“Jadi, ayo kita selesaikan urusan kita yang belum sempat dibahas. Aku tak ingin kita membiarkan masalah ini berlarut-larut dan tak akan pernah selesai,” lanjut Vian.
Berlarut-larut? Farrin mungkin tak akan membiarkannya berlarut-larut jika saja Vian mau menjelaskan keadaan yang sesungguhnya pada mereka. Masalah ini mungkin hanyalah masalah pertama mereka. Namun, bukankah masalah ini terlalu besar?
Farrin masih tetap berdiri dan enggan melihat ke wajah Vian yang menurutnya menjijikkan. Baginya, seseorang yang sudah berkhianat, sampai kapan pun tetap pengkhianat. Entah sekali pun hal itu karena sebuah alasan yang tidak sengaja.
Jika sudah berkhianat, adakah penghianatan yang tidak disengaja?
“Meski Avan banyak menyakiti hatiku, tetapi dia tidak pernah mengkhianatiku. Ia memang dekat dengan Rizuki, tapi sebatas yang kutahu, Avan hanya melihatnya sebagai sosok seorang kakak,” pikir Farrin.
Sebelum mengerahui keadaa Rizuki ia mem
Ah, sial! Seperti dugaannya bahwa Farrin sudah mengetahui apa yang terjadi pada Vian siang tadi. Jadi beginikah akhir dari mereka? Meski Vian sudah menyipakan mental dan hati sejak jauh-jauh hari, tetap saja ia tak bisa menerima keadaan ini. “Dari mana kau mengetahuinya?” Suara Vian melirih di akhir. Secara tidak sengaja, ia telah mengakui bahwa apa yang Farrin katakan memang benar adanya. Kali ini, Vian berharap bahwa yang ia katakan tak didengar oleh istrinya. Sayangnya, hal itu hanya sebatas harapan Vian saja. Karena Farrin sudah telanjur mendengarnya. “Aku ada di belakangmu, sesaat setelah kau keluar dari ruang dokter kandungan dan pergi ke apotek. Juga, aku mendengar perkataannya yang menyebutkan bahwa anak itu adalah darah dagingmu. Apakah aku salah?” Farrin menatap wajah Vian dengan pandangan sendu dan air mata yang kembali mengalir. Apakah jika ia tak mengatakannya hari ini, Vian akan menutupinya lebih lama? Atau bahkan sampai tidak me
“Lalu, setelah ini kita bagaimana?” tanya Farrin, lagi.Pertanyaan yang sama, dan masih dengan kebingungan yang sama untuk jawaban itu dari Vian.“Jangan memperumit keadaan dengan menanyakan pertanyaan yang sama untuk berulang-ulang, Fa!” bentak Vian. Tak tahu lagi harus bagaimana untuk menjawab pertanyaan Farrin yang itu. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan Farrin. Namun, satu sisi yang lain mengatakan bahwa anak yang dikandung Lena butuh pengakuan yang layak.Lahir tanpa orang tua yang lengkap bukanlah hal bagus untuk seorang anak. Apalagi untuk keluarga terpandang seperti Lena. Anak yang terlahir mungkin akan menderita kesenjangan sosial dengan teman-temannya yang lain. Anaknya mungkin akan dikucilkan ketika ia memilih dengan Farrin dan mengabaikan Lena.“Memang apa pilihan yang kita punya, Vi? Anak itu butuh orang tua yang lengkap. Akan berbahaya untuk pertumbuhannya jika anak itu lahir dan tumbuh dengan cacian karena o
Negatif.Itu yang bisa mereka berdua lihat dari alat tes kehamilan itu. Alat yang berbentuk strip kecil memanjang dan menunjukkan satu garis merah jelas di tempat yang ditandai. Alat yang begitu ia gunakan sesuai instruksi di kemasan dan menunjukkannya pada Vian. Melihat itu, Farrin menunduk. Ia tahu pasti Vian kecewa karenanya.“Fa ....”Hasil sudah keluar, dan Farrin sudah menyiapkan hatinya untuk hal ini. Hanya saja, ia tak menyangka jika hubungan mereka menjadi suami istri harus berakhir secepat ini.“Aku mengerti, ayo kita berpisah,” putus Farrin. Mereka masih belum beranjak dari tempatnya berdiri di depan kamar mandi. Hal besar yang mereka lalui kali ini terasa begitu berat.Farrin menggenggam erat alat kecil itu dan melanjutkan ucapannya, “Bukankah aku terbukti tidak hamil? Jadi, segeralah ceraikan aku dan beri status yang jelas pada wanita itu. Kau tak ingin jika anak kalian lahir tanpa mendapat status yang jel
Semudah itu Farrin mengatakan pisah untuk hubungan mereka? Jika semudah itu, rasa curiga Vian semakin besar dengan dugaan ia akan dicampakkan dalam waktu dekat.“Kau tak bercanda, kan, Fa?” tanya Vian memastikan.“Tidak, Vi! Sebenarnya aku ingin mengatakan hal ini padamu. Sayangnya, hal itu harus didahului dengan kabar itu.” Farrin menunduk. Ia berlalu menuju kamar mereka. “Akan kutunjukkan kau sesuatu.”Vian mengikuti Farrin dan berjalan di belakangnya. Ada rasa penasaran, dalam pikiran Vian, bagaimana jika Farrin memberinya kejutan yang bisa membuatnya mengalami serangan jantung saking terkejutnya?Ah, tidak!Hal itu tak akan terjadi, kan?“Duduklah, Vi!” Farrin duduk di pinggiran ranjang dengan memegang sebuah map. Mungkin, itulah yang ingin Farrin tunjukkan padanya.“Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku di Finland. Sebenarnya, pengajuan ini sudah beberapa wak
Sidang perceraian mereka berjalan dengan alot. Alasan yang tak terlalu kuat membuat hakim tidak langsung menyetujui keinginan mereka untuk berpisah. Alhasil, Vian dan Farrin masih bersama meski keadaan mereka sudah tak sehangat dulu lagi. Lena juga sesekali mendatangi apartemen mereka untuk melihat ayah dari bayi yang ia kandung.Kata Lena, itu keinginan bayi. Akan masuk akal jika memang benar sang bayi merindukan sang ayah. Sayangnya, itu tidak akan menjadi hal yang baik jika sang ibu hanya membuat alasan saja.Hubungan Farrin dan Vian yang memburuk, semakin memburuk saja saat wanita itu mendapati ada wanita lain yang duduk di kursi makan tempat tinggal mereka. Ingin sekali rasanya Farrin menghambur keluar dan menangis sambil berteriak-teriak di jalanan jika ia sudah tak kuat lagi dengan apa yang terjadi. Namun, ia masih ingin dipandang waras dan baik-baik saja meski keadaan mengatakan yang sebaliknya.Orang tua dari kedua belah pihak sangat menyayangkan tentan
“Tapi, Van. Kau tahu jika dirimu ....”“Aku tahu, Ma. Aku tahu! Tapi, aku akan melakukan apa yang Mama inginkan jika Farrin mau kembali padaku. Aku akan mengadopsi anak dan kami akan merawatnya.”Nazilla mengembuskan napas. Ia tahu jika sekali Avan memiliki tekad, maka ia akan melakukan apa pun untuk membuatnya terwujud. “Van, jika memang Farrin mau, kau bisa melakukannya. Tapi, satu pesan Mama untukmu, jangan paksa Farrin,” ujarnya.“Terima kasih, Ma.” Avan tersenyum sumringah begitu ia memenangkan restu ibunya untuk menikahi wanita pujaannya. Tak masalah jika wanita itu bahkan sudah pernah menikah dengan sang adik. Bagi Avan, Farrin tetaplah Farrin. Tak peduli bahkan ketika dia pernah menjadi adik iparnya sekalipun.“Aku sayang Mama,” lanjut Avan.“Mama tahu, Van. Tanpa kau katakan pun Mama sudah tahu jika anak-anak Mama, yang tak hanya dirimu ini begitu menyayangi Mama. Sayang, Ma
Melepas seorang anak ke perantauan itu berat. Dan kali ini, Nazilla harus merasakan hal itu.Kepergian Avan di jam ketiga setelah pembicaraan mereka berdua membuat Nazilla harus tahu bahwa tidak semua hal bisa kita kendalikan meski banyak uang di tangan. Banyak orang berpikir, jika kita memiliki banyak uang, semua hal yang kita inginkan bisa tercapai dengan mudah. Nyatanya, bagi Nazilla itu hanya omong kosong belaka. Ia telah merasakan kehilangan banyak hal karena uang itu sendiri.Nazilla kehilangan moment pertumbuhan putra pertamanya karena Avan dituntut untuk belajar sedini mungkin untuk menjadi pemimpin yang baik. Semua waktunya tersita dan digantikan dengan keterampilan-keterampilan yang menurutnya, tidak semua anak seusia Avan dapatkan.Andai ia mau, Nazilla ingin sekali menemani tumbuh kembang Avan dan Vian dengan baik. Sayangnya hal itu tak bisa berjalan dengan sempurna, karena seorang raa itu diciptakan, bukan dilahirkan.“Andai aku terlahi
“Ma, bolehkah aku tetap memanggil Mama, meski aku dan Vian sudah berpisah?” tanya Farrin.Wanita berambut pirang itu ragu jika permintaannya akan dituruti oleh sang mama mertua yang sebentar lagi akan menjadi mantan itu. Selama beberapa bulan kebersamaan ia dengan keluarga Avan dan Vian, kasih sayang dari seorang ibu yang didapatnya dari ibu mertua membuat Farrin terlena.“Sampai kapan pun, Farrin tetap putri Mama,” bisik Nazilla. Ia sudah menganggap Farrin sebagai putrinya, terlepas kepada siapa wanita itu melabuhkan hatinya. Sebagai orang yang sudah mengenal Farrin sejak lama, Nazilla tahu apa yang sudah menantunya itu alami. Karena itu, ia tahu pasti perpisahan mereka memiliki imbas lain.Pelukan mereka berakhir dan masing-masing mengusap air mata hanya dengan menggunakan tangan kosong. Tak ada pikiran untuk menggunakan tissu, atau apu tangan yang biasa dibawa di tas.“Ma, setelah ini kami berakhir. Entah ....”
“Van?” bisik Farrin seakan tak mempercayai pandangannya. Matanya tak berkedip untuk beberapa saat, kala ia mengagumi sosok yang pernah ia tolak di altar. “Ini aku, Fa. Aku datang untuk menjemputmu,” ujar Avan. Pria serupa Vian itu tersenyum lembut dan berjalan pelan menuju tempat Farrin berdiri termagu. Ia ingin tertawa, menertawakan wanita yang telah menolaknya itu dan terlihat rapuh untuk saat ini. “Berkediplah! Aku bukan fatamorgana atau ilusi semata. Aku nyata dan bisa kau rengkuh dalam pelukanmu, Mon Amour.” Ah, panggilan yang Farrin rindukan. Hancur sudah pertahanan Farrin dan ketika ia berkedip, air matanya lolos begitu saja. Ia tak menyangka jika setlah semua ini, ia baru menyadari bahwa ia butuh Avan untuk bersandar, bukan Vian atau dirinya sendiri seperti yang pernah ia katakan. Hatinya terlalu pongah untuk mengakui jika ia masih membutuhkan bahu pria untuk bersandar. Ia pikir, mungkin akan lebih baik untuk berdiri sendiri seperti yang dulu
Farrin menerima kenyataan jika Avan tak akan menerimanya karena ia sekarang sudah menjadi bekas sang adik. Dengan perlahan, ia kembali menatap kolam dan mengusap lembut perut datarnya. Tempat di mana nyawa lain kini tengah bersemayam dan menunggu untuk bertumbuh. “Avan dengan senang akan mengakui bahwa ia adalah ayah dari anak yang kau kandung,” ujar Rizuki. Ia memahami apa yang membuat Farrin murung. “Apakah bisa? Aku takut jika ....” “Jika dia akan lebih menyayangi anak kandungnya nanti jika kau memutuskan bersamanya?” Farrin mengangguk. Sudah Rizuki duga jika Farrin akan berpikir seperti itu. Sebelum ini, keduanya sudah membahas bahwa ia tak akan mempermasalahkan jika Farrin ingin kembali bersama Avan. Wanita berdarah Jepang itu juga mengatakan bahwa Avan sama sekali tak tahu menahu tentang apa yang sudah ia lakukan pada mantan kekasihnya itu. Avan murni pergi tanpa mengetahui apa pun tentang keberadaan Farrin. Awalnya, Farrin memutuskan un
“Dia tuanku.” Hanya jawaban itu yang bisa Farrin dengar dari bibir Natsu dan membuat wanita yang masih hamil muda itu mendengus kesal. Tentu saja, siapa pun di rumah ini pasti tahu kedudukan pria itu bagi Natsu. Namun, bukan jawaban itu yang Farrin butuhkan. Ia ingin jawaban yang lebih bagus dan spesifik dari hal itu. Alhasil, Farrin mendiamkan Natsu dan sama sekali tak menyentuh apa pun yang Natsu siapkan untuknya. Ia merasa jika selama ini idirinya menjadi boneka yang bisa dipermainkan oleh semua orang. Setelah permainan Avan dan Vian, disusul Rizuki, lalu kini Natsu. Jadi, ia memutuskan untuk menunggu istri dari pria misterius yang mendatanginya kemarin dan mencari jawaban darinya. Tanpa disadari, waktu sudah berjalan cepat dan hari telah berganti. Meninggalkan Farrin yang masih enggan memasukkan apa pun ke mulutnya karena rasa kesal. Alex bahkan Natsu menyerah untuk membujuknya, bahkan ketika Natsu membujuk dengan jiwa yang Farrin bawa bersamanya pun, Far
“Kau, siapa?” tanya Farrin. Ekspektasinya akan Avan menghilang begitu saja kala ia mendapati sosok pria yang tak ia kenal sama sekali. Pria berbadan tegap, memiliki mata sipit khas Jepang, dan kulit kuning kecoklatan yang dibalut dengan tuxedo. Dari yang ia fahami, pria itu bukan orang sembarangan yang bisa ia singgung dengan mudah.“Konnichiwa (selamat siang),” ujar pria itu sambil memberi salam khas Jepang. “Boku no nawae wa Daisuke desu, yoroshiku. (Namaku Daisuke, salam kenal)”Farrin hanya bisa mematung dan menatapnya dengan raut wajah yang tak bisa dimengerti oleh Alex yang berdiri seolah tengah mengawal pria itu. Mungkin, Farrin sedikit syok atau tidak mengerti apa yang diucap oleh pria itu.“Ah, Rin-chan. Maksud Tuan, beliau sedang memperkenalkan diri.” Natsu tiba dan berusaha menjelaskan siapa pria yang sedang duduk itu. Natsu mengerti, Farrin pasti tidak paham dengan ucapan pria yang memperkenalkan diriny
Setelah Farrin meminta sarapan di waktu dini hari dan Alex serta Natsu mencurigai sesuatu, keduanya sepakat untuk melakukan serangkaian tes dan pertanyaan hingga mereka mengambil kesimplan bahwa Farrin memang membawa nyawa lain di tubuhnya. Bahkan, untuk menegaskan kesimpulannya, Alex sengaja pergi mencari apotek saat matahari telah terbit dan membeli alat tes kehamilan instan. Alex maupun Natsu sudah menduga jika hasilnya akan berakhir positif, tetapi tidak dengan Farrin. Ia masih merasa tidak percaya. Kegagalannya beberapa waktu lalu untuk melihat dua tanda garis pada alat itu membuat ia berkecil hati dan enggan berharap lebih. Memang, apa yang bisa Farrin harapkan? Sedangkan meski ia positif pun, keputusan perceraiannya dengan Vian sudah mencapai tahap final. Jadi, ia merasa jika lebih baik untuk menyembunyikannya saja. Toh, meski Vian tahu pun, ia tak bisa memberi keluarga yang baik untuk calon anaknya kelak. Vian sudah memiliki Lena di sampingnya dan akan memili
Begitu selesai, Alex segera menuju dapur dan mendapati Natsu serta Farrin yang terduduk dan seperti menunggu kedatangannya. Alex tak tahu jika kehadirannya begitu ditunggu dengan antusias seperti ini. Ah, ia jadi menyesal saat ia berniat untuk mengulur waktu di kamar mandi dan berharap dua wanita yang hidup dengannya itu tak betah menunggu dan pergi tidur. “Maaf, Nona. Aku harus menyelesaikan sesuatu tadi,” jelas Alex. Ia tak ingin Farrin menuduhnya yang tidak-tidak, sedangkan yang sebenarnya memang ia tidak ada kegiatan sama sekali. Farrin menggeleng kecil dan tersenyum, lalu berkata, “Iya, tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi, ya. Jaa ... ayo masakkan aku ramennya. Dua, ya. Aku ingin makan dengan Natsu-chan juga. Ah, tiga kalau juga ingin, ya. Aku tak ingin kau hanya diam dan melihat kami makan.” Ah sial! Ingin rasanya Alex mengumpati Farrin. Natsu, kan, bisa membuatnya sendiri, mengapa ia yang harus disuruh untuk membuatkannya juga. Ia yakin, Natsu bisa membu
“Alex,” ujar Natsu. Ia menggoncang pelan tubuh Alex yang tengah terlelap di futon—kasur lantai khas Jepang, yang ada di kamarnya. Natsu mungkin merapal untuk meminta maaf untuk nanti, tetapi ia juga bersyukur karena Alex tidak mengunci pitu kamarnya.“Ada apa, Nats?” tanya Alex dengan pelan. Jika saja tuan yang memerintahkannya untuk menjaga Farrin ada di sini, sudah pasti ia akan mendapat hukuman karena menurunkan tingkat kewaspadaan. Karena bagaimanapun juga, Alex adalah seorang penjaga dan tugasnya adalah memiliki kewaspadaan yang tinggi. Dan membiarkan kamar tidak terkunci dan seseorang bisa masuk sembarangan adalah suatu kesalahan yang fatal.“Oh, tidak! Nats!” sergah Alex. Ia baru ingat jika tak mengunci kamar. Lalu, apakah ada suatu hal yang membuat wanita itu panik seperti ini?“Apa, lex?”“Aku lupa mengunci pintu dan menurunkan kewaspadaanku. Seharusnya aku tidak menuruti perkataan Farri
“Vi, hentikan pencarianmu tentang Farrin.”Dengan satu kali tombol ditekan, pesan suara yang Nazilla kirimkan kini terkirim pada ponsel Vian. Ia sudah memutuskan untuk mengalah dan membiarkan Farrin lepas dari tanggung jawabnya. Setelah ini, ia hanya bisa berharap jika wanita itu bisa menemukan bahagianya sendiri, atau setidaknya menemukan orang yang mencintainya.Bukankah dicintai lebih baik ketimbang mencintai?Sebagai orang yang sudah melewati lima dasawarsa alam hidupnya, Nazilla mengerti betapa hidup terkadang tidak bisa kita kendalikan meski ada banyak uang di tangan kita. Padahal, tak sedikit dari mereka yang mengatakan bahwa jika kau memiliki uang, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan.Mungkin mereka benar, tetapi bukan berarti harus dijadikan sebagai sebuah pembenaran.Nazilla sendiri yang mengalaminya tanpa ada bantuan cerita dari orang lain. Kini, meski uang dan kekuasaan bisa ia pegang, satu wanita untuk kebahagiaan pu
“Ap-apa maksudmu, Ri?” Badan Nazilla mengalami tremor kecil saat Rizuki menyelesaikan ucapannya. Semakin lama, Wanita paruh baya itu semakin merasa terancam saat wanita yang enggan duduk itu mengatakan banyak hal. Bahaya! Ia bisa mencium ada tanda-tanda bahaya untuk nanti.“Mama sangat tahu apa yang kumaksud, tapi masih menanyakannya padaku? Biar kuberitahu satu hal, Ma. Biarkan Avan bersama dengan Farrin dan mereka menjemput bahagianya. Putra kesayanganmu sudah bertemu dengan wanita yang pas untuknya. Wanita yang mencintainya dan memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang bisnis. Sebagai orang yang kau anggap anak juga, aku mengatakan hal yang sebenarnya dan berharap Mama bisa mengerti.”Rizuki melirik Nazilla sekilas lalu melanjutkan, “Yang Mama tuduhkan, bahwa aku tidak adil pada kedua orang itu semata-mata juga karena Mama sendiri. Perlukah aku mengatakan semua hal yang membuat Mama bisa berpikir bahwa apa yang Mama lakukan adalah sebua