjingkat-jingkat ke arah pintu. Persis seperti maling, bedanya aku berada di rumahku sendiri.Ceklek!Duh kenapa ini kunci suaranya berisik banget, aku merutuki kunci pintu yang hanya bisa diam tak berdaya. Dengan gerakan sangat pelan aku membuka daun pintu. Treeeettt … terdengar suara pintu yang berdecit memilukan, arrrggghhh … nih pintu kenapa jadi tidak bersahabat begini! Aku mengintip dari celah pintu yang berhasil aku buka. Dia ada di sana! Aku kejapkan mata dan kukucek berulang-ulang, berharap dengan kucekan mata akan merubah keadaan.Aku intip lagi. Dia masih ada di sana, duduk di lantai dengan kaki bersilang dan tangan di atas lutut masing-masing seperti sedang melakukan yoga. Eh yoga?Kali ini aku berdiri di ambang pintu melupakan acara intip-mengintip. Dia duduk dengan sangat tenang, kedua mata tertutup dengan nafas naik turun yang teratur. Mungkin dia

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   6. Mr. Dazzling

    Aku menunggu di ruang ganti pria di salah satu brand yang menyediakan koleksi pakaian pria. Aku pilihkan beberapa potong kemeja, polo shirt dan celana Panjang. Entah bagaimana nanti rupanya Mr. Airlangga dengan baju modern atau apa pendapatnya tentang baju modern.Aku mencari-cari informasi tentang seorang Pangeran bernama Ra Putra Airlangga dari jaman Singosari atau majapahit, tetapi tidak berhasil mendapatkan informasi apapun. Jangan-jangan dia berbohong, pikirku mulai curiga.Terdengar bunyi “ping” pertanda ada pesan masuk di smartphoneku, dari Inge.“Kita sudah sampai di Jakarta, setelah elo terlantarkan dengan semena-mena di bandung. Kapan mau traktir fancy dinner?”Inget aja sama yang namanya perampokan. Dengan semangat aku hendak mengetik di layar handphone menceritakan kejadian luar bisa tentang si Pangeran Airlangga, lalu aku hapus. Apa mereka siap mendengar cerita ini? Aku menghembuskan nafas, tapi sampai kapan aku akan s

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   7. Pacar?

    “Loe kok nggak cerita sih kalau punya pacar seganteng itu” omel Arini sambil sesekali melirik ke arah Mr. Airlangga.Akhirnya aku mengenalkan juga Mr. Airlangga ke dunia. Diawali dengan berkenalan dengan kedua sahabatku. Pastinya tidak mungkin dia aku sembunyikan terus menerus di apartemen, nanti bisa bonyok terlalu mateng, dan aku tidak bisa terus menerus menghindar dari dunia. Jadilah hari ini aku mengikut sertakan dia ketika aku bertemu dengan Inge dan Arini.Tentunya tidak dengan menerangkan bahwa dia adalah seorang Pangeran dari kerajaan Singosari. Aku mengenalkannya sebagai Ra Putra Airlangga saja, tanpa embel-embel Pangeran.“Namanya cukup antik, Ra Putra Airlangga” kata Inge, direspon dengan senyuman yang mampu meluluhkan batu cadas oleh Mr. Airlangga. Aku bisa melihat binar-binar terpesona di mata Inge. Sebelum dia benar-benar meleleh oleh laki-laki yang berumur ratusan tahun ini, aku meminta Mr. Airlangga untuk duduk di meja ter

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   8. Mencari wangsit

    Aku mengemudikan mobil ke arah taman mini seperti instruksi Mr. Airlangga. Dia bilang dia perlu bermeditasi, dan bermeditasi di pura akan membantunya untuk lebih berkonsentrasi. Aku tidak tahu apa bedanya, tapi dengan patuh menuruti, lebih cepat pergi akan lebih baik, sudah cukup pusing aku menerangkan ke kedua sahabatku.30 menit kemudian kami sudah sampai di pura, jalanan dengan sangat ajaib cukup sepi sehingga aku bisa memacu mobil dengan mulus tanpa sendatan macet. Mungkin semesta tahu bahwa seorang Pangeran pada masa Majapahit akan lewat dan memberikan ijin. Wah dia memang benar-benar bukan orang biasa, mendadak aku bersemangat, kalau alam semesta saja begitu menghormati dia mungkin tidak lama lagi dia akan bisa kembali ke dunianya. Dan hidupku bisa kembali normal, sebagai seorang Lusia maharani. Bisa kembali menulis lagi, pastinya pengalaman ini akan aku tuangkan ke dalam tulisannku, bagaimana aku bisa melewatkan pengalaman luar biasa ini. Aku tahu kalau aku bercerita k

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   9. Hampir saja

    “Sekarang apa?” tanyaku ke Mr. Airlangga yang sedang asik membaca novel Da Vinci Code. Entah kenapa semenjak berkenalan dengan salah satu buku Dan Brown tersebut dia seperti terobsesi, dengan tanpa henti dia terus menerus terpaku di dengan buku di tangan.“Buku ini sangat menarik, aku benar-benar ingin bertemu dengan orang yang bernama Professor Langdon ini” katanya dengan pandangan masih terkunci ke arah buku.Aku mengerutkan bibir dengan kesal “itu hanya fiksi, karangan, bukan hal nyata, hanya rekaan sang penulis” aku mencoba menerangkan.“Maksudnya ini tidak benar-benar terjadi?” ada nada sedikit kecewa dengan pertanyaannya.“Ya tentu saja tidak, tetapi tempat-tempat di novel itu nyata. Benar-benar ada” jawabku kesal.“Waaahh … jadi benar-benar ada lukisan yang bernama Monalisa?” katanya dengan raut muka penasaran tingkat tinggi.“Iya ada, di musium berna

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Mr. Airlangga   10. Maka dimulailah

    Aku membuka pintu lemari dengan terburu-buru, bersiap mental menghadapi muka masam Mr. Airlangga. Namun yang aku ketemukan membikin aku terbelalak, dia sedang duduk bersila dengan mata tertutup, wajahnya tampak tenang seperti sedang beryoga di tengah pesawahan hijau, bukan di lemari yang tertutup. Aku berjingkat-jingkat mundur beberapa langkah, mencoba memberikan ketenangan ke Mr. Airlangga. Dia sedang bermeditasi, dia membutuhkan ketenangan.Klontangggggg ….Kakiku menabrak botol hair spray yang entah kenapa memilih gegoleran manja di lantai, bukan duduk manis di meja seperti seharusnya. Aku melirik ke arah Mr. Airlangga, memberikan senyum terpolosku. Ternyata matanya masih terpejam, kok bisa?“Aku belum pernah menemukan orang yang sangat pandai membikin kegaduhan sampai aku bertemu dengan kamu”“Whoops … sorry” aku meletakkan hair spray di meja rias, menatap Mr. Airlangga yang sekarang sudah membuka mata. “Jad

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07

Bab terbaru

  • Mr. Airlangga   46. Pangeran kecil

    “Ambil napas Lus, lalu dorong yang kuat … doroooong,” suara Mama memberikan semangat entah untuk keberapa kalinya.Napasku tersengal-sengal, peluh bercucuran mengalahkan orang yang habis mandi keramas. Entah sudah berapa kali aku mencoba mendorong bayi yang masih bandel bergelung nyaman di dalam perutku ini, rupanya dia masih terlalu malas untuk keluar. Beberapa suster dan juga Dokter Astrid yang berada di ruangan ini, tak henti-hentinya memberikan aku semangat. Mereka bagaikan cheerleader yang sedang menyemangati atlit gymnastic, atlitnya adalah aku dan minus adegan gymnastic berjumpalitan di atas papan empuk, aku sedang terbaring setengah duduk dengan kedua kaki mengangkang lebar dan tangan Dokter Astrid yang dengan siap sedia akan menangkap si bayi lucu yang seharusnya sudah keluar sedari tadi.Aku mendorong lagi, sekuat yang aku bisa menimbulkan sensasi mati rasa selama sepersekian detik sebelum digantikan rasa sakit itu lagi. Tubuh

  • Mr. Airlangga   45. Rumah sakit

    Cengkeraman kuat ke jok mobil ternyata tidak bisa membantu mengurangi rasa sakit. Seandainya aku bisa menyalurkan rasa sakit ini ke tempat lain. Aku menggeram menahan dorongan kuat dari dalam sana.“Atur napas Lus, masuuuukk … keluar … masuuk … keluar,” kata Mbak Dila mencoba menenangkan.Aku mencoba mengatur napas seiring dengan perkataannya, berharap akan bisa mengurangi sedikit saja rasa sakit ini. Sedikit saja, aku tidak serakah untuk minta semuanya hilang. Tidak berhasil!!Entah karena cengkeraman atau dorongan yang terlalu kuat dari dalam perut, aku merasakan sesuatu yang basah di bawah sana.“Mbaaak …,” erangku.“Ya Lus, sabar. Kita sebentar lagi sampai,” dia menekan klakson dengan kesetanan. Sekarang entah mana yang lebih mengganggu, rasa sakit yang terasa menjalar ke seluruh badan atau suara klakson yang mengalahkan raungan ambulan.“Ada yang basah M

  • Mr. Airlangga   44. Kram perut?

    “Menurut saya, ini warnanya terlalu terang … terlalu ceria. Saya mau yang sedikit misterius tetapi tampak agung.” Aku mengomentari revisi sampul novel terbaruku.Entah karena semangat hamil, atau kerinduanku terhadap Airlangga yang semakin bertambah semakin hari bukannya semakin berkurang tetapi malah semakin membumbung, aku berhasil menyelesaikan novel terbaruku dalam waktu beberapa bulan. Dengan genre yang agak nyleneh dari cerita yang selalu aku buat dan ketebalan dua kali dari rata-rata novel sebelumnya.Mbak Dila, editorku mengerutkan kening ketika pertama kali membaca naskahku.“Bukan genre yang biasa kamu buat Lus, tapi brilliant!” serunya.Tentu saja brilliant, lha aku yang mengalami sendiri cerita di dalam tulisan itu. Sayangnya aku hanya bisa mengungkapkan itu di dalam hati, sedangkan Mbak Dila aku respon dengan senyuman rendah hati.Tetapi semangat Mbak Dila yang kemarin menyala-nyala dengan i

  • Mr. Airlangga   43. Cinderella

    Makhluk aneh. Itulah aku sekarang.Tidak mudah menjalani hidup dengan hamil tanpa suami, bahkan di kota sebesar dan secuek Jakarta.Aku kembali ke apartemen, menjalani hidupku di sini, dan perut semakin membesar dengan bertambahnya hari. menegakkan kepala setiap kali bertemu dengan penghuni apartemen lain. Rata-rata mereka melayangkan pandangan risih ke arahku, apalagi ketika tahu bahwa tidak ada laki-laki yang akan menjadi bapak untuk bayi yang sedang berada di dalam perutku.Mas Rio sangat rajin bertandang, dia adalah figur penguat dalam hidupku yang sedang carut marut sekarang. Bagaikan jangkar kapal yang menjaga badanku supaya tidak karam ditengah gemuruh gelombang hidup. Dia selalu menawarkan untuk mengantar setiap jadwal kunjungan ke dokter yang tentu saja aku tolak. Rasanya aneh berkunjung ke dokter kandungan ditemani oleh kakak laki-lakimu, sudah cukup aku hamil diluar nikah, jangan sampai ada yang mengira aku berhubungan sedarah dengan kak

  • Mr. Airlangga   42. Tekat

    Sendok di tangan Mama terjatuh, menimbulkan bunyi gemelincing yang membuat pendengaran terasa nyeri. Mama menatap ke arahku dengan pandangan marah, terkejut dan takut. Semuanya menjadi satu, mulut beliau ternganga.Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah Mama terlalu lama apalagi Papa. Aku tidak berani menyaksikan ekspresi wajahnya, dia pasti marah. Oh bukan, marah sepertinya bukan kata yang tepat. Beliau pasti murka.“Hamil?” suara Papa terdengar menggelegar, lebih mencekam dibandingkan suara geledek di musim hujan.Aku mengangguk, menundukkan kepala semakin dalam.“Siapa yang be-. Pacar kamu, siapa pacar kamu. Kenapa dia tidak berani menampakkan batang hidungnya ke sini, seharusnya dia yang memberi tahu dan akan aku pastikan untuk mendapatkan pelajaran!” lanjut Papa lagi, masih murka.“Begini Pa, masalahnya pacar Lusia tidak akan bisa hadir di si—”“Kamu tahu adik kamu hamil?!&rdqu

  • Mr. Airlangga   41. Saatnya tiba

    “Mama cuman mau bilang bahwa kamu bisa cerita ke Mama kalau ada apa-apa.” Suara Mama terdengar sangat bijaksana.Aku memang sering bercerita banyak hal ke beliau, termasuk ketika aku lagi bokek tingkat dewa dulu yang berakhir dengan selipan beberapa lembar uang lima puluhan ribu di dompet. Tapi masalah yang ini bagaimana aku bisa mengatakannya ke Mama dan juga Papa, semua jalinan kata yang aku rangkai di otakku selalu kandas. Padahal aku ini penulis, tapi kemampuan merangkai kata sekarang mendadak sirna. Tidak ada kalimat yang sepertinya sesuai untuk memberitahukan kehamilanku.“Iya Ma,” kataku tercekat, berpura-pura sibuk menyendok sayur asem dari dalam mangkuk. Berharap Mama akan berhenti bertingkah bak seorang detektif.*Aku berdiri di depan kamar Mas Rio, dengan ragu-ragu mengetuk pintu. Kakakku ini selalu betah berada di dalam kamar, mengurung diri di dalam zona zen berupa teknologi. Di dalam kamarnya terdapat d

  • Mr. Airlangga   40. Mama sang Detektif

    “What?!” respon Arini dan Inge hampir berbarengan diiringi wajah syok dengan mulut melongo membentuk huruf O besar yang berlangsung beberapa lama.Aku menyeruput sisa-sisa orange juice dari dalam gelas untuk membasahi tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering. Dua makhluk di hadapanku ini masih belum bangun dari keterkejutan mereka, ini hampir seperti film fantasi di mana pemeran utama yang adalah aku bisa menghentikan waktu, saat ini aku bebas berbuat apapun karena buat kedua temanku waktu sedang berhenti.“Loe … hamil betulan?” Arini masih tidak percaya, seandainya aku tidak betulan hamil tentulah aku akan menjadi orang paling bahagia di dunia saat ini, tidak perlu memusingkan mau aku apakan makluk mungkin yang sedang bertumbuh di dalam perutku.“Iya,” kataku parau.“Anak Airlangga?” Inge bertanya, aku jawab dengan anggukan lemah.“What the … dia udah ngehami- &helli

  • Mr. Airlangga   39. Pulang

    Aku pulang. Kening Mama berkerut ketika melihat koper kecil yang dijinjing Mas Rio, dia memberikan alasan ke Mama bahwa aku sedang kurang sehat dan diam sendirian di apartemen tanpa asupan makanan yang terjamin akan membuat kesehatanku sulit membaik. Alasan yang ada benarnya sebagian. Tentu saja Mama senang dengan kepulanganku, apapun itu alasannya. Melihat anak-anaknya yang sudah besar berkumpul kembali mungkin mengingatkan beliau tentang masa-masa kecil kami. Masa yang sangat dirindukan oleh Mama setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri. Walaupun tidak banyak ekspresi di wajah Papa, aku tahu beliau juga sangat bahagia bisa melihat puterinya berlalu lalang di rumah ini. Aku langsung menuju kamar dengan alasan ingin beristirahat, walaupun alasan yang sejujurnya aku tidak berani menatap wajah kedua orang tuaku. Tidak berani membayangkan bagaimana reaksi mereka ketika mereka tahu aku hamil. Untuk saat ini yang bisa aku lakukan adalah menghindar, entah sampai

  • Mr. Airlangga   38. Kehamilan dan kebingungan

    Mas Rio tertegun mendengar tiga kata ucapanku, raut wajahnya bercampur antara syok dan bingung. Dia seperti kehilangan kata-kata, tidak tahu harus merespon bagaimana. Hal sama yang aku rasakan saat ini, tidak tahu bagaimana harus merespon kehamilan yang aku ketahui beberapa jam yang lalu.“Ba—”Mas Rio tidak menerukan perkataannya. Bagaimana bisa? Tentu saja bisa, aku berhubungan sex dengan Airlangga yang dengan bodohnya kami lakukan tanpa pengaman. Tentu saja aku tidak bisa menyalahkan Airlangga, di jamannya mana ada pengaman, aku yakin dia tidak tahu kondom itu apa. Harusnya aku lebih pintar, bodohnya. Merutuki diri sendiri memang tidak ada guanya saat ini, tetapi hanya itu yang bisa aku lakukan, merutuki diri, karena aku tidak tahu harus berbuat atau merespon apa tentang kehamilan ini.“Kamu sudah memikirkan mau bagaimana?” kata Mas Rio setelah terdiam cukup lama.Aku mendongak ke arahnya den

DMCA.com Protection Status