Delice memberikan secangkir teh untuk Naura sebelum ia memulai pertarungannya dengan Kiana. "Sayang, minumlah supaya tubuhmu terasa lebih hangat," kata Delice.
"Terima kasih!" jawab Naura singkat. Naura menerima teh tersebut. Cangkir cantik itu sudah berpindah tangan dari tangan Delice ke tangan Naura. Namun…Prang!"Eh!" Pekik Naura sembari mematung. Bahkan posisi tangannya yang elegant itu tidak bergerak."Ibu!" pekik Kiana.
Teh tersebut berserakan. Puingan kacanya bertebaran. Apa yang terjadi? Kenapa Naura tiba-tiba gemetaran? Pikir Ken.'Gelasnya tidak terjatuh dari tangan Naura tapi dari jarinya,' batin Delice."Naura, jangan!" cegah Delice ketika Naura hendak memungut kotoran gelas tersebut."Ibu, biar pelayan yang membereskannya," kata Kiana.
"Naura, jangan! Kau tidak perlu repot-repot melakukannya." Ken juga menunjukkan perhatiannya."Naura, apa yang tNaura mengetahui kalau Ken mengikutinya. Itu sebabnya, Naura tidak langsung masuk ke dalam kamar. Naura menghela napasnya sembari menghentikan langkahnya.“Untuk apa kau mengikutiku?” tanya Naura tanpa menoleh.“Kita harus bicara, Naura.”“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Ken.”“Tentang Leon!”Deg!Apa sebenarnya Ken inginkan? Pikir Naura. “Apa lagi yang ingin kau tanyakan?” tanya Naura.“Kau masih belum memaafkanku, Naura?” tanya Ken.“Aku sudah memaafkanmu tapi aku tidak bisa melupakan hal apa yang telah kau lakukan padaku.”“Aku sudah menghukum diriku sendiri, Naura. Apa kau masih ingin terus keras kepala?” ucap Ken.“Aku rasa, apa yang kau katakan tidak ada hubungannya dengan Leon.”“Naura, ayo kita cari waktu yang tepat untuk bicara dengan Leon,” ucap Ken.Plak!Naur
Delice menggila dengan Kiana. Mereka berdua menyimpan emosi yang dalam. Mereka melampiaskannya dengan sebuah pertarungan Oscar, Orva, melihat kengerian dari tatapan mata kedua Tuannya. Mereka tidak berniat untuk bertarung dengan tangan kosong. Kiana bahkan memegang rantai, begitu juga dengan Delice."Ayah sedang cemburu pada Ibu?" tanya Kiana."Kalau berniat untuk bertarung, jangan banyak bicara!" kata Delice."Bukan aku yang banyak bicara, tapi Ayah yang tidak menerima!"Buagh!Buagh!Buagh! Awalnya, mereka saling memberikan pukulan. Tidak ada yang menangkis. Tidak ada yng mengalah. Tangan Delice yang mengepal, bertabrakan dengan kepalan dari tangan Kiana. Mereka berdua terpukul mundur. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Oscar dan Orva menelan salivanya. Bukan hanya ngeri
Jiwa yang sudah tertelan dan tidak memiliki kesadaran, bertarung tanpa memperdulikan batasan diri. Hanya cemooh dan hinaan yang keluar dari mulut Delice maupun Kiana. Tidak ada lagi ikatan Ayah dan anak antara mereka berdua.Lengan Kiana yang patah sama sekali tidak membuatnya kesakitan. Mereka tidak bertarung menggunakan tangan kosong. Delice memegang sebilah besi dan Kiana memegang sebilah rantai. Perpaduan tenaga yang juga seimbang.Pukulan selalu mengenai titik vital, bahkan jika pukulan tersebut hanya ditangkis tetap saja akan membuat mereka sama-sama terluka. Siapa yang cemas? Tentu saja Naura. Namun, Delice memiliki kekesalan yang harus segera dilampiaskan, begitu juga dengan Kiana yang tidak dapat menahan emosinya. Naura tidak bisa memaksa mereka berhenti begitu saja.“Bibi, bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya Zeki.“Entahlah!” Naura menggelengkan kepalanya.Semua orang berkumpul untuk melihat keberisikan
Siapa lagi yang memiliki sikap konyol kalau bukan Loid Muchen. Ia bahkan bisa membuat orang tercengang disaat suasa tergenting sekalipun."Hei, cepat! Rasanya aku ingin menghajarmu saja!" teriak Sam."Astaga! Memintanya untuk bertindak ternyata sangatlah sulit," gumam Ken. Loid seperti mengabaikan semua ocehan rekannya terhadap dirinya. Ia terdiam beberapa saat sembari menatap Kiana yang sedang meronta.Buagh!"Akh!" pekik Ken. Kiana memiliki tubuh yang lentur. Ia meluruskan salah satu kakinya untuk menghantam kepala Ken.Buagh! Kedua siku Kiana bekerja. Ia menghantam Sam dan Ken tanpa henti. Gerakannya membabi buta, akan tetapi terarah.Buagh!"Akh! Kenapa aku juga?" pekik Loid yang mendapatkan tendangan tepat di ulu hatinya. &
Zeki mencari Kiana. Ia ingin menunjukkan kualitas dirinya. Dalam suatu kekurangan yang ada padanya, ia ingin menujukkan suatu kelebihan bahwa ia sanggup, ia mampu, ia bisa menjaga Kiana sebaik mungkin. Bahkan melebihi apa yang mereka semua pikirkan. Namun, tekadnya terhenti ketika di depan matanya, Kiana dalam dekapan pria lain. Mulut Zeki hanya bisa bungkam, diam dan matanya menatap sangat dalam. Hatinya yang bergelora, bertanya-tanya. Bagaimana Kiana bisa sadar dalam dekapan pria asing? Bagaimana ada sebuah kebetulan seorang pria buta bertemu dengan Kiana. Namun, pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam benaknya.“Kita bertemu lagi dalam situasi yang sama,” ujarnya.“Namamu Rael, bukan? Bisakah kay berikan Kiana padaku?” pinta Zeki.&ldqu
Di dalam sebuah gedung kontruksi, dua orang penting tengah berkumpul. Beberapa pria yang memakai seragam bodyguard, berbaris melingkar dan menghadap ke belakang. Membelakangi dua pria yang sedang bicara serius. Para bodyguard juga siap menutup telinga mereka. Berpura-pura untuk tidak mendengar apa-apa.“Bukankah Anda sangat keterlaluan, Tuan?” ujar Jordan.“Siapa yang kau maksud keterlaluan? Aku?” tanya Tuan Don sembari menunjuk diri sendiri.“Siapa lagi kalau bukan Anda?” ujar Jordan.“Mulutmu semakin hari semakin pedas, Jordan. Katakan. Katakan apa yang membuatmu berpikir kalau aku sudah keterlaluan!” Suara yang tegas itu, menanamkan suatu keteguhan hati. Tuan Don yang memalingkan pandangannya dan Jordan ya
Ketika Rael hendak keluar dari pintu keluar mansion miliknya, seorang pria tengah menunggunya. Pria tersebut berdarah, tapi bukan darah miliknya. Di bawah kakinya, berpijak pada beberapa tubuh orang yang sudah ia kalahkan."Paman!" pekik Rael pada Delice yang sedang menghisap cerutu."Apa kau sibuk?" tanya Delice. "Indramu makin tajam rupanya sampai kau tahu kalau itu aku," kata Delice."Aku bisa tahu dari bau parfume yang Paman pakai," kata Rael."Rael, mari kita bicara. Di sini sudah aman karena aku sudah mematikan semua sistem." Rael tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Delice yang sudah masuk ke dalam mansionnya. Mansion besar yang kosong dan terasa sepi."Kau masih saja betah tinggal ditempat yang mengekangmu seperti ini," ujar Delice."Apa boleh buat? Aku harus terlihat lemah untuk menarik kualitas diri yang kuat," jawab Rael."Astaga! Bisa gila aku kalau memikirkannya." &
"Rai, lusa kita akan kembali ke London. Ayah meminta kita untuk pulang," ujar Zaila."Kak, sebelumnya…" Rai terdiam. Ia nampak tengah berpikir serius. "Ayah tidak mengizinkan kita kembali sebelum kita mendapatkan apa yang sedang kita cari. Menurutmu, Kak. Apa yang membuat Ayah sampai memanggil kita?" tanya Rai."Entahlah!" jawab Zaila. Zaila yang terbiasa menanggapi suatu dengan santai, kini ia terlihat tegang. Zaila dan Rai adalah saudara kandung. Hanya saja, Ayah dan Ibunya memiliki nama belakang yang berpengaruh sehingga nama belakang mereka tidak sama. Zaila Ge voisaihe, Rai Exjenkyle, Meysha Exjen Vosaihe. Mereka adalah tiga bersaudara kandung yang dibesarkan dalam keluarga yang memiliki pengaruh yang sangat besar."Rai, kita bersiap saja," ucap Zaila. "Apapun yang Ayah katakan, kita harus persiapkan telinga," lanjutnya."Bagaimana kalau Ayah tahu tentang kedekatanm