Sementara itu, New York, sepuluh hari sebelum pernikahan Farrin dan Vian.
Avan memandang hamparan kota yang menyimpan ribuan aktivitas dari balik jendela kamar dengan tatapan menerawang. Di tangannya, terdapat gawai yang menampilkan foto seorang wanita berambut pirang dengan wajah tersenyum hingga kedua matanya hanya terlihat seperti sebuah garis melengkung.
“Aku merindukanmu, Mon Amour,” ucap Avan sambil memandang foto Farrin. Ia memang memiliki julukan tersendiri untuk wanita kesayangannya itu. Farrin, satu-satunya wanita yang mampu menjungkir-balikkan hatinya hingga sedemikian rupa.
Julukan yang ia berikan tentu bukan tanpa sebab. Avan memiliki sedikit jiwa romantis yang tidak diketahui banyak orang. Hanya beberapa, dan ia tak yakin jika mereka menyadari hal itu.
Mon amour, yang berarti cintaku, adalah julukan Avan pada Farrin yang hanya bisa wanita itu dengar satu kali selama bertahun-tahun hubungan mereka. Kata yang tak sengaja rekan bisn
“Ri, apakah menurutmu keputusanku ini salah?” tanya Avan pada Rizu. Wajahnya menyendu kala ia mengingat kenangannya bersama Farrin. Semenjak kepergiannya satu setengah bulan yang lalu, tidak sedetik pun ia tak merindukan kekasihnya. Meski setiap hari ia mendapat kabar dan foto dari adik satu-satunya yang memiliki wajah yang sama dan tubuh sedikit berbeda itu.“Kau baru menyadarinya? Ya Tuhan! Ke mana saja otak yang selalu kau banggakan itu, Kono Baka (Si B*d*h)!” sarkas Rizu. Ia mencebik kesal dan memotong daging steak kesukaannya dengan perasaan jengkel. Atasannya ini, padahal ia selalu mengingatkan untuk tidak selalu bertingkah gegabah. Jika mendengar dari nadanya, bukankah sepertinya Avan menyesali apa yang telah ia lakukan? Hey, ke mana perginya rasa percaya diri yang selalu ia junjung tinggi selama ini?“Ya, ini semua gara-gara kau yang selalu menyebutku Baka! Baka! (B*d*h! B*d*h !) Lihat? Sekarang aku benar-benar bodoh seperti ucapan
Jantung Farrin berdebar dengan keras sedari tadi malam. Ia gugup dan sama sekali belum bisa mengatasinya. Sahabatnya belum menikah, jadi ia tak bisa meminta ia untuk menemani dan mengurangi rasa gugupnya. Ibunya sibuk mempersiapkan segala hal, dan sang kakak juga berkata sibuk karena ingin menjemput teman lama jadi ia tak bisa meminta bantuan siapa pun untuk menghilangkan kegugupan menjelang pernikahan yang diadakan beberapa menit lagi.Ya, hari ini adalah hari pernikahan mereka setelah dua bulan lamanya bertunangan. Ia tak tahu jika menikah bisa membuatnya sebegini gugup tak terkendali.Tak ada pesta mewah atau resepsi yang nanti akan digelar setelah acara pemberkatan. Hanya acara pemberkatan inilah acara satu-satunya acara yang akan dilaksanakan. Pemberkatan dilakukan di dalam gereja, dan setelah itu acara pernikahan diadakan di taman samping gereja. Acara sederhana dan hanya mengundang beberapa teman dekat dan keluarga. Juga, tak ada relasi bisnis maupun teman
Bugh!“Avan!”Beberapa pasang mata Nampak terkejut dengan aksi pemukulan yang menyebabkan korban hingga terjerembap begitu saja disusul pekikan oleh Farrin. Tak ada yang berani bersuara dan bergerak melerai. Hanya Farrin yang langsung menghampiri mereka dan langsung menolong Vian, si korban pemukulan Avan.Semua yang hadir di sana mengerti, betapa Avan menahan emosi di acara pernikahan yang telah usai itu. Seharusnya, ia yang menjadi mempelai pria dan pengantin baru malam ini. Ia juga harus merelakan acaranya dimiliki orang lain. Mempelai wanita yang seharusnya bisa ia pandang senyum manisnya dengan pipi yang merona seperti biasa ia goda, harus menjadi mempelai orang lain dan berubah status menjadi adik ipar.Setelah Farrin yang menolaknya mentah-mentah di hadapan pastur, Avan tak banyak bicara. Ia seolah bungkam dan siap mengeluarkan emosinya di waktu nanti. Ia juga tak mengeluarkan emosi saat menyuruh Vian berganti pakaian dengan miliknya. M
“Dear, aku mohon kembalilah padaku! Selagi masih ada waktu untuk mendaftarkan pernikahan kita ke catatan sipil. Aku janji tak akan pernah mengulang kesalahanku lagi,” pinta Avan. Ia telah menjelaskan maksudnya menyuruh Vian menjadi tunangan pura-pura dan mengapa ia melakukan hal itu selama ini. Tentu dengan tidak mengatakan ia yang percaya jika Farrin akan tetap memilihnya. Hell, ia masih ingat jika Farrin membenci orang dengan tingkat kepercayaan diri tinggi.“Sudahlah, Avan! Semua sudah terjadi. Kami telah sah sekarang. Aku mohon tolong jangan ganggu kami. Kau telah menjadi kakak iparku. Jadi, tolong hargai adikmu dengan pergi sebelum Vian menyelesaikan mandinya.”“Tapi bukan seperti ini yang ku inginkan, Farrin! Tidakkah kau mengerti hal itu?” Avan yang frustasi hanya bisa berjalan tak jelas di kamar Vian dan Farrin yang kini terduduk di ranjang merasa pusing melihatnya.“Lalu apa yang kau inginkan?” Farrin mema
“Sudah kukatakan sejak awal bahwa Farrin memiliki kekeraskepalaan Margaret, dan kau tak mengindahkan hal itu. Kau malah mengorbankan adikmu, Van.”Sebuah suara mengagetkan Avan yang kini tengah merenung di kamar ibunya. Ia tak ingin tidur di kamarnya malam ini karena risih akan hiasan yang ada di sana. Biarlah! Besok saja para pelayan yang akan membersihkan hiasan itu dari sana.“Tenangkan saja hatiku, Mama. Jangan menyalahkan dulu. Aku kesini ingin menenangkan hatiku dari kejadian hari ini. Bukankah Mama adalah orang yang paling mengerti hatiku? Tolong, Ma. Sudah cukup aku yang disalahkan Farrin tadi, Mama jangan menambahinya. Aku sudah menyadari jika aku sangat bersalah.”“Aku mengagumi kecerdasanmu di perusahaan, Putraku. Namun, aku merutuki kebodohanmu tentang mengerti akan hati orang lain, termasuk pasanganmu. Kau memang lebih tua dari Vian, tetapi kau tidak lebih dewasa dalam urusan hati dan kontrol emosional. ”&
“Aku tahu kau sudah menyelesaikan acara mandimu dan menguping pembicaraanku dengan Avan. Mengapa tidak keluar juga?”Tak berapa lama, sosok itu muncul dari kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dengan pakaian yang telah berganti menjadi piyama. Apa yang Farrin ucapkan memang benar adanya, Vian telah menyelesaikan urusan mandinya dan menguping pembicaraan mereka. Bukan maksud Vian seperti itu, hanya saja untuk berendam rasanya sangat tidak menyenangkan dan hanya mengupinglah cara satu-satunya yang bisa ia pikirkan. Terdengar tak sopan, ya. Akan tetapi, apa ada hal lain selain itu? Ia tak memiliki pilihan lain.“Aku tak tahu jika kau begitu peka akan sesuatu yang ada di sekitarmu,” ujar Vian. Jika itu orang lain, entah ia bisa mendengar ucapan itu atau tidak mengingat kamar mandinya yang semi-kedap suara. Sangat sedikit suara yang bisa ditangkap dari sana dan ia tak yakin Farrin bisa mengalihkan konsentrasinya ke suara di dalam k
“Kau ingat anak lelaki yang kau tolong dari para perusuh di taman bermain dulu? Kau yang berlagak sok pahlawan ingin menghajar mereka tetapi salah satu dari mereka malah memukulmu. Untung saja saat itu ada orang dewasa yang melihat dan menolong, jika tidak, mungkin kau juga akan berakhir babak belur sepertiku saat itu.” Vian terkekeh kecil. Ia begitu menyimpan memori itu dengan baik hingga ia bisa mengingatnya bertahun-tahun. Padahal, hal itu terjadi saat dirinya dan Farrin masih sama-sama menjadi murid sekolah dasar.“Kau?”“Ya! Aku anak yang kau tolong waktu itu. Kau mungkin tidak mengenali karena keadaanku yang begitu buruk. Namun, percayalah! Aku selalu mengingat dan menyimpan dengan baik sapu tangan pemberianmu saat itu. Beberapa kali aku berpapasan denganmu, tapi aku sama sekali tak bisa menyapamu. Kau seperti jauh dan sangat sulit untuk kugapai. Apa lagi dengan keadaanmu yang menjadi juniorku. Puncaknya, saat Avan mengenalkanmu pada
Seolah benar-benar pasangan muda yang baru saja menikah dan ingin segera bulan madu sebelumnya, keyakinan mereka berdua sama sekali tak tergoyahkan. Bujukan dan rayuan dari Nazilla, sang ibu mertua, tak membuahkan hasil sedikit pun. Rencananya ia dan sang menantu akan menjadikan hari ini sebagai hari untuk mereka berdua saling dekat sebagai pasangan mertua-menantu. Namun, sepertinya bayangan Nazilla akan hal itu harus kandas dan berakhir karena Farrin beserta Vian mengatakan untuk pindah ke apartement yang Vian miliki.Tentu saja tanpa bantuan bujukan dari Vian. Karena pemuda itu yakin jika bujukan mereka tak akan mempan sama sekali jika menghadapi si kepala batu.Jadi tanpa memaksa lagi, Nazilla mengiyakan saja kepindahan mereka dengan catatan untuk mereka berdua agar lebih sering mengunjungi single parent tersebut. Farrin dan Avan mengiyakan saja, toh tak ada gunanya lagi untuk memperdebatkan segala sesuatu saat ini. Yang penting bagi mereka adalah sar
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua