Buagh!
Semua orang terdiam. Mata mereka terpaku menatap ke arah ujung tangga yang gelap. Suara pukulan terdengar seperti runtuhan bebatuan. Itukah kekuatan yang sebenarnya? Pikir mereka semua tanpa terkecuali.
Mereka yang sedang bertarung, menghentikan aksi hanya untuk mengetahui siapa yang berhasil membuat suara retakan tulang yang menggema menusuk telinga.
“Eren!” pekik Leon.
Arta menyeringai. Ia menyibakkan rambutnya ke belakang. “Erenku luar biasa!” ucap Arta.
“Bocah itu terlihat sedang bersenang-senang,” kata Zaila.
“Apa perlu kita membantunya?” sahut Renza.
“Tidak!” Rai menjawab dengan te
Jordan hanya mendengarkan suara teriakan Eren yang memakinya. Semuanya masih terdiam dan tidak bertindak apa-apa. Jordan mengamati Eren dari kegelapan yang menyelimutinya. Bibirnya tertutup sangat rapat. Ia menatap tanpa berkedip. Mengamati Eren dari sela-sela tersembunyi sekalipun.‘Meski aku tidak mengeluarkan seluruh tenagaku, tapi bocah itu mampu menandingiku. Semuanya jadi semakin menarik,’ batin Jordan.Tap ... Tap ... Tap ... Eren mulai menapakkan kakinya ke tangga. Ia mengepalkan dengan erat jari-jemarinya yang sudah memegang knuckle. Bahkan knuckle tersebut sudah berdarah karena mengenai pelipis Jordan.‘Dia memang bukan lawan yang mudah. Powernya sangat kuat, tapi aku tidak akan tahu hasi
Zavier menyusul mereka dengan segera. Ia meminjam motor salah satu penjaga yang ada di markas pusat. Namun, ia tetap saja terlambat. Zavier membawa Eren naik di motor bersamanya. Mereka berhenti dibawah pohon rindang. Malam sudah larut, namun Zavier tidak membawa Eren langsung kembali ke mansion."Kenapa membawaku ke sini?" tanya Eren. Ia terlihat masih marah karena Zavier sangat, sangat terlambat malam ini."Duduklah!" pinta Zavier. Eren duduk di samping Zavier. Ia berdiam diri tanpa sepatah kata yang keluar dari mulutnya."Masih marah?" tanya Zavier."Tidak!" Zavier bukan pria romantis. Ia bahkan terkadang bingung harus bicara apa. Zavier memegang tangan Eren. Ia membalut tangan Eren yang terluka menggunakan sapu tangannya."Kalau aku tidak terlambat, mungkin kau tidak akan terluka. Maaf!" ucap Zav
Delice memberikan secangkir teh untuk Naura sebelum ia memulai pertarungannya dengan Kiana. "Sayang, minumlah supaya tubuhmu terasa lebih hangat," kata Delice."Terima kasih!" jawab Naura singkat. Naura menerima teh tersebut. Cangkir cantik itu sudah berpindah tangan dari tangan Delice ke tangan Naura. Namun…Prang!"Eh!" Pekik Naura sembari mematung. Bahkan posisi tangannya yang elegant itu tidak bergerak. "Ibu!" pekik Kiana. Teh tersebut berserakan. Puingan kacanya bertebaran. Apa yang terjadi? Kenapa Naura tiba-tiba gemetaran? Pikir Ken.'Gelasnya tidak terjatuh dari tangan Naura tapi dari jarinya,' batin Delice."Naura, jangan!" cegah Delice ketika Naura hendak memungut kotoran gelas tersebut. "Ibu, biar pelayan yang membereskannya," kata Kiana."Naura, jangan! Kau tidak perlu repot-repot melakukannya." Ken juga menunjukkan perhatiannya."Naura, apa yang t
Naura mengetahui kalau Ken mengikutinya. Itu sebabnya, Naura tidak langsung masuk ke dalam kamar. Naura menghela napasnya sembari menghentikan langkahnya.“Untuk apa kau mengikutiku?” tanya Naura tanpa menoleh.“Kita harus bicara, Naura.”“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ken.”“Tentang Leon!”Deg!Apa sebenarnya Ken inginkan? Pikir Naura. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan?” tanya Naura.“Kau masih belum memaafkanku, Naura?” tanya Ken.“Aku sudah memaafkanmu tapi aku tidak bisa melupakan hal apa yang telah kau lakukan padaku.”“Aku sudah menghukum diriku sendiri, Naura. Apa kau masih ingin terus keras kepala?” ucap Ken.“Aku rasa, apa yang kau katakan tidak ada hubungannya dengan Leon.”“Naura, ayo kita cari waktu yang tepat untuk bicara dengan Leon,” ucap Ken.Plak!Naur
Delice menggila dengan Kiana. Mereka berdua menyimpan emosi yang dalam. Mereka melampiaskannya dengan sebuah pertarungan Oscar, Orva, melihat kengerian dari tatapan mata kedua Tuannya. Mereka tidak berniat untuk bertarung dengan tangan kosong. Kiana bahkan memegang rantai, begitu juga dengan Delice."Ayah sedang cemburu pada Ibu?" tanya Kiana."Kalau berniat untuk bertarung, jangan banyak bicara!" kata Delice."Bukan aku yang banyak bicara, tapi Ayah yang tidak menerima!"Buagh!Buagh!Buagh! Awalnya, mereka saling memberikan pukulan. Tidak ada yang menangkis. Tidak ada yng mengalah. Tangan Delice yang mengepal, bertabrakan dengan kepalan dari tangan Kiana. Mereka berdua terpukul mundur. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Oscar dan Orva menelan salivanya. Bukan hanya ngeri
Jiwa yang sudah tertelan dan tidak memiliki kesadaran, bertarung tanpa memperdulikan batasan diri. Hanya cemooh dan hinaan yang keluar dari mulut Delice maupun Kiana. Tidak ada lagi ikatan Ayah dan anak antara mereka berdua.Lengan Kiana yang patah sama sekali tidak membuatnya kesakitan. Mereka tidak bertarung menggunakan tangan kosong. Delice memegang sebilah besi dan Kiana memegang sebilah rantai. Perpaduan tenaga yang juga seimbang.Pukulan selalu mengenai titik vital, bahkan jika pukulan tersebut hanya ditangkis tetap saja akan membuat mereka sama-sama terluka. Siapa yang cemas? Tentu saja Naura. Namun, Delice memiliki kekesalan yang harus segera dilampiaskan, begitu juga dengan Kiana yang tidak dapat menahan emosinya. Naura tidak bisa memaksa mereka berhenti begitu saja.“Bibi, bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya Zeki.“Entahlah!” Naura menggelengkan kepalanya.Semua orang berkumpul untuk melihat keberisikan
Siapa lagi yang memiliki sikap konyol kalau bukan Loid Muchen. Ia bahkan bisa membuat orang tercengang disaat suasa tergenting sekalipun."Hei, cepat! Rasanya aku ingin menghajarmu saja!" teriak Sam."Astaga! Memintanya untuk bertindak ternyata sangatlah sulit," gumam Ken. Loid seperti mengabaikan semua ocehan rekannya terhadap dirinya. Ia terdiam beberapa saat sembari menatap Kiana yang sedang meronta.Buagh!"Akh!" pekik Ken. Kiana memiliki tubuh yang lentur. Ia meluruskan salah satu kakinya untuk menghantam kepala Ken.Buagh! Kedua siku Kiana bekerja. Ia menghantam Sam dan Ken tanpa henti. Gerakannya membabi buta, akan tetapi terarah.Buagh!"Akh! Kenapa aku juga?" pekik Loid yang mendapatkan tendangan tepat di ulu hatinya. &
Zeki mencari Kiana. Ia ingin menunjukkan kualitas dirinya. Dalam suatu kekurangan yang ada padanya, ia ingin menujukkan suatu kelebihan bahwa ia sanggup, ia mampu, ia bisa menjaga Kiana sebaik mungkin. Bahkan melebihi apa yang mereka semua pikirkan. Namun, tekadnya terhenti ketika di depan matanya, Kiana dalam dekapan pria lain. Mulut Zeki hanya bisa bungkam, diam dan matanya menatap sangat dalam. Hatinya yang bergelora, bertanya-tanya. Bagaimana Kiana bisa sadar dalam dekapan pria asing? Bagaimana ada sebuah kebetulan seorang pria buta bertemu dengan Kiana. Namun, pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam benaknya.“Kita bertemu lagi dalam situasi yang sama,” ujarnya.“Namamu Rael, bukan? Bisakah kay berikan Kiana padaku?” pinta Zeki.&ldqu