Orva beralih untuk mengendarai mobil. Sedangkan Oscar mengejar sembari meninggalkan jejak yang akan membuat Orva bisa mudah menyusulnya.
Oscar melompat. Ia bergelantungan di mobil. Mobil melaju sangat cepat. Tangannya yang berkeringat menjadikan pegangannya semakin licin. Ujung kukunya terasa terkoyak. Napas Oscar mulai terengah-engah. Ia harus menahan terpaan angin sembari bergelantungan tanpa arah.Brak! Brak! Brak! Oscar menendang kaca mobil. Namun, tenaganya sangat terbatas dan konsentrasinya terbagi sehingga beberapa kali tendangan hanya meretakkan kaca tersebut, atau mungkin saja, bisa jadi mobil yang digunakan sudah dimodifikasi supaya tidak mudah untuk dihancurkan."Akh!" teriak Oscar.Bruk! Oscar terjatuh. Mobil itu tiba-tiba banting stir sehingga Oscar langsung terpental. Jalanan begiTuan Dogam tidak membiarkan Renza pergi sendirian. Ia mengejarnya dan mencegah Renza untuk pergi. Renza yang diliputi oleh amarah, tidak peduli siapa lawannya. Entah itu guru yang mengajarkan teknik padanya atau bahkan orang lain.“Lepas! Anda pikir saya akan diam saja? Bajingan itu membawa Kiana!” bentak Renza. Ia berbicara formal karena kepercayaannya telah hilang. Emosi melenyapkan akal sehatnya.“Apa yang bisa kau lakukan dengan keterbatasanmu seperti ini? Kau pikir kau bisa mengalahkan mereka? Bukankah sama dengan mengantarkan nyawa?” balas Tuan Dogam. “Pikirkan tawaranku. Lampaui Kiana dan jadilah dirimu sendiri,” sambungnya.“Berhenti bicara omong kosong dan biarkan aku pergi!” Mulut Renza ingin sekali memaki tapi fokusnya terbagi.“Kalau kau bisa melampaui Kiana, menghabisi mereka adalah hal kecil. Renza, jangan kekanak-kanakan.” Tuan Dogam masih berusaha untuk membuat Renza masuk ke dala
“Ren!” Renza akhirnya menoleh. Kiana terlihat sangat berantakan. Wajah memerah. Matanya yang indah sedikit bengkak. Mungkin karena ia sudah banyak mengeluarkan airmata. Suaranya juga terdengar sangat lemas. Ia seperti tidak memiliki gairah hidup. Perasaan Renza tersayat-sayat. Ia langsung bergegas dan memeluk Adik yang sangat ia cintai. Adik yang selalu ingin ia bahagiakan sampai tidak memiliki waktu untuk memikirkan wanita lain yang mengemis meminta untuk mengisi hatinya.“Kiana!” Renza memeluk Kiana dengan erat. “Ada apa denganmu? Kenapa kau datang-datang langsung memelukku?” tanya Kiana. “Berhenti bersikap cengeng, sialan!” imbuhnya.“Diamlah!”
Delice meminggirkan mobilnya ditepi jalan. Ia memegang tangan Naura yang sedari tadi menunjukkan kecemasan."Renza sudah mengatasinya, sayang. Kau tidak perlu khawatir," kata Delice."Iya. Seharusnya aku tidak seperti ini. Hanya saja, aku merasa menyesal karena tidak mengatakan pada Kiana sedari awal," kata Naura."Hei!" Delice memegang dagu Naura. Ia meminta Naura untuk menatapnya. "Bukan salahmu. Kau percaya takdir, bukan?" sambungnya."Maaf, Delice. Seharusnya aku tidak selemah ini." Naura yang dulunya lembut, tetap saja menjadi wanita yang lembut. Tidak ada yang berubah darinya meski dari tangan kecilnya, ia sudah membunuh beberapa orang dengan keji."Apa kau tidak merindukanku? Bagaimana kalau malam ini kita tidak pulang dan kau fokus padaku?" ucap Delice."Delice, apa kau suka melakukannya dalam keadaan seperti ini?""Tidak juga. Aku ingin melakukan dalam keadaan apapun karena bersamamu."
"Untuk sementara, kau tinggal di sini dulu sampai aku menemukan apartement yang cocok untukmu. Tidak masalah, bukan?" Mansion begitu besar. Banyak kamar kosong, apalagi kamar untuk tamu. Namun, Arta memilih untuk meminta Agnes tinggal di penthouse miliknya sementara waktu sampai ia menemukan tempat tinggal yang lebih layak untuk Agnes."Kenapa aku tidak tidur di kamarmu saja?" tanya Agnes. "Aku wanita lemah. Bagaimana kalau ada yang berniat untuk menyakitiku?" lanjutnya. Arta menyumbingkan bibirnya. Kata lemah dan juga ekspresi yang tidak berdaya, terdengar menggelikan di telinga Arta."Aku bukannya tidak mau kau tidur di kamarku, aku hanya tidak ingin," kata Arta sembari membuka pintu penthouse."Apa bedanya?" Agnes tertarik dengan Arta tapi ia terlalu cuek hingga tidak tahu ketertarikannya sebesar apa. Bahkan tidak dapat dinilai o
Tok … Tok … Tok … Zavier mengetuk pintu kamar Eren. Ia sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk bertukar sapa. Sedangkan rasa rindu tidak dapat ia pendam selama itu."Siapa?" Suara Eren menyahut dengan sangat malas."Aku!" jawab Zavier."Aku siapa?" tanya Eren. Ia membuka pintu dengan malas."Apa kau sudah tidur? Kalau begitu, besok saja kita bicara lagi," ujar Zavier. Eren tidak membiarkan Zavier pergi. Ia langsung memeluk Zavier begitu erat dan membawanya masuk ke dalam kamar. Lelah yang Eren rasakan seperti langsung terbayar oleh kedatangan Zavier. Pelukan manja yang mampu menghilangkan penat yang mengukung otaknya."Hei, jangan menggigit dadaku!" pekik Zavier. Ia mendorong Eren sebisa yang ia lakukan."Pelit!" gerutu Eren. Zavier yang hanya
Malam ini memang sangat mendukung untuk setiap orang yang memiliki suasana hati buruk. Ken merasakan hal yang sama. Namun, Ken memang memiliki suasana hati buruk setiap malam. Ken mendatangi Olin di kamarnya di jam istirahatnya. Ia berbaring dengan pangkuan paha Olin yang menjadi bantalan kepalanya. Sejak kejadian malam itu, hubungannya dengan Olin sedikit renggang. Olin menghindarinya. Ia menjaga jarak untuk tidak melukai siapapun."Olin," Ken mengarahkan tangan Olin yang bergerak ragu untuk menyentuh kepalanya. "Kau boleh menyentuhnya kalau kau mau," kata Ken. Olin mengusap rambut Ken. Ia membelai setiap helai rambut Ken yang masih tetap hitam karena warnanya belum memudar."Olin, ada yang ingin aku tanyakan padamu," ujar Ken. Mungkin saja jawaban Olin akan menjadi keputusan akhir dalam hubungan mereka.  
Setiap orang memiki cerita hidupnya masing-masing. Setiap orang memilki kisah cinta yang juga berbeda-beda. Kiana yang sedang patah hati karena pria yang ia cintai mengenalkan wanita lain sebagai calon istrinya. Renza yang hanya berfokus pada amarahnya. Zavier yang melewati batasan karena cemburu. Delice yang mencoba hal baru. Arta yang sedang jatuh cinta, dan Zeki yang saat ini diam mematung menatap foto-foto Kiana yang sudah ia tumpuk untuk dibakar. Sudah tiga minggu berlalu sejak saat itu, Kiana belum memberikan kabarnya. Zea juga berada pada posisi yang sama sulit. Ia yang tidak tahu menahu tapi harus terseret dalam persoalan yang tidak ia ketahui.“Ze, kalau kau mencintainya, kenapa kau tidak mengejarnya? Jelaskan saja padanya tentang hubungan kita yang tidak seperti yang dia bayangkan. Aku yakin dia akan mengerti. Aku tidak masalah tidak kau nikahi. Sejak awal, aku me
"Mau aku bantu untuk membakarnya?" Apalah daya, dia selalu datang saat Kiana tidak memiliki pundak untuk bersandar. Kiana tidak bisa menyembunyikan perasaan yang kali ini lebih terluka."Rael!" ucap Kiana, lirih. "Apa yang yang kau lakukan di sini? Bibirku kenapa?" tanya Kiana. Rael tersenyum tanpa menunjukkan seluruh wajahnya. Sampai detik ini, Kiana tidak tahu seperti apa wajah Rael jika ia menyibakkan rambutnya."Kenapa harus mempertanyakan keadaanku? Keadaanmu sendiri, bagaimana?" tanya Rael."Aku? Tentu baik-baik saja." Mau berusaha seperti apapun, Rael tidak akan bisa dibohongi. Ia bahkan bisa mendengar aliran darah yang mengalir pada setiap syaraf."Lukamu itu baru. Siapa yang memukulmu?" tanya Kiana. Setidaknya, ia ingin mendengar cerita orang lain sehingga ia bisa melupakan luka hatinya meski hanya sejenak.
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p